...༻◊༺...
Waktu menunjukkan jam lima sore. Sebuah mobil memasuki jalanan di hutan. Mobil itu berhenti saat menemui jalan setapak.
Seorang pria keluar dari mobil. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Hanya keheningan hutan yang menyambut.
Pria itu menenangkan diri sambil mendengus. Dia bernama Arga Prakasa. Bukan tanpa alasan dirinya datang ke hutan sekarang. Selama dua hari tiga malam, Arga rela menempuh perjalanan hanya untuk pergi ke hutan itu.
Katanya di hutan tersebut ada seorang dukun sakti yang bernama Senopati. Tujuan Arga datang ke sana adalah untuk menyembuhkan kelainan alat vitalnya.
Kebetulan semenjak kecelakaan tiga tahun yang lalu, Arga mengalami impoten. Akibatnya, rumah tangganya menjadi renggang. Arga bahkan tidak bisa memberikan adik kepada anaknya yang sudah berusia sepuluh tahun.
Kini Arga berjalan menyusuri jalan setapak. Hari yang sebentar lagi menggelap, membuat suasana menjadi mulai mencekam.
Tak lama kemudian, Arga bisa melihat sebuah gubuk. Rumah kecil itu tampak berdiri di atas bukit. Tanpa pikir panjang, Arga segera mendatangi gubuk tersebut.
Dengan ragu, Arga ketuk pintu gubuk. Dia tersentak saat pintu tiba-tiba terbuka sendiri.
"Permisi?" ujar Arga sambil mengintip ke dalam gubuk. Keadaan di dalam gubuk benar-benar gelap sekali. Hanya bersinarkan lampu semprong yang digantung di dinding.
"Masuklah!" suara renta seorang lelaki tua menyambut dari dalam.
Arga sempat terdiam dalam beberapa saat. Tentu ada rasa takut yang menyelimuti. Terlebih dia merupakan orang yang tak mempercayai adanya ilmu mistis. Akan tetapi karena sudah putus asa dengan keadaan, Arga terpaksa mencoba.
Sekarang Arga masuk ke dalam gubuk. Suara pintu yang tertutup sendiri membuatnya terkejut. Meskipun begitu, dia tetap melangkah maju. Apalagi ketika menyaksikan tirai yang memperlihatkan siluet seorang pria.
Arga membuka tirai. Penglihatannya langsung disambut oleh sesosok lelaki tua yang duduk bersila.
"Duduklah!" suruh lelaki tua itu.
"Apa kau dukun Senopati?" tanya Arga pelan.
Lelaki tersebut hanya tersenyum tipis. "Selamat datang, Arga. Aku sudah diberitahu mengenai niat dan kedatanganmu ke sini," ucapnya.
Mata Arga membulat. "Ka-kau tahu namaku?" tanyanya yang merasa takjub.
Senopati lagi-lagi hanya tersenyum tipis. Ia kemudian memancarkan tatapan serius.
"Sebelum memberitahu apa saja ritual yang harus kau lakukan, aku ingin bertanya lebih dahulu. Apa kau yakin mau menyembuhkan kelainanmu dengan caraku?" tanya Senopati.
"I-iya, Mbah! Aku yakin. Aku tidak mau membuat istriku kecewa. Selain itu, aku ingin memberikan adik untuk anakku," kata Arga terbata.
"Baiklah kalau begitu. Dengarkan apa yang kukatakan baik-baik," ujar Senopati. Selanjutnya, dia segera memberitahu apa saja yang harus dilakukan Arga.
Pertama, Arga tidak bisa langsung melakukan ritual. Dia harus datang lusa malam nanti. Tepat di bulan purnama. Kedua, di malam itu Arga harus pergi ke telaga hitam yang letaknya tidak begitu jauh dari gubuk Senopati. Ketiga, Arga harus melakukan hubungan intim dengan wanita asing yang juga memiliki keinginan sama dengannya.
Pupil mata Arga membesar. Hal yang paling membuatnya kaget adalah poin ketiga. Yaitu harus berhubungan intim dengan wanita asing. Bagaimana bisa? Arga mengalami impoten. Selain itu, dia juga sudah memiliki istri. Bercinta dengan wanita lain tentu bukanlah hal wajar untuk dilakukan.
"Berhubungan intim dengan wanita asing? Apakah itu harus dilakukan? Bagaimana aku bisa melakukannya, Mbah? Kau tahu aku mengalami impoten?" cecar Arga.
"Pilihannya ada padamu. Kalau kau tidak bersedia, kau bisa mencari cara lain," sahut Senopati.
Arga membisu. Dia sebenarnya sudah melakukan segala cara untuk menyembuhkan disfungsi ereksi yang dirinya alami. Terutama dalam ilmu medis. Arga bahkan sampai pernah berobat pada dokter ahli di Amerika. Namun tidak ada satu pun yang berhasil. Sampai pilihan akhir terpaksa dilakukan Arga. Yaitu mencoba meminta bantuan ilmu perdukunan.
"Pikirkanlah! Kau punya waktu sampai lusa nanti," ujar Senopati.
"Berapa biaya untuk semuanya, Mbah?" tanya Arga sebelum pulang.
"Kau bisa membayarku jika ritualnya berhasil," jawab Senopati.
Arga mengangguk. Dia segera meninggalkan kediaman Senopati. Lelaki itu memutuskan menginap di tempat penginapan terdekat.
Dua jam setelah kepergian Arga, seorang perempuan datang. Sama seperti Arga, dia juga datang sendirian. Mengingat datang seorang diri adalah salah satu syarat utama untuk menemui Senopati.
Nama perempuan itu adalah Laras. Dia juga sudah berkeluarga. Namun Laras tidak bisa memiliki anak karena mengalami kemandulan. Itu bahkan terbukti dari riwayat medis.
Meskipun divonis mandul, Laras tak pernah kehilangan harapan. Dia sudah mendatangi banyak orang pintar untuk menyembuhkannya. Hingga akhirnya di sinilah Laras. Mendatangi sang dukun sakti yang dikenal dengan nama Senopati.
Laras mendatangi gubuk seperti yang dilakukan Arga. Dia juga mendapatkan ritual yang serupa dengan lelaki tersebut.
"Jika aku melakukannya, apakah aku tidak akan mandul lagi?" tanya Laras sambil memegangi area rahimnya.
"Aku akan pastikan kau bisa hamil," jawab Senopati.
Laras tersenyum senang. "Aku harap begitu, Mbah. Aku akan datang lusa malam nanti!" ucapnya yakin.
...༻◊༺...
Sebelum malam ritual tiba, Arga berpikir keras untuk membuat keputusan. Ia mencoba menghubungi istrinya agar bisa tenang. Mengingat sebelum pergi, Arga bertengkar dengan sang istri.
Tidak ada jawaban sama sekali dari Agni. Membuat Arga merasa harus menyembuhkan impotennya secepat mungkin. Sebab dia yakin, dengan cara itu kehidupan rumah tangganya bisa kembali mesra.
Malam ritual akhirnya tiba. Baik Laras maupun Arga, keduanya kembali mendatangi gubuk Senopati. Walaupun begitu, mereka tidak datang bersamaan.
Orang pertama yang datang adalah Arga. Dia langsung disuruh Senopati untuk pergi ke telaga hitam lebih dulu.
Laras datang lebih terlambat dibanding Arga. Kini dia sedang berada di gubuk Senopati.
"Lepaskan seluruh pakaianmu dan kenakan ini!" perintah Senopati. Dia memberikan kain batik berwarna cokelat kepada Laras.
"Iya, Mbah." Laras menerima kain batik pemberian Senopati. Dia tersenyum kecut karena berpikir akan melepas pakaian di hadapan lelaki tua tersebut.
"Gantilah pakaianmu di bilik itu," saran Senopati.
"Terima kasih, Mbah." Laras merasa lega saat mengetahui kalau Senopati bukanlah dukun mesum seperti yang dirinya kira.
Usai mengganti pakaian dengan kain batik, Laras dipersilahkan pergi ke telaga hitam seorang diri. Dia hanya dibekali sebuah lampu semprong untuk dibawa.
"Mbah tidak akan ikut denganku? Aku tidak tahu jalan menuju telaga hitam," kata Laras dengan raut wajah penuh keraguan.
Meski sedang bulan purnama, suasana hutan yang sunyi tetaplah mencekam. Terlebih hutan itu terbilang sebagai tempat yang jarang didatangi orang.
"Kau akan tahu. Pergilah!" perintah Senopati. Dia langsung menutup pintu begitu saja.
Laras menenggak salivanya sendiri. Walau takut, dia tetap memaksakan diri.
Tanpa alas kaki, Laras berjalan melewati hutan. Berharap bisa tiba di telaga hitam secepatnya.
Laras berhenti melangkah saat hembusan angin menerpanya. Dia dapat merasakan tekanan angin itu condong mengarah ke suatu tempat.
Berdasarkan instingnya, Laras berjalan mengikuti arah angin. Benar saja, tak lama kemudian dirinya menyaksikan cahaya lampu semprong dari kejauhan.
Laras pun mendatangi tempat dimana lampu semprong yang dilihatnya. Saat itulah dia menemukan telaga hitam. Telaga tersebut dikelilingi bebatuan dan dihiasi dengan pancuran air dari sela-sela dinding batu.
Atensi Laras segera tertuju ke arah lelaki yang duduk di pinggir telaga. Dia langsung berdiri saat melihat kedatangan Laras. Lelaki itu tidak lain adalah Arga.
"Ha-halo..." Laras menyapa dengan canggung. Hal yang sama juga dilakukan Arga. Lelaki itu hanya membalas sapaan dengan senyuman.
Arga tampak bertelanjang dada. Ia hanya mengenakan kain batik yang terlilit di pinggul.
Suasana hening dalam beberapa saat. Arga dan Laras bingung harus memulai semuanya.
"Apa kita berdua harus masuk ke air?" cetus Arga kikuk. Mengingat Laras adalah wanita asing baginya.
"Entahlah. Apa Mbah Seno memberitahumu tentang itu?" tanya Laras.
Arga menggeleng. "Dia hanya menyuruhku datang ke sini dan melakukan hubungan intim dengan orang asing," ungkapnya.
"Aku rasa akulah orang asing itu. Dan aku rasa kaulah orang asing untukku," sahut Laras. Dia meletakkan lampu semprong ke samping lampu semprong Arga. Lalu turun ke batu untuk menghampiri lelaki tersebut.
"Berhati-hatilah." Arga berinisiatif membantu Laras turun. Apalagi keadaan bebatuan di sana cukup curam dan licin.
"Terima kasih," kata Laras. Dia sudah berdiri di hadapan Arga. "Lebih baik kita lakukan sekarang. Aku ingin semua ini cepat berlalu," usulnya.
"Tapi aku tidak yakin. Aku menderita impoten. Itulah alasanku datang ke sini," tanggap Arga meragu.
"Mbah Senopati pasti punya alasan menyuruh kita melakukan ini." Perlahan Laras melepaskan kain batiknya. Tubuh putih bersih dan polosnya itu terpampang nyata di mata Arga.
"Kau benar. Aku akan mencoba..." Arga menelan ludahnya sendiri. Dia juga segera bergerak melepas kain batik dari pinggulnya. Kini Arga dan Laras sama-sama telanjang bulat.
Meski belum saling menyentuh satu sama lain, organ intim Arga sudah berdiri tegak dengan gagah. Hal itu membuat Arga kaget sekali.
"Ini tidak bisa dipercaya," gumam Arga yang merasa tak percaya. Setelah sekian lama, akhirnya alat vitalnya bisa berfungsi lagi.
Laras tersenyum tipis. "Kalau begitu, kita bisa melakukan ritualnya sekarang," ujarnya.
"Ya... Aku tahu," Arga tersenyum lebar. Dia langsung meraup bibir Laras dengan mulutnya. Mereka berciuman panas sampai memperdengarkan suara decapan lidah.
Arga terbangkit gairah membara. Apalagi dia sudah lama sekali tidak berhubungan intim. Namun malam itu dirinya bisa melampiaskan semuanya dengan Laras.
Suara lenguhan Laras dan Arga saling bersahutan saat penyatuan terjadi. Mereka berhubungan intim tanpa mengetahui identitas satu sama lain.
Segalanya terasa asing tetapi begitu berselubung kenikmatan. Telaga hitam serta bulan purnama menjadi saksi atas ritual bergairah yang dilakukan Arga dan Laras.
...༻◊༺...
Usai melakukan hubungan intim, Arga dan Laras kembali mengenakan kain batik masing-masing. Saat itulah Senopati mendadak muncul dari balik pepohonan.
"Kalian sudah melakukan semuanya," ucap Senopati. Atensi Arga dan Laras langsung tertuju ke arahnya.
"Mbah!" seru Laras. Dia dan Arga segera naik ke tepi, lalu menghampiri Senopati.
"Sekarang selanjutnya kami harus bagaimana?" tanya Arga.
"Maaf aku tidak mengatakan ini sebelumnya. Tapi ritual yang kalian lakukan ini tidak bersifat permanen. Kalian akan kembali mengalami kelainan jika tidak melakukan ritual yang sama di malam purnama berikutnya," terang Senopati seraya menyatukan kedua tangan dari balik punggung.
"Apa? Jadi kami berdua harus rutin melakukan ritual ini setiap bulan purnama?" Laras memastikan.
"Iya. Aku sarankan, tetaplah menjadi orang asing satu sama lain," kata Senopati. "Kalian bisa pulang sekarang. Masalah pembayaran, nanti aku akan mengirimkan seseorang untuk mengambil uangnya pada kalian," ujarnya. Dia melangkah lebih dulu untuk kembali ke gubuk.
"Untuk ritual berikutnya, apakah kami harus melakukannya di telaga hitam lagi?" tanya Arga.
"Tidak. Kalian bisa melakukannya di tempat lain. Harus di tempat yang dekat dengan genangan air bunga tujuh rupa," sahut Senopati.
Arga dan Laras terdiam. Mereka berjalan di belakang mengiringi Senopati.
Setelah mengenakan pakaian kembali, Arga dan Laras pulang. Keduanya sekarang berjalan bersama menuju mobil.
"Bagaimana menurutmu? Apa kau akan melakukan ritual itu lagi di bulan purnama berikutnya?" celetuk Arga.
"Entahlah. Tapi aku akan terus melakukannya sampai bisa hamil," jawab Laras.
"Oh iya. Kita belum kenal satu sama lain. Namaku--"
"Aku rasa kita tidak perlu mengetahui nama asli masing-masing. Kau ingat apa yang dikatakan Mbah Seno tadi kan? Dia bilang kita harus tetapi menjadi asing satu sama lain," potong Laras.
"Kau benar. Kalau begitu kita bisa memakai nama palsu saja," saran Arga. "Panggil saja aku Raga," katanya.
Laras tersenyum. "Kalau begitu kau bisa memanggilku Sukma."
Sebelum berpisah, Arga dan Laras tak lupa saling bertukar nomor telepon masing-masing. Seterusnya, mereka melakukan perjalanan untuk pulang.
...***...
Arga baru tiba di rumah. Dia langsung masuk ke rumah dengan senyuman ceria. Jujur saja, dirinya ingin cepat-cepat menemui sang istri.
Kala itu waktu sedang larut malam. Kemungkinan istri dan anaknya Arga sudah tidur.
Pelan-pelan Arga membuka pintu kamar. Istrinya yang asyik terlelap di ranjang langsung menyambut.
Arga menyingkap selimut yang menutupi tubuh Agni. Lalu mendekatkan mulut ke teling wanita itu.
"Hai, Sayang..." bisik Arga.
Mata Agni seketika terbuka lebar. Dia kaget dan langsung merubah posisi menjadi duduk.
"Mas Arga!" seru Agni. Wajahnya cemberut karena merasa terganggu dengan kedatangan Arga.
Agni turun dari ranjang. Dia memasang raut wajah marah. "Kemana saja kau?! Tiga hari nggak pulang-pulang! Aku capek begini terus, Mas! Capek!" omelnya sambil menepuk dada karena emosi.
"Sayang, tenanglah. Aku akan jelaskan semuanya." Arga memegangi pundak Agni. Mencoba menenangkan sang istri.
"Lepasin! Apa yang bisa kau lakukan, Mas? Apa?! Memuaskanku saja tidak bisa!" timpal Agni.
"Sekarang aku bisa!" ungkap Arga. Membuat Agni sontak dibuat heran.
"Nggak usah ngawur kau! Dokter sudah memvonismu impoten. Kau tidak bisa memberikan adik untuk Rasya!" Agni tak percaya.
"Bagaimana kalau kita buktikan sekarang?" ujar Arga seraya melepas pakaian. Hingga hanya menyisakan celana pendek.
"Sudahlah! Harus berapa kali kau mencoba. Percobaanmu tidak ada yang berhasil. Aku ingin tidur saja." Agni hendak kembali telentang ke ranjang. Akan tetapi Arga dengan cepat memposisikan diri berada di atas badannya. Tangan lelaki itu melepas piyama Agni.
"Mas!" Agni awalnya memberontak. Namun dia terbuai juga saat Arga mulai mencumbu tubuhnya.
Malam itu Arga bisa membuktikan pada Agni bahwa dirinya sudah tidak impoten. Karena sudah lama tidak bercinta, mereka melakukannya sampai beberapa ronde. Sungguh, Agni merasa dibuat senang sekali.
Di sisi lain, Laras sedang telentang di ranjang. Dia tak bisa tidur karena suaminya kelelahan. Laras jadi merasa enggan mengajak Hery bercinta.
Memang akhir-akhir ini Hery sangat sibuk dengan pekerjaan. Dia cukup sering lembur.
Hery sekarang tertidur nyenyak sekali di samping Laras. Membuat Laras tak tega mengganggunya walau hanya sejenak.
Alhasil Laras memilih akan menunggu waktu yang tepat. Namun sayangnya malam itu Laras tidak bisa tidur. Dia merasa bersemangat sekali atas kehamilannya. Laras bahkan sudah membayangkan lebih dulu bagaimana jadinya kalau dia hamil nanti. Mengingat Hery dan seluruh keluarganya sangat mengharapkan itu terjadi.
Ketika pagi tiba, Hery terbangun dari tidur. Dia langsung disambut oleh Laras yang mengenakan lingerie seksi.
"Selamat pagi, Mas Hery..." sapa Laras dengan nada seksi.
Hery tergelak. "Kau kenapa? Tidak seperti biasanya," komentarnya.
Laras tersenyum nakal dan berbisik, "Aku ingin kita mencoba lagi. Aku tidak tahu kenapa, tapi sepertinya kali ini kita pasti akan berhasil..."
"Sudahlah, Sayang. Aku tidak mau kau tertekan memikirkan masalah itu. Aku menerimamu apa adanya," ungkap Hery.
"Aku tahu. Itulah yang membuatku bersemangat agar bisa hamil anakmu," tanggap Laras. Dia segera memagut bibir Hery dengan ganas. Mereka bercinta di pagi hari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!