Di suatu malam yang indah dan tenang. Pancaran sinar rembulan menemani beragam aktivitas malam. Meski sudah memasuki pukul dini hari, kota itu masih nampak ramai tanpa ada tanda-tanda kesunyian. Salah satunya di sebuah tempat yang bagi beberapa orang adalah tempat untuk melepaskan penat dengan menikmati keindahan dunia malam.
Di salah satu ruangan VIP tempat itu.
"Ashraf come on, let's have fun. Nikmati semuanya. Di sini banyak wanita cantik yang bisa puasin kamu," ucap seorang pria paruh baya yang dikelilingi beberapa wanita penghibur.
"Saya sudah bilang bahwa saya tidak mau, Paman," tolak lelaki berumur 25 tahun itu. Tadinya ia datang ke tempat itu untuk bertemu rekan bisnis yang memang memaksa untuk bertemu di sana. Namun saat hendak pulang, ia bertemu dengan pamannya yang sedang bersenang-senang di sana.
"Setidaknya kamu harus minum 1 gelas ini. Hargailah Paman." Pria paruh baya itu menyodorkan segelas wine kepada Ashraf.
Ashraf benar-benar ingin segera pergi dari tempat itu. Ia pun mengambil minumannya dan ditenggak habis dalam satu tarikan nafas.
"Sudah ya, Paman. Ashraf pergi dulu."
Pria yang dipanggil paman itu menatap kepergian Ashraf sambil menyeringai kemudian menarik wanita di sampingnya untuk duduk di pangkuannya.
Di tempat juga waktu yang sama tepatnya di meja bartender, terdapat dua orang gadis seumuran yang terlihat sedang duduk menikmati beberapa minuman. Salah satu gadis itu telah menghabiskan beberapa gelas sedangkan yang satu lagi bahkan belum habis segelas.
"Kenapa dunia jahat banget sama gue, Rin. Mama udah ninggalin gue, Papa nikah lagi, dan sekarang pacar gue selingkuh. Gue capek, Rini," keluh gadis itu yang adalah Lila. Wajah meweknya sudah tak dapat ia tahan lagi.
Beberapa jam yang lalu gadis itu masih berada di rumah. Meskipun sebenarnya ia merasa malas dan tak betah di rumah itu namun ia juga merasa malas untuk keluar. Moodnya sedang tak bagus sebab baru saja bertengkar dengan sang ayah yang untuk kesekian kalinya menyuruh dirinya untuk melanjutkan sekolah ke London atau membantu sang kakak di perusahaan.
"Lo di mana? Gw mau curhat nih." Lila menekan send kemudian menunggu balasan. Ia sedang chattingan dengan satu-satunya teman sekaligus sahabatnya.
"Pas banget lo chat, La. Gw tadi liat cowo lo lagi jalan bareng cewe jadi gw ikutin." Balasan dari Rini sahabat Lila yang juga kemudian mengirimkan sebuah foto yang menampilkan sesosok pria memasuki hotel sambil merangkul mesra seorang wanita.
Lila menatap foto itu dan bergumam.
"Danis …"
Orang yang berada dalam foto itu tidak kelihatan wajahnya namun Lila sangat mengenal pria itu. Dia adalah Danis pacar Lila.
"Shareloc, Rin. Gw otw."
Setelah mengirim balasan terakhir, Lila tanpa menunggu lagi langsung mengambil jaket jeans miliknya dan kunci motor bergegas menuju parkiran.
Sesampainya di hotel Lila langsung disambut oleh Rini sahabatnya dan mereka memasuki hotel tersebut.
"Di mana?" tanya Lila tanpa menghentikan langkahnya. Wajahnya datar tanpa ekspresi dengan sorot mata yang berapi-api.
"Kamar B-03."
Sesampainya di depan pintu kamar B-03, Lila langsung membuka dengan kasar pintu yang ternyata tidak dikunci itu. Di dalamnya Lila melihat lelaki yang sangat ia sayangi melebihi keluarganya sendiri itu sedang bercumbu mesra dengan seorang wanita dalam keadaan sudah bertelanjang dada.
Lila hanya berdiri dan menatap dengan kecewa. Sedangkan Danis pacarnya hanya mengabaikannya seakan tak peduli dengan sekitarnya.
Lila yang tak dihiraukan kemudian memutuskan pergi dengan air mata yang telah berlinang.
*
"Kan masih ada gue." Rini menyodorkan segelas minuman dan langsung ditenggak habis oleh Lila. "Udah, La ... jangan dipikirin cowok brengsek kaya dia. Masih banyak yang lebih baik di luar sana," tambah Rini mengusap punggung Lila.
"Gue makasih banget sama, lo. Cuma lo yang setia temenin gue, Rin," ucap Lila tulus dan dibalas senyuman tipis dari sang sahabat.
Kemudian wajah gadis itu tiba-tiba menjadi pucat membiru menahan luapan isi lambungnya yang memaksa keluar. "Gue ke WC dulu." Lila beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Rini.
"Nggak tau aja, lo." Rini menatap kepergian Lila dengan tatapan yang tak dapat diartikan.
5 menit kemudian Lila kembali dengan langkah yang tergontai.
"Gue balik dulu deh kayaknya. Kepala gue berat banget," ucap Lila kepada Rini sambil memegang kepalanya kemudian duduk dan menjatuhkan kepalanya ke meja. Gadis itu sudah tak sadarkan diri.
"Rasain, lo. Sebenarnya semua ini rencana gue. Gue iri sama, lo. Lo anak orang kaya, pacar lo dokter kaya juga, sedangkan gue harus banting tulang buat dapetin apa yang gue mau. Lo nggak berhak bahagia," ucap Rini setelah Lila tak sadarkan diri kemudian memapahnya.
Setelah tiba di depan sebuah kamar, Rini membuka pintu dan membawa Lila ke atas kasur. Rini memeriksa kembali apakah ia telah berada di tempat yang tepat, setelahnya ia pun pergi meninggalkan Lila dan tak lupa menutup pintu.
Selang beberapa menit setelah kepergian Rini, seorang pria keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk. Badan atletis juga wajah tampan yang menjadi incaran banyak wanita itu, ditambah rambut yang basah meneteskan air membuatnya terlihat semakin menggoda.
Dia adalah Ashraf. Setelah pergi meninggalkan pamannya tadi ia merasakan pusing luar biasa dan memutuskan untuk kembali ke bar dan memesan kamar. Ia tahu telah diberikan obat oleh pamannya sebab ini bukan pertama kali. Akhirnya ia memutuskan untuk mandi agar pengaruh obat tersebut berkurang.
Namun setelah mandi ia masih merasakan efek obat tersebut yang masih kuat. Ia menjadi lebih tidak dapat menahan hasratnya kala melihat seorang gadis cantik tengah berbaring di kasurnya.
Ashraf mendekati Lila yang tak sadarkan diri dan menaikkan tubuhnya di atas kasur sehingga Lila berada tepat di bawahnya. Dengan perlahan ia memajukan wajahnya hingga tak ada lagi jarak antara keduanya. Secara tak sadar Ashraf telah mencium bibir mungil Lila. Perlahan namun pasti ciuman itu berubah menjadi ******* dan akhirnya Ashraf tak sanggup lagi menahan hasrat lelakinya dan mulai menanggalkan pakaiannya.
"Kamu sendiri yang datang kepadaku jadi jangan salahkan Aku," ucap Ashraf dengan suara yang sudah berat dan kembali ******* bibir Lila. Terjadilah hubungan suami istri antara keduanya pada malam itu yang memang tak dapat dihindari lagi.
Saat waktu menjelang pagi, Lila terbangun dan merasakan perih di area sensitifnya. Ia pun mendudukkan dirinya dan mulai mengingat apa yang terjadi semalam.
"Semalam gue ingat habis dari wc gue pingsan. Gue nggak nyangka satu-satunya orang yang paling gue percaya ternyata selama ini dialah musuh gue."
Sebenarnya Lila masih mendengar perkataan Rini semalam walau hanya samar-samar. Ia mulai menyusun semua yang terjadi ke dalam otaknya dan menemukan jawabannya.
"Pasti di minuman semalam Rini masukkin sesuatu ke dalamnya. Gue nggak mungkin mabuk hanya dengan beberapa gelas. Apalagi minuman yang gue pesan semuanya minim alkohol."
Lila kemudian bangkit dari kasur dan mulai memungut pakaiannya yang berhamburan di mana-mana dan memakainya tanpa menyalakan lampu. Ia tak ingin melihat wajah orang yang telah mengambil kesuciannya. Lila berpikir bahwa itu pastilah om-om mata keranjang sebab ia tahu pekerjaan Rini adalah wanita simpanan lelaki beristri atau yang dikenal dengan sebutan sugar baby.
Setelah selesai mengenakan pakaiannya, Lila langsung bergegas meninggalkan Ashraf yang masih tertidur pulas
"Dari mana saja kamu semalam tidak pulang!"
*
*
_bersambung_
Eps 02.
Sang surya menyinari bumi tepat berada di tengah. Panas terik membuat siapa pun yang terkena akan menyipitkan mata dan mengerutkan dahi. Namun tak akan menghentikan kegiatan yang mereka lakukan. Terutama untuk pencari nafkah keluarga.
Tak terkecuali sebuah danau yang berada di tengah kota juga ikut terkena pancaran sinar tersebut. Namun orang menghindari panas itu dengan berteduh di bawah bayangan pohon-pohon yang mengelilingi danau. Salah satunya seorang gadis yang sedang mengayunkan kuasnya memberi tinta pada selembar kertas di hadapannya. Ralat, wanita. Sebab ia telah direnggut kegadisannya beberapa waktu lalu.
Saat ini dia sedang menikmati hari liburnya di danau dengan melakukan kegiatan yang sering dilakukan bersama sang ibu waktu semasa hidup.
14 tahun lalu di tempat yang sama…
"Lila sayang jangan lari-lari, Nak … nanti jatuh."
"Mama ayo lukis Lila, Ma," pinta Lila yang masih berumur 5 tahun dengan semangat.
"Iya, Sayang," jawab Mama Lila sambil tersenyum.
"Lila sayang, kita makan dulu yuk," ajak Tom yang sedari tadi duduk memperhatikan dua perempuan berharga dalam hidupnya.
"Siap, Pa," jawab Lila dengan antusias.
Keluarga kecil itu kemudian menyantap bekal yang mereka bawa dari rumah. Setelah selesai makan, Lila meminta izin untuk bermain dengan pantomim yang berada dekat dengan mereka. Saat sedang asyik menonton pantomim, Lila menoleh dan melihat Tom, Papanya sedang menepuk-nepuk pipi sang ibu yang tak sadarkan diri di pangkuannya. Lila yang melihat itu kemudian berlari menghampiri kedua orang tuanya.
"Pa … Mama kenapa…?" tanya Lila dengan polos.
"Mama kamu sakit, Sayang. Kita bawa dia ke dokter yah," ucap Tom berusaha tetap tenang di hadapan putri kecilnya.
Mama Lila dirawat di rumah sakit dan tak pernah kembali lagi ke rumah. Dua tahun kemudian Mama Lila dinyatakan telah meninggal dunia.
Mental Lila yang masih kecil menjadi terpuruk dan semakin jatuh kala sang ayah membawa pulang istri dan anak barunya selang 1 minggu kematian sang ibu.
Lila yang mengingat kematian ibunya itu hatinya menjadi teriris. Tiba-tiba ia merasakan isi perutnya bergejolak memaksa untuk keluar. Gadis itu berlari menuju toilet umum di danau yang kebetulan berada tak jauh darinya. Ia mengeluarkan seluruh isi perutnya baik itu sarapan tadi pagi maupun makan siang yang baru 15 menit lalu ia santap.
Setelah isi perutnya habis, Lila keluar dengan wajah pucat dan berjalan kembali ke tempatnya semula. Seorang pedagang jajanan manis yang ia lewati menegurnya.
"Pucat amat, Neng mukanya. Pulang aja kalau sakit. Ntar kenapa-kenapa kalau dipaksakan."
*
"Habis keluyuran dari mana lagi kamu! Waktu itu juga kamu nggak jawab kamu tidur di mana! Pekerjaan kotor apa yang telah kamu lakukan sama wanita parasit itu sebenarnya!" hardik seorang pria paruh baya dengan rambut yang telah memutih. Tom namanya, dia adalah ayah kandung Lila. Hubungannya dengan sang putri memang sudah merenggang sejak istri pertamanya tiada.
Lila hanya berlalu tanpa menghiraukan sang ayah. Dia benar-benar malas menanggapi pertanyaan itu. Ketika baru saja menginjak anak tangga pertama, Lila kembali mual. Alhasil dia memilih untuk berlari menuju kamar mandi yang ada di bawah sebab kamarnya masih harus menaiki tangga sedangkan ia sudah berada di ujung tanduk.
"Lila!" teriak Tom memanggil sang putri sebab diabaikan.
"Mas, kayaknya ada yang aneh deh sama Lila," ujar seorang wanita paruh baya bertubuh tinggi dengan rambut yang dikonde. Jeni, istri kedua Tom sekaligus ibu tiri Lila mengernyit melihat Lila yang wajahnya pucat pasi. Ia menghawatirkan putri sahabatnya itu sedang sakit.
"Sudah, Ma biarin aja. Dia pasti cuma pura-pura," sanggah Tom. Jeni tak mendengar itu dan memilih pergi menyusul Lila.
Saat memasuki kamar yang dimasuki oleh Lila tadi ia menjadi terkejut sebab Lila sedang muntah-muntah di kamar mandi. Dengan cepat Jeni menghampiri Lila dan membantunya menggosok punggung.
Setelah muntah yang hanya air itu, Lila memindahkan tangan Jeni yang masih memegang pundaknya. "Gue nggak papa. Nggak usah peduliin gue," ucap Lila datar dengan suara yang lemah. Ia telah kehabisan tenaganya sekarang.
"Kamu sakit, Nak. Mama panggilin dokter ya," usul Jeni tak menghiraukan sikap Lila yang dingin padanya. Ia sudah biasa dengan perlakuan seperti itu dan tak pernah marah sebab mengerti jika Lila seperti itu akibat kedatangannya menggantikan ibu kandung Lila.
"Lo bukan mama gue. Dan nggak akan pernah bisa gantiin posisi mama," balas Lila ketus. Ia sebenarnya tak membenci Jeni sebab tahu sejak awal perlakuan dan perhatiannya itu tulus. Namun ia tak bisa melawan egonya yang tinggi.
"Lila, yang sopan kamu! Dia mama kamu juga!" bentak Tom yang berdiri di ambang pintu. Ia juga khawatir pada putrinya itu sebab bagaimanapun juga Lila adalah anak kandungnya. Namun ia tak suka dengan perlakuan Lila kepada Jeni yang tak pernah menerimanya.
Lila mencebikkan bibirnya dan menatap malas papanya itu. Ia kemudian tiba-tiba merasa mual lagi dan kembali berusaha mengeluarkan isi perutnya.
Hoek ... hoek ...
"Mas panggilin dokter cepat!" pinta Jeni kembali menggosok punggung Lila. Tom tersentak dan berlari mencari ponselnya untuk menghubungi dokter.
*
"Nona Lila hamil dan usia kandungannya sudah memasuki 2 minggu."
Bagai mendengar putusan sidang hukuman mati, Tom dan Jeni diam tak berkutik. Wajah keduanya menjadi pucat tak percaya dengan diagnosa dokter terutama Tom. Pria itu kini wajahnya menjadi merah menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun.
"Tubuh pasien saat ini sangat lemah. Saya akan memberikan vitamin dan juga pereda mual tapi tetap jangan lupa untuk membawanya ke dokter kandungan untuk lebih pastinya," imbuh sang dokter paham apa yang terjadi. Ia sudah menjadi dokter keluarga itu selama bertahun-tahun dan tak pernah mendengar berita pernikahan. Firasatnya mengatakan bahwa Lila telah hamil di luar nikah melihat reaksi sang ayah yang terkejut.
"Terima kasih, Dok. Mari saya antar ke depan," balas Jeni dan pergi meninggalkan Tom yang masih berdiri.
*
"Anak siapa itu?" Suara dingin Tom menyambut Lila yang baru saja bangun.
Lila mengernyit tak mengerti dengan pertanyaan sang ayah namun beberapa detik kemudian ia mulai mendapatkan jawabannya di kepala.
Lila diam tak menjawab. Dia sedang melamun mengingat tragedi yang menimpanya. Dimulai dari keluarga yang tak lagi harmonis sejak 12 tahun lalu, sahabat yang justru menikam dari belakang, diselingkuhi kekasih, dan sekarang ia harus menerima kenyataan telah mengandung benih dari orang yang tak ia ketahui siapa. Lila terhanyut dalam pikirannya mengabaikan Tom membuat pria paruh baya itu semakin naik pitam.
"Laki-laki mana yang sudah menghamili kamu?!" bentak Tom kembali menanyakan ayah dari anak yang dikandung putrinya.
"Lila nggak tahu Pa!" teriak Lila frustasi.
PLAK! PLAK!
Tamparan keras berhasil mendarat di pipi mulus Lila dua kali berturut-turut meninggalkan jejak kemerahan. Gadis itu memegangi pipinya seraya melayangkan tatapan tajam kepada Tom.
"Buat malu keluarga saja kamu!" hina Tom. Pria paruh baya itu sebenarnya dalam hati sedang menangis sebab merasa gagal telah mendidik putrinya.
Jeni datang setengah berlari sebab mendengar suara tamparan yang keras. Ia pun meminta Tom untuk keluar dan memenangkan dirinya.
Setelah kepergian Tom dan Jeni, Lila bangkit dari tidurnya dan duduk sambil memeluk kaki. Isakan tangis perlahan terdengar semakin jelas. Tubuhnya bergetar berusaha menahan agar suaranya tak sampai keluar.
Tiba-tiba pintu dibuka oleh Jeni membuat gadis itu segera menarik selimut besarnya menutupi hingga kepala. Ia menghapus air matanya dengan kasar tak ingin memperlihatkan sisi lemahnya.
"Kamu nggak perlu nutupin. Mama tau kok," tutur Jeni lembut membuka selimut Lila hingga menampilkan wajah yang telah basah dengan mata yang memerah itu.
Jeni menarik tubuh Lila ke dalam pelukannya dan mengusap punggung gadis itu perlahan membuatnya semakin emosional namun dengan sekuat tenaga menahannya. Jeni menyadari itu sebab tubuh Lila terasa bergetar.
"Kamu nggak perlu pura-pura kuat. Keluarkan saja semuanya," bisik Jeni.
Seketika tangisan Lila pecah. Ia sudah tak bisa lagi menahan itu dan memilih untuk menumpahkan semua emosi yang ia pendam. Jeni yang mendengar tangisan pilu itu juga ikut menangis.
"Kamu benar-benar nggak tahu siapa ayah dari anak ini?" tanya Jeni setelah Lila sudah mulai tenang. Lila hanya membalas dengan gelengan pelan.
"Yaudah kamu istrahat dulu ya. Kasian nanti bayi kamu kalau sampai kamu kenapa-napa," lanjut Jeni menarik selimut menutupi Lila hingga ke leher dan berbalik hendak pergi.
"Maaf ..." lirih Lila dengan suara kecil.
*
*
_bersambung_
Eps 03.
"Bagaimana perkembangannya?" tanya seorang wanita berumur kepala dua kepada dokter spesialis yang baru saja memeriksa putranya.
"Amat anak yang sangat cerdas. Dia bisa menerapkan semua apa yang kuajarkan dengan baik. Kalian bisa pergi dengan tenang," balas seorang wanita berkulit hitam dengan rambut ikal.
"Syukurlah, terima kasih, Nia. Kau sangat baik pada kami 5 tahun ini," Lila berterima kasih dengan tulus.
"Tidak perlu sungkan, kita teman. Dan apa kau yakin ingin kembali ke negaramu?" balas Nia. Pasalnya temannya itu menghubungi untuk memajukan jadwal terapi sang anak sebab ingin kembali ke negara asal.
"Aku tidak bisa terus melarikan diri seperti ini. Dan ayahku sekarang sedang sakit parah. Aku harus menemaninya," balas Lila menatap kosong mengingat kejadian beberapa hari yang lalu di mana ibu tirinya menelepon dan mengatakan keadaan sang ayah. Ia diminta untuk kembali.
*
Tok … Tok … Tok …
"Iya sebentar ..."
Pintu terbuka memperlihatkan seorang gadis berparas cantik menggunakan kacamata hitam menggandeng seorang anak laki-laki.
"Lila!" pekik Jeni dan langsung memeluk Lila.
Lila tak menolak pelukan itu tetapi tak membalas juga. Ia biarkan hingga Jeni melepas sendiri dan mempersilakan untuk masuk.
"Ayo masuk dulu, kita bicara di dalam."
Lila melangkah masuk sambil menggandeng tangan mungil putranya. Ia langsung menuju kamar sang ayah untuk melihat kondisinya.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat sang ayah terbaring lemah dengan tubuh yang sudah kurus.
"Papa kamu syhok pas denger kamu kabur dari rumah waktu itu. Meskipun dia selalu tegas dan keras, Papa tetap sayang banget sama kamu, Nak. Perlahan-lahan kesehatan Papa semakin memburuk dan sampai nggak bisa beraktivitas. Dia hanya bisa tidur di kasur terus setiap hari," ungkap Jeni dengan suara yang bergetar mengingat betapa kaget dan sedihnya Tom saat Lila kabur dari rumah.
Lila merasakan sesak di hatinya. Dia sengaja menghilang sebab ingin memulai hidup baru bersama sang buah hati. Namun tak disangka papanya menjadi seperti ini gara-gara dia.
Lila mendekat dan menggenggam tangan sang ayah. Ia terduduk di lantai sambil menciumi tangan papanya itu.
"Pa … maafin Lila, Pa … Lila udah pulang, Lila bawa cucu papa …." sesal Lila mulai menangis.
Amat memeluk sang bunda dan mengelus kepalanya berusaha menenangkan.
"Lila …? Ini benar kamu, Nak? Papa nggak mimpi 'kan?" Tom terbangun ketika merasakan tangannya digenggam seseorang.
Lila langsung berdiri dari duduknya dan memeluk sang ayah. Tom menangis sejadi jadinya dan berusaha memeluk Lila namun sayang tangannya tak dapat digerakan.
Jeni dan Amat yang melihat itu menjadi tersentuh dan ikut meneteskan air mata.
*
Malam telah tiba dan Lila bersama sang ibu dan kakak tiri sedang menyantap makan malam. Tak lupa juga dengan malaikat kecilnya.
"Ehm ... Lila minta maaf atas perlakuan Lila dulu ke kalian. Setelah memiliki Amat, Lila baru sadar ternyata selama ini Lila yang terlalu egois dan memperlakukan kalian dengan kasar. Padahal kalian udah baik tapi Lila tetap nggak memandang itu dan selalu ngehindar," ujar Lila di tengah makan malam itu.
Jeni mendesah pelan dan tersenyum seraya berkata. "Udah nggak usah ungkit yang udah lalu. Yang penting sekarang kita udah sama-sama lagi dan keluarga kita akan kembali membaik setelah ini," balas Jeni menggenggam tangan Lila di atas meja.
Mata Lila berkaca-kaca mendengar balasan Jeni yang tidak memikirkan perbuatan jahatnya. Gadis itu kini benar-benar merasa menyesal. Ia pun mengalihkan pandangan kepada sang kakak, Dika.
"Mama benar. Kamu nggak perlu mikirin yang tidak-tidak," sambung Dika membuat Lila semakin terharu.
"Em, Lila ... Mama mau tanya," panggil Jeni ragu-ragu. "Anak kamu kenapa, Sayang?" tanya Jeni sangat menjaga tutur bahasanya takut putrinya itu akan tersinggung.
Tatapan mata Lila berubah menjadi sendu namun hanya sepersekian detik saja sebab sadar akan keberadaan putranya dan tak ingin memperlihatkan wajah sedih terhadap kekurangan yang dimiliki Amat.
Lila menarik nafas pelan dan menghembuskannya perlahan. "Amat menderita autis, Mah ... gangguan motorik - Cerebral Palsy, tapi Amat spesial. Dia nggak ada masalah dalam komunikasinya hanya motoriknya aja," terang Lila berusaha tetap tegar.
Jeni merasakan kesedihan dalam ucapan Lila. Ia paham betul bagaimana kasih sayang seorang ibu ketika anaknya kekurangan. Kalau bisa ia ingin menggantikan posisi anaknya.
"Ohiya perusahaan gimana, Bang?" Lila mengganti topik guna mengubah suasana.
Hati Dika sedikit berdesir. Ada rasa hangat dan bahagia saat mendengar panggilan abang dari Lila untuk pertama kalinya.
"Nggak baik. Saat Papa mulai sakit-sakitan, Abang berusaha sekuat tenaga untuk tetap menjaga perusahaan. Tapi selalu saja ada yang janggal. Dan yang lebih parahnya sekitar 3 bulan yang lalu, dana perusahaan seolah-olah raib," terang Dika.
"Janggal gimana, Uncle?" Kali ini Amat yang bertanya.
"Selama 4 tahun terakhir, dana perusahaan seolah tak berjalan. Uncle udah ada curiga sama orang dalam tapi nggak nemu siapa pelakunya," jawab Dika pada Amat walau ia merasa Amat tak akan terlalu mengerti apa yang dibicarakan.
"Jadi sekarang gimana, Bang?" Lila kembali bertanya.
"Abang udah coba buat pinjaman ke bank tapi ditolak. Sekarang Abang lagi berusaha buat ajukan proposal ke perusahaan-perusahaan besar namun ditolak juga. Tapi Abang nggak akan nyerah. Abang bakal coba terus."
"Amat boleh liat proposal Uncle nggak?"
"Boleh kok." Dika memberikan proposal yang memang berada di mejanya.
"Ponakan Uncle mau ngapain sama proposalnya hm?" tanya Dika mencoel pipi sang ponakan.
"Uncle, ini proposal Uncle nggak bagus. Terlalu bertele-tele. Yang Uncle ajukan juga nggak terlalu menarik," jawab anak kecil itu membuat Dika mengernyit dan menatap Lila mencari jawaban.
Lila menganggukkan kepalanya kepada Dika.
"Abang percaya aja. Kita pasti bakal bisa selamatin perusahaan Papa," tutur Lila melihat Dika masih memandang ragu.
Dika hanya bisa menurut dan mau tak mau percaya pada Lila dan ponakannya yang masih berumur balita itu.
*
Pagi telah tiba. Lila dengan setelan jas maroon telah berada di depan perusahaan Indra Bakti.
"Permisi … saya mencari Tuan Ashraf," tanya Lila pada resepsionis.
"Maaf apa sudah buat janji sebelumnya?"
"Belum."
"Maaf … silakan buat janji terlebih dahulu," ucap resepsionis sopan.
Lila berbalik namun tak pergi. Ia memilih untuk menunggu di lobi. Berjam-jam ia lewati dengan hanya duduk di lobi gedung tinggi itu.
Saat waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, Lila melihat seorang pria berjalan keluar dari lift yang sedari tadi tidak ia lihat dipakai orang. Selama berjam-jam dia di situ, hanya lift yang berada di kanan yang digunakan.
Saat kedua lelaki itu berjalan, tampak pekerja-pekerja yang ada di situ sedikit menundukkan kepala.
"Dia pasti presdirnya."
Lila segera menghampiri dan Ashraf terlihat menghentikan langkah kakinya.
"Selamat siang, Tuan Ashraf. Saya Lila dari Kusuma Jaya. Apa saya boleh minta waktunya sebentar?"
Pria yang berjalan bersama Ashraf hendak maju dan mengatakan sesuatu namun ditahan oleh Ashraf.
"Ke ruangan saya." Ashraf kembali memasuki lift diikuti Lila di belakangnya.
Jimmy, lelaki yang bersama Ashraf memandang tak percaya pada bosnya itu. Biasanya dia tak akan meladeni wanita terlebih lagi baru kemarin ia memberi perintah untuk tidak membiarkan seseorang mencarinya dari Kusuma Jaya.
Di ruang kerja milik Ashraf…
Lila menyodorkan map berisi proposal yang ia buat semalam bersama Amat.
Ashraf diam dan menatap Lila selama beberapa menit membuat Lila berpikir apa mungkin ia telah melakukan kesalahan.
"Beberapa hari lalu seseorang juga datang dan meninggalkan proposal dari Kusuma Jaya. Saya sudah membaca dan tidak tertarik. Apa bedanya dengan proposal yang kamu bawa?" tanya Ashraf.
"Proposal yang saya bawa berbeda dengan yang telah Tuan baca. Saya pastikan Anda tidak akan menyesal membaca proposal kami," terang Lila dengan percaya diri.
Melihat kepercayaan diri Lila, Ashraf menjadi tertarik dan membaca proposal miliknya. Dan benar saja, proposal yang dibawa kali ini sangatlah potensial menurut Ashraf.
"Proposal milikmu ini memang bagus," puji Ashraf sebab benar-benar menyukai proposal yang dibawa Lila.
"Saya akan bekerja sama." Ashraf menjabat tangan Lila.
"Terima kasih, Pak. Saya pastikan Anda tidak akan menyesal." Lila tersenyum cerah dan pamit undur diri.
Setelah Lila pergi Jimmy memasuki ruangan.
"Cari tahu identitas gadis itu!"
"Baik."
Di rumah Lila…
"Tuan Ashraf benar-benar menerima proposal itu?" tanya Dika tak percaya.
"Sudah aku bilang bahwa Amat bisa diandalkan," kata Lila bangga.
"Tapi presdir itu tidak seperti yang Abang bilang. Dia tidak menolak dan aku langsung dipersilakan masuk ke ruangannya."
"Benarkah? Abang kemarin diacuhkan. Aneh …"
*
*
_bersambung_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!