NovelToon NovelToon

SETELAH KAU KHIANATI

01 Terungkap

Maya berjalan tergesa-gesa melewati lobi perusahaan. Dia sudah telat. Entah lah tidak biasanya dia bangun kesiangan. Tampaknya tidurnya benar-benar nyaman semalam, hingga membuatnya enggan terbangun.

Brukk...

Karena kurang hati-hati dan tak memperhatikan jalan, tanpa sengaja, ia bertabrakan dengan seorang pria. Maya menghentikan langkahnya dan menoleh.

“Maaf,” ucap Maya. Ia terpaku melihat siapa yang berada di hadapannya. Pria itu sepertinya juga tersentak melihat Maya.

“Maya...” lirihnya.

Maya terkesiap mendengar suara itu dan membalikkan badannya, bergegas pergi.

“May... Tunggu...” panggil pria itu, tetapi Maya mengabaikannya. Air mata mengancam jatuh, tetapi Maya mendongakkan wajahnya. Ia terus melangkah hingga sampai di depan ruangannya.

Maya masuk dan menghempaskan tubuhnya di kursi besar. Ia tidak menghiraukan sekretarisnya yang mungkin terkejut dengan suara pintu yang tertutup kasar, atau mungkin heran karena sapaan sekretarisnya diabaikan.

Maya menelungkupkan kepala di atas meja. Air mata yang ditahannya sejak di lobi akhirnya tumpah. Sangat sakit. Bayangan yang telah lama dihilangkan dan dihapus dari ingatannya kini hadir kembali, seakan luka yang baru sembuh kembali tersiram air cuka.

Arman, pria itu, pria yang dulu sangat Maya sayangi, tetapi juga yang menggoreskan luka yang sangat dalam di hatinya.

Kilasan Masa Lalu

Maya mengingat sore itu ketika pulang kerja dari toko pakaian. Ia sangat gembira karena menerima bayaran hasil kerja kerasnya selama sebulan. Ia berencana memberi kejutan pada Arman yang beberapa hari lalu mengeluh tidak punya uang untuk membayar kos. Mereka sudah berjalan bersama selama dua tahun. Arman bekerja di sebuah perusahaan sebagai karyawan biasa. Saat Arman mengeluh, Maya mengatakan akan membayar uang kosnya, dan Arman akan menabung untuk biaya hidup mereka setelah menikah.

Tetapi yang terjadi di luar dugaan. Saat tiba di depan kos Arman, pintu tertutup. Maya berpikir Arman belum pulang, tetapi heran karena ada sepatunya di teras, dan juga sepatu perempuan. Suasana hening. Pintu tidak terkunci dan tidak tertutup rapat. Maya mengerutkan kening melihat pintu yang sedikit terbuka. Ia membuka pintu dan masuk diam-diam. Tidak ada seorang pun di sana, tetapi ia mendengar suara-suara dari dapur.

Maya diam dan mencoba menajamkan pendengarannya.

“Tapi sampai kapan kamu akan tetap berhubungan dengannya? Aku sudah lelah seperti ini. Kita berhubungan secara sembunyi-sembunyi?” Itu suara seorang gadis. Maya merasa mengenal suaranya. Ia masuk lebih dalam lagi untuk mendengar lebih jelas.

“Bersabarlah. Semuanya akan segera selesai setelah aku mendapatkan kepercayaannya dan mendapatkan apa yang aku inginkan darinya. Kita akan segera meresmikan hubungan kita, dan aku akan meninggalkannya.” Jantung Maya berdenyut sakit. Itu suara Arman. Arman menyimpan sesuatu di belakangnya.

“Tapi sampai kapan? Aku lelah seperti ini terus. Kau kekasihku, tetapi aku bahkan tidak berhak memperkenalkanmu pada teman-temanku,” ucap suara wanita itu. Itu Regita, teman Maya yang paling dipercaya. Persahabatan mereka rapuh hanya karena seorang pria. Maya tidak menyangka orang yang disayanginya mengkhianatinya dengan temannya sendiri. Walaupun sesak di dada, Maya bertahan di sana untuk mengetahui lebih lanjut rencana mereka.

“Bersabarlah sedikit lagi. Semuanya akan segera berakhir. Sore ini dia akan datang ke sini mengantarkan uang. Lebih baik kamu pulang sekarang, jangan sampai dia bertemu denganmu saat dia datang ke sini,” ucap Arman.

“Tapi kamu kelihatan sangat menyayanginya. Aku cemburu melihat hal itu,” balas Regita.

“Tentu saja aku harus berpura-pura menyayanginya. Kalau tidak, bagaimana bisa dia memberikan uangnya, seluruh gajinya, kepadaku...?” balas Arman. Hati Maya semakin sakit. Ia memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya.

Maya bertepuk tangan di belakang mereka. “Wah... Wah... Wah... Hebat sekali ya! Ternyata rencana kalian. Aku sungguh salut mendengar ini!”

“May? Kau ada di sini...? Sejak kapan? Bukankah kau sedang bekerja?” Arman terbelalak kaget.

“Tentu saja... Mungkin Tuhan yang menyuruhku ke sini untuk mendengar apa yang kalian rencanakan,” jawab Maya santai, meskipun dadanya bergemuruh. Ia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya di hadapan Arman.

“Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bisa menjelaskan semuanya,” ucap Arman. Ia mencoba meraih tangan Maya, tetapi Maya menepisnya.

“Memangnya apa yang kupikirkan? Aku tidak berpikir apa-apa, kok,” jawab Maya santai. Arman tidak boleh tahu bahwa ia hancur. “Lalu apa yang coba kau jelaskan, Mas...? Aku tidak butuh penjelasan karena aku sudah mendengar semuanya.”

“Sudahlah, Mas. Untuk apa menjelaskan padanya...?” sahut Regita. “Biar saja dia tahu semuanya. Bukankah ini lebih baik? Jadi kita tidak perlu menjelaskan padanya tentang hubungan kita. Toh kita sudah tidak membutuhkannya lagi. Aku yang akan membantumu mengenai keuangan,” tambah Regita. Ia ingin mempertahankan Arman dan takut Arman akan kembali kepada Maya. Maya tersenyum mendengarnya.

“Sebenarnya aku hanya tidak menyangka dengan semua ini, Mas. Setelah apa yang aku korbankan untukmu, hasil kerja kerasku selama bertahun-tahun, kau tega melakukan ini di belakangku,” ucap Maya sambil memindai penampilan mereka berdua. Mereka hanya memakai handuk yang melilit di pinggang.

“Cobalah kau tengok dirimu itu, May! Kau memang tidak layak untuk Arman! Lihat penampilanmu dan lihat penampilan Arman setiap hari! Apa kau pantas berada di sampingnya...?” ledek Regita.

“Tidak masalah. Ambillah saja dia! Aku sudah tidak butuh. Untung aku sudah tahu semuanya sekarang sebelum semuanya habis, sebelum semuanya hancur,” balas Maya.

“Maya, ini semua bukan kesalahan Regita, tetapi kesalahanmu! Kau yang tidak pernah mau mengikuti keinginanku! Aku ini pria normal! Aku membutuhkannya! Tetapi kau, jangankan melayani aku, memegang tanganmu pun kau tidak mau! Oh, itu terlalu sok suci!” balas Arman. Maya tertawa miris.

“Jadi itu yang ada di otakmu, Mas? Hanya itu? Untung saja aku mengetahuinya lebih awal. Kalau tidak, mungkin aku akan menyesalinya. Dan aku sungguh beruntung tidak pernah memenuhi keinginanmu,” balas Maya.

“Sudahlah, Mas. Sekarang aku mengerti apa yang kau inginkan. Semoga saja dengan ini kau bahagia. Dan kau ingatlah, Regita, jika dia bisa mengkhianatiku, suatu saat dia juga bisa mengkhianatimu,” ucap Maya tenang, lalu meninggalkan tempat itu seakan tidak terjadi apa pun.

Nyonya baik hati

Maya berlari keluar dari gang di depan kos Arman, berlari terus hingga sampai di sebuah taman. Ia baru sadar telah berada jauh dari kos Arman.

Walaupun berusaha terlihat baik-baik saja, ia merasa rapuh. Rasa nyeri memenuhi dadanya. Ia jatuh tertunduk, menelungkupkan wajah di atas lutut, kedua tangan bertumpu di rerumputan. Air mata yang ditahannya sejak tadi akhirnya tumpah. Ia menangis menyesali apa yang terjadi dalam hidupnya, kebodohannya, dan ketidakpekaannya atas sikap Arman dan Regita yang sudah nampak aneh selama sebulan belakangan.

“Nduk...” Maya tersentak kaget saat merasa ada tangan menyentuh pundaknya. Ia mendongakkan kepala dan melihat seorang wanita paruh baya dengan wajah cantik sedang menunduk menghampirinya. Maya menyeka air matanya lalu berdiri. Wanita itu mundur selangkah dan tersenyum manis.

“Ada apa, Nduk? Kenapa menangis di sini? Apa ada barangmu yang hilang...?” tanya wanita itu. Maya masih terisak, tak bisa menjawab. Ia hanya mengamati wanita itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Siapa gerangan nyonya yang cantik ini? pikir Maya. Wanita itu tampak kaya raya.

“Nduk...” ucap wanita itu lagi sambil menyentuh tangan Maya. Maya tersadar dari lamunannya dan mundur karena merasa malu.

“Iya, Nyonya...” jawab Maya.

“Kenapa sore-sore menangis sendirian di taman? Apa yang terjadi?” Wanita itu mengulang pertanyaannya.

“Tidak ada apa-apa, Nyonya... Maaf, Nyonya, siapa...?” tanya Maya. Ia baru pertama kali bertemu wanita ini di lingkungannya, atau mungkin ia yang lupa.

“Kamu Maya kan...? Yang bekerja di toko pakaian Sumber Rejeki yang ada di Jalan Mangga Muda itu...?” Wanita itu malah bertanya lagi sambil tersenyum.

Maya kaget dan mundur lagi. Siapa Nyonya ini? Kenapa beliau mengenalku sedangkan aku tidak tahu siapa dia? pikir Maya. Wanita itu tersenyum lagi.

“Ayo, kita duduk di bangku sana...” Wanita itu menunjuk sebuah bangku taman dan menggenggam tangan Maya. Maya menurut saja.

“Cerita pada Ibu, Nduk... Apa yang terjadi padamu? Kenapa menangis di sini...?” Setelah duduk, wanita itu kembali bertanya.

“Tidak ada apa-apa, Nyonya...” jawab Maya. “Apakah Nyonya mengenal saya? Bagaimana Nyonya tahu saya bekerja di toko pakaian? Apa Nyonya adalah pelanggan di toko itu...?”

Wanita itu hanya tersenyum.

“Bagaimana kalau kita buat kesepakatan? Aku akan menjawab pertanyaanmu setelah kamu menjawab pertanyaanku. Bagaimana...?” Wanita itu tersenyum sambil bernegosiasi. “Tidak apa-apa, Nduk. Ceritakan pada Ibu apa yang terjadi padamu. Barangkali saja Ibu bisa membantumu...” Wanita itu mengelus tangan Maya. “Beban akan lebih ringan setelah dibagikan, Nduk...”

Maya menunduk. Air matanya kembali jatuh. Ia mendongakkan wajahnya, menatap wanita itu, lalu menunduk lagi. Ia menarik napas panjang.

“Kekasih saya berselingkuh, Nyonya,” jawab Maya akhirnya. “Dia mengkhianati saya, dan sakitnya lagi itu dengan teman saya, teman sekampung yang dulu saya ajak ke kota ini.” Maya mengambil jeda. “Yang menyakitkan adalah alasannya yang sangat tidak masuk akal. Hanya karena... hanya karena...” Maya menarik napas menahan sesak. Wanita itu diam mendengarkan. “Hanya karena... saya selalu menolak ketika diajak berhubungan badan.” Tangis Maya semakin deras. Wanita itu masih diam, sambil mengelus punggung Maya.

“Padahal selama ini saya sangat mencintainya. Saya menuruti apa pun permintaannya jika itu berhubungan dengan uang. Saya relakan hampir seluruh gaji saya dari toko pakaian untuk kebutuhannya. Bahkan dari gaji saya, saya hanya menyisihkan sedikit untuk keperluan sehari-hari saya dan untuk makan saja. Dan bodohnya saya, saya menurut saja waktu dia berjanji kalau gajinya yang dia dapat dari pabrik tekstil akan ditabung untuk biaya pernikahan kami kelak, dan juga untuk membeli rumah kecil yang akan kami tempati setelah menikah,” lanjut Maya sambil terus menangis. Ia menepuk-nepuk dadanya yang sesak. Ia tak lagi mampu bicara.

Setelah beberapa saat terdiam, wanita itu berucap lirih sambil mengelus punggung Maya.

“Sudah cukup, Nduk... Sekarang berhentilah menangis. Jangan buang air matamu dengan percuma untuk laki-laki seperti itu... Bukankah lebih baik bagimu kalau kau mengetahui ini sekarang daripada kau mengetahuinya setelah kalian terlanjur menikah? Harusnya kau bersyukur dia belum berhasil mengambil mahkotamu yang paling berharga...?” Wanita itu memegang dagu Maya agar menghadap padanya. Mereka bertatapan beberapa saat. Wanita itu tersenyum, senyum yang menyejukkan hati.

“Nyonya benar...” Maya mengangguk, lalu menundukkan wajah. Ia terdiam beberapa saat. “Aku tidak akan menangisinya...!”

“Kau sudah lega setelah berbagi...?” tanya wanita itu sambil tersenyum. Maya mengangguk. “Sekarang tersenyumlah! Jangan buat dia bahagia dengan melihatmu menangis!”

Wanita itu mengajak Maya berdiri. Maya memandang sekeliling yang hampir gelap. Ia tersentak saat menyadari wanita itu sudah tidak ada di sampingnya. Ada sesuatu yang hilang.

“Ah...” Maya tersentak mengingat sesuatu. “Ah, benar. Nyonya itu kan belum menjelaskan siapa dirinya...” gumam Maya. “Nyonya... Tunggu...” teriak Maya sambil mengejarnya. Wanita itu berhenti sebentar, menoleh, dan tersenyum, lalu melangkah lagi.

“Nyonya...... Tunggu......!” teriak Maya lebih keras, mengejarnya hingga berhasil menyamai langkahnya dan menangkap tangan wanita itu.

“Ada apa...?” tanya wanita itu dengan wajah tanpa dosa. Maya berhenti, memegang perutnya yang sakit karena berlari. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah.

“Nyonya kan belum menjelaskan siapa diri Nyonya...?” tanya Maya setelah napasnya kembali teratur. Wanita itu tertawa tergelak.

“Aku pikir kamu lupa...?” jawabnya sambil tertawa. Maya merengut.

“Nyonya curang! Nyonya mau mengingkari kesepakatan kita...?” tanya Maya sambil merajuk. Wanita itu tertawa lebih lebar.

“Baiklah... Aku tidak akan berbuat curang. Aku akan menjelaskannya sambil mengantarmu pulang. Ayo...” Wanita itu berjalan mendahului Maya. Maya mengikutinya, dan masuk ke dalam mobil wanita itu.

“Naiklah... Aku akan mengantarmu pulang!” ajak wanita itu. “Tenang saja, aku tidak akan menjualmu. Tubuhmu terlalu kurus, tidak akan laku untuk dijual...!” Wanita itu tertawa ketika Maya masih termangu di samping mobil.

Maya menurut saja. Dia sudah pasrah. Toh tidak akan ada orang yang menangisinya seandainya dia benar-benar dijual

03 Ya Ampunnn, Ternyata Ibu Boss

 

Mobil mulai merangkak pelan, semakin menjauhi area taman kota. Maya masih terdiam, menunggu Nyonya itu bicara. Walaupun sebenarnya ia sudah tak sabar dan ingin segera bertanya.

“Minumlah, Nduk…!!” ucap Nyonya itu sambil mengulurkan sebotol air mineral. Maya memandangi botol itu lama sebelum menerimanya. Tapi ia masih belum ingin meminumnya. Entah kenapa otaknya justru melanglang buana mengingat sesuatu yang sangat buruk, tentang film penculikan dan wanita yang dijual untuk dijadikan pekerja seks komersial, dan juga yang diambil organ tubuhnya. Hingga tanpa sadar ia bergidik ngeri.

“Kenapa…? Kau takut aku memberimu obat bius…??” Si Nyonya malah bertanya sambil tertawa terbahak-bahak. “Sini biar aku yang minum kalau kau takut…!!” ucapnya sambil menyambar botol yang ada di tangan Maya. “Lihat…?? Kau masih takut juga…??” tanyanya lagi setelah menenggak hampir separo isi botol itu, masih sambil tertawa terbahak-bahak, seakan itu adalah hal yang sangat lucu baginya. Dan itu membuat wajah Maya memanas karena malu. Entah sudah semerah apa pipinya saat ini, dan dengan malu-malu akhirnya ia minum juga air itu. Terasa plong di dadanya. Ternyata menangis juga menghabiskan tenaga.

“Baru kali ini ada gadis yang sangat menghiburku…” ucapnya lagi-lagi tergelak, kali ini bahkan sambil mengusap air yang keluar dari sudut matanya.

“Maafkan saya, Nyonya…” ucap Maya menunduk malu. Ia benar-benar tak tahu diri. Beliau sudah dengan senang hati menghiburnya, dan juga memberinya tumpangan pulang, ia justru mencurigainya. Ah… entah mau ia taruh ke mana mukanya yang merasa sangat buruk ini. Eh… tapi, “Beliau benar-benar akan mengantarku pulang, kan…??” batinnya sambil menengok keluar mobil. Jangan-jangan ini salah jalan. Ah… tapi lagi-lagi ia malu. Ini memang jalur menuju tempat kosnya, walaupun masih sangat jauh.

“Jadi, Nyonya… siapa sebenarnya Anda…? Bagaimana Nyonya bisa mengenal saya, sedangkan saya sama sekali tidak tahu siapa Nyonya…??” tanya Maya pada akhirnya, karena tak lagi tahan dengan rasa penasaran.

“Nama saya Farida. Panggil saja Ibu, jangan Nyonya. Seperti Nyonya besar saja…!!” jawab Farida diakhiri senyum. Maya masih mencoba mengingat-ingat siapakah Farida itu, tapi nihil, ia tetap saja tak mengingat siapa beliau, dan Farida malah tergelak lagi seakan senang dengan kebingungan Maya.

“Toko pakaian SUMBER REJEKI tempat di mana kau bekerja sekarang adalah cabang dari toko pakaian milik anakku,” terang Farida kemudian yang membuat Maya sangat terkejut. Demi apa… wanita yang sekarang ada di depannya?? Yang tadi memegang bahunya?? Yang tadi mengusap halus punggungnya, yang tadi melihatnya menangis kejer?? Yang tadi menghiburnya?? Dan yang dengan jahatnya justru ia curigai akan memberinya minuman bius?? Padahal Farida juga memberinya tumpangan untuk pulang??… Dia… dia ternyata adalah ibu dari bos tempatnya bekerja?? Maya menutup mulutnya yang menganga tak percaya. Sungguh ia malu bukan kepalang.

“Jadi, Nyonya…? Nyonya adalah Ibu dari Pak Anwar…??” Maya mencoba meyakinkan lagi. Barangkali pendengarannya yang salah.

“Bukan…?” jawab Farida sambil menggeleng. Maya cengo, bingung. Bagaimana sih, katanya toko tempatnya bekerja milik anaknya, tapi Farida bukan ibunya Pak Anwar, bagaimana maksudnya coba…??

“Anwar itu kan yang mengelola toko, kalau yang punya toko itu namanya Rendy, nah, yang namanya Rendy itu baru anak saya… tapi sekarang ini Anwar sudah jadi anak saya juga.” Farida menjelaskan panjang lebar. Dan sayangnya penjelasannya yang panjang lebar itu justru kurang nyantol di otak Maya yang merasa agak kurang cerdas. Bagaimana ceritanya, Anwar tadi nya bukan anaknya tapi sekarang jadi anaknya juga… ah… pusing, Maya tak bisa menerjemahkan maksudnya.

“Maksud Nyonya…??”

“Ibu…!! Panggil Ibu saja, jangan Nyonya, saya berasa terlalu tua kalau dipanggil Nyonya!” potong Farida mengingatkan Maya tentang panggilannya.

“Eh… iya… Ibu…” ralat Maya. “Jadi maksud Ibu, yang punya toko itu bukan Pak Anwar…??” tanya Maya memastikan lagi.

“Anwar itu salah satu orang kepercayaan Rendy. Karena Anwar itu yang menemani Rendy sejak kecil, jadi lebih seperti sahabat bahkan saudara,” jawab Farida. “Sudah sampai… kau bisa turun sekarang. Ingat, jangan menangis lagi…!!” ucapnya mengagetkan Maya. Maya spontan melihat keluar jendela, dan ternyata benar, mereka sudah sampai di gang yang berada di depan kompleks kos yang ia tempati.

“Bagaimana Nyonya bisa tahu kalau saya tinggal di kompleks ini…??” tanya Maya bingung, yang lagi-lagi malah membuat Farida tergelak. Apa yang lucu coba, ia kan cuma tanya dari mana Farida tahu…?? Apanya yang lucu, Maya bergumam cemberut, karena selalu jadi bahan tawanya.

“Kalau aku tahu kau adalah anak buah alias karyawan anakku, apanya yang aneh kalau aku tahu di mana tempat tinggalmu…??” jawab Farida diplomatis, dan tentu saja itu masuk akal. Apa yang tidak mungkin bagi orang kaya. Kalau Pak Anwar saja tampak jelas dia orang kaya adalah bawahan dari anaknya, pasti anaknya itu lebih kaya lagi. Dan Farida adalah ibunya, berarti Farida lebih kaya lagi. Pertanyaannya adalah sekaya apa mereka semua, sebab jika menilik dari cara Farida berpakaian dan aksesoris apa saja yang melekat di tubuhnya, terlihat jelas jika bukan barang murahan. Terlihat sederhana tapi benar-benar berkelas. Apa ya, yang dipakainya tidak ada satu pun yang terjual di toko tempat Maya bekerja.

“Cepat turun, ini sudah malam, atau kau ingin menahanku di sini, hemm…??” ingatnya. “Kalau kau masih bingung, besok kita bahas jika kau masuk kerja. Itu pun kalau kau beruntung bisa bertemu denganku, ha… ha… ha…” entah apa yang membuatnya tertawa girang seperti itu. “Ingat, jangan menangis lagi, jangan sampai kau besok tidak bisa masuk kerja hanya karena menangis semalaman, terlalu berharga air mata itu jika kau buang percuma untuk laki-laki yang tak punya kesetiaan seperti dia…!!” tandasnya lagi. Maya pun mengangguk pasti, paham dengan apa yang Farida nasihatkan. Dan dalam hati ia juga memang membenarkan dan akan menuruti nasihat Farida. Untuk apa memikirkan lelaki yang tak setia, memangnya dunia ini akan berakhir kalau ada dia…

“Terima kasih, Ibu…” ucap Maya. “Terima kasih sudah menjadi tempat curhat saya, juga sudah bersedia menasehati saya, juga untuk tumpangannya…” lanjutnya. Kemudian ia beranjak turun.

“Ah… sebenarnya aku tadi sudah mau menculik dan menjualmu, tapi sayang tubuhmu terlalu kurus, tidak akan laku dijual,” guraunya setelah Maya turun, membuat Maya menganga, dan Farida malah tertawa, dan Maya yang malu setengah mati sudah berburuk sangka padanya. “Ya sudah, aku pulang dulu,” ucap Farida. Maya pun mengangguk.

“Hati-hati di jalan, Bu…” ucap Maya sambil membungkuk hormat, yang hanya dibalas senyuman.

“Jalan, Pak…!!” perintah Farida pada sopir. “Eh…” kenapa Maya baru menyadari kalau mereka tadi diantar sopir, ke mana saja otaknya jalan-jalan tadi, ia pukul-pukul kepalanya pelan. Apakah segitu frustasinya ia tadi karena melihat perselingkuhan Arman sampai otaknya jadi nge-blank…?? Ah… entahlah… ia segera bergegas masuk gang sempit menuju tempat kosnya, sepertinya ia harus segera mengguyur kepalanya dengan air dingin agar otaknya kembali normal.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!