"Gue benci hujan!" Kalimat pertama yang dilontarkan oleh gadis itu adalah mengumpat pada langit yang mendung dan mulai meneteskan air hujan yang perlahan membasahi gaunnya.
Oh Tuhan, dari sekian banyak hari, mengapa harus hari ini hujan turun?
Sunny hanya dapat mengeluh kesal. Bagaimana ia tidak mengeluh karena hujan turun diwaktu yang sangat tidak tepat, diwaktu ia memakai gaun berwarna kuning cerah seperti bunga matahari namun hujan malah turun. Sangat bertolakbelakang dengan perkiraan hari cerah yang sudah gadis berusia 20 tahun itu bayangkan.
Apa tidak bisa hujan turun besok saja? Menyebalkan!!!
Sekali lagi ia melihat arloji di pergelangan tangannya yang terus bergerak cepat sedangkan bus yang ia tunggu tidak kunjung datang sementara air hujan terus turun bercampur dengan debu yang membuat sepatu putihnya menjadi kotor seketika. Belum lagi angin yang berhembus dengan sesuka hati membuat tatanan rambutnya yang sudah susah payah ia blow sejak subuh tadi sukses menjadi berantakan.
Untung saja bus yang ia tunggu akhirnya datang juga. Sunny lantas segera masuk kedalam bus sebelum gaunnya basah kuyup, tapi sialnya ternyata kursi favoritnya sudah ditempati orang lain dan hanya tersisa dua kursi kosong dibarisan belakang. Setidaknya ia tidak harus berdiri sampai tiba di kampusnya.
Dengan segera Sunny mengambil posisi duduk tepat disebelah jendela, terlihat kaca jendela yang mulai berembun karena hujan semakin turun dengan deras.
"Sialan..." Sunny mengumpat lagi tepat disaat ia merasakan seseorang baru saja duduk di sebelahnya.
Yang dapat Sunny lakukan sekarang hanya mencengkram roknya erat-erat. Rasa begitu memalukan mengumpat dan orang lain mendengar itu, apalagi orang itu bukan hanya orang biasa, tapi seorang laki-laki berparas tampan.
Laki-laki itu luar biasa tampan walaupun tidak ada senyuman menghiasi ekspresi wajahnya yang datar bahkan terkesan dingin. Justru pesona sulit dijangkau itu mampu mendebarkan jantung Sunny hingga terasa menyengat.
"Apa?" Laki-laki itu bertanya dengan nada dingin seraya menoleh.
"Ya?" Sunny seketika tertegun. Jarak tipis diantara mereka langsung mengukir kecanggungan yang membuat Sunny menahan nafasnya.
"Selain mengumpat, lo juga suka natap wajah orang terang-terangan, huh?" Laki-laki itu bicara lagi, tapi tidak bisa... Sunny tidak bisa mencerna ucapannya karena tersihir oleh pesona kuat laki-laki itu.
Jarak ini terlalu dekat hingga Sunny bahkan dapat melihat kedua bola matanya yang terang dengan iris berwarna coklat gelap padahal di luar langit berwarna abu-abu hingga suasana menjadi temaram, tapi sinar mata laki-laki itu tidak redup sama sekali.
Rambut laki-laki itu sedikit berantakan, tapi justru memiliki poin plus dengan kesan bad boy yang kuat apalagi dengan anting di kedua telinganya. Belum lagi garis hidungnya mancung tanpa celah, bibir bawahnya memiliki belahan dan berwarna peach alami, ada pricing di sudut bibir bawahnya, dagunya terbentuk sempurna dengan garis rahang yang tegas dan memukau. Seolah Tuhan menciptakannya tanpa celah sedikitpun.
Laki-laki itu sungguh terlihat seperti pria sempurna yang melompat dari dalam novel idaman yang sering Sunny baca.
Oh, Tuhan... Kenapa tubuhku membeku?
Laki-laki itu bergerak semakin mendekat bahkan terlalu dekat hingga tubuh Sunny bergerak menarik diri kebelakang dan kepalanya membentur kaca jendela.
Kedua mata Sunny berkedip beberapa kali, tapi bukan karena gatal melainkan karena syok ketika laki-laki yang terlihat seumuran dengannya itu terus bergerak mendekat. Sunny dapat merasakan nafas hangat mereka beradu menciptakan ketegangan yang tidak bisa Sunny hindari.
Rasanya seperti berada dalam alur novel romantis yang manis, dia pria sempurna yang sangat cocok menjadi pemeran utama pria dalam novel yang berkesan. Apakah Tuhan sebaik ini padaku?
Angan-angan Sunny melayang jauh. Di luar cuaca buruk, tapi berbagai tatapan dengan jantung yang berdebar-debar membuatnya merasa seperti pemeran utama wanita dalam novel yang sama dengan laki-laki itu.
Takdir tidak semanis ini, kan?
Oh Tuhan... Oh Tuhan... Dia tersenyum!
Dia tersenyum padaku! Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Maskara loe luntur...," ucap laki-laki itu sebelum menarik dirinya dan kembali duduk tegak menatap lurus ke depan.
Ucapannya membawa Sunny pada kenyataan pahit jika semua cerita dalam novel manis yang selama ini ia baca hanyalah sebuah karangan fiktif dan itu tidak akan mungkin pernah terjadi di dunia nyata.
Jatuh cinta pada pandangan pertama hanyalah mitos belaka.
Seketika Sunny menyesal karena telah terpesona pada laki-laki yang saat ini sedang menertawakannya diam-diam.
Tapi dia sangat tampan, Tuhan ... Mengapa engkau menciptakan pria idaman yang selama ini berada dalam khayalanku dengan sifat angkuh yang menyebalkan?
Sungguh tidak adil karena Sunny merasa sangat malu sekarang.
Apa tiket ke Mars sudah bisa di pesan sekarang? Ia ingin pergi meninggalkan bumi sekarang juga!
Dengan cepat Sunny memalingkan wajahnya yang sudah pasti merah padam karena rasa malu.
Tanpa membuang waktu, ia segera mencari cermin kecil di dalam tasnya dan benar apa laki-laki itu, jika maskara yang ia pakai luntur. Wajahnya nampak seperti kuntilanak kesiangan sekarang. Duh!
Semua karena uang jajannya habis untuk membayar kegiatan pariwisata yang akan diadakan pada akhir pekan ini hingga Sunny hanya mampu membeli maskara biasa yang tidak waterproof dan akhirnya sekarang... Sudahlah jangan dibahas!
Sunny kembali menunduk lesu seolah telah kehilangan separuh nyawanya karena merasa frustrasi sebab bukan hanya karena maskara yang luntur, tapi ia juga lupa membawa tissue basah.
"Gue Rain, fakultas manajemen. Jangan lupa cuci sebelum dibalikin," ucap laki-laki yang ternyata bernama Rain itu. Ia melemparkan saputangan putihnya diatas tas Sunny sebelum beranjak keluar dari dalam bus.
Untuk sesaat Sunny kembali tertegun, Rain begitu cepat dan sudah menghilang sebelum Sunny sempat mengatakan apapun.
Sunny lantas segera turun dari dalam bus, berharap masih bisa mengejar langkah laki-laki itu, namun Rain sudah cukup jauh menghilang menuju kerumunan mahasiswa lainnya.
Dengan menggenggam erat sapu tangan pemberian Rain, Sunny tidak pernah tahu ada pria yang sangat tampan dan juga dingin seperti Rain yang kuliah di universitas yang sama dengannya.
laki-laki misterius yang bahkan Sunny tidak dapat merasakan emosi dari nada suaranya. Semua yang Rain ucapkan terdengar datar di telinganya sama halnya dengan ekspresinya. Sikapnya menimbulkan banyak rasa penasaran bagi Sunny, tapi kemudian ia kembali teringat akan maskara yang luntur hingga ia segera berlari pergi menuju toilet sambil menutupi wajahnya sebisa mungkin.
Sampai akhirnya ia tiba di dalam toilet. Sunny menutup pintu rapat-rapat, mencoba meredam debaran jantungnya yang semakin kencang.
Sunny dan Rain, nama mereka mungkin bertolak belakang. Meskipun singkat, tapi pertemuan di dalam bis memberikan kesan yang tidak dapat Sunny gambarkan. Perasaan senang dan malu dalam waktu yang bersamaan sekaligus penasaran.
Ini tidak mungkin jatuh cinta pandangan pertama, kan?
.....
Air mengalir membasahi sapu tangan putih pemberian pria bernama Rain itu setelah. Sunny memastikan tidak ada noda maskara yang tertinggal di sapu tangan itu begitu juga dengan wajahnya yang sekarang sudah jauh lebih baik meskipun riasannya sudah luntur sepenuhnya.
"Untung aja gak ninggalin jejak," gumam Sunny lega setelah memeras sapu tangan itu cukup kuat hingga sedikit mengering.
"Sunny..." Oh, suara cempreng itu, suara siapa lagi jika bukan suara Rosa, sahabatnya.
"Gue kira loe gak dateng, kenapa loe bolos kelas tadi?" tanya Rosa yang mengoceh setelah bertatapan muka dengan Sunny tepat saat gadis itu keluar dari dalam toilet kampus.
"Loe liat nih gara-gara hujan, sepatu, rambut, terus maskara gue berantakan! Sebagai seorang calon fashion stylist... Gue gak bisa ngebiarin orang lain ngeliat penampilan gue yang kacau balau begini." jawab Sunny, tidak lupa ia menunjukan bagaimana kondisi sepatunya yang kotor dan rambutku yang kusut, tapi tidak dengan bulu matanya karena ia baru saja selesai membersihkannya.
Rosa menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, tapi ia tahu persis apa yang akan gadis itu cerewet itu katakan setelah ini, karena sudah pasti dia akan kembali mengoceh.
"Gimana bisa sih penampilan loe jadi begini? Mendadak miskin loe? Mobil loe kemana, beb?" tanya Rosa yang mengikuti langkahnya menyusuri lorong kampus yang ramai.
"Mobil gue disita bokap."
"Kok bisa?"
"Ya bisa lah! Gara-gara gue ngotot mau ikut karya wisata naik kapal pesiar ke Bali," jawab Sunny sedikit cemberut.
"Ya ampun beb, loe kayak baru pertama kali aja ke Bali. Itu tuh cuma Bali bukan Maldives, deket banget, beb. Gak perlu lah sampe segitunya, kan naik pesawat juga sama aja."
"Bodo amat! Pokoknya gue harus pergi bareng kalian naik kapal pesiar. Lagian ini jaman berapa sih? Masa ortu gue masih aja percaya sama takhayul yang bilang kalo gue punya dua pusar kepala terus gak boleh naik kapal soal kapal bakalan mengarungi lautan sedangkan lautan punya satu pusaran jadi nanti lautnya marah terus gue ditenggelamkan sama laut!" Gerutu Sunny yang sontak menjadi bahan tertawaan sahabatnya itu.
"Gak masuk akal banget, kan? Mama gue bilang jangan menantang laut, lagian siapa juga yang mau ngajakin laut berantem? Makanya itu gue pengen buktiin sama kedua orang tua gue kalau semua ucapan mereka itu omong kosong!" Sunny menjelaskan panjang lebar, mungkin terlalu panjang dan terlalu lebar ia berbicara hingga saat menyelesaikan ujung kalimat yang ia ucapkan, mereka berdua sudah tiba di kantin.
Setelah memesan makanan dan menerima pesanan mereka. Sunny dan Rosa memilih duduk di meja di dekat jendela yang tidak banyak ditempati oleh mahasiswa lain dan mereka kembali melanjutkan percakapan yang semula tertunda. Memilih makanan adalah salah satu perkara yang berat bagi seorang wanita.
"Terkadang ucapan orang tua itu bisa menjadi nyata loh, beb. Lagian kan naik pesawat sama kapal pesiar sama aja, toh tujuannya sama-sama Bali," ucap Rosa menasehati, seolah ia adalah gadis bijak padahal Sunny sendiri tahu bagaimana kelakuan sahabatnya satu ini yang sering membohongi orang tuanya. Mengatakan jika ia menginap di tempatnya padahal dia pergi ke puncak dengan pacarnya.
"Dan ngebiarin gue kesepian di pesawat tanpa bisa menikmati pemandangan laut yang indah? Gak mau! Loe juga naik kapal kan ke sananya bareng yang lain kecuali loe mau nemenin gue di pesawat." Sunny mematahkan nasihat itu dengan mudah.
"Gak mau gue!" tolak Rosa cepat tanpa perlu banyak berpikir.
"Ya udah pokoknya Lo harus bantuin gue ngomong sama orang tua gue biar gue dapet ijin. Soalnya bau-baunya orang tua gue ini rencain mau ngunciin gue di kamar pas hari-H."
"Astaga... Sampai segitunya?"
"Iya, beb..."
Rosa hanya dapat tersenyum kikuk, ia tidak lagi berani sok menasehati Sunny. Alih-alih sependapat dengan kedua orang tua Sunny padahal Sunny tahu jika Rosa hanya tidak ingin diganggu saat bergulat mesra di atas ranjang mewah kapal pesiar bersama dengan kekasihnya, Alvin.
"Alvin juga ikut?" tanya Sunny mengalihkan pembicaraan.
"Iya dong! Kapan lagi gue sama dia bisa 'bersenang-senang' tanpa perlu menyamar saat menyewa kamar," jawab Rosa tanpa rasa malu sedikitpun berbicara seperti itu kepada perawan ting-ting seperti Sunny. Bisa dibilang ia adalah jomblo abadi karena tidak pernah berpacaran seumur hidupnya.
"Dasar Lo*te!" Umpat Sunny bergurau.
Rosa sama sekali tidak keberatan dengan umpatan yang Sunny sematkan padanya. Gadis itu malah tertawa sambil menimpali dengan gurauan lainnya, "Makanya... Sampai kapan loe mau jaga keperawanan loe itu? Sampai pangeran berkuda putih dateng ngelamar loe? Gue rasa dengan mulut cerewet loe yang suka mengumpat itu, para pangeran diluar sana akan putar balik dan 'milik loe' itu bisa berdebu." gurau Rosa. Sunny hanya bisa menggeleng sambil tertawa karena mungkin Rosa benar. Di jaman sekarang ini, mungkin hanya ia yang masih menjaga kesuciannya hanya untuk suaminya kelak.
Apa salahnya, kan?
"Sialan... Loe sih beruntung karena Alvin tergila-gila sama loe sejak SMA, lah gue? Gue kan jomblo dari orok ... Gue gak bisa ngebiarin pria sembarangan nyentuh tubuh gue yang berharga ini buat cowo gak jelas di luar sana yang cuma penasaran mau icip-icip," jawab Sunny membuat Rosa mengangguk setuju kini walaupun senyumnya menunjukan arti yang lain.
"Dulu gue begitu, tapi sekarang lebih baik loe kuatkan iman loe, beb... Soalnya gue mencium bau-bau pria tampan bergerak mendekat ke arah kita," bisik Rosa, tepat disaat ia selesai mengucapkan kalimatnya, dan pria yang dimaksud Rosa sudah berada dihadapan meja merekA.
"Udah selesai?" tanya Rain dengan nada dingin.
"Ya?"
Sial! Sunny mengumpat lagi dalam hatinya. selalu seperti ini setiap kali laki-laki itu bertanya, memasang wajah cengkok yang membuatnya terlihat bodoh.
Tapi untung saja kali ini Sunny segera tersadar hingga ia cepat-cepat mengeluarkan sapu tangan milik pria itu dari dalam tasnya.
"Masih sedikit basah... Tapi udah gue cuci bersih kok. Makasih ya," ucap Sunny tersenyum gugup sambil menyerahkan sapu tangan miliknya.
Rain menghela nafas malas, ia tidak merespon dan hanya memasukan sapu tangan itu kedalam sakunya.
"Bukan sapu tangannya, tapi loe udah selesai makannya, kan?" tanya Rain tidak sabaran. Sunny mengangguk pelan. Sialan... Perasaan apa ini?
Sunny merasa sangat canggung hingga lidahnya mendadak keluh menghadapi laki-laki yang terus menatap lurus kedua matanya.
Rain lantas mendongakkan wajahnya, menatap ke arah lain lalu kembali menatap Sunny. Dia terlihat jengah.
"Kenapa? leher loe sakit?" tanya Sunny dengan polosnya tidak mengerti arti dari gerakannya.
Rain terlihat menghela nafas malas sekali lagi dan wajahnya semakin terlihat tidak senang.
"Bukan, tapi minggir kalau udah selesai. Gue mau makan soalnya di meja lain udah penuh," jawabnya dingin, mungkin sedingin air hujan yang kini kembali mengalir deras diluar.
Sunny yang awalnya gugup kini mulai merasa jengkel, Rain sangat seenaknya. Pria dengan attitude buruk yang langsung aku coret dari daftar calon suami idamannya kini.
Rasa gugup Sunny sirna sudah, ia beranjak bangun dengan kasar dan menatap mata laki-laki itu dengan sinis.
"Minggir!" ucap Sunny dengan nada suara cukup tinggi hingga membuat para mahasiswa yang kini berada di kantin ini menatap kearah mereka. Rain terlihat tidak senang namun Sunny tidak peduli.
"Rosa, jagain tempat gue. Gue masih mau beli makanan lain dan jangan biarin siapapun duduk disini!" Sunny memberikan perintah pada Rosa yang hanya dapat pasrah kini karena ia tidak main-main dengan ucapannya.
Gadis itu lantas pergi membeli sebuah hamburger dan kembali duduk di kursi ku dan tidak lupa ia melirik Rain dengan sinis.
Rain yang masih berdiri di sana menyeringai, sebelum meletakan makanannya diatas meja Sunny seolah tidak peduli.
"Lo punya hutang budi karena gue udah pinjemin sapu tangan gue dan gue minta imbalannya sekarang," ucap Rain yang langsung menarik tubuh Sunny cukup kuat hingga gadis itu akhirnya beranjak bangun dan dia dengan cepat menduduki kursinya.
Rosa terperangah melihat perlakuan pria itu pada sahabatnya namun ia tidak berani berkomentar sedangkan mulut Sunny sudah gatal untuk tidak mengumpat pada laki-laki yang kini makan tanpa merasa berdosa sedikitpun karena telah mengambil tempatnya.
"Hey... Itu kursi gue! Bangun gak, atau gue--" belum selesai Sunny berbicara, pria sinting ini telah menariknya dan membuatnya duduk diatas pangkuannya.
"Diam dan makan yang tenang. Apa perlu gue suapin?"
...
"Hey... Itu kursi gue! Bangun gak, atau gue--" belum selesai Sunny berbicara, laki-laki sinting ini telah menariknya dan membuatnya duduk diatas pangkuannya.
"Diam dan makan yang tenang. Apa perlu gue suapin?" ucapnya seolah apa yang sedang dilakukannya saat ini bukanlah masalah besar. Terlebih ketika semua orang menjadikan mereka sebagai pusat perhatian.
Rain sungguh sedingin gunung es di kutub utara. Tidak, tapi wajahnya setebal dinding es di kutub Utara karena ia sama sekali tidak terganggu dengan posisinya yang memangku Sunny saat ini
"Pria brengsek... Lepasin gue!" pinta Sunny memberontak.
"Gue gak lagi pegangin loe, kan?" sahut Rain dengan tenang, Rosa bahkan terlihat menahan tawanya karena menyadari jika Rain sama sekali tidak memegangi tubuh Sunny apalagi mengunci pergerakannya. Yang Rain lakukan tadi hanyalah menarik Sunny duduk di pangkuannya setelah itu dengan santainya ia menyantap makanannya.
Dengan wajah memerah menahan malu, Sunny lantas beranjak bangun dan bergegas pergi meninggalkan kantin.
"Dasar sinting! Gak tau malu! Awas lo kalau ketemu gue lagi! " ucap Sunny mengancam sebelum akhirnya ia memilih pergi atau rasa malu akan menelannya hidup-hidup sekarang.
"Sunny... Tungguin gue!" teriak Rosa yang berlari mengejar langkah cepat sahabatnya itu.
"Pria gila! Bisa-bisanya dia santuy begitu abis narik gue ke pangkuannya!"
Lidah Sunny gatal, ia tidak kuasa untuk tidak mengumpat setelah duduk di kursi tepat dibawah pohon rindang dan teduh dan cukup jauh dari mahasiswa lainnya yang mungkin akan mendengar umpatannya.
Walaupun kursi yang saat ini ia duduki basah, namun Sunny tidak perduli. Ia terlalu kesal hingga mengabaikan semuanya termasuk penampilannya yang selama ini selalu ia jaga.
"Gue gak lagi pegangin loe kok!" Sunny mengolok kalimat yang Rain ucapkan tadi padanya di kantin. Shit!
"Kampret!" Sunny mengumpat sekali lagi. Rain membuatnya pegal hati pagi ini hingga ia harus menepuk-nepuk dadaku yang terasa sesak karena rasa kesal memenuhi rongga jantungnya yang serasa akan segera meledak.
"Siapa cowok tadi? Kalian lagi dalam masa pendekatan ya?" tanya Rosa yang baru saja tiba dan segera menanyakan hal yang terdengar seperti sebuah lelucon konyol bagi Sunny.
"Masa pendekatan sih, beb? Astaga Tuhan, kenapa engkau mengirimkan sahabat yang dungu seperti ini padaku, Tuhan?" Sunny mengoceh kembali sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi seakan sedang berdoa.
"Darimana datengnya kesimpulan konyol itu kalau gue dan pria hujan itu lagi dalam tahap pendekatan?" tanya Sunny saat Rosa masih menatapnya dengan rasa penasaran.
"Kan lo duduk di pangkuannya tadi, ya kan?" jawab Rosa polos. Sunny hanya dapat mengacak-acak rambutnya yang tidak terasa gatal karena rasa frustasi setelah menghadapi Rain dan sekarang bahkan ia harus menghadapi Rosa dan otaknya yang tak sampai.
"Rosa, sepertinya lo butuh menyegarkan pikiran lo deh. Sebaiknya pergi aja cari Alvin kesayangan lo dan tinggalin gue sendiri." Saran Sunny yang sudah tidak tahan melihat tatapan mata penasaran Rosa meskipun ia sudah berkali-kali mencelanya.
"Ide bagus... Kebetulan gue sama dia belum morning kiss." seru Rosa sebelum melangkah meninggalkan Sunny yang merinding mendengarnya.
Yang benar aja, apa mereka membuat jadwal berciuman, bercumbu atau mungkin bercinta? Rosa sepertinya senang mengejek ku yang jomblo sejak lahir ini!
Setelah Rosa pergi, kini Sunny menyadari jika ia cukup kesepian di usianya yang sudah hampir menginjak 21 tahun ini, karena tidak ada seorang lelaki pun yang dapat menyentuh hatinya.
Terkadang ia berpikir, bagaimana rasa ciuman itu? Akan sehangat apa jika dipeluk namun sampai sekarang ia hanya dapat mencium dan memeluk boneka kelinci berkaki panjang kesayangannya di rumah.
Merasakan kupu-kupu berterbangan diperutnya saat menonton drama romantis dan merasa mual saat bertemu pria nyata. Rain contohnya.
Memang sial! Padahal Sunny yakin jika ia tidak sejelek itu untuk menjadi jomblo abadi, justru sepertinya ia adalah gadis cantik karena ia cukup populer di kampus bahkan sejak sekolah menengah. Bisa dibilang ia adalah primadona.
Ha...ha...ha... Aku hanya menghibur diri, lupakan itu!
***
Hari berlalu dan semenjak kehebohan di kantin itu terjadi, Sunny menjadi sedikit lebih populer karena semua mahasiswa di kampus selalu membicarakannya seolah Rain adalah pangeran kampus yang membuatnya banyak mendapatkan tatapan sinis dari mahasiswi dimana ia kuliah.
Namun meskipun begitu, Sunny dan si pria hujan itu tidak pernah berpapasan lagi. Hari itu adalah hari pertama dan hari terakhir mereka berjumpa, meskipun terkadang Sunny masih heran dengan kelakuan laki-laki itu
Bagaimana bisa Rain dengan tenang menariknya kedalam pangkuannya? Melakukan sentuhan tidak terduga, bahkan terlalu intim untuk dua orang yang baru pertama kali bertemu hari itu. Terkadang membayangkan kejadian itu membuat Sunny kesal sekaligus berdebar. Sial!
Sunny tidak ingin memikirkannya lagi. Lebih baik ia bersantai melihat hamparan laut biru yang indah.
Walau tanpa restu kedua orang tuanya, Sunny tetap nekat ikut perjalanan karya wisata menuju Bali menggunakan kapal pesiar.
Awalnya ia begitu bersemangat, semua terasa menyenangkan, tapi setelah satu jam perjalanan ia malah merasa mual dan pusing berada diluar kabin jadi ia memilih kembali ke kamarnya untuk menetralkan rasa pening sekaligus menyalurkan hasratnya yang ingin segera menggambar desain baju yang kelak akan menjadi koleksi baju musim panas jika ia sudah menjadi desainer terkenal nanti.
Menjadi seorang desainer sekaligus fashion stylist akan selalu menjadi impian terbesarnya, namun sayang karena kepalanya begitu pusing ia tidak dapat menyelesaikan gambarnya dan malah memikirkan pria hujan itu lagi. Ya, Rain a.k.a pria hujan.
Tidak mau pikirannya melayang jauh memikirkan pria yang mempunyai bad attitude itu, Sunny akhirnya kembali memilih untuk keluar dari kamar dan bergabung dengan teman-temannya yang lain, yaitu Rosa dan Alvin.
Tepat di tengah pesta kolam renang yang tengah berlangsung saat ini, ada banyak orang yang tengah bermain voly air dan sebagian memilih duduk bersantai di pinggir kolam sambil menikmati camilan mereka.
Kebetulan Sunny berkuliah disalah satu universitas elit dan ternama dan menurut kabar yang ia dengar jika hanya kaum sosialita dan pejabat tinggi yang bisa berkuliah di universitas itu.
Walaupun sebenarnya kedua orang tuanya mungkin tidak sekaya mereka-mereka yang tengah bersenang-senang disana, tapi setidaknya ia kuliah karena keinginannya bukan hanya sekedar formalitas sebelum mengikuti jejak orang tua mereka. Sunny akan selalu bangga dengan passionnya di bidang fashion.
"Udah ketemu?" Seseorang terdengar berbisik di telinganya secara tiba-tiba.
"Apanya? Gue gak lagi mencari apapun-" jawab Sunny sambil menoleh kearah suara itu dan ternyata pemilik suara yang tadi berbisik adalah Rain. Si pria hujan yang menyebalkan!
"Apa?!" tanya Sunny ketus tanpa sungkan.
Laki-laki itu tidak menjawab dan hanya berlalu pergi meninggalkannya setelah mengatakan kalimat tidak jelasnya itu.
"Pria gila..." cibir Sunny cukup kencang. Ia memang sengaja agar Rain mendengarnya, namun laki-laki itu hanya menoleh sejenak sebelum melangkah pasti menjauh darinya.
Kini Sunny benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ada di dalam pikiran Rain sehingga laki-laki itu selalu mengatakan kalimat yang membuatnya tidak mampu mengerti dengan benar.
Tapi masa bodo dengan dirinya, untuk apa juga ia membuang waktu memikirkan si pria hujan itu? Lebih baik ia mencari kemana Rosa pergi. Gadis itu menghilang sejak kapal pesiar ini berlayar. Sunny bukannya tidak tahu, sudah pasti kekasihnya menculiknya. Tapi sungguh, ini sudah berapa jam sejak ia sibuk berpacaran dan mengabaikan sahabatnya yang cantik ini? Oh, Sunny semakin kesal dengan segala hal di kapal pesiar ini. Suasana yang jauh di luar ekspektasinya.
Setelah mencari beberapa saat, akhirnya Sunny dapat menemukan Rosa sedang berbincang santai dengan Alvin sebelum akhirnya Alvin menarik Rosa dan menyudutkannya ke dinding lalu menciumnya tidak sabar.
"Sial, mata gue ternodai!" ucap Sunny sambil memalingkan wajah dan memijat pelipis matanya karena kepalanya kembali merasa pusing.
Mungkin disini terlalu ramai hingga membuat energinya terserap banyak, jadi Sunny memilih pergi mencari tempat yang lebih sepi.
Di belakang sisi kapal, suasana bertolak belakang dengan keadaan di area kolam renang karena tidak ada siapapun disini.
Sunny bergerak lebih jauh, ketempat yang lebih teduh dan tenang di sebuah kursi kosong yang menghadap langsung ke laut.
"Laut emang indah banget, tapi akan lebih indah kalau gue punya pacar gak ngenes begini jadi jomblowati!" gerutunya berbicara sendiri meratapi nasib.
"Oh Laut... Kirimin jodoh gue sekarang!" teriak Sunny sambil berdiri membentangkan tangan seperti gadis gila, tapi ia sama sekali tidak perduli toh tidak ada siapapun disini.
Siapapun...
Sunny masih berharap doanya yang terdengar putus asa ini terkabul setidaknya sampai tiba-tiba seorang pria terjatuh di hadapannya seakan langit sengaja membuangnya sebagai jawaban dari doanya baru saja.
Sunny seketika melangkah mundur, laki-laki itu terlihat meringis kesakitan.
"Hey... lo baik-baik aja?" tanya Sunny sambil mencoba membalikan tubuh laki-laki yang saat ini tengkurap dan betapa terkejutnya ia melihat siapa pria itu, dia adalah Rain!
"Rain... Bangun Rain, Lo kenapa? Kenapa lo babak-belur begini, Rain?" tanya Sunny yang langsung panik. Sesekali ia menepuk wajah tampan laki-laki itu yang kini banyak luka lebam bahkan sudut bibirnya juga berdarah, tapi Rain tidak juga tersadar.
"Rain..." Panggil Sunny lagi, ia mulai gelisah. Sambil melihat ke sekelilingnya yang sepi, ia tidak bisa berpikir banyak. Takut jika Rain tidak akan selamat jadi dengan ragu-ragu ia memberikan laki-laki itu nafas buatan.
Bibir mereka perlahan bertemu, Sunny kesulitan menarik nafasnya agar bisa memberikan Rain nafas buatan saat kedua mata laki-laki itu perlahan terbuka.
Tubuh Sunny masih membeku saat Rain membuka mulutnya dan sedikit menyesap bibir ranum Sunny sampai Sunny tersadar dan akhirnya ia menarik dirinya.
"Lo pura-pura pingsan ya?" tanya Sunny curiga, tubuhnya masih gemetaran karena insiden nafas buatan tadi. Itu tidak di hitung sebagai ciuman kan? Ughh ... Sunny tidak mampu membayangkan jika ia kehilangan ciuman pertamanya dengan cara seperti itu.
Rain perlahan beranjak duduk. "Apa gue terlihat lagi pura-pura sekarang?"
Itu benar, Rain terlihat kesakitan. Ia bahkan kesulitan untuk beranjak bangun hingga Sunny dengan refleks membantunya untuk berdiri.
"Ayo gue bantu ke ruang dokter..."
"Gak, Sunny... Sebaiknya lo pergi, tinggalin gue disini," tolak Rain dengan suara terbata-bata, nafasnya tersengal, ia terlihat tidak berdaya hingga memuntahkan darah.
"Gimana gue bisa ninggalin lo disini! Ayo bangun, jangan mati disini, gak lucu banget! Gue gak mau di tanya-tanya sama polisi gara-gara lo! Jadi ayo jalan biar gue papah," ucap Sunny bersikeras. Dengan tubuh mungilnya , ia berusaha memapah tubuh besar Rain dan membantunya untuk berjalan, tapi seseorang menghadang langkah mereka
"Mau kemana loe pengecut!"
Rain langsung menurunkan tangannya dari bahu Sunny dan berdiri melindungi gadis itu.
"Pergi, Sunny..." pinta Rain dengan sisa tenaganya sementara itu pria yang terlihat seperti seorang gangster itu bersama dua anak buahnya terus melangkah mendekat.
"Woy, bocah! Pacar lo cakep juga... Kayaknya kita bisa bersenang-senang sama dia malam ini!" seru pria sangar itu sambil menyentuh dagunya dan menatap tubuh Sunny dengan cara yang menjijikkan.
Mendengar kalimatnya sontak Sunny bersembunyi di balik tubuh Rain sambil berpegangan pada lengannya. Rain menoleh sejenak, wajah gadis yang selalu mengomel itu terlihat ketakutan.
"Saat gue hitung sampai tiga, Lo langsung lari ya...." bisik Rain dijawab dengan anggukan pelan.
Rahang Rain mengeras. Ia masih berusaha melindungi Sunny bahkan ketika dua orang yang sebelumnya berada di sisi pria yang memiliki tato burung elang di pergelangan tangannya itu mulai menyerangnya.
"Tiga!" teriak Rain yang langsung melawan dengan sisa tenaganya. Ia terlihat tidak berdaya dan darah mengucur dari pelipis, hidung serta sudut bibirnya, tapi Rain masih berusaha untuk melawan, agar mereka bertiga tidak bisa menggapai tubuh Sunny.
Sunny yanng takut dan mencoba mencari jalan keluar namun salah satu pria besar itu menghadangnya.
Dia berusaha menggapai tubuh Sunny, hingga gadis itu harus bergerak mundur. Tubuh Sunny masih gemetaran ketika pria itu masih berusaha menjangkaunya sementara ia nyaris berada di tepi kapal.
Rain datang di waktu yang tepat, ia berhasil menarik laki-laki itu menjauh, tapi Sunny kehilangan pegangannya, tubuhnya kemudian terhempas jatuh kebawah.
Sunny mendengar suara teriakan sebelum akhirnya ia melihat Rain terjun seolah ia menyusulnya.
Tangannya berusaha untuk menggapai tubuh Sunny dan sedetik kemudian ia merasakan rasa sakit yang luar biasa ditubuhnya.
Basah dan sulit untukku bernafas...
Semuanya terlihat memudar, apa ini adalah akhir hidupku?
....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!