NovelToon NovelToon

Korban Perasaan

Airish dan Cahya

"Aya!" Begitu sapaan manja yang Airish berikan pada Cahya, pemuda yang hampir satu tahun ini menjadi sandaran hatinya.

"Kenapa, By (baby)?" Tanya Cahya.

"Naskah aku udah selesai. Ini juga udah jam sepuluh malam, pulang yuk!"

Airish adalah seorang penulis naskah. Ia kerap dihubungi oleh produser perfilman untuk membuatkan naskah yang berkaitan dengan genre yang hendak dibuat. Airish yang memang menggantungkan hidupnya hanya pada tulisan itu saja, mau tidak mau ia pasti akan menerima tawaran tersebut. Apalagi hidup merantau seorang diri di Jakarta tentulah sangat berat baginya, namun keluarga di kampung tentu butuh biaya hidup disetiap harinya. Hal itulah yang menguatkan Airish untuk tidak lemah menjalani hidup. Ditambah lagi, Tuhan menghadiahkannya lelaki setia dan tampan seperti Cahya yang selalu membantu tiap kali Airish tak punya motivasi untuk menulis.

"Yuk! Tapi kita beli makan dulu ya, aku laper hehe"

"Gak mau, takut gemuk" jawab Airish.

"Sama, aku juga takut"

"Takut gemuk?" Tanya Airish.

"Bukan, takut berpaling ke yang lain kalo kamu gemuk hahaha" Cahya meledek Airish saja, ia tidak serius mengatakannya. Karena mau bagaimanapun kondisi Airish, ia akan tetap cinta. Karena ia betul-betul naksir Airish bukan karena fisik, melainkan dirinya dulu sempat membaca salah satu tulisan naskah buatan Airish di platform online. Yang berujung akhirnya mereka kencan buta dan berakhir menjadi sepasang kekasih yang "masih" sampai hari ini.

Cahya seorang pengusaha kuliner, saat ini ia memiliki 3 cabang restoran yang masih sama-sama berada di sekitaran ibukota. Cahya memulai usahanya sejak masih duduk di bangku perkuliahan. Ia mulanya belajar perbisnisan saat semester tiga, bergabung dengan temannya membuka coffee shop. Hal itu ia lakukan untuk mencari uang jajan tambahan saja. Namun, baru satu tahun berjalan, ternyata coffee shopnya tidak berjalan mulus. Mulai kehilangan banyak pelanggan, hingga akhirnya gulung tikar.

Disaat pusing skripsian, ia bingung mencari judul skripsi yang tepat dan tempat penelitiannya. Sebagai anak ekonomi yang mikirnya cuan, Cahya akhirny kepikiran untuk membuka restoran sendiri. Dengan modal sendiri plus dari orang tua, terciptalah restoran miliknya sendiri dengan sertifikat legal dan perizinan yang sah. Ia pun membuat judul skripsi yang mana bisa dilakukan penelitannya pada restoran baru miliknya sendiri. Selain berguna untuk penelitian, dari restoran itu ia juga mendapatkan uang. The real sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

Kekurangannya hanya satu, Cahya akhirnya terlambat lulus. Pada umumnya orang-orang akan wisuda di tahun ke-empat, ia justru ditahun kelima. Terhambat karena pengurusan dan pembangunan restoran.

◇◇◇

"Aya, makasih. Aku suka banget sama bunganya" Ujar Airish dengan terus-terusan memeluk bunga pemberian Cahya di perayaan hari jadi mereka yang pertama.

"Iya. Kamu gak makan? Daritadi meluk-melukin bunga terus"

"Nanti aku makan, tapi sekarang aku lagi bahagia"

"Ada kritik dan saran gak buat aku? Barangkali selama satu tahun ini aku nyebelin atau ada kurangnya"

"Ya pastilah" Cecar Airish dengan tertawa.

"Huft" dengus Cahya.

"Kamu dengar baik-baik, ya. Pertama kalo aku manggil kamu, kamu harus jawab iya sayangku, cintaku, bidadariku, pujaanku"

Sudut bibir Cahya terangkat. Pertanda lelaki itu sangat keberatan dengan kritik pertama.

"Dih, kenapa muka kamu gitu?" Tegur Airish.

"Enak di kamu gak enak di aku. Kamu aja manggil aku Cahyo, plus logatnya kaya majikan manggil pembantu. Minta dijawab iya sayangku, cintaku, bla-bla-bla. Mikir bosku, gak sekalian aja aku nyahut nggih sayang"

Airish tertawa lepas. Ia sampai memijat rahang karena terlalu capek ketawa.

Kelaparan

Minggu yang cerah...

"Aya, nanti kamu mau dimasakin apa?"

"Yang spesiallah, jangan sayur asem terus"

"Hihihi, kan aku cuma bisa masak itu"

"Kalo gitu jangan banyak tanya minta dimasakin apa"

"Hihihi, kamu bikin aku gemessss. Iya, nanti aku masakin yang spesial"

Percakapan via telepon itu pun berakhir. Airish pergi ke supermarket dekat apartemennya untuk membeli segala bahan masakan yang ia butuhkan.

Ia berjalan-jalan di sepanjang rak yang memajang berbagai macam sayuran. Melihat-lihat satu demi satu, merasa sayurannya kurang segar, ia kembalikan lagi pada tempatnya.

"Rish!" Airish merasakan tepukan cukup kencang di pundak kirinya. Seketika ia melenguh kesakitan dan memutar badannya untuk melihat si pelaku.

"Ah elo" cebiknya dengan sinis.

"Kekencengan, ya? Heheh gue gak sengaja. Abisnya gue terlalu seneng bisa ketemu lo disini setelah sekian purnama gak pernah ngeliat muka jutek lo".

Dia Putri, seorang Make Up Artist yang tak sengaja bertemu di salah satu projek film bersama Airish. Mereka berkenalan di lokasi syuting yang kemudian ternyata sefrekuensi hingga akhirnya berteman dekat namun keduanya kini sudah jarang berkomunikasi.

"Lo yang kemana? Gue mah disini-sini aja gak kemana-mana"

"Gue beberapa bulan ini memang lagi ada kesibukan. Kesibukan ngurus cerai sama laki gue, eh maksudnya mantan laki"

"Hah? Lo cere? Kenapa?" Airish melotot tidak menyangka kalau kini temannya itu sudah menjanda tanpa sedikit pun kabar yang terendus. Bahkan Putri sama sekali tidak pernah menunjukkan gelagat kegalauan di seluruh sosial medianya.

"Udahlah, gak penting. Gue gak mau bahas-bahas kisah kelam itu lagi. Eh lo masih jadi penulis naskah?"

"Ya masihlah, mana berani gue ninggalin pekerjaan gue satu-satunya itu"

Sembari keduanya berjalan menuju tempat yang enak buat bercerita.

"Eh, gue ada proyek nih buat lo. Kali aja lo mau" ujar Putri dengan bersemangat.

"Apaan"

"Apartemen gue sama mantan suami, mau gue jual. Gue minta tolong lo buat tawarin ke orang-orang, ya!? Urusan fee (imbalan) mah gampang. Ntar gue kasih deh, gimana?"

"Serius nih? Tapi kerjaan gue cuma nawar-nawarin doang tanpa ada batas waktu 'kan?"

"Iya. Mau bulan ini kek lakunya, atau tahun depan juga tetep gue kasih fee. Intinya gue mau jual tuh apartemen, banyak kenangan buruk soalnya"

"Oke deh, ntar gue bantu jualin"

"Ya udah, kalo gitu gue mau ke salon atas dulu ya. Gue ada janji nih"

Mereka pun berpisah di depan supermarket itu.

Airish kembali masuk kedalam supermarket untuk melanjutkan kegiatan belanjanya. Ia memeriksa lagi daftar belanjaan yang tertera pada layar ponselnya.

◇◇◇

Tingnung

Airish berlari dari arah dapur. Ia sudah yakin dengan siapa yang berdiri di depan pintu.

"Cahyoku dah dataaaaang" sambutnya heboh disertai pelukan singkat dan kecupan hangat di kedua pipi Cahya.

Cahya masuk ke apartemen. Anehnya, ia tak mencium sedikitpun aroma masakan. Tentu hal ini membuatnya bertanya-tanya.

"Kamu masak apa, Rish?"

"Rash Rish Rash Rish, yang sweet dong manggil akunya"

"Kamu masak apa, sayang?"

Airish tersenyum sumringah, ia menggandeng sang kekasih menuju dapur. Terlihat dapur masih berantakan dan masih belum ada satu pun hidangan yang tersedia di pantry.

"Belum masak?" tanya Cahya.

"Bukan belum masak, tapi masakannya belum jadi hahahaha" tawanya garing.

"Aku udah lapar" ringis Cahya.

"Aku tahu sayangku, tapi menurut skenario yang aku sendiri buat, bersusah payah dengan pasangan adalah cara kita merekatkan hubungan agar semakin harmonis. Disini, kita berdua, aku kamu, sama-sama lagi kelaparan..."

Ulah Eyang

"Sana-sana, jangan banyak cincong. Aku udah lapar akut bentar lagi mau pingsan"

"Uluh-uluh-uluh, yayang aku udah mo pingsan ternyata. Oke, aku masak dulu yaa"

Airish melanjutkan lagi kegiatan memasaknya, sedangkan Cahya terduduk di kursi pantry sembari memperhatikan Airish memasak.

"Eh ini tadi udah aku kasih garam belom, ya?" gumam Airish yang juga didengar oleh Cahya.

"Hm, gimana tuh" celetuk Cahya dengan perasaan mulai tak enak.

"Tambahin dikit lagi aja kali yak!?"

"Banyak-banyak aja sekalian, kalo asin tinggal diguyur (tambahin air)"

"Ah bener juga" Airish mulai mengambil sendok takarnya untuk menuangkan garam. "Aya, segini?" Tanyanya memperlihatkan garam yang akan ia cemplungkan.

Cahya sedikit ngeri melihat jumlah garam yang mau Airish tuangkan ke dalam masakan. "Ya, banyakin lagi" Airish pun menambahkan lagi garamnya ke dalam sendok takar. "Banyak-banyakin istighfar maksud aku"

"Kamu yang serius dong, jadi segimana? Ini udah hampir matang lho masa belom dikasih garam juga"

"Nah itu! Karena udah hampir matang ya kamu cicipin aja. Kan gampang" Huh, Cahya sampai menghela nafas.

"Eh iya, hehe. Jangan marah-marah gitu dong"

"Kan udah dibilang, aku lapar. Kalo lagi lapar, suka jadi gampang marah sayangku" ucap Cahya lembut.

"Iya, aku ngerti. Kamu yang sabar ya, habis ini aku masih harus bikin sambelnya lagi"

"Ampun Rish. Udah. Cukup. Jangan masak banyak-banyak, belum tentu enak. Satu aja dulu, yang lainnya besok. Aku mau pingsan"

"Oke sayangku, kita hari ini satu menu aja. Biar aku ga kehabisan resep, ya!?"

Airish mematikan kompor. Ia menuangkan sop ayam buatannya yang polos dan berbeda dari sop-sop pada umumnya. Hanya ada ayam dan kuah disana.

"Alhamdulillah, ga jadi mati" ucap Cahya saat Airish menyiapkan nasi untuknya.

"Kalo jadi, aku bakal dapet warisan gak?"

"Ya nggaklah, kan kamu bukan ahli waris. Kecuali kalo aku bikin surat wasiat buat kamu, baru bisa"

"Buat sekarang aja, mana tahu berguna" bujuk Airish.

"Enak aja, kamu doain aku mati ya?"

Airish tertawa puas. Itulah hal yang disukainya sejak dulu terhadap Cahya tiap kali mereka bertemu. Selain manja-manjaan, mereka juga bisa ledek-ledekan kaya teman.

"Rish, rasanya..."

"Gak enak, ya? Duh, apa kita pesen online aja kali ya?"

Tanpa mendengar jawaban Cahya, Airish sudah lebih dulu mengambil ponselnya di kamar dan memesan makanan melalui aplikasi.

Selagi mereka menunggu makanannya datang, Cahya tetap nyemilin nasinya untuk mengganjal perut.

"Aya, jangan diterusin. Kan itu gak enak" Tegur Airish.

"Rish, gak papa. Ini masakan kamu. Kamu udah mencoba. Sejauh ini udah banyak kemajuan kok. Kamu masak ayamnya sampe mateng, gak mentah lagi" Cahya begitu dalam mengungkapkannya. Sampai mata Airish berkaca-kaca.

Airish memeluk Aya dengan erat. "Aya, kamu tuh kalo ngomong kenapa selalu ngena ke hati aku, ya? Aku juga kenapa jadi secengeng ini sih? Aya, aku emang gak jago masak tapi kalo aku mau masakin kamu lagi, kamu masih bisa percaya aku, kan?"

Cahya melerai pelukan Airish. Ia menatap dalam pada mata bening yang berair itu. "Rish, aku percaya sama masakan kamu meskipun rasanya gak karu-karuan" Airish tertawa sebal.

"Soalnya, makanan buatan kamu adalah bentuk cinta kamu buat aku. Walau rasanya seperti yang aku bilang tadi, tapi aku yakin cinta kamu lebih gak karu-karuan lagi sangking besarnya terhadap aku. Iya, kan? Hayo ngaku"

"Hari ini kita masih makan makanan yang gak karu-karuan, percayalah Aya sayang, sekitar dua bulan lagi rasanya pasti masih gak karu-karuan" Canda Airish.

"Kalo rasanya masih gak karu-karuan, mungkin kamu pernah punya masalah hebat sama dapur, kompor atau peralatan dapur lainnya"

Airish tertawa. "Mana ada!?"

Tak lama, makanan mereka pun datang. Sembari makan, Airish bercerita kalau tadi siang ia sempat bertemu Putri dan mau membantu Putri menjualkan unit apartemennya. Cahya dengan seksama mendengarkan hingga Airish selesai bercerita.

"Apartemennya Putri dimana?" Tanya Cahya.

"Gak jauh dari sini. Aku pernah kok dulu main kesana. Tapi Putri belum bilang mau dijual harga berapa. Katanya nanti mau dikirim lewat WA sekaligus gambaran apartemennya"

Cahya ngangguk-ngangguk mengerti. Seusai mereka makan, terdengar dering telepon di saku celana Cahya.

"Siapa telepon?" tanya Airish.

"Mama" jawab Cahya.

"Halo, assalamu'alaikum"

Terdengar ribut-ribut diseberang telepon.

"Assalamu'alaikum"

Cahya menyimpan kembali ponselnya. Airish menatapnya heran.

"Ada ya orang di telepon cuma bilang assalamu'alaikum-assalamu'alaikum doang?" Gumam Airish.

"Biasa, kelakuan Eyang"

"Ya ampun Eyang... Eyang hari ini bikin apa lagi?"

"Seperti biasa. Bikin orang serumah geleng-geleng kepala. Masa waktu mama mau mandiin dia, tahu-tahu buka bajunya ternyata dia pakek k*lornya papa"

Eyang putri adalah Ibu dari papanya Cahya. Beliau kini berusia hampir 90 tahun. Sudah benar-benar pikun, bahkan parahnya sampai lupa dengan nama cucunya sendiri. Setiap hari ada-ada saja kelakuannya. Pernah keluar pagar diam-diam dengan menggunakan jas papa Cahya. Pernah juga pakai sepatunya Cahya di dalam rumah. Tiap bertanya, selalu diulang-ulang. Airish tiap hari selalu kepo dengan kelakuan Eyang, tapi tiap Cahya ajak kerumah selalu saja tidak bisa.

Airish tertawa dengar kelakuan Eyang, tapi terkadang ia juga merasa kasihan pada Cahya dan keluarga. Kasihan karena orang serumah selalu dibikin repot, kasihan pada Eyang juga karena umurnya yang semakin tua dan semakin rentan pula terkena penyakit.

"Semoga Eyang sehat-sehat terus ya" Doa Airish.

"Amiin. Semoga mama juga dikasih kesabaran luar biasa karena kan mama yang standby jagain Eyang dirumah"

"Iya. Amiin"

"Ya udah, aku pulang dulu ya. Nanti sampe rumah aku kabarin" Cahya mengecup singkat b*bir Airish.

"Iya, kamu hati-hati dijalan. Jangan ngebut-ngebut"

◇◇◇

"Halo Rish"

"Udah sampe rumah?"

"Udah sayang. Ini baru banget sampe kamar"

"Kamu jangan lupa mandi"

"Iya, tapi bentar lagi. Kamu mau tahu nggak ada kejadian apa dirumah waktu aku di apartemen kamu?"

"Kejadian apa?"

"Eyang pakek seragam SD (Sekolah Dasar) aku dulu. Mama bilang Eyang sampe ngotot mau pakek baju itu. Kan itu baju udah lusuh banget di gudang"

Airish tertawa ngikik. "Terus sekarang masih pakek baju SD kamu?"

"Udah nggak, sekarang udah tidur dia"

"Ya ampun, Eyang ada-ada aja"

"Kalo dipikir-pikir, ini kalo aku ya, kalo bisa aku jangan sampe berumur panjang kaya Eyang. Soalnya takut ngerepotin. Takut aja gitu. Makin tua makin kaya anak kecil"

"Hush, jangan ngomong gitu. Semua udah takdir"

"Iya tahu, aku bukan benci Eyang. Tapi maksud aku tuh kalo bis**a ya jangan sampe tuanya ngerepotin orang aja**. Iya kalo ada yang ngurusin, kalo nggak, gimana?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!