"Dasar Anak kurang ajar!"
Plak!
Sebuah tamparan bagai kilat mendarat begitu cepat ke wajah mulus seorang gadis. Tamparan yang begitu kuat menyebabkan wajah cantik gadis tersebut tertoleh ke samping dengan mata yang melebar sempurna.
Terdapat sedikit titik darah di sudut bibirnya, mungkin karena spontan tergigit. Warna merah terlihat jelas di atas kulit putihnya yang telah tertutup helaian rambut. Matanya pun berkaca-kaca.
Tangannya terangkat, menyusup di balik rambut panjang tergerai itu untuk mengusap pipinya yang terasa panas menjalar hingga ke hati.
Sekuat hati menahan agar tak ada air mata yang menetes, gadis itu pun tampak begitu tenang. Namun siapa sangka jika di dalam hatinya saat ini sedang remuk redam.
Tak ada teriakan ataupun rengekan. Seakan itu adalah hal yang sudah biasa gadis itu jalani.
"Kamu pikir siapa dirimu hingga berani melawanku! Pokoknya kamu harus ikut denganku sekarang juga! Tugasmu di sini hanya melayani Tuan Albert dan raup banyak uang darinya!"
Bentakan Pria paruh baya di hadapannya tersebut terdengar menggema. Menusuk gendang telinga dan kembali menggores hatinya.
Lelaki di hadapannya terus menatap tajam, rahangnya mengeras. Kilat matanya yang begitu nyalang menggambarkan kemarahan yang begitu dahsyat. Apa yang sudah dilakukan gadis itu hingga lelaki dengan rambut yang sebagian telah memutih tersebut begitu murka padanya?
Gadis bernama Senja itu pun masih terpaku. Nama yang begitu indah dan memiliki berjuta makna.
Bibir Senja seakan kelu untuk mengeluarkan satu patah kalimat saja. Kata 'melayani' terasa merobek harga dirinya. Apakah dia dilahirkan serta dibesarkan hanya untuk menjalani hidup seperti ini? Menjadi wanita penghibur untuk menghasilkan uang bagi Ayahnya sendiri.
Bau alkohol samar-samar tercium bersamaan dengan hembusan angin malam yang masuk dari kisi-kisi fentilasi. Rambut serta baju yang berantakan ditambah gestur tubuh yang tak bisa berdiri tegap membuat siapa pun yang melihat mampu menilai. Jika pria yang ada di hadapannya sedang mabuk berat.
Senja menoleh dengan tatapan menantang. Dia mengerahkan semua keberanian yang ada di dirinya. Siapa lagi yang dapat melindungi dirinya saat ini selain dirinya sendiri.
"Aku lebih baik mati daripada harus menyerahkan diriku pada lelaki tua be-jat itu!" jawab Senja tegas. Tapi tatapan mata sendu itu tak dapat menutupi kepedihan hati yang kian mendera.
Dia baru saja menolak dengan mentah-mentah perintah lelaki yang dia panggil Papa. Permintaan yang tak hanya membawa dosa tetapi juga dapat menghancurkan masa depan dan harapannya.
"Apa kamu bilang? Lebih baik mati? Dasar anak bodoh, aku memberikanmu pilihan yang mudah untuk menjalani hidup, tetapi kamu justru memilih membantahku. Jangan salahkan aku jika aku berlaku kasar padamu!" Lelaki bernama Santoso itu pun mulai geram. Rasa tak sabaran menuntun langkahnya untuk maju.
Kakinya maju selangkah demi selangkah, seirama dengan langkah kaki Senja yang bergerak mundur dalam ketakutan. Beberapa kali Santoso hampir limbung hingga dia bersandar pada kursi rotan sebagai penopang tubuhnya.
Suara bassnya kembali bergema, memanggil seseorang yang sedari tadi berada di balik pintu menunggu aba-aba.
"Ma," ucap Senja meminta tolong pada Mamanya yang sedari tadi hanya mampu menatap bingung.
Senja mulai takut melihat keberadaan sosok lain yang muncul. Tubuh tinggi tegap, kulit hitam terbakar yang begitu pekat menujukkan berapa lama lelaki itu sering berada di bawah terik matahari. Senja langsung bergegas mendekati Mamanya kemudian memeluk erat tubuh ringkih itu meminta perlindungan.
Darsihlah satu-satunya yang menjadi alasan Senja untuk tetap bertahan di rumah yang bagai neraka itu. Walau dirinya kerap mendapatkan perlakuan kasar yang tak sepantasnya.
"Mas, kamu jangan kelewatan! Jangan terlalu kejam dengan anakmu sendiri. Mana ada orang tua yang menjual anaknya untuk menjadi wanita penghibur!" ucap Darsih meninggikan intonasi suaranya walau terdengar sedikit bergetar.
Darsih berusaha mengusir rasa takut yang menghantui hatinya terhadap suaminya. Suami yang krrap memukulnya hanya karena hal-hal sepele. Melihat wajah Senja yang cemas membuat rasa takut Darsih hilang entah kemana.
Darsih berjalan maju melindungi Senja di balik punggung rapuhnya. Sosoknya saat ini seperti kelinci putih yang bergetar, namun berusaha kuat melindungi anaknya dari terkaman serigala lapar.
"Diam kamu wanita bodoh! Kamu tak punya hak untuk ikut campur. Sebagai anak yang dibesarkan dengan susah payah, gadis itu memiliki kewajiban untuk membalas budi pada kita. Kedua orang tuanya. Apa itu salah? Apa kalian tega melihatku kehilangan nyawaku karena tak mampu membayar hutangku, hah!" maki Santoso penuh emosi.
"Tentu aku punya hak. Aku ibunya dan aku tak mengizinkan kamu membawanya!" debat Darsih.
"Apa susahnya hanya mengangkang dan memuaskan Tuan Albert, setelah itu pria kaya itu akan memberikan uang yang banyak. Tak hanya cukup untuk membayar semua hutang-hutangku. Tetapi juga untuk biaya hidup kita, Darsih!" sentak Santoso geram.
Kalimat yang keluar dari mulutnya begitu tajam mengiris hati. Apa susahnya dia bilang? Tentu saja itu sangat susah bagi Senja. Gadis itu bukan wanita yang begitu mudah menyerahkan harga diri pada lelaki yang bukan suaminya.
Bulir bening yang sedari tadi Senja tahan akhirnya meluncur juga. Nasib dan masa depannya yang hancur kini sudah di depan mata. Tubuhnya pun semakin bergetar memeluk Darsih semakin erat.
"Sangat susah, Mas. Karena yang hilang bukan hanya kehormatan tetapi juga harga diri dan masa depannya! Aku tidak ikhlas putriku harus bekerja hina seperti itu. Cukup Mas! Cukup kamu membuatku hidup terhina dan menderita selama beberapa tahun ini, tetapi tidak dengan putriku!" tolak Darsih tegas.
Darsih menggigit bibir bawahnya sembari menutup mata sejenak. Air matanya jatuh seketika. Tak bisakah mereka hidup bahagia walau tanpa uang seperti orang lain di luaran sana. Andai saja Santoso dapat menerima kenyataan yang ada dengan lapang dada.
Puluhan tahun menikah dengan Santoso membuat Darsih begitu mengenal suaminya itu luar-dalam.
Dulu Santoso tak seperti itu, ia pria lembut dan penyayang. Kehidupan mereka terasa semakin sempurna sejak kehadiran Senja ke pangkuan mereka. Namun semuanya berubah sejak 10 tahun yang lalu, di mana perusahaan yang Santoso miliki bangkrut akibat ditipu rekan bisnis.
Sejak kejadian itu, Santoso menjadi suami yang mudah marah. Dia yang tak tahu bagaimana membangun perusahan dari 'nol' hanya bisa menyalahkan anak istrinya atas kemalangan yang dia sebabkan sendiri.
Selain itu Santoso juga kerap mabuk-mabukan dan berjudi hingga puncaknya tiga tahun belakangan ini, lelaki itu terjerat hutang di meja judi dengan jumlah yang tak sedikit.
Setan tertawa terbahak-bahak saat bisikannya yang menyesatkan masuk ke dalam hati dan pikiran Santoso, sehingga membuat lelaki itu gelap mata.
Ini bukan pertama kalinya pria yang hampir gila tersebut berniat menjual anak mereka sebagai taruhan di meja judi. Dan berkali-kali pula gagal karena campur tangan Darsih yang selalu melindungi putrinya. Walau pada akhirnya Darsih yang harus berakhir dengan tubuh lebam.
Wanita tua bertubuh kurus itu tak peduli. Bahkan jika nyawanya harus melayang sekalipun dia tidak keberatan.
Setidaknya keselamatan putrinya adalah harga yang pantas dia dapatkan sebagai pengganti nyawanya. Sebagai seorang ibu yang mengasuh dan membesarkan dengan sepenuh hati, tentu saja Darsih tak akan pernah rela jika buah hatinya menderita.
Santoso semakin berang. Dia tak suka dibantah. Tangannya meraih vas bunga yang ada di atas meja dan menghempaskannya ke sembarang arah hingga pecah berderai setelah menyentuh dinding kokoh tak jauh dari kedua wanita itu.
Sontak Ibu dan anak itu terkejut dan langsung menghindar saat vas itu terlempar agar pecahannya tak mengenai tubuh mereka.
Mereka berdua terkesiap dengan jantung yang berdetak cepat. Nafas mereka menderu kuat dengan rasa cemas yang jelas terlukis di wajah.
"Jangan kalian pikir aku tak mampu membunuh kalian berdua saat ini juga di sini! Sekarang patuh padaku jika kalian ingin hidup selamat!" ucap Santoso kalap. Lelaki itu kembali mengambil kursi rotan dan mengangkatnya ke udara kemudian melemparnya kuat.
Brak!
"Arkkkhhh!" teriak kedua wanita itu histeris sembari memejamkan mata. Tetapi kursi yang terlempar lagi-lagi hanya menghantam tembok di sampingnya.
"Banyak sekali omong kosong!" Santoso mengalihkan pandangan menatap anak buahnya.
"Cepat kamu tarik gadis itu Jon! Sebelum Tuan Albert murka karena sudah menunggunya terlalu lama!" titah Santoso pada lelaki tinggi hitam yang sedari tadi hanya diam memperhatikan. Seringai jahat terbit di sudut bibir hitam pria bernama Joni tersebut.
"Stop! Langkahi mayatku lebih dahulu, baru kalian bisa membawanya dariku!" ancam Darsih dengan wajah yang mulai panik. Membentangkan kedua tangannya untuk melindungi.
Matanya liar mencari sesuatu yang dapat dia gunakan sebagai pertahanan. Tenaga yang dia miliki tak cukup mampu melawan seorang lelaki saja, apalagi dua sekaligus seperti ini.
Sebuah botol yang kebetulan ada di sudut dinding dia raih. Lalu dia hempaskan ke dinding sedikit di bagian tumpul bawah botol itu untuk menjadi beberapa bagian runcing.
Darsih mengacungkan botol yang tajam itu ke depannya. Ujung botol yang pecah itu sangat cukup menembus perut salah satu dari kedua lelaki tersebut jika tetap nekat mendekat.
Ibu mana yang tega melepas anak gadisnya untuk diserahkan sebagai pemuas nafsu be-jat lelaki lain yang tak jelas siapa. Darsih menatap waspada pada pria hitam tinggi yang mulai mendekat perlahan tanpa rasa takut.
Darsih mundur sambil memeluk kepala putrinya seraya membisikkan sesuatu. Tak ada lagi yang dapat mereka berdua lakukan saat ini selain lari jika apa yang dia lakukan saat ini tak cukup untuk melindungi mereka.
Tubuh mereka dan tenaga mereka yang lemah tak akan mampu jika harus melawan dua orang lelaki dengan tubuh besar yang mereka hadapi saat ini.
"Berlarilah yang kencang dan apa pun yang terjadi, kamu jangan pernah kembali, Nak! Ambillah sesuatu yang Mama tinggalkan untukmu pada Bude Tari."
Senja mengangkat kepalanya menatap Darsih dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasakan firasat tak enak yang tak mampu dia jabarkan.
"Ma, jangan membuatku takut. Mama berucap seakan-akan ini adalah pesan terakhir saja."
"Mama sayang padamu Senja. Lakukan apa yang Mama katakan," tekan Darsih dengan suara yang begitu pelan. Namun penuh kesan tak terbantahkan.
"Gadis cantik, kamu harus ikut denganku. Aku janji kamu akan senang setelah tahu siapa bossku itu. Pria kaya yang perkasa. Aku yakin akan membuatmu terpuaskan!" Jon terkekeh.
Tangan kasar berotot itu menarik lengan Senja hingga pelukan gadis itu terlepas dari Darsih. Cengkraman Jon yang cukup kuat membuat Senja meringis merasakan lengannya seakan remuk dengan sekali remasan.
Layaknya induk ayam yang berang melihat anaknya diganggu, Darsih tak rela tangan kotor itu menyentuh kulit putri satu-satunya tersebut. Dia langsung mengibaskan botol di tangannya hingga melukai lengan kekar Jon, darah segar mulai bercucuran.
"Menjauhlah dari putriku! Dasar lelaki bang-sat! Jangan sentuh putriku dengan tangan hina kalian itu!" raung Darsih marah. Dia kembali menodongkan botol yang menjadi senjatanya.
Jon cepat-cepat menyobek kain bajunya untuk menutupi luka sobek di tangannya. Tatapan matanya menajam penuh permusuhan dan dendam.
Senja yang berdiri di balik punggung Darsih pun menelan ludah. Untuk pertama kalinya dia melihat Darsih menggila seperti itu. Hatinya kalut memikirkan apa yang akan terjadi pada mereka berdua selanjutnya. Apakah mereka masih hidup atau berakhir tinggal nama.
Santoso yang mulai sadar dari mabuknya terkesiap, otaknya begitu cepat memikirkan tindakan apa yang harus dia lakukan. Santoso kemudian diam-diam melepaskan sepatunya. Menunggu Darsih yang lengah dan langsung melemparkan sepatunya itu tepat mengenai tangan Darsih hingga botol di tangan wanita itu terlepas.
Santoso pun dengan cepat mendekat, dia menarik tubuh Darsih untuk menjauh dari putrinya agar Joni bisa lebih leluasa membawa Senja pergi.
"Cepat kamu bawa gadis itu, Jon!" titah Santoso.
Joni sigap hendak menangkap Senja yang bersiap-siap ingin kabur. Sementara Darsih meronta-ronta dalam dekapan erat tubuh Santoso yang menahannya.
"Jangan ikut campur kamu Darsih. Biarkan Senja pergi dengan Joni. Lagian juga nggak akan lama, dia pergi untuk bersenang-senang!" ucap Santoso sembari tertawa membayangkan makna 'bersenang-senang' yang dia maksud.
"Gila kamu, Mas! Mana ada orang tua yang tega menjual anaknya sendiri selain kamu. Cukup kamu menghancurkan hidupku. Tapi tidak dengan putriku. Keterlaluan kamu Mas! Kamu keterlaluan!" raung Darsih tak terima. Dia terus meronta-ronta agar bisa terlepas dari tangan suaminya.
Semakin dia meronta, tangan Santoso semakin kuat menahan tubuh Darsih agar tidak terlepas.
Darsih yang terjepit akhirnya menggigit lengan Santoso kuat, hingga laki-laki paruh baya itu menjerit kesakitan. Pelukan tangan Santoso di tubuhnya terlepas.
Darsih cekatan kembali menyambar botol bir yang masih tersisa di tempat sebelumnya. Kemudian mengejar Joni dari belakang, dengan sekali hentakan botol itu ia hempaskan ke kepala lelaki hitam yang terus menyeret putrinya.
Senja tersentak kaget seraya menutup mulutnya. Dia terdiam bagai patung dengan retina yang melebar. Joni terduduk di lantai dengan darah segar mengalir di kepalanya. Kemudian lelaki kekar itu limbung terkapar di balik pintu.
"A-apa dia mati?" gumam Senja syok.
"Darsih!" murka Santoso melihat ajudannya yang tak lagi berkutik.
Darsih panik. Dia mendorong lengan Senja hingga gadis itu tersentak dari keterpakuannya.
"Cepat lari Nak! Lakukan apa yang Mama katakan! Pergi sekarang juga!" titah Darsih.
Dia kembali mendorong Senja untuk keluar dari pintu yang begitu dekat dengan mereka sebelum gadis itu tertangkap kembali oleh Santoso yang mendekat.
"Ta-tapi bagaimana dengan Mama?" tanya Senja takut.
"Cepat pergi Senja! Jangan sia-siakan usaha Mama. Cepat pergi!" titah Darsih. Dia menatap putrinya tajam. Jantung Darsih sudah semakin berpacu. Dia semakin panik melihat keberadaan suaminya yang semakin mendekat dengan wajah garangnya.
Senja diliputi rasa takut dan juga keraguan mengusik hatinya, namun tatapan penuh harap dan cinta mamanya membuat dia akhirnya memutuskan untuk berlari keluar pintu itu tergesa-gesa.
Santoso naik pitam melihat Senja yang lolos begitu saja. Semua karena campur tangan istrinya yang terus melawan, Santoso yang geram pun akhirnya menarik rambut panjang bersanggul istrinya kuat hingga tubuh ringkih itu tertarik ke belakang.
"Lepaskan aku, Mas! Lepaskan aku! Dasar suami kejam!" jerit Darsih.
"Lepaskan! Kamu pikir aku bodoh dengan melepaskan kamu yang sudah merusak segala rencanaku. Rasakan ini, ini pantas untukmu!"
Buk!
Santoso menghempaskan tubuh ringkih Darsih ke atas lantai hingga menimbulkan bunyi berdentum kuat. Setelah itu tangan Santoso bergerak cepat menarik sabuk pinggang kulit miliknya, kemudian melecuti tubuh Darsih hingga wanita itu meringkuk seperti bayi dalam kandungan.
Bunyi lecutan itu terdengar begitu nyaring. Darsih meringis dan memohon belas kasihan dari suaminya sendiri.
"Sekarang kamu baru bilang ampun. Kemarin-kemarin hingga detik ini, kamu masih juga menjadi pengacau yang menghalangiku. Karena kamu gadis itu kabur! Sekarang siapa yang akan membayar semua hutang-hutangku?"
"Tubuh tuamu itu tak menarik lagi. Tak ada lagi yang mau membayar untuk tidur denganmu!" murka Santoso.
Suara pecutan itu kembali terdengar. Entah sudah keberapa kalinya.
"Arrkhhh, sakit Mas. Ampun Mas!" rintih Darsih pilu. Suaranya yang berteriak terdengar begitu menyayat perih, seperih luka yang hadir di kulitnya saat ini.
"Rasakan! Dasar wanita mandul yang tak berguna! Rasakan ini, mati saja kamu sekalian!" tekan Santoso begitu tega. Darsih akhirnya pingsan karena tak sanggup menahan laju lecutan yang terus menerus mendera.
Rasa cemas dan khawatir di hati Senja akan keadaan sang Mama membuat langkah kakinya terhenti. Dia berdiri tak jauh dari depan pagar rumah dengan napas yang terengah-engah.
Rumahnya yang dia tempati ini bukanlah pemukiman penduduk yang rapat. Ada beberapa orang tetangga di dekat rumahnya. Namun tak ada satupun yang berani mendekat untuk menolongnya, walaupun beberapa orang terbangun karena terganggu dengan keributan yang terjadi.
Terlihat dengan beberapa pasang mata mengintip di balik jendela dengan perasaan kasihan. Tetapi tak berani bertindak.
Sikap Santoso yang begitu arogan membuat para tetangga jera untuk ikut campur dalam masalah rumah tangga keluarga tersebut. Santoso yang pendendam mampu melakukan cara kotor untuk membungkam mulut siapa saja yang berani mengusiknya.
Di bawah langit malam yang pekat seperti jelaga. Senja kembali berlari begitu kencang, sesekali ia menoleh ke belakang.
"Cepat pergi! Jangan sia-siakan usaha Mama. Cepat pergi!" Kalimat itu terus terngiang di telinganya. Kembali mendorong langkah kakinya berpacu dengan kencang.
Senja menghentikan langkah kakinya sembari mengatur napas di sebuah pos ronda tepat di depan pintu masuk sebuah perumahan yang akan dia lewati. Dadanya naik-turun terdengar begitu kencang dengan keringat yang mulai mengucur di pelipis dan tubuhnya.
Angin malam yang berhembus terasa dingin menusuk tulang. Di bawah langit tanpa taburan bintang terasa suram seakan langit pun sedang ikut merasakan kepedihan hatinya.
Mata Senja mulai menjelajah ke sekeliling, tak ada siapa pun di sana selain kesunyian. Dia kembali berlari menyusuri jalanan sepi. Seketika bulu kuduknya pun meremang.
Senja menuruni kecepatan kakinya, dia mengikuti kata hatinya untuk berjalan lurus yang langsung menembus jalan raya. Ada beberapa mobil yang berlalu-lalang memberikan kelegaan.
Gadis dengan rambut berantakan itu mengusap peluh di pelipisnya. Air mata kini kembali terjatuh.
"Aku harus ke mana, Ma?" isak tangis Senja pun mulai terdengar. Dia hilang arah.
Rintik-rintik air hujan mulai ikut turun membasahi bumi. Menetes pada kulit lembut wajah Senja yang seputih kapas.
Di ujung sana samar-samar dia melihat sebuah halte bus yang bisa dia jadikan tempat berteduh. Senja mengusap matanya agar pandangannya bisa lebih jelas.
Setelah memastikan apa yang dilihatnya bukanlah fatamorgana. Langkah kaki itu pun kembali dipercepat sebelum akhirnya dia basah kuyup diterpa hujan.
Senja yang kedinginan yang mulai kedinginan duduk meringkuk di atas bangku panjang. Dia sudah seperti anak kucing kecil yang ditinggal pemiliknya di pinggir jalan. Sangat menyedihkan.
Drett! Dretttt!
Ponsel di saku celananya berdering dengan kuat. Sontak tangan dinginnya merogok saku celana panjangnya yang basah.
"Senja, lo di mana? Tadi tante Darsih kirim pesan padaku. Lo di mana sekarang biar kujemput?" seru suara dari seberang sana dengan begitu cemasnya.
Senja kembali terisak. Suara tangisnya sama kencangnya dengan suara deras air hujan yang turun tiada henti.
"Hentikan tangismu. Aku tak akan tahu apa yang terjadi jika kamu tidak berhenti menangis dan mengatakannya padaku, Senja!" sentak Ginela.
Suara Ginela dari dalam ponsel terdengar mulai meninggi. Dia kesal dengan sahabatnya yang tak kunjung memberi jawaban.
"A-aku tak tahu sedang berada di mana saat ini. Di sini ... tampak gelap dan kamu tahu sendiri, lingkungan ini baru untukku," jawab Senja sesenggukan.
Dia memang baru pindah sekitar lima bulan di rumah mereka yang baru, setelah rumah mereka yang lama dijual secara mendadak oleh Santoso hanya untuk membayar hutang judinya yang menumpuk. Tetapi nyatanya uang itu tidak untuk bayar hutang, justru dipakai kembali untuk judi.
"Kamu Sherlock cepat, biar aku jemput sekarang sebelum papamu menemukanmu nantinya."
Senja menganggukkan kepalanya pelan. Memutuskan sambungan ponsel itu sepihak tanpa berpamitan terlebih dahulu.
Giginya bergemerutuk menahan udara yang berhembus membuatnya semakin kedinginan. Tangannya yang bergetar menekan layar benda pipih itu untuk memasuk applikasi pesan berwarna hijau, kemudian mengirimkan titip fokus lokasi dirinya saat ini pada Ginela.
Hanya dalam hitungan detik saja centang dua dari pesan yang terkirim langsung berubah menjadi biru terang, pertanda bahwa pesan tersebut telah terbaca.
[Tunggu disitu dan jangan kemana-mana! Aku akan menjemputmu segera!] balas Ginela cepat.
Senja bisa sedikit bernapas lega setelah mendapat jawaban dari sahabatnya.
Gadis itu kembali meletakkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia menggigil. Matanya memandang bulir hujan yang terus jatuh membasahi aspal.
Pikirannya mulai berkelana mengenang kisah masa kecilnya yang cukup bahagia walau hanya sesaat. Setidaknya kenangan itu dapat menghiburnya saat ini.
Butuh waktu beberapa menit untuk Ginela tiba, Ginela mengendarai mobilnya dengan cukup cepat.
"Senja?" teriak Ginela keluar dari mobil dengan payung bergambar bunga yang terkembang.
Ginela berlari kecil menghampiri Senja yang menoleh ke arahnya dengan wajah yang benar-benar pucat pasi.
"Akhirnya kamu datang. Aku takut, Gi," ucap Senja lirih. Suaranya hampir tak terdengar karena begitu lemahnya.
Ginela melepas payung yang dia pegang dan langsung merangkul tubuh Senja yang lemas.
"Ya Allah, badanmu panas. Kita ke rumah sakit saja, yuk!" tawar Ginela khawatir. Tubuh Senja panas, sementara bibirnya tak hanya pucat tapi lebih ke biru. Ginela takut sahabatnya itu terkena hipotermia.
Senja menggengkan kepalanya pelan. Dia menolak untuk di bawa ke rumah sakit.
"Bawa aku pulang, Gi. Aku mau istirahat. Aku capek," pinta Senja dengan suaranya yang lemah.
Ginela meraih payungnya kembali dengan susah payah. Satu tangan memegang payung sedangkan satu tangan lagi membantu Senja untuk berdiri. Mereka berdua berjalan perlahan menuju mobil.
Setelah memastikan Senja masuk dan duduk dengan nyaman di bangku penumpang. Ginela bergegas masuk dan duduk di balik kemudi. Dia mengendarai mobilnya pergi meninggalkan tempat tersebut.
Selama perjalanan mata Ginela sesekali melirik Senja yang berbaring di kursi penumpang bagian belakang.
"Badan lo panas banget, gue antar lo ke rumah sakit, ya?"
"Nggak usah. Aku nggak mau ngerepotin kamu," tolak Senja kembali.
Senja kembali menangis dalam diam. Matanya terasa panas, dia terus mengingat masa kecilnya dulu. Percakapan penuh canda tawa yang dulu pernah mereka lakukan bertiga. Dan saat sakit seperti ini, Darsih akan menemaninya dan memasakkan bubur jagung manis untuknya.
"Ma, aku mohon dirimu baik-baik saja. Aku tak akan bisa membayangkan hidupku akan seperti apa jika tak ada kamu. Aku mohon!" batin Senja penuh harap.
Di antara sadar dan tidak sadar, gadis itu masih memikirkan kondisi Darsih. Senja mengutuk dirinya sendiri yang terlalu lemah dan tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan saat ini dirinya tak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya?
Apakah dia harus melapor ke polisi? Lalu bagaimana jika polisi justru berbalik menangkap mereka dengan tuduhan pembunuhan terhadap pria tinggi hitam itu? Dan apakah pria itu mati?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul di kepalanya hingga pandangan mata Senja terasa gelap.
"Senja! Apa kamu mendengarkanku? Senja?" panggil Ginela was-was melihat kondisi sahabatnya yang tampak tak bergerak.
"Senja?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!