Mile Stone, menempel di tanah seperti udara lembap menempel di kulit yang panas. Sarah terpaksa pulang karena Ibundanya terus membujuknya, padahal ia sudah berusaha menolak dengan alasan sibuk dengan pekerjaannya di Jakarta.
Sarah melindungi matanya dengan satu tangan, mencoba meredam cahaya yang menyilaukan dari jendela kamar tidur orang tuanya. Ia berdiri dengan satu kaki di halaman dan satu kaki di jalan masuk, dengan tubuhnya yang berkeringat. Sarah di posisi itu sudah dalam waktu yang cukup lama, menatap rumah yang di bangun ayahnya, Samuel Ferdinan.
Rumah itu telah di bangun jauh sebelum ia lahir, atau di awal pernikahan orang tuanya. Samuel membangunnya dengan kedua tangannya yang kuat, tepat di tengah petak tanah hijau yang berbentuk persegi, dengan dua tingkat di atas tanah dan satu tingkat di bawah tanah.
Ayahnya membangun rumah itu bukan hanya untuk tempat tinggal, melainkan untuk tempat kematian, itulah komitment kedua orang tuanya, sehidup semati dalam rumah tersebut, tapi sayangnya ayahnya tidak mati di rumah itu.
Sarah terlalu lama berdiri di luar Mile Stone, ia membiarkan kelembapan musim kemarau ini masuk ke tenggorokannya, dan mencekiknya. Rumah itu di kelilingi oleh taman hijau yang di penuhi oleh bunga-bunga cantik, hingga menimbulkan aroma melati dan mawar, yang tercium sangat manis, dan begitu pekat.
Berada di luar hampir sama mustahilnya dengan masuk ke dalam, Caroline hampir tidak pernah meminta Sarah untuk pulang sebelumnya. Tidak sekali dalam belasan tahun, tapi ini karena Caroline sedang dalam kondisi yang tak begitu baik, sehingga ia meminta putrinya kembali.
Tugas Sarah adalah membersihkan rumah dan menyaksikan ibunya meninggal, setelah itu, dia memiliki kesempatan untuk membuka tabir misteri yang ada di rumah ini.
Sarah akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke rumah, menekan rerumputan yang tebal, kenyal, dan lebat hingga rata. Begitu ia berada tepat di bibir teras, ia mencium bau tar keluar dari kayu tangga yang menuju ke rumah. Anak tangga ini terbuat dari kayu merah baru, tidak seperti tangga yang di bangun ayahnya dulu, berwarna putih bersih. Sarah tahu kayu baru itu di ganti oleh seseorang yang kemungkinan adalah kekasih baru ibunya.
Dalam benaknya, Sarah bertanya-tanya apakah saat menghancurkan tangga yang lama, ada sesuatu yang ditemukan? Tapi jika memang di temukan sesuatu, ia pasti sudah melihatnya di berita, sebab di Mile Stone selalu menjadi berita hangat ketika sesuatu baru saja terungkap.
Serah menunduk, ia melihat ada noda darah yang terlihat segar di kayu tangga menempel di bawah sol sepatunya, ia mengabaikan noda itu da menapakakan kakinya hingga ie anak tangga teratas, jemudian Sarah menjentikkan jari tangan kanannya empat kali dengan cepat. Itu adalah kebiasaan lama, semacam takhayul yang ia yakini sebelum masuk ke rumah.
Berbeda dengan tangga teras yang terlihat baru, pintu depan Mile Stone masi seperti sebelumnya, pintu itu adalah pintu buatan ayahnya ketika membangun rumah. Bahkan catnya pun masih sama seperti saat terakhir kalinya ia meninggalkan rumah ini, warna hijau tua dengan kenop kuningan dan jendela berbentuk berlian, setinggi satu kaki di atas ketinggian mata Sarah, ketinggian yang sempurna bagi ayahnya untuk mengintip ketika dia ingin melihat siapa yang ada di luar.
Karena pintunya tak berubah, tentu saja kunci lama yang Sarah miliki pun masih pas. Setelah memasukan kunci, Sarah melingkarkan jari-jarinya di sekitar kenop pintu kuningan yang halus. Hanya dengan sedikit tekanan dan hampir tanpa perlawanan sama sekali, dia berhasil membuka pintu, lalu kemudian melangkah masuk ke dalam rumah yang dibangun ayahnya.
Sarah menutup pintu tanpa suara. Sudah dua belas tahun sejak Sarah terakhir berdiri di dalam rumah ini, kini ia menapaki rumahnya kembali. Keringat di kulitnya mengering dengan cepat saat masuk ke ruangan yang gelap dan ber-AC, membuat bulu kuduknya merinding.
Tanpa melihat Sarah mengulurkan tangannya dan menjatuhkan kunci rumahnya ke dalam mangkuk di atas meja kecil berada di samping pintu. Mangkuk tersebut berisi kunci, mangkuk itu sudah ada di sana sejak ia masih kecil bersama semua barang ibunya yang lain.
Kunci itu mendarat dengan bunyi yang kencang, namun rumah itu langsung meredam suara yang timbul, sebab rumah itu sudah di setting untuk tetap tenang. Sarah menghirup bau tempat kelahirannya dari jendela dan pintu yang tertutup. Tempat dia dibesarkan, tempat yang dia tinggalkan, dan tempat ibunya akan meninggal.
Jika menilik ke belakang, dua pekerjaan Sarah kemarin mengalami masalah yang sama. Ketika ia tegah melakukan entri data penjualan barang di sebuah pabrik plastik, ada seorang rekan kerjanya yang melihat Caroline di berita media online. Dalam berita tersebut Caroline mengumumkan akan menggelar pameran dan lelang lukisan di Mile Stone. Caroline juga sempat menyinggung soal putrinya yang sudah tidak lagi tinggal di Mile Stone.
Melihat kemiripan wajah antara Caroline dan Sarah yang bak pinang di belah dua, dan menggabungkan nama belakang mereka, membuatnya tahu siapa Sarah sebenarnya.
Tak lama setelah berita itu muncul, hari-hari Sarah di tempatnya bekerja mendadak berubah. Yang semula hangat, kini semuanya menjauh. Email pekerjaan yang ia kirim ke divisi lain tidak dijawab oleh mereka, ruang istirahat mendadak kosong begitu Sarah masuk, dan terakhir setelah itu Sarah di panggil oleh pihak HRD. Mereka menyebutnya redundansi, bukan pemutusan hubungan kerja, yang menurut mereka baik untuk perusahaannya.
Rasanya seperti takdir, di berhentikan hanya karena dirinya berasal dari keluarga Ferdinan. Pekerjaan berikutnya berantakan dengan cara yang sama, bukan hanya pekerjaannya yang berantakan, Sarah juga sempat di usir oleh pemilik kost karena hal tersebut, sehingga saat itu hidupnya benar-benar terasa buruk.
Sarah mencoba menepis masa lalunya itu, kini ia berdiri di bawah lengkungan yang memisahkan ruang makan dengan ruang tamu, ia memegang ransel biru tua dan koper biru muda yang sama ketika dirinya keluar dari Mile Stone.
Rumah yang sama, tapi semuanya nampak berbeda. Posisi kursi makan yang dahulu berada di tengah, kini merapat ke dinding. Meja makan telah diganti dengan tempat tidur, di mana di tempat tidur tersebut di huni seorang wanita. Wanita itu menatap Sarah. "Kamu terlihat lelah," ucap wanita di tempat tidur itu. Dia berbicara dengan suara yang sama, selalu datar dan tanpa cinta, itulah suara ibundanya.
Sarah meletakkan tasnya dan melewati ambang pintu ruang makan. “Kamu mau minum? Ada di sana,” ucap Caroline sembari menunjuk ke arah bufet yang merupakan bagian dari set perabotan ruang makan yang dibeli Caroline dan Samuel ketika mereka pindah ke rumah ini, ketika Sarah hanyalah sebuah ide yang tidak mereka setujui.
Meja makan, kursi, bufet, dan lemari semuanya terbuat dari kayu jati yang diukir dengan motif selentingan yang pernah dijiplak Sarah dengan jari telunjuknya saat kecil. Ada lapisan tebal kaca plexiglass bening dan keras di atas bufet. Sebuah kendi plastik berwarna merah jambu diletakkan di atas kaca plexiglass di samping tumpukan cangkir. Sarah menuangkan sedikit air ke salah satu cangkir kecil, mengisinya sampai penuh, dan membawanya ke ibundanya.
Sarah bertanya-tanya sebentar apakah dia harus mencari gelas yang lebih besar? Karena gelas tersebut terlalu kecil dan hampir tidak bisa menampung seteguk. Tetapi kemudian Sarah menyerahkan cangkir itu dan memperhatikan bagaimana pergelangan tangan ibunya menggigil memegang bobot dari gelas itu.
Sarah membantunya mengangkat cangkir, sebagian air menetes dari sisi mulut ibundaanya, kemudian ia menggelap dengan tisu di tenggorokannya, dan mengambil kembali cangkir itu
Sarah melihat pergelangan tangan ibundanya dan melihat kenop tulang yang menonjol. Begitu banyak daging yang hilang, ia merasakan penyesalan seharusnya ia pulang lebih cepat, namun ia malah menghabiskan lebih banyak waktu dari biasanya untuk menyelesaikan urusannya, mengepak barang-barangnya, dan menatap dirinya sendiri di cermin untuk waktu yang lama. Bahkan sarah memundurkan waktu kepulangannya menjadi tiga hari.
Sarah juga berlama-lama di halaman depan, memandangi kediamannya, takut dengan apa yang ada di dalamnya. Ia tidak tahu jika kondisi ibundanya akan seburuk ini. "Kau harus membawa barang-barangmu ke kamarmu dan beres-beres," ucap ibundanya, suaranya lebih keras sekarang setelah dia minum air. "Kau pasti kelelahan setelah perjalanan panjang."
"Ya, Mom. Jakarta-Jogja cukup lumayan jauh, aku tadi sempat ketiduran di bis." Sarah berdiri di sisi tempat tidur tempat ibunya, ia tidak yakin harus meletakkan tangannya di mana. Duduk di kasur terasa sangat asing, tetapi berdiri di samping ranjang membuatnya terasa seperti menjulang. "Aku mungkin bau sekali, jadi aku harus mandi."
"Oh, Aku tidak bisa mencium bau apa pun lagi," ucap Caroline. “Tapi Aku yakin mandi akan membuatmu merasa lebih baik. Kamu bisa menggunakan kamar mandi yang ada di kamar tidur lantai atas, karena tidak ada pancuran di kamar mandi lain. Kecuali kau mau mengetuk rumah belakang dan meminta Robert untuk memasangnya di kamar mandimu." Caroline berdehem lagi, suara yang lebih kental dan basah daripada yang pertama kali. “Pergilah dan beristirahatlah. Aku baik-baik saja di sini.”
Perut Sarah melilit, ternyata benar ibundanya memiliki simpanan pria yang tinggal di bagian belakang rumahnya. Sarah mengabaikan perutnya yang melilit dan mengingat tentang gudang di belakang rumahnya. Ia menuangkan lebih banyak air ke dalam cangkir dan meletakkannya di atas meja putar di samping tempat tidur ibundanya.
"Apakah Mommy ingin meja ini lebih dekat?" tanya Sarah, ia khawatir ibundanya tak dapat menjangkau minum yang ia tuang. Caroline mengangguk, kemudian Sarah langsung menarik meja kecil itu sampai merapat tempat tidur.
Sarah menaikan selimut hingga ke dada ibundanya, ia baru menyadari jika tempat tidur yang di gunakan ibundanya adalah tempat tidur rumah sakit. "Ini hanya sewa. Setelah aku meninggal, kau bisa menelepon nomor yang di tempel di kulkas dan seseorang dari rumah sakit akan datang mengambil perabotannya kembali.
"Bagaimana Mommy mendapatkan nomor teleponku?” Sarah bertanya. Mulut ibundanya berkedut seperti sedang menggigit benang. “Itu bukan hal yang sulit. Kamu tidak pernah mengganti namamu.”
“Baiklah, aku akan pergi menyimpan barang-barangku,” jawab Sarah dengan cepat. Dia ragu-ragu di samping tempat tidur, belum ingin pergi, ia berusaha mencari kalimat lain yang biasa dikatakan oleh anak perempuan dan ibunya yang sudah belasan tahun tidak berjumpa.
"Jika kau ingin istirahat, aku pun akan istirahat. Aku banyak tidur akhir-akhir ini."
“Tentu,” ucap Sarah. “Apakah Mommy membutuhkan bantuanku untuk bangun dan turun? Seperti ... ke kamar mandi? Aku bisa datang memeriksa mommy setiap jam atau lebih...?"
Caroline tersentak ke belakang lehernya. “Tidak.”
"Apa Mommy yakin? Aku tidak keberatan, dan Mommy tidak perlu—”
“Aku bisa melakukannya sendiri” jawab Caroline datar. “Kamu tidak perlu repot-repot merawatku, kau hanya fokus pada rumah ini saja.”
Sarah masih ingin mengajukan lebih banyak pertanyaan lagi, tetapi berada di ruangan ini bersama ibundanya membuat darahnya bergetar dan mendorongnya untuk segera pergi "Baiklah. Aku akan kembali sebelum makan malam.”
“Jam enam,” jawab Caroline. “Kita semua makan bersama. Aku yakin Robert akan memiliki pertanyaan untukmu, jadi bersikaplah sopan," tambahnya tajam.
“Baik. Jam enam." Sarah berjalan kembali melintasi ruangan ke tempat tasnya berada. "Love you, Mom." Ia mengambil tas ranselnya, gemerisik suara ranselnya hampir menutupi suara lembut dari belakangnya. Sarah berbalik untuk melihat ibundanya dan menatapnya penuh harap dengan mata berkaca-kaca.
Sarah telah mengatakan sesuatu yang tidak pernah didengar Sarah, dan penting untuk mendengar apa yang dikatakan ibundanya karena seharusnya kasih sayang ibu telah mengalir tanpa diminta dan secara naluriah, atau mungkin saja, itu akan terjadi dalam ketidakhadirannya dalam waktu yang lama.
"Apa yang mommy ucapkan?" tanya Sarah.
“Aku tidak mendengarmu. Maaf.” Caroline berdeham, meneguk air dengan tangan gemetar. Dia meletakkan air dengan hati-hati sebelum menjawab. "Sudah kubilang, kau tidak perlu memanggilku seperti itu."
"Mom..."
Wanita di tempat tidur itu mengerutkan bibirnya seolah-olah dia baru saja menyesap air asin. “Kamu tidak perlu memanggilku 'Mommy' saat kamu di sini. Panggil saja aku Caroline. Segalanya tidak jauh berbeda hanya karena aku sekarat. Jadi kau tidak perlu berpura-pura.”
Rasa terbakar di tenggorokan Sarah mengeras dan membesar, ia mengepalkan tinju hingga buku-buku jarinya retak. "Oh. Oke,” Sarah berbisik pada dirinya sendiri, ia berbalik dan pergi ke kamarnya.
Di lantai dua terdapat banyak kamar yang saling berhadapan satu sama lain, mulai dari kamar tamu, kamar orang tuanya, ruang jahit mommynya, hingga ruang kerja ayahnya.
Sarah akan mandi di kamar tamu, saat ia berjalan menuju tangga, ia melewati kamar tidurnya yang lama, yang di sebelahnya terdapat sebuah pintu yang mengarah ke ruang bawah tanah. Sarah mrnolak untuk melihatnya sehingga ia bergegas menuju tangga.
Sarah menjatuhkan tasnya di depan pintu kamar tamu dan mengeluarkan pakaian ganti yang baru. Ia akan membawa tas-tas itu ke kamar lamanya setelah mandi, pikirnya. Sarah membuka pintu dan menatap kegelapan, tangannya terangkat ke sakelar lampu dan langsung menemukannya, tanpa harus meraba-rabanya. Saat Sarah menekan tombol, lampu berkedip dua kali Itu adalah kesalahan pada kabel yang dipasang ayahnya ketika beliau membangun rumah ini.
Sarah tersenyum saat masuk ke kamar, ia menjentikan jarinya yang terkena wallpaper saat menyalakan lampu tadi. Rumah ini tampaknya sudah tua, Sarah sudah terlalu jauh meninggalkan Mile Stone. Dia pernah merasakan tinggal di rumah kumuh pinggiran kota Jakarta, apartemen mewah di Jakarta Selatan dan bahkan townhouse sebelum akhirnya pihak kantor mengetahui siapa dirinya dan mendepaknya dari pekerjaannya.
Meski tinggal di tempat tinggal yang mewah dalam waktu yang cukup lama, bagi Sarah tidak ada tempat yang senyaman Mile Stone, rumah ini adalah bagian dari dirinya, dimana ia lahir dan tumbuh di sini.
Sarah tidak peduli apa yang Caroline pikirkan tentang dirinya, tidak peduli betapa sulitnya berada di sini untuk beberapa hari atau minggu atau bulan ke depan, yang jelas Sarah sekarang ia kembali ke Mile Stone. Ia bisa merasakan beban rumah bertumpu di pundaknya seperti lengan yang bersahabat, ini adalah pertama kalinya Sarah merasakan rasa bahagia berada di Mile Stone setelah sekian lama.
...****************...
Sarah berada di kamar mandi lebih lama dari biasanya, ia berdiri di bawah semburan air pancuran yang lemah, kehilangan dirinya dalam kepingan di ubin di dinding sampai air panas mulai habis. Ia bertahan untuk waktu yang lama, membiarkan tetesan air menyelinap di tubuhnya dan menetes ke selokan, di mana mereka meluncur ke bawah di sepanjang pipa logam yang hangat.
Kulitnya masih lembap saat dia berpakaian sebab ia tidak ingin menggunakan handuk di kamar mandi ini tanpa mengetahui mana yang bersih. Sarah meraih pengering rambut merah jambu kuno milik ibundanya, ia memiliki rambut yang tebal dan ia hampir tidak pernah melakukan apa pun selain mengepang dan menyanggulnya, padahal dulu ibundanya sering menata rambutnya untuk acara-acara khusus, sebelum tahun yang mengerikan itu datang.
Sarah mengerjap untuk menghilangkan bayangan yang mengerikan itu, ia menjepit rambutnya yang sekarang sudah kering dan lurus, ia bergegas mengembalikan pengering rambut di tempatnya, ia khawatir ibundanya membutuhkan putri yang sangat nakal ini dan mengira ia bersembunyi di kamar mandi mengabaikan ibundanya yang sedang sekarat padahal Sarah ingin berusaha untuk menjadi lebih baik.
Sarah menyusuri lorong lantai dua yang remang-remang dan turun dari tangga, menuju kamar masa kecilnya, saat mendekati kamar pandangannya tersangkut pada sesuatu yang asing bagi dirinya. Ada foto-foto di dinding, tapi bagaimana bisa? Sebelum ia meninggalkan rumah ini ibundanya menjatuhkan foto-foto itu semua karena emosi.
Caroline pasti mencetak ulang kemudian di bingkai lagi dan menggantungnya di dinding. Sara memandngi foto ayahandanya, mencoba menemukan sesuatu untuk memuaskan rasa rindunya. Sarah beralih ke foto ia dan kedua orang tuanya, ia mengusap foto itu dengan telapak tangannya, menyipitkan mata dalam cahaya redup rumah tertutup itu. Ia mencoba mengingat kejadian yang telah lampau, namun batinnya berbisik. Apa yang kau lakukan?
Sarah menjauh dari foto-foto itu dan meraih kembali tasnya, kemudian ia membawanya ke kamarnya.
...****************...
Kembali ke kamar masa kecilnya tidak seburuk yang ia takutkan. Lemari berlaci yang menempel di dinding tempat dulu ia bersembunyi ketika kesepian, di samping lemari terdapat meja belajar, dan satu buah kursi kayu reyot yang biasa Sarah gunakan untu mengerjakan pekerjaan rumah.
Kamar ini lebih luas dari ruangan lain, dan selalu menjadi tempat teraman di rumahnya, ia menghabiskan bertahun-tahun duduk di kursi itu, mendengarkan langkah kaki ibunya, menunggunya membuka pintu untuk memberikannya maaf ketika ia berbuat salah. Di bagian tengah terdapat tempat tidur lamanya, Sarah meletakkan tasnya di atasnya, tanpa sengaja ranselnya menyenggol bagian bawah rangka tempat tidur hingga membuat tempat tidur itu bergetar.
Saat ia tidur setiap kali ia membalikkan badan suara bising itu menggema, tapi ia sudah tidur di tempat tidur itu selama bertahun-tahun, dan ia sudah terbiasa dengan suara goyangan logam yang longgar. Mengapa ayahnya tidak pernah memperbaikinya? Sarah hanya bertanya-tanya tanpa tahu jawabannya.
Sekarang Sarah sudah dewasa, ia pikir ia bisa memperbaikinya sendiri hanya dengan mengencangkan sekrup dan tempat tidurnya tidak akan berisik lagi. Namun ia butuh alat dan alat-alat itu ada di gudang bawah tanah, tempat yang di larang oleh almarhum ayahnya untuk datang ke ruangan itu.
Sarah memberanikan dirinya untuk masuk ke ruangan itu, ia mulai mendorong pintu hingga terbuka dan menyalakan saklar lampu. Lampu itu menyilaukan matanya sesaat, membuat bayangan-bayangan bergerak melintasi pandangannya. Sarah meremas pakaiannya. "Tenanglah, Sar," gumamnya, ia memejamkan matanya dengan erat sembari berkata pada dirinya sendiri bahwa ia hanya kelelahan karena menempuh perjalanan panjang, dan saat tiba di rumahnya, ia melihat ibundanya dalam keadaan... Atau mungkin saja karena perutnya yang kosong sehingga ia berhalusinasi mengenai bayangan itu, yang ia butuhkan hanyalah tidur.
Sarah mengurungkan niatnya untuk mengambil perkakas, ia berbalik kemudian berlari kembali ke kamarnya. Dada Sarah terasa sesak, dulu ia pernah mencoba masuk ke ruangan itu namun ibundanya memarahinya habis-habisan, jika serang ibunya mengetahui ia mencoba masuk ke ruangan itu lagi, Sarah tidak peduli. Ia akan melewatan makan malam untuk menghindari ibunya.
Ia membentangkan seprai baru yang ia ambil dari lemarinya, begitu ia menyelipkan satu sisi seprai di ujung tempat tidur, rangka tempat tidur bergetar. Sarah melepas tangannya dari tempat tidurnya, tempat tidur itu semakin bergerak kencang. Semburan adrenalin membakar beban dari tulangnya dan menggantinya dengan dengungan ketakutan yang keras. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa yang terjadi hanya halusinasi, tapi tentu saja itu tidak berhasil sama sekali, pikirannya langsung menolak ini sebagai kebohongan yang nyata. Rangka tempat tidurnya benar-benar bergetar.
Sarah mundur beberapa langkah, ia sama sekali tidak menyentuhnya, tidak ada yang menyentuhnya, tapi tetap saja berderak. Sarah menarik napas, club PMR yang pernah ia ikuti waktu SMA menyarankan untuk menarik napas dalam-dalam di saat-saat gugup.
Sarah memberinya nilai A- pada club itu karena nyatanya menarik napas dalam-dalam sama sekali tak mengurangi rasa takut. Tidak ada tempat untuk bersembunyi selain lemari, karena pintu itu masih tertutup rapat. Tapi Sarah tidak ingin bersembunyi, ia ingin mengetahui apa yang terjadi dengan ranjangnya. Dengan tubuh yang gemetar ia membungkuk untuk melihat ke kolong tempat tidur. Tidak ada apa-apa di sana. Tentu saja tidak ada apa-apa. “Ayolah Sarah,” desisnya. “Kau hanya lelah dan ini kekanak-kanakan. Jangan kekanak-kanakan, lebih baik istirahat.”
Sarah kembali ke tempat tidur, ia melempar celana dan bra ke lantai untuk dipakai kembali besok. Ia mulai memejamkan mata. Sial. Ia lupa mematikan lampu, tidak pernah sekalipun dalam hidupnya bisa tidur dengan lampu menyala, dan itu tidak akan berubah sekarang, hanya karena dia berada di kamar lamanya.
Ia bangkit dari tempat tidur dengan cepat kemudian berjalan dan mematikan lampu dengan tamparan keras di tombol. Sarah kembali ke tempat tidur, lebih cepat lagi, menggetarkan bingkai tempat tidur, ia berbaring di atas seprai datar tanpa selimut, telapak tangannya masih perih sebab ia menampar dinding tadi.
Ia marah pada dirinya sendiri karena alasan yang tidak bisa dia ungkapkan, ruangan yang akrab itu penuh dengan keheningan yang tidak biasa. Pasti ada badai di atas kepala, karena hampir tidak ada cahaya sama sekali yang masuk melalui jendela kamar tidurnya. Ini seperti tengah malam di dasar lautan, Sarah tidak menyukai semua ini, tetapi kelelahan yang mendalam dari perjalanan panjangnya menuju Jogja menguras tenaganya.
Pikiran terakhir Sarah sebelum tidur adalah betapa bodohnya dia sampai ketakutan. Ini adalah Mile Stone, rumah yang dibangun ayahnya. Tidak ada yang perlu ditakutkan di sini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!