"Kami pulang dulu ya Leen." Seru beberapa orang sambil melambaikan tangan kearah Ayleen yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Iya, hati-hati dijalan," sahut Ayleen sambil sejenak melepas pandangan dari ponsel lalu melihat kearah teman-temannya. Melambaikan tangan pada Hana dan Raka yang saat ini berada diambang pintu Mezra coffee and dessert.
Ayleen, gadis berusia 20 tahun itu adalah barista di Mezra kafe sekagulis putri pemiliknya. Sudah setahun ini dia menjadi barista disana. Bakat itu dia warisi dari ayahnya, Septian, yang juga merupakan seorang barista.
Ayleen melihat jam diponselnya. Sudah pukul 12 lebih 30 menit, tapi sang kakak belum juga datang untuk menjemput. 30 menit yang lalu, kakaknya memberi tahu jika ban mobilnya bocor, jadi terpaksa harus ganti ban serep dan mungkin akan terlambat sampai disana.
Hana dan Raka, 2 orang terakhir yang pulang. Dan sekarang, tinggalah dia seorang diri dikafe yang sudah tutup itu.
Brakk
Suara pintu dibuka kasar, membuat Ayleen terjingkat dan langsung melihat kearah sumber suara. Ayleen seketika berdiri dengan tubuh gemetaran melihat seorang pria dengan celana jeans dan jaket kulit hitam masuk kedalam kafe. Wajahnya tak kelihatan karena tertutup masker.
"Si-siapa kamu. Ka-kafe sudah tutup," ujar Ayleen dengan suara terputus-putus karena ketakutan.
Perkataan Ayleen tak ditanggapi oleh pria tersebut. Dia berjalan tertatih mendekat kearah Ayleen. Dari kaki pria itu, terlihat darah yang menetes hingga mengenai lantai kafe. Ayleen memegangi jantungnya yang berdetak kencang. Pria itu sangat mencurigakan, dia tak boleh diam saja.
"Pergi, pergi dari sini," usir Ayleen sambil terus mundur, menjauh dari sosok menakutkan yang makin dekat dengannya.
Tapi pria itu terus maju, tak mengihiraukan kata-kata Ayleen.
"To_ " Belum sempat Ayleen berteriak minta tolong, pria itu lebih dulu membekap mulutnya dan memegangi lengannya. "Emmmptt, emmppt." Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Ayleen.
"Tolong jangan teriak," ujar pria tersebut. "Aku akan melepaskanmu, asal kau janji tidak teriak." Ayleen mengangguk, saat ini, yang terpenting lepas dulu, urusan lainnya, nanti akan dia pikirkan.
Ayleen bernafas lega saat pria itu melepaskan bekapannya.
"Ka-kamu siapa? A-apa kau perampok?" tanya Ayleen dengan tubuh gemetaran dan nafas yang masih tersengal akibat bekapan tadi.
Pria itu melepaskan maskernya. Betapa terkejutnya Ayleen, saat melihat wajah pria itu. Dia adalah Ibrahim atau biasa dipanggil Ibra, kakak tingkatnya di kampus. Pria itu cukup terkenal dikampus, tak heran jika Ayleen mengenalinya. Tapi sepertinya, dia tak kenal dengan Ayleen.
Wajah Ibra tampak pucat dan berkeringat, membuat Ayleen langsung melihat kearah kakinya yang sampai saat ini, masih mengeluarkan darah. Tapi pria itu malah tampak tak peduli dengan lukanya, dia malah sibuk menatap kearah pintu. Seperti takut jika seseorang tiba-tiba muncul dari sana.
"Tolong jangan katakan pada siapapun kalau aku ada disini," pinta Ibra dengan mata yang terus mengawasi pintu.
"Ta-tapi kenapa?"
Wajah Ibra tampak makin pucat. Tangannya mencengkeram erat pinggiran meja agar tubuhnya tidak limbung.
"Ka, kaki kamu terluka. Apa perlu aku panggilkan ambulance?" Ayleen hendak mengambil ponsel didalam tas tapi Ibra menahan tangannya.
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya butuh istirahat disini malam ini." Pria itu tersenyum meski kondisinya sedang tak baik-baik saja.
"Ta-tapi darahnya terus mengalir." Ayleen kembali memperhatikan luka di kaki Ibra. Dia yang hanya melihat saja, sudah meringis, apalagi pria itu. Dia pasti sangat kesakitan.
Pikiran Ayleen mulai macam-macam. Bahkan sampai dititik terendah, yaitu pria dihadapannya kehabisan darah dan mati. Tak mau Ibra meninggal didalam kafenya, Ayleen pergi untuk mengambil kotak P3K. "Sebentar." Dia berlari menuju pantry, tempat dimana P3K disimpan.
Tak berselang lama, Ayleen kembali dengan sekotak obat dan selembar kain panjang. Dia tak menemukan perban dikotak obat, jadi dia memotong taplak meja memanjang untuk membebat luka Ibra.
"Tidak perlu diobati, cukup tutup saja lukanya dengan kain itu," ujar Ibra saat Ayleen membuka kotak obat didepannya. Saat ini, keduanya duduk dilantai karena Ibra tak sanggup lagi untuk berdiri.
Celana jeans yang dipakai Ibra koyak dibagian yang terluka. Melihat banyaknya darah disana, Ayleen menahan diri agar tidak pingsan. Dengan tangan gemetaran, dia mengikat luka dibetis Ibra. Terdengar erangan dari bibir Ibra saat Ayleen mengikat lukanya.
"Tahan sebentar," Ayleen ikut meringis.
"Terimakasih," ujar Ibra sambil menyandarkan punggung dan kepalanya kedinding.
"A-apa kau butuh sesuatu?" tanya Ayleen setelah selesai membebat kaki Ibra. Tangannya masih terlihat gemetaran karena sebelumnya, tak pernah mengobati luka yang mengeluarkan darah sebanyak ini.
Ibra membuka matanya lalu tersenyum pada Ayleen. "Apa sekarang kau sudah tak takut lagi padaku?"
"Kamu Kak Ibrahim kan?" Kening Ibra seketika mengkerut.
"Kau mengenalku?"
Ayleen mengangguk pelan. "Kita kuliah dikampus yang sama, bahkan 1 fakultas."
Ibra melongo sambil menelisik wajah Ayleen. Ada gadis secantik ini dikampus, bagaimana bisa dia tidak tahu. Ditatap sedemikian rupa oleh Ibra, membuat Ayleen gugup. Dia beranjak dari tempatnya, mengambil segelas air putih lalu memberikannya pada Ibra.
Mendengar suara mobil berhenti dihalaman, keduanya sontak menoleh kearah pintu.
"Sepertinya Abangku datang menjemput," ujar Ayleen.
"Bolehkah malam ini, aku tidur disini?" pinta Ibra.
Ayleen tak langsung menjawab. Bagaimana kalau Ibra malah mencuri saat dia pulang. Atau kalau enggak, gimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada pria itu. Kalau ada kejadian meninggal didalam kafenya, bisa-bisa berurusan dengan polisi. "Kamu bisa mengunciku didalam sini kalau takut aku akan mencuri," Ibra seperti faham apa yang ada dipikirannya.
Melihat kondisinya sekarang, sepertinya tak mungkin Ibra akan mencuri, batin Ayleen.
"Baiklah," sahut Ayleen sambil mengangguk.
"Tapi tolong, jangan katakan pada siapapun jika aku ada disini, bahkan pada Kakakmu." Seperti dihipnotis, Ayleen langsung mengangguk tanpa tanya alasanya. "Matikan lampu agar kakakmu tak melihatku." Lagi-lagi, Ayleen mengiyakan permintaan pria itu. Dia bangkit lalu mematikan lampu, menghampiri kakaknya yang masih baru masuk.
"Maaf ya, kamu jadi nunggu lama," ujar Aidin saat Ayleen mencium tangannya. "Bannya bocor."
"Iya, gak papa Bang."
"Ya udah ayo pulang."
Ayleen mengangguk lalu mengikuti langkah kakaknya keluar dari kafe. Saat hendak melewati pintu, dia menoleh sebentar kearah dimana Ibra berada. Setelah itu keluar dan mengunci pintu.
"Tunggu-tunggu, apa ini?" Aidin melihat tetesan darah dilantai teras. Disana lebih terang daripada didalam yang lampu utamanya sudah dimatikan. "Ini kayak darah," Aidin hendak menunduk untuk memastikan, tapi Ayleen lebih dulu menarik lengannya.
"Mung-mungkin darah kucing yang terluka atau apa. Udahlah Bang, pulang yuk," rengeknya. "Aku udah ngantuk banget." Sesuai janjinya pada Ibra, dia tak memberitahu siapapun tentang keberadaannya.
"Ya sudah ayo." Ayleen bernafas lega lalu mengikuti kakaknya menuju mobil.
Sementara didalam, Ibra lega saat mendengar suara mobil yang menjauh. Itu pasti mobil kakak dari gadis tadi. Astaga, Ibra baru ingat jika tadi tak bertanya siapa namanya.
Sudahlah, mungkin besok dia bisa bertanya. Saat ini, dia ingin istirahat. Dia merasa beruntung karena malam ini lepas dari kejaran polisi. Dia tak tahu darimama polisi dapat info jika dilokasi yang kerap dijadikan ajang balap liar, ada praktek jual beli narkoba. Dan luka dikakinya, diakibatkan oleh tembakan polisi. Untung peluru itu tak menancap tepat dibetisnya. Melenceng dan hanya melukai sedikit betisnya. Meski peluru itu hanya menggores betisnya, tetap saja rasanya sakit dan mengeluarkan banyak darah.
Sesampainya dirumah, Ayleen masih kepikiran tentang Ibra. Luka dibetisnya tampak sangat serius, bagaimana jika pria itu kehabisan darah lalu meninggal? Ayleen dibuat gundah gulana, tak bisa tidur hingga pukul 3 dini hari. Besok memang libur kuliah, tapi dini hari belum tidur, jelas bukan sesuatu yang bagus.
Ayleen memikirkan luka dikaki Ibra yang tampak janggal. Pria itu tak seperti habis kecelakaan. Tak ada luka lain selain dibetisnya, membuatnya bertanya-tanya, luka karena apakah itu? Ah..sudahlah, makin pusing kalau mikirin luka itu. Lebih baik segera tidur agar besok pagi dia bisa segera kekafe sebelum teman-temannya datang.
Jam 7 pagi, Ayleen sudah siap dan berlari menuruni tangga rumahnya.
"Pagi Mah," sapa Ayleen sambil mencium pipi mamanya. Wanita paruh baya yang sedang memasak itu balas mencium pipi dan kening putri kesayangannya.
"Tumben hari minggu udah rapi jam segini?" tanya Mama Nara.
"Em...." Ayleen tak mungkin menceritakan tentang Ibra. "Leen mau ke kafe Mah."
"Hah, bukannya kafe buka jam 9 kalau minggu?" Biasanya kalau buka jam 9, Ayleen bahkan baru berangkat jam 10. Dengan alasan, males bantu yang lain siap-siap, mau jadi saja, langsung standby didepan coffee maker.
Ayleen tersenyum simpul sambil garuk-garuk kepala. "Catatan penting Leen ketinggalan di kafe. Takut ada yang baca, jadi aku mau datang lebih awal sebelum ada yang datang."
"Ish, dasar teledor." Mama Nara menarik hidung mancung Ayleen karena gemas.
"Pagi." Ayleen dan Mama Nara menoleh mendengar suara Ayah Septian. Pria itu baru memasuki dapur setelah tadi olahraga bersama Aidin dan Alfath di halaman belakang. Keringat tampak masih membasahi kening dan lehernya.
"Pagi juga Ayahku tersayang," sahut Ayleen sambil menghampiri, lalu memeluk ayahnya. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Ayleen sangat dekat dengan ayahnya.
"Mau kemana, udah cantik aja?"
Astaga, Ayleen hampir lupa kalau dia harus buru-buru ke kafe. "Leen harus segera ke kafe. Leen pergi dulu." Dia mencium tangan ayahnya lalu mamanya. Mengambil satu plastik roti tawar dan setoples kecil nutela lalu memasukkan kedalam tasnya.
"Kok diambil semua?" tanya Mama Nara.
"Jaga-jaga kalau ada yang minta Mah," sahut Ayleen sambil bergegas meninggalkan dapur.
Dengan motor matic kesayangannya, Ayleen bergegas menuju Mezra kafe. Sedikit ngebut karena cemas memikirkan kondisi Ibra.
Sesampainya didepan kafe, setelah memarkir motor, buru-buru dia membuka kafe dan berlari ketempat semalam Ibra duduk. Pria itu masih disana, tergeletak dilantai dengan posisi meringkuk.
"Apakah dia mati?" Dengan langkah ragu-ragu, Ayleen mendekati tubuh Ibra, bersimpuh didekatnya. Menyentuh lengannya lalu mengguncang perlahan.
"Kak, Kak Ibra," panggilnya sengan suara bergetar. "Kak," teriaknya sambil mengguncang kuat lengan Ibra. "Kak, aku mohon jangan meninggal dulu. Kak...." Ayleen hampir saja menangis. Dia terus mengguncang bahu Ibra dengan kuat.
"Aku belum mati."
Deg
Ayleen yang terkejut langsung terlonjak kebelakang sambil memegangi dadanya.
Ibra membuka mata sambil terkekeh pelan. "Aku belum mati, jadi jangan kamu tangisi dulu. Sayang air matamu."
Ayleen menghela nafas lega sambil. Hampir saja jantungnya copot saking kagetnya.
Pelan-pelan, Ibra mencoba untuk bangun. Memegangi paha sambil meringis menahan nyeri dibetis.
Ayleen teringat roti yang tadi dia bawa dari rumah. Mengeluarkan roti itu dari dalam tas beserta setoples kecil nutela.
"Kau membawakannya untukku?" Ibra mengernyit heran. Bukankah mereka tak saling kenal, tapi kenapa gadis didepannya itu begitu baik padanya.
Melihat gadis dihadapannya mengangguk, Ibra seketika tersenyum. "Apa kau itu malaikat?"
Ayleen yang sedang membuka tutup nutela langsung terbahak. "Kamu bilang tadi belum mati, mana mungkin sudah bertemu malaikat?"
"Cantik, baik, apa coba kalau bukan malaikat?"
"Ganteng, pinter gombal, apa namanya kalau bukan play boy." Ibra tertawa ngakak mendengar Ayleen membalik kalimatnya.
Ayleen beranjak untuk mengambil pisau di pantry. Disana, dia langsung menepuk jidat. Bisa-bisanya dia repot membawa roti dari rumah saat di pantry ada cake dan dessert box. Selain itu juga ada berbagai macam selai dan toping lain di pantry. Kadang gelisah membuat orang jadi lupa segalanya.
Ayleen kembali dengan pisau buah buah dan sekotak brownis lumer.
"Mau ini?" Dia menyodorkan sekotak brownis lumer pada Ibra.
"Terimakasih," Ibra menerimanya dan langsung mencoba dessert yang terlihat enak tersebut. Ayleen sendiri, dia lebih memilih memakan roti yang dia oles dengan nutela. "Enak sekali, apa kau yang membuatnya?"
Ayleen menggeleng, "Aku barista, bukan chef."
"Barista, wow!" Ibra tampak berdecak kagum. Dibalik gadis yang berwajah lembut, begitupun dengan tutup bicaranya, ternyata dia adalah seorang barista. Padahal menurut dia, gadis didepannya itu lebih cocok bekerja didapur membuat kue.
Ayleen menatap Ibra yang memakan brownis lumer pemberiannya dengan sangat lahap. Tak sampai 5 menit, sekotak kecil brownis sudah tandas tak tersisa.
"Apa aku harus membayar untuk ini?" Ibra menunjukkan kotak brownis yang sudah kosong.
"Gratis untuk hari ini, tapi selanjutnya, kau harus bayar."
Ibra mengangguk cepat. "Aku akan datang lagi kesini nanti. Oh iya, kemarin kau pulang paling akhir, dan hari ini, datang paling awal. Apa kau yang bertugas membawa kunci?"
Ayleen tersenyum, "Kafe ini ini milik ayahku."
"Jadi kau owner disini?"
"Bukan, Ayahku ownernya, aku hanya numpang bekerja sambil belajar." Sahut Ayleen sambil mengunyah rotinya. "Kau masih lapar? Mau roti?"
"Boleh," sahutnya sambil mengangguk.
Setelah Ibra menghabiskan hampir setengah bungkus roti, Ayleen menawarkan mengantarnya kerumah sakit. Dia tak mau teman-temannya tahu jika semalam, dia menyembunyikan seorang pria disini. Tapi Ibra menolak, dia malah meminta diantar kesebuah alamat.
Ibra terkekeh saat menaiki motor matic Ayleen. Karena apa, karena dia duduk dibelakang alias dibonceng. Sepertinya sepanjang jalan dia harus menunduk agar tidak malu. Cowok sekeren dia, ketua geng motor, dibonceng cewek? Semoga saja sepanjang jalan nanti, tak ada yang mengatainya banci.
Motor yang dikendarai Ayleen berhenti didepan rumah yang tampak ramai. Banyak sekali motor besar terparkir dihalamannya yang luas. Tampak beberapa pria sedang asyik, memainkan gas motor, ada juga yang sedang sibuk mengotak atik motor.
"Ayo masuk, ini basecamp anak Joker." Mata Ayleen seketika melotot dan mulutnya menganga. Joker, nama geng motor itu cukup familiar baginya, karena teman-temannya sering membicarakan. Tapi bahasan paling utama, tentu tentang ketua geng joker yang terkenal tampan, siapa lagi kalau bukan Ibrahim alias Ibra. Tapi bukan itu yang ada dikepala Ayleen saat ini. Masuk kedalam sarang geng motor yang dia yakin didominasi para pria, mungkinkah aman baginya?
"Gak usah takut, ada aku. Lagian gak ada yang bakal ngapa-ngapain kamu."
"A-aku pulang saja," tolak Ayleen.
"Ibra!" Teriak Fikri, teman Ibra yang kebetulan melihat kearah mereka. Dia dan dua orang temannya langsung menghampiri Ibra dan Ayleen.
"Lo gak papa Bra?" tanya Fikri sambil memperhatikan Ibra dari atas kebawah. "Kita cemas banget saat lo tiba-tiba ngilang semalam."
"Motor gue gimana?" tanya Ibra.
"Aman, ada didalam."
"Eh, siapa dia?" tanya Reza sambil menatap Ayleen.
"Dia malaikat yang nolong gue," sahut Ibra sambil menoleh kearah Ayleen. Sedangkan Ayleen, dia hanya bisa tersenyum simpul. Malaikat, rasanya itu terlalu berlebihan.
"Aku pulang dulu," pamit Ayleen.
"Ngapain buru-buru pulang, masuk dulu ngapa? Didalam juga ada cewek loh," ujar Reza sambil menaikkan sebelah alisnya.
Ayleen menggeleng cepat, "Gak usah." Segera dia memakai helm lalu buru-buru naik keatas motor. Dikepalanya, geng motor sudah pasti kumpulan cowok-cowok gak bener. Gimana kalau didalam, dia malah diperkosa. Ayleen bergidik ngeri lalu tancap gas.
Kedatangan Ibra disambut dengan suka cita oleh teman satu gengnya. Bagaimana tidak, semalam saat ada penggerebekan ditempat balapan liar, Ibra hilang begitu saja. Saat itu, motornya tengah dipakai Fikri untuk balapan. Ibra bak hilang ditelan bumi, bahkan ponselnya tak bisa dihubungi. Mereka pikir Ibra diamankan oleh polisi. Karena tadi malam, ada beberapa orang yang diamankan.
"Ponsel lo kok gak bisa dihubungi semalam?" tanya Fikri.
"Low bat," sahut Ibra santai.
"Itu kaki lo, kenapa?"
"Panggil Putri kesini buat ngobatin gue," dengan sedikit terpincang-pincang, Ibra berjalan kesofa. Putri adalah mahasiswi kedokteran yang biasa dipanggil anak Joker untuk mengobati saat ada yang terluka. Biasalah, geng motor kerjaannya balapan, ugal-ugalan, jadi kecelakaan sering sekali terjadi. Putri yang suka pada Ibra, tentu tak pernah menolak panggilan pria itu. Dia adalah cewek yang paling sering ada di markas Joker.
Setelah menelepon Putri, Fikri duduk disebelah Ibra. Dia masih penasaran dengan luka dikaki Ibra.
"Semalam katanya ada kurir narkoba yang dikejar polisi, itu bukan Lo kan?" lirih Fikri agar teman lainnya tak mendengar. Meski mereka adalah geng motor, tapi peraturan disana, setiap anggotanya wajib terbebas dari narkoba. Untuk alkohol, masih diperbolehkan, kecuali saat mau balapan, karena itu sangat berbahaya.
"Gue," sahut Ibra santai.
"Gila lo," pekik Fikri tertahan. "Ngapain sih, lo masih kerja gituan. Emang duit dari bokap lo gak cukup?" Ibra adalah anak salah satu pengusaha sukses. Hanya saja keluarganya tak harmonis setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi.
"Cukup sih, tapi gue cuma tertantang saja. Kerjaan itu lebih memicu adrenalin daripada balapan. Lo bisa bayangin gak, sekeren apa kerjaan itu."
"Keren pala lo peyang," Fikri mendorong kepala Ibra agar otaknya kembali lurus. "Gimana kalau anak-anak tahu. Geng kita ini fokusnya ke motor, dan lo sendiri yang bikin peraturan bebas narkoba, tapi lo sendiri yang..." Fikri sampai kehabisan kata-kata.
"Gue bebas narkoba kok, lo tenang aja," Ibra menepuk paha Fikri. "Dan semalam, itu yang terakhir."
"Bagus deh, sebelum kaki lo tinggal 1."
"Jelek banget doa lo." Ibra menggetok kepala Fikri cukup keras.
...----------------...
Putri mengobati luka dibetis Ibra. Sebagai calon dokter, dia sudah sangat cakap untuk hal-hal seperti ini. Berada di basecamp anak Joker yang mayoritas cowok, dia sama sekali tak canggung karena sudah terbiasa.
"Apa ini luka tembak?" tanya Putri to the point. Dia memelankan suara agar tak ada yang mendegar obrolan mereka.
"Gak usah sok tahu. Emang ada peluru?"
"Gue gak bodoh Bra. Gue udah pernah magang di rumah sakit. Jadi jangan mikir kalau gue itu bodoh. Untung cuma kegores peluru, kalau pelurunya sampai bersarang dikaki lo, bisa-bisa lo pincang." Bukannya takut, Ibra malah tergelak mendengar itu.
"Iya, gue tahu lo pinter," celetuk Ibra.
"Dan lo juga tahukan, kalau gue suka sama lo?"
"Gue gak tahu," sahut Ibra asal sambil melihat kearah teman-temannya yang sedang asyik main PS.
Putri menghela nafas berat. Entah sudah berapa kali dia mengungkapkan perasaannya, tapi selalu saja, Ibra menolak. Padahal Putri sudah berusaha berbaur dengan anak-anak joker. Selain itu, dia juga sering nemenin Ibra balapan saat diwajibkan membawa pasangan. Tapi tetap saja, Ibra belum bisa membuka hati untuknya.
Obrolan mereka terhenti saat Reza datang membawakan Putri dan Ibra makanan.
"Makan dulu Put, sebelum lo makan ati karena ditolak Ibra untuk yang ke 101 kali," ejek Reza sambil meletakkan 2 bungkus makanan diatas meja.
"Minumnya apa Za?" tanya Galih yang tiba-tiba ikut nimbrung.
"Apapan makanannya, minumnya?" teriak Reza.
"Teh botol sosro," sahut teman-temannya kompak
"Sialan kalian," maki Putri sambil melempar bungkus kasa kewajah Reza yang menyebalkan. Dia tahu, mereka semua sedang mengejeknya.
"Calm down, Put. Hilang satu tumbuh seribu. Ibra hilang, kita semua masih ada. Iya gak guys?" teriak Galih.
"Yok i," sahut mereka kompak.
"Ogah sama kalian," balas Putri sambil melotot. Dia mengemasi peralatan medisnya karena sudah selesai mengobati Ibra.
"Eh Put, lo tahu gak, tadi Ibra diantar cewek loh kesini?" Reza malah memanas manasi. "Cantik banget, sumpah."
Putri menatap Ibra tajam, dan yang ditatap malah cengengesan tanpa rasa bersalah. "Beneran?" tanya Putri.
Rasanya Putri masih belum bisa percaya jika Ibra dekat dekat dengan cewek. Setahu dia, Ibra sosok yang sangat dingin pada cewek, sejak dulu, gak pernah pacaran, cuma asyik dengan dunianya di geng motor. Dia tak percaya cinta setelah sang ibu meninggal dan baru sebulan kemudian, ayahnya menikah lagi.
"Ya beneran lah, masak gue bohong," Reza yang menjawab. Gaya tengilnya langsung membuat Putri naik darah dan berujung melempar heelsnya ke kepala Reza. Beruntung Reza sigap menghindar. "Busyet, bar-bar banget sih lo jadi cewek," gerutu Reza. "Untung cantik, kalau jelek, udah gue lempar ke kutup utara."
"Diem lo, heels gue masih ada 1, mau lagi?" bentak Putri.
"Beuh, bisa bocor kepala gue. Heels lo lancip amat," Reza menelan ludah melihat ujung hak sepatu Putri. Untung yang tadi gak sampai kena kepalanya. Kalau kena, beneran bocor kepalanya.
...----------------...
Setelah kejadian 2 minggu lalu, Ayleen tak pernah bertemu lagi dengan Ibra. Biasanya dia masih melihat Ibra nongkrong dengan teman temannya ditaman sebelah gedung A. Siapapun tahu jika tempat itu adalah lokasi nongkrong anak Joker. Tapi sejak kejadian itu, Ibra tak pernah terlihat batang hidungnya.
Bruk
"Aww..." Pekik Ayleen ketika seorang cewek menabrak bahunya saat baru memasuki kantin. Sontak milo ice yang dipegang cewek itu tumpah dan mengenai baju Ayleen.
"Makanya kalau jalan lihat-lihat." Ayleen syok saat dia malah disemprot. Bukannya cewek itu yang jalan gak lihat-lihat. Asyik becanda dengan cowoknya hingga gak memperhatikan jalan.
"Loh, bukannya kamu ya yang gak lihat jalan?" Dian, teman Ayleen itu ikut bicara.
"Siapa lo ikut-ikut, bodyguardnya?" cibir cewek itu sambil tersenyum miring kearah Dian.
"Gini nih, orang kuliah tapi modal uang aja, gak modal otak, jadi attitudenya nol," maki Dian.
"Ngomong apa lo? Berani ama senior?" bentak cewek itu.
Disaat ceweknya sedang debat dengan Dian, si cowok malah mengedipkan mata menggoda Ayleen. Sumpah, bukanya terpesona, yang ada Ayleen justru pengen muntah. Bisa-bisanya menggoda cewek lain saat pacarnya ada disebelah.
"Udah Di, mending kita pergi aja," Ayleen yang muak lihat muka cowok itu, memilih pergi.
"Eh...mau kemana kalian?" Cowok itu malah mengambil kesempatan memegang tangan Ayleen. "Minta maaf dulu ke cewek gue."
"Lepas," Ayleen mencoba menarik tangannya tapi cekalan pria itu terlalu kuat. Ayleen tak habis pikir, pura-pura membela pacar, padahal nyari kesempatan buat pegang-pegang. "Lepas," Ayleen terus berontak.
"Minta maaf dulu," ujarnya pongah.
"Lepasin dia," teriakan dari pintu masuk kantin, membuat perhatian orang-orang dikantin langsung tertuju kesana. "Gue bilang lepas," teriak Ibra sambil berjalan mendekati Ayleen.
Romi, cowok itu langsung melepas tangan Ayleen. Wajahnya langsung pias melihat dan beberapa anggota geng joker menghampirinya.
"Berani lo pegang tangan dia," Ibra menunjuk kearah Ayleen. "Gue pastiin tangan lo bakal patah."
"M-maaf Kak," Romi yang gemetaran langsung menunduk, begitupun dengan pacaranya, dia juga ikut menunduk karena takut.
"Minta maaf sama Angel," bentak Ibra sambil menunjuk Ayleen.
Angel? Dian mengerutkan kening. Sejak kapan nama Ayleen berubah jadi Angel?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!