Metrocorp, perusahaan besar milik Alan Parker.
Siapa yang tidak tahu dengan seorang Alan Parker dan Metrocorp? Mereka adalah dua sisi mata uang yang tidak mungkin terpisahkan.
Setiap orang yang mengenalnya pasti akan membahas perusahaan besar miliknya. Alan Parker dan Metrocorp adalah tolak ukur kesuksesan perusahaan di sana, hingga bukan hal yang aneh jika setiap orang memimpikan agar bisa menjadi bagian di dalamnya.
Semakin tinggi pohon, maka semakin kencang pula angin yang bertiup. Sepertinya perumpamaan itu memang layak disematkan untuk perusahaan besar sekelas Metrocorp. Dari banyaknya orang yang mengaguminya, maka pasti ada beberapa pihak yang mengharapkan kehancurannya.
Begitulah hidup, apapun yang kita lakukan, semua orang memiliki pandangannya sendiri-sendiri. Ada yang suka dan bahkan lebih banyak lagi pembenci.
*
*
Kediaman Alan Parker.
Alan Parker sudah siap dengan pakaian kantornya saat si kecil Sarah Adelio Parker bergelayut manja di lengannya. Sarah Adelio Parker, putri semata wayangnya, satu-satunya kenangan berharga peninggalan mendiang istrinya, Jeane Paula Parker.
"Ayah, tak bisakah Ayah menemaniku les menari hari ini? Semua temanku selalu diantar oleh Ibunya. Sementara aku? Aku hanya punya Ayah," ucapnya manja dengan mendongak melihat kepada sang ayah.
"Hari ini Ayah benar-benar sibuk sayang. Ayah janji akhir pekan ini, semua waktu dan raga Ayah seutuhnya milik Sarah. Oke sayang?" Alan Parker menundukkan tubuhnya menyamai sang putri lalu memeluknya lama.
"Coba Ayah hitung, sudah berapa ratus kali Ayah berjanji?" ucapnya dengan melepaskan pelukan Alan. Ia berjalan cepat menuju ruang keluarga, kakinya ia hentakkan berulang-ulang, hal yang membuat Alan Parker menyunggingkan senyumannya.
Bocah kecil nan cantik jelita itu kemudian naik keatas sofa untuk lebih jelas lagi melihat wajah sang ibu yang terbingkai dalam sebuah pigura besar.
"Ibu, kembalilah! Ayah sudah tak menyayangiku sekarang. Setiap kali aku meminta, maka setiap kali itu juga Ayah akan menolaknya dengan semua alasannya," ucapnya dengan memandang nanar wajah ibunya, seolah ia memang tengah berbicara terhadap Jeane Paula Parker, sang ibu.
Alan berjalan mendekat, kembali memeluk putrinya yang kini berbalik menghadap dirinya.
"Apakah Ayah juga akan berjanji kepada almarhumah Ibu? Lalu Ayah juga akan mengingkari?" ucapnya, lalu beranjak turun dari sofa besarnya. Namun, entah karena suasana hatinya yang sedang tidak baik-baik saja, atau memang ia yang kurang berhati-hati, hingga ia terpeleset saat akan turun dari sofa.
"Sarah!" pekik Alan, lalu dengan gerakan cepat menyambar tubuh mungil Sarah yang bergetar karena rasa terkejutnya.
"Ayah, Sarah mohon, jangan pergi kemanapun hari ini," ucapnya seolah hal yang buruk akan terjadi terhadap orang tua satu-satunya ini.
"Ayah akan segera kembali dan menjemputmu les menari, setelah urusan Ayah selesai." Alan menggendong sang putri menuju mobilnya.
"Tunggu Ayah, jangan kemana-mana! Sampai Ayah datang. Oke?" pintanya dengan mengusap pelan puncak kepala Sarah.
Sarah meraih tangan sang ayah, ia berlama-lama menggenggam tangan kekar itu. Memeluk, mencium, lalu menariknya agar ikut serta bersamanya.
"Jadilah wanita yang tak hanya cantik rupanya, akan tetapi cantik hati dan mampu berdiri tegak di atas kakimu sendiri. Buat Ayah dan Ibu bangga!" ucap Alan seraya melepas genggaman tangan putri kecilnya itu.
Setelah kendaraan yang membawa Sarah sudah hilang dari pandangan matanya, Alan bergegas menuju kendaraannya. Seorang pria dengan perawakan tegap datang menghampiri Alan.
"Kita berangkat sekarang Pak?" tanyanya dengan menundukkan kepala.
"Saya akan berangkat sendiri hari ini. Kamu bisa bersantai sejenak di rumah."
"Bapak yakin?" tanya sopir pribadi Alan terlihat ragu.
Alan hanya mengangguk tanpa menjawab. Ia segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.
Di perjalanan, sebuah pesan suara diterima oleh Alan.
"Bisa segera datang ke rumah sakit, Pak! Putri Anda mengalami kecelakaan." Begitulah pesan suara yang didengar oleh Alan melalui earphonenya.
Jika sudah membahas putrinya, maka Alan Parker benar-benar akan berubah menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuk anak itu. Ia tambah kecepatan kendaraannya hingga ambang maksimal.
Semua ucapan, permintaan dan gelagat sang putri terus saja berputar di ingatannya, lalu tersaji seolah nyata di pelupuk mata.
Ayah, Sarah mohon jangan pergi kemanapun hari ini.
Alan Parker sudah seperti orang yang hilang akal sehatnya saat kendaraannya melaju kencang melewati jalanan yang cukup lengang. Hingga tiba pada sebuah tikungan tajam, ia tak mampu mengendalikan laju kendaraannya, tiba-tiba rem pada kendaraannya tidak berfungsi sama sekali, hingga,
Brakkk,jeddduar!
Kendaraan itu sudah berbalik arah dan juga posisinya. Suara klakson terdengar terus menerus tanpa henti dari arah dalam. Tak ada tanda- tanda Alan akan keluar dari dalam mobilnya.
Beberapa kendaraan berhenti saat melintas di jalanan tersebut, membuat suasana yang semula lengang menjadi bising dan macet.
Tak lama kemudian sebuah ambulans datang, tubuh Alan segera dibawa menuju rumah sakit terdekat.
Berita kecelakaan tragis yang menimpa Alan Parker tentu saja segera menjadi tranding topik di seantero media masa, terutama di kalangan para pengusaha.
"Apakah dia masih bisa diselamatkan? Siapa yang akan menjadi pewaris seluruh kekayaannya?" kasak-kusuk beberapa pencari berita mencari informasi tentang Alan Parker.
Sementara itu, Sarah Adelio Parker. Dia meminta sang sopir untuk berhenti di depan pintu gerbang sebuah pemakanan elit di kota Metroultimate tersebut.
"Nona?" ucap sang sopir masih belum membuka pintu mobilnya.
"Aku ingin bicara dengan Ibuku, Pak. Aku tidak ingin menjadi seorang penari, itu bukan cita- citaku," jawabnya dengan gerakan akan membuka pintu mobilnya.
"Tuan Alan akan memarahi saya, jika Nona bolos menari hari ini. Tolong, jangan membuat saya bingung Nona," pintanya dengan menahan remote control di tangannya.
"Kenapa semua orang lebih mementingkan dirinya sendiri? Lalu siapa yang peduli dengan keinginanku, siapa?" ucapnya lirih dengan air mata berderai di pipinya.
"Maafkan saya Nona. Saya hanya sedang menjalankan kewajiban saya terhadap Nona. Nona adalah tanggung jawab saya," ucap sang sopir coba memberi pengertian kepada putri kecil itu.
Sarah terdiam. Ia memikirkan cara agar sopir pribadinya ini mau menuruti keinginannya. Rindu, sungguh dia rindu terhadap ibunya. Setelah berbicara dengan pigura sang ibu pagi hari tadi, kini ia ingin berbicara langsung di depan pusara ibunya. Namun, Pak sopirnya ini ternyata tidak mengizinkannya.
"Aku janji, Ayah tidak akan mengetahui tentang hal ini. Bapak harus percaya sama aku," ucapnya dengan mengguncang pelan lengan sang sopir yang kini menatapnya dengan senyum tipis di bibirnya.
"Bukankah Nona paling anti dengan yang namanya sebuah janji? Lalu sekarang apa?"
Sarah tersenyum mendapat pertanyaan dari pria yang berusia 25 tahun itu.
"Hanya hari ini, janji," pintanya lagi dengan menampilkan senyum manisnya, tak lupa satu jari manis dan tengahnya ia acungkan juga.
"Saya pegang janji Nona," balas sang sopir dengan menangkup jari kecil nona mudanya itu.
Senyum sumringah langsung saja tampil di wajah Sarah. Tak menyangka Pak sopirnya akan dengan mudah ia taklukan, hanya bermodalkan janji yang ia sendiri belum pasti bisa menepati, karena sekali permintaannya dipenuhi, maka akan banyak permintaan yang sama untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Suasana hatinya sedikit terobati atas penolakan sang ayah pagi tadi. Ia melompat-lompat kecil menuju pusara sang ibu. Namun,belum lagi kakinya sampai pada tempat yang dituju. Sebuah deringan ponsel memaksanya ikut berhenti.
Ia perhatikan raut wajah sang sopir yang kini berubah sedih setelah menerima panggilan suara tadi.
"Siapa dan ada apa Pak?" tanyanya dengan berjalan mendekat kepada sang sopir.
"Sebaiknya kita segera pulang ke rumah, Nona," ucapnya tanpa menjawab tanya Sarah.
"Bapak menjawab apa yang tidak kutanyakan. Kenapa?"
Masih dengan tidak menjawab tanya Sarah, sang sopir meraih tangan nona kecilnya itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Kenapa Bapak menangis? Apakah Bapak menyesal telah memenuhi permintaanku, lalu sekarang Ayah memarahimu?" tanyanya bertubi-tubi. Namun, sang sopir tetap bergeming.
Ada sesak di dadanya yang jika ia keluarkan maka dapat ia pastikan bahwa sesak dan sakit itu akan berpindah tempat kepada gadis cantik nona kecil di depannya ini.
Sementara Sarah Adelio Parker, gadis kecil itu masih bisa tersenyum manis melihat wajah pria yang sudah menjadi sopir sekaligus pengawalnya sejak ia duduk di bangku taman kanak-kanak itu tanpak sendu. Tak ada yang diucapkannya, hingga Sarah masih menganggap bahwa dugaannya itu adalah benar.
"Aku akan membela Pak sopir, jika ayahku memarahimu."
Selamat membaca.
🌿🌿🌿🌿🌿
Dunia ini hanya sebuah persinggahan, maka singgahlah dengan meninggalkan kesan yang indah. Hidup hanya tentang meninggalkan dan ditinggalkan, jika sekarang dirimu tengah merasakan sedihnya ditinggalkan, maka suatu saat pada waktunya nanti kamu akan mengalami apa yang sekarang kamu tangisi.
Alan Parker telah singgah sementara di dunia yang fana ini, dia telah menyelesaikan satu fase kehidupannya dan akan menjalani fase kehidupan selanjutnya di alam yang berbeda. Nyawanya tak dapat diselamatkan akibat kecelakaan tragis yang dialaminya.
Langit di atas kediaman mewahnya sudah tak lagi menampakan rona birunya, perlahan dan pasti, mendung itu mulai mendominasi hingga rintik hujan mulai membasahi.
Di tempat lain. Andreas, sopir sekaligus pengawal yang dipilih Alan untuk menjaga putrinya itu masih berkutat dengan pikirannya. Bagaimana caranya menyampaikan berita duka kepada gadis cantik di depannya ini.
Sarah bahkan masih dengan leluasa menampilkan senyum manis dan cerianya. Kalimat rayuannya untuk menjamin jika ayahnya tidak akan pernah mengetahui tentang apa yang terjadi hari ini sungguh tertepati.Bukan hanya hari ini, akan tetapi selamanya.
"Ayolah Nona, Ayah Nona meminta saya untuk membawa Nona kembali sekarang juga," ucapnya lagi masih belum menemukan kalimat yang tepat.
"Baiklah, aku akan pulang! Dan aku akan memintanya lagi esok hari," jawab Sarah dengan melangkah mendahului sang sopir.
Andreas mengangguk,lalu membuka pintu mobilnya.
Hujan gerimis menyapa mereka ketika melewati jalanan menuju komplek perumahan.
"Ada apa di depan Pak? Kenapa ramai sekali?"
Andreas menoleh sekilas. Ia sudah menduga jika pertanyaan itu akan meluncur dari bibir mungil Sarah.
"Saya akan menemani Nona. Jangan berjalan sendiri!" Sarah menautkan kedua alisnya saat mendengar titah Andreas.
"Maksudnya apa?" tanyanya bingung hingga mereka sudah tiba di depan gerbang rumah Alan Parker.
"Pak Andre?" Sarah segera melepas sabuk pengamannya dengan cepat, ia akan membuka pintu mobilnya juga. Namun, Andreas belum membukanya.
"Buka Pak, buka!" pintanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Saya akan temani Nona Sarah. Ikutlah bersama saya!" Andreas membuka pintunya.
Sarah Adelio Parker, kakinya seakan tak lagi berpijak di atas bumi yang mulai basah ini, saat ia melihat kerumunan orang-orang dengan pakaian dan juga kacamata hitam tampak lalu lalang, keluar masuk,silih berganti dari dalam kediamannya.
"Ayah!"
Sarah berlari kencang masuk kedalam rumahnya. Andreas segera saja mengikuti langkah cepat nona mudanya itu.
Tak ada kata yang mampu ia ucapkan, saat melihat peti mati sang ayah. Dunianya benar-benar akan berubah setelah ini.
Siapa lagi orang yang akan peduli dengan dirinya? Ayahnya adalah satu-satunya, tak ada ibu, nenek dan juga kakek. Semua keluarga menjauh setelah kematian ibunya. Lalu, apakah setelah kepergian sang ayah, Sarah benar-benar akan hidup sendiri di dunia ini?
Airmatanya masih saja mengalir menemani tanah yang basah di atas pusara ayahnya. Satu jam yang lalu ia masih membicarakan ayahnya bersama sang sopir. Akan tetapi lihatlah apa yang terjadi saat ini, ayahnya ada di sini, namun di dunia yang tak lagi sama.
Semua orang sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Sarah masih terdiam di dalam mobilnya yang dikemudikan oleh Andreas.
Brakkk!
Andreas melihat dari kaca spionnya saat mendengar suara tabrakan dari arah belakang kendaraannya.
"Tetap diam di sini Nona! Kali ini saya mohon Nona jangan dulu membantah," ucap Andreas sebelum keluar dari dalam mobilnya.
Sarah menutup kedua matanya saat beberapa orang di belakang mobilnya tampak berbicara bahkan akan bertindak kasar terhadap Andreas. Namun, Andreas bukanlah sopir biasa, ia merangkap sebagai penjaga untuk Sarah Adelio Parker.
Beberapa kali pukulan para pria itu berhasil ia patahkan. Namun, tampaknya pertemuannya hari ini bersama Sarah akan menjadi pertemuan terakhir bagi mereka. Saat ia tengah bergelut hebat dengan para pria berbadan tegap sama seperti dirinya itu, seorang pria dengan stelan kasual terlihat berjalan pelan masuk kedalam kendaraannya.
Sarah terkejut saat kedua mata dan bibirnya tiba-tiba saja ditutup oleh pria tersebut.
Berubah, dunianya benar-benar telah berubah. Belum lagi hilang rasa sedih atas kepergian sang ayah, kini ia harus dihadapkan pada kenyataan hidup yang lainnya.
"Lepaskan! Aku tidak ingin ikut bersamamu. Kamu orang jahat!" ucapnya saat sang pria membawanya masuk kedalam rumah yang tak kalah mewah dari kediamannya.
"Aku bukan orang jahat sayang. Hidupmu akan terjamin bersamaku, bahkan akan lebih baik daripada kehidupanmu yang sebelumnya."
Sarah bergeming. Lelah, sungguh ia lelah, tenaganya terkuras untuk seluruh air mata yang tertumpah hari ini. Lalu, mengapa air mata kembali hadir untuk masalah hidup yang lebih berat lagi?
Sarah menangis seorang diri di dalam kamarnya.
"Pak Andre, kamu di mana? Kenapa tega membiarkanku pergi bersama orang yang sama sekali tidak kukenal?" ucapnya dengan memeluk tubuhnya sendiri.
Sarah terisak dalam tangisnya. Kini dia benar-benar hidup sendiri.
Sementara itu di tempat berbeda.
Andreas berhasil mengalahkan ketiga pria yang saat ini sudah lari tunggang langgang meninggalkannya. Ia pikir semua sudah berhasil ia kendalikan. Namun, darahnya seakan berhenti mengalir saat mendapati pintu mobilnya sudah terbuka.
Hal yang sesuai dengan terkaannya itu akhirnya menjadi nyata.
"Nona Sarah!" teriaknya dengan membanting pintu kendaraannya kuat- kuat.
"Maafkan saya Tuan, saya gagal menjaga amanahmu. Nona Sarah terlepas dari pengawasanku. Hal yang kujaga dengan segenap jiwa raga. Namun, terlepas di waktu yang sama."
*
*
*
"Bagaimana dengan Metrocorp? Apakah sudah ada berita tentang perusahaan peninggalan Alan Parker itu?" seseorang tampak berbicara melalui panggilan suara di ponselnya.
Ia terlihat memijit pelipisnya berulang-ulang saat suara teriakan Sarah yang terdengar dari dalam kamarnya.
"Aku harus memastikan anak cerdas itu tumbuh besar dalam pengaruhku. Aku adalah jiwa terkuat yang akan menurunkan semua sikap tangguh dalam dirinya. Bukan menjadi wanita lemah dan cengeng," ucapnya, lalu berjalan masuk ke dalam kamar Sarah.
"Sayang, bolehkah Uncle masuk?" ucapnya dari balik daun pintu yang masih terkunci dari luar.
Tentu saja ia tak butuh persetujuan Sarah untuk bisa masuk ke dalam kamar anak musuhnya itu. Tak ada jawaban atau tanda- tanda pergerakan dari dalam, hingga dia memutuskan untuk masuk perlahan.
"Selamat pagi anak cerdas," ucapnya seraya berjalan menghampiri gadis cantik yang belum beranjak dewasa itu.
Sarah menatap tajam dengan ujung retinanya. Sudah lebih dari satu bulan ia tinggal di dalam rumah besar ini. Namun, belum satu patah kata pun yang terucap dari bibir mungilnya.
"Kita pergi ke taman hari ini sayang, apakah kamu menginginkannya?" tanya sang pria dengan tak lelahnya selalu tersenyum manis terhadap Sarah.
Ternyata senyuman dan kalimat ajakannya mendapat reaksi cukup baik dari Sarah. Gadis itu menoleh walau masih dengan raut wajah tak bersahabatnya.
"Aku tahu senyumanmu sangatlah tak ternilai anak pintar. Bahkan seluruh harta kekayaanku ini saja belum mampu menghadirkan senyuman di bibir manismu itu untukku. Baiklah! Kamu tetap cantik dan akan selamanya cantik walau tanpa senyumanmu," ucapnya merasa bahagia dengan respon yang diperlihatkan oleh Sarah.
"Boleh aku berkunjung ke makam kedua orang tuaku,Paman?"
Mr. Black Michael segera saja meletakan ponselnya saat mendengar permintaan Sarah. Bukan, bukan permintaannya, akan tetapi perubahan signifikan yang ditunjukan oleh gadis itu.
"Kamu memanggilku,sayang? Paman?" ucapnya seolah tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya.
"Iya." Sarah mengangguk mengiyakan. Dia sudah pasrah dengan apa yang telah menjadi garis hidupnya. Tak ada lagi yang bisa diharapkannya, hingga ia memilih untuk menerima Mr. Black Michael sebagai pengganti ayahnya dan juga Andreas sang sopir yang merangkap menjadi pengawal untuknya yang tak kunjung menampakan batang hidungnya.
Ikhlas itu memang tidak mudah. Namun, saat kita tidak memiliki pilihan yang lainnya, maka kita akan menyadari bahwa tidak ada apa pun yang dapat kita lakukan kecuali hal itu.
Happy reading. ☘️
Sarah Parker tidak mengetahui jika ia tinggal bersama musuh besar mendiang ayahnya.
Mr. Black Michael.
Berbagai macam cara sudah ia lakukan untuk merongrong perusahaan milik Alan Parker. Namun, sepertinya keberuntungan memang tidak berpihak terhadap niat jahatnya. Alan Parker tidak semudah itu dapat digulingkan, hingga sebuah rencana yang paling picik pun ia terapkan.
Memanfaatkan orang yang memang bekerja terhadap Alan Parker, Mr. Black Michael menggunakan uangnya untuk melancarkan aksi super kejihnya. Hal yang membuat Sarah Parker menjadi seorang anak yatim piatu saat ini.
Sudah 10 tahun sejak sang ayah pergi meninggalkan dirinya, Sarah Parker kini tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik jelita, tangguh dan cerdas di bawah didikan dan asuhan Mr. Black, yang ia panggil dengan sebutan paman.
Pagi hari di kediaman Mr. Black Michael.
"Sayang, apa saja jadwalmu hari ini?" ucap Mr. Black di sela-sela aktivitas makan paginya bersama Sarah.
"Aku banyak kegiatan di sekolah, Paman. Menjelang kelulusan ini aku sangat sibuk," jawabnya, lalu melanjutkan sarapannya.
"Sudah menemukan bidang yang akan kaupilih di perguruan tinggi,nanti?"
Sarah mengangguk mengiyakan.
"Apa?" ucap Mr. Black,lagi.
"Aku ingin menjadi seorang pengacara Paman," jawabnya tegas tak terbantahkan.
"Bagus! Paman sangat mendukung pilihanmu itu. Kamu harus bisa menjadi wanita yang kuat, tangguh dan juga cerdas. Gunakan semua apa yang telah ditakdirkan untukmu sebagai cambuk semangat meraih mimpi dan keinginanmu. Tak ada yang instan di dunia ini."
"Semua yang telah ditakdirkan untukku, maksud Paman, apa?" ucapnya bingung.
"Kecantikan dan kecerdasanmu, itu adalah investasi berharga, sayang. Manfaatkan dengan sebaik mungkin! Jangan termakan bujuk rayu para pria yang hanya bermodalkan wajah yang tampan dan suapan harta dari orang tuanya! Paman benci akan hal itu," ucap Mr. Black dengan menoleh sekilas terhadap Sarah yang juga tengah menatapnya.
"Paman mencurigaiku?"
"Tidak! Paman hanya tidak ingin kariermu berantakan hanya karena hal yang tidak penting seperti itu," jawabnya tanpa menoleh lagi kepada Sarah.
"Hubungan antara pria dan wanita itu penting, Paman. Bagaimana bisa Paman bilang itu bukanlah hal yang penting? Bahkan dirimu ada karena hubungan itu," ucap Sarah coba mematahkan argumen Mr. Black yang kini berdecak kagum atas ucapannya barusan.
"Paman tidak akan pernah menang jika beradu argumen denganmu, anak cerdas. Intinya jauhi hal- hal yang tidak mendatangkan keuntungan untuk kita. Oke?"
"Jika ada pria yang mendekatiku?" tanya Sarah seraya meletakan sendok dan garpunya.
"Tanyakan apa visi dan misinya!"
"Uhuk, uhuk." Sarah buru-buru meneguk air putih di depannya saat mendengar jawaban sang paman.
"Kenapa? Apa ada pria yang saat ini tengah dekat denganmu?" ucap Mr. Black memastikan. Dia curiga dengan reaksi Sarah tersebut.
"Bahkan sudah lebih dari satu, Paman," jawab Sarah dengan menampilkan senyum manisnya.
Mr. Black menoleh dengan ekspresi tak percaya .
"Sungguh?"
"Hmm."
"Lalu, apa reaksimu terhadap mereka?"
"Aku hanya menganggap mereka sebagai teman, Paman. Tidak lebih," ucapnya dengan wajah tertunduk. Ada kesedihan saat ia mengucapkan hal itu. Entahlah! Namun, pada kenyataannya wajah pak sopir sekaligus pengawalnya itu masih saja tertinggal dalam ingatannya, meskipun nyatanya mereka sudah tidak pernah lagi bertemu wajah setelah kejadian yang menyedihkan itu.
"Kamu mencintai lelaki lain, sayang?" tanya Mr. Black, berharap Sarah akan menggelengkan kepalanya. Mematahkan dugaannya. Namun, Sarah hanya diam dan memilih meninggalkan meja makan begitu saja.
"Aku akan ke sekolah pukul 4 sore nanti, Paman," ucapnya sebelum benar-benar hilang di balik pintu kamarnya.
"Semenjak dulu, percintaan memang selalu menjadi momok untuk meraih kesuksesan. Ditinggal menikah, gila. Diputusin, prustasi. Tidak direstui orang tua, lari. Selamanya akan seperti itu, tidak ada keuntungan yang didapat dari berpacaran." Mr. Black ikut melangkah menuju ruang tamu.
"Metrocorp semakin maju dibawah kendali saudara laki-laki Alan Parker, Tuan," ucap seseorang dari ujung teleponnya terhadap Mr. Black.
"Semua sudah kupersiapkan dengan matang. Sebentar lagi Sarah akan resmi menjadi seorang pengacara handal di kota ini. Aku akan menjadikan dia sebagai senjata andalanku untuk masuk ke dalam perusahaan milik ayahnya itu."
"Ide yang sangat cemerlang, Tuan. Saya yakin, Tuan akan dengan mudah merongrong Metrocorp melalui gadis itu."
Waktu berjalan begitu cepat.Sarah Adelio Parker sudah menyelesaikan pendidikan di universitas ternama di Kota Metroultimate, dia telah berhasil menjadi seorang pengacara handal di sana.
"Aku ada wawancara kerja hari ini, Paman," ucap Sarah saat mereka tengah berbincang santai di taman samping kediaman Mr. Black ini.
Mr. Black menoleh, ia tersenyum tipis.
"Interview? Di mana?" ucap Mr. Black seraya membenahi posisi duduknya.
"Metrocorp, Paman. Apa Paman tahu dengan nama perusahaan itu?"
Mr. Black menatap tak percaya akan jawaban Sarah.
"Siapa yang tidak tahu dengan perusahaan sukses sekelas Metrocorp, sayang. Hanya orang-orang dengan pengetahuan minim," imbuhnya lagi.
"Itu betul, Paman! Aku bahkan sudah memimpikan untuk bisa menjadi bagian dalam perusahaan itu jauh sebelum gelar ini akhirnya ada di belakang namaku."
"Paman bangga padamu, sayang."
Sarah benar-benar diterima bekerja di Metrocorp, yang tak lain adalah perusahaan ayahnya sendiri.
Di perusahaan itu tidak ada satupun orang yang tahu tentang identitas Sarah. Mr. Black telah menghapus nama belakangnya lalu ia ganti dengan nama belakang miliknya,yaitu Sarah Adelio Michael.
"Selamat pagi, Nona Sarah Michael." Seorang pria dengan jas mewahnya tiba-tiba ada di depan Sarah yang tengah menunggu di depan pintu lift menuju ke ruangannya.
"Selamat pagi juga. Apakah kita satu tujuan?" tanya Sarah dengan tersenyum manis membalas sapaan pria tersebut.
"Perkenalkan aku, Julian Parker," ucap pria tersebut mengulurkan tangannya. Sarah melihatnya cukup lama sebelum membalas uluran tangan pria tersebut.
"Anda keluarga dari pemilik Metrocorp?"
"Ya, aku anak dari Alexander Parker. Direktur utama di perusahaan ini," jawab pria tersebut dengan nada congkaknya.
"Sekarang aku tahu alasan Paman Black melarangku berhubungan dengan para kaum adam, ternyata dia adalah salah satunya,bangga dengan kekuasaan dan harta orang tuanya. Kautahu, aku lebih menyukai seorang kuli panggul yang menghasilkan uang dari cucuran keringatnya sendiri, ketimbang jas mewah yang kaudapat dari uang Ayahmu," monolognya dalam hati.
Mereka tiba di lantai yang sama, namun di ruangan yang berbeda.
"Bolehkah aku mengantarkanmu pulang hari ini, Nona Sarah Michael?" ucapnya menawarkan diri sebelum Sarah masuk ke dalam ruangannya.
"Kita berbeda, Tuan, umpama budak dengan Tuannya, Anda terlalu rendah menunduk untuk hanya sekedar menatap saya. Banyak hal lain yang bisa dengan mudah Anda sejajarkan dengan kedudukan Anda di sini, bukan dengan saya," ucap Sarah menolak secara halus tawaran Julian Parker.
"Tidak ada yang harus direndahkan, Nona. Kita sama, dirimulah yang menganggap perbedaan itu seolah- olah nyata. Kenapa?"
"Saya hanya sedang mengukur baju saya sendiri, Tuan Julian Parker," jawabnya, lalu bergegas masuk ke dalam ruangannya.
"Semakin kau menjauh, maka semakin gencar aku akan mengejarmu. Aku suka dengan kepribadianmu itu, Nona," ucapnya, lalu ikut masuk ke dalam ruangannya yang berada persis di samping ruang kerja Sarah.
"Selamat pagi, Pa," ucap Julian menyapa ayahnya yang tengah fokus pada setumpuk berkas di meja kerjanya.
"Pagi juga, Li," ucap sang ayah menoleh kepada putranya tersebut. Ia melihat wajah Julian Parker yang terlihat berbeda pagi ini.
"Apa gerangan yang menjadi penyebab putra mahkotaku ini terlihat sangat bersemangat hari ini?" tanyanya dengan menutup terlebih dulu berkas yang baru saja dibukanya.
"Papa ngomong apa? Setiap hari aku selalu bersemangat, Pa. Bukan hanya hari ini, akan tetapi untuk seterusnya," ucapnya mantap dengan senyum mengembang sempurna di bibirnya.
"Sepertinya Papa harus meminta bantuan asisten pribadi Papa untuk menyelidiki hal ini."
"Maksudnya? Papa mencurigaiku?"
"Karena kamu sudah mulai tidak terbuka kepada orang tuamu sendiri. Kenapa?"
"Jika semuanya sudah jelas, Aku pasti akan menceritakan hal ini terhadap Papa. Sabar ya Pa. Aku sedang berusaha menaklukan hatinya," ucapnya, lalu duduk di depan laptopnya.
"Hatinya? Lelaki atau perempuan?" tanya sang Papa sedikit khawatir. Dia takut putra sewata wayangnya ini tengah terlibat percekcokan dengan anak lawan bisnisnya.
"Perempuan, Pa."
☘️☘️☘️☘️☘️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!