"Kosiiiiiiiim........!" teriak Amih Iah memanggil sang menantu prianya yang saat itu tengah makan karena perutnya sudah sangat lapar dari pagi hingga pukul 11:00 belum makan.
"Iya Mih. Ma, mangap....lagi makhan," timpal Kosim sang menantu yang sangat dibenci mertua perempuannya itu.
Kosim bicara dengan mulut penuh makanan hingga terdengar tidak sempurna.
Amih Iah, demikian orang-orang menyapa Ibu Hajah Sajiah, istri Pak Haji Soleh ini, sangat geram mendengar Kosim bicara tak jelas. Itu tak sopan, pikirnya.
Amih Iah pun setengah loncat menuju kamar anak menantunya. Tampak Kosim lagi makan di lantai kamarnya tak beralaskan apa pun, ia begitu lahap makan yang disajikan sang istri.
Sementara Yani, istri Kosim atau putri Pak Haji Soleh dan Amih Iah tengah merapikan pakaian yang baru diangkatnya dari penjemuran. Meski masih jam 11:00 tapi sebagian sudah ada yang kering karena sudah dijemur dua kali dengan hari kemarin.
Amih Iah berkacak pinggang, tak ubahnya orang-orangan di sawah. Kosim tak hirau, dia masih terus menyuapi mulutnya sendiri karena belum kenyang.
"Hey, kunyuk!" semprot Amih Iah demi melihat si Kosim m⁶asih anteng mengunyah padahal mertua galaknya sudah berkacak pinggang di ambang pintu.
Kosim tak menyahut. Ia mencuil bagian ikan pindang yang montok, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya. Lalap daun kol muda dicoelkan ke sambal terasi merah menyala yang disimpan di piringnya.
Keruan saja Amih Iah tambah emosi. Dia merasa sudah tidak dihargai lagi oleh menantu yang disebutnya kunyuk. Kalau menantunya kunyuk, mertuanya apa ya?
"Sekali lagi kamu cuekin aku, aku gampar kepala borokan kamu!" ancam Amih Iah.
"Bu, ada apa sih kok gitu sama Kang Kosim? Kasihan dia dimaki-maki terus?"
Akhirnya Yani bangkit dari tepian ranjang lalu menghampiri ibunya dan menyuruhnya agar pergi. Kalau ada perlu mengapa tidak bicara baik-baik, bukannya marah-marah tak keruan begitu.
"Kamu lagi mau-maunya dinikahi anak orang miskin dan buruk rupa!"
Deg!
Jantung Kosim terasa sakit mendengar ucapan Amih Iah barusan. Kata-kata itu kerap ia dengar ketika mertua perempuannya memarahinya,
menyebut orangtuanya miskin, menyebut rupanya buruk.
Namun apa daya dia hanya bisa mengurut dada. Untuk yang satu ini Kosim tak bisa membela diri karena memang kenyataannya begitu. Ya, orangtuanya miskin, rupa dia pun amat jauh dengan rupa orang cakep atau ganteng, apalagi dipersamakan dengan aktor Korea, tak seujung kukunya.
Benar, Yani sang istri yang cantik, kulit kuning langsat, tubuh lumayan berisi, bahkan sedikit seksi dengan bokong sedikit jumbo, ditambah selalu mengenakan hijab, siapa pria yang tak tertarik kepada Yani anak orang kaya lagi.
Tapi kenapa juga Yani harus mau dinikahi pria macam Kosim yang jelas-jelas anak orang miskin dan rupanya buruk seperti dikatakan Amih Iah.
Sudah mah anak orang miskin, rupa buruk dengan kulit hitam meski tidak legam, rambut lurus, tubuh kurus kering meski tidak sampai kerontang.
"Jadi, semua yang dikatakan mertua perempuan gue itu benar adanya. Oleh karena itu tak perlu dibela atau membela diri dengan berkata yang bukan-bukan kalau tak ingin menambah masalah," benak Kosim.
Namun, ketika barusan, terdengar mertuanya menyebut dia kunyuk, ini jelas perlu dilawan, tak boleh dibiarkan, sebab dia tahu mertuanya tak punya penyakit katarak yang menyebabkannnya hilang indra netranya sehingga tak bisa membedakan mana manusia mana kunyuk.
"Hey, kalau orang lagi ngomong dengerin ya, lihat ya, jangan terus makan! Itu penghinaan!" koar Amih Iah kian menjadi-jadi karena Kosim belum memberikan reaksi apa pun.
Padahal niatnya marah-marah untuk mencari-cari kesalahan Kosim agar bisa dengan mudah menghasut suaminya sehingga Kosim dan Yani segera bercerai.
Namun alih-alih menuruti kemauan sang isti, Pak Haji Soleh kerap membela Kosim dengan atas nama utang budi kepada orangtuanya.
"Kan Amih yang nyuruh diam!" timpal Kosim sudah punya senjata untuk membalikkan ucapan ejekan mertua wanitanya.
"Apa maksudmu?" Amih Iah mendekati wajah Kosim laksana singa yang mau melahap kepala kambing muda.
"Tadi kan Amih bilang hey kunyuk! Ya udah aku diam karena yang ibu sapa kunyuk, sedangkan aku sumpah manusia. Kalau gak percaya boleh tes DNA tes DNO, tes apa pun!' celoteh Kosim yang sehari-harinya memang senang bersilat lidah menyudutkan orang yang suka menghinanya.
Kosim pikir, harta kekayaan boleh miskin, rupa boleh buruk, tapi otak harus tetap kaya, tubuh harus tetap bersih dengan bersuci untuk salat biar tetap berderajat takwa.
Bukankah menurut firman Tuhan manusia yang paling mulia di sisiNya hanyalah orang yang paling takwa, bukan orang yang paling kaya, orang yang paling beriman, bukan orang yang paling tampan, orang yang paling penyabar, bukan orang yang paling pintar.
Kosim bergumam demikian bukan untuk membela diri, tetapi itulah ketentuan Allah SWT yang Mahaadil dan Bijaksana.
Bayangkan, kalau Tuhan menetapkan bahwa orang yang paling mulia itu orang yang paling kaya, yang paling cakep, yang paling pintar, terus bagaimana dengan orang miskin, orang yang buruk rupa? Kalau itu terjadi, jelas Tuhan tidak adil. Dan itu mustahil.
"Bisa aja bersilat lidah! Dasar tak mengenyam bangku sekolah!" hina Amih Iah lagi.
Kosim tak menyanggah karena memang dia pun tak mengenyam pendidikan layaknya orang lain yang bisa tamat SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Kosim hanya masuk SMP kelas 1, tidak sampai tamat karena kehabisan keuangan keburu ayahnya Pak Soma meninggal dunia.
Amih Iah meninggalkan kamar Kosim, namun sebelumnya, ia menyuruh dengan kasar agar Kosim mengisi baik air di kamar mandi hingga penuh. Bak air yang harus diisi dengan air dari sumur. Itu atinya Kosim harus menimba air dari sumur yang begitu dalam.
"Nyi ini udah, tolong simpan ke dapur ya, langsung cuci biar Amih tidak marah-marah lagi," pinta Kosim kepada istrinya yang dari tadi mematung menyaksikan ibunya memarahi sang suami.
Yani cuma bisa diam. Dia begitu hormat kepada orangtuanya, apalagi kepada ibunya yang telah mengandungnya meski dia sangat
tidak senang terhadap sikap ibunya yang selalu memarahi sang suami.
Bagaimanapun Kosim keadaannya, dia adalah suaminya yang harus dihormati yang harus dihargai. Yani sadar terhadap ajaran agama bagaimana semestinya sikap seorang istri terhadap suaminya, bagaimanapun keadaan suaminya sepanjang sang suami berada di jalan yang benar.
Oleh karena itu Yani pun merasakan kepedihan hati suaminya ketika dimarahi dan dimaki-maki ibunya. Satu hal yang tak bisa dia lakukan, membela sang suami dengan terang-terangan kecuali hanya berkata alakadarnya agar sang suami tidak terlalu sakit hati, paling tidak kehadiran dirinya di samping suaminya punya arti.
"Iya Kang. Sabar ya atas semua sikap Amih. Kita berdoa semoga ke depan ada perubahan," lirih Yani di telinga Kosim yang kemudian menganggguk mengiyakan.
Benar apa yang dipikirkan Yani bahwa kehadirannya sangat berarti bagi Kosim. Kosim tak dapat membayangkan bagaimana dia akan sangat teraniaya jika Amih yang galak itu didukung oleh istrinya.
Selama ini yang mendukung sikap Amih hanyalah kakak Yani nomer dua, Deni, yang kini tengah kuliah di kota tapi lebih sering pulang ke rumah meminta uang dengan motornya.
Deni pula yang kerap membawa-bawa pria lain ke sini entah temannya di kampung sini atau dari kota yang menawarkan ibunya untuk menjadikan suami bagi Yani. Tapi alhamdulillah Yani tak tergoda.
Itu tak lain atas didikan Pak Soleh ayahnya. Memang Kosim tahu semula Yani menolak dijodohkan dengan dirinya meski juga dia tidak menyebut pria lain yang tengah mendekatinya.
Belakangan Kosim tahu dari Yani katanya Pak Soleh dan Yani bicara serius tentang mengapa Pak Soleh menjodohkan Kosim dengan Yani.
"Bapak berutang budi kepada Pak Soma. Tolong ikuti nasihat Bapak, bukannya Bapak tidak kasihan kepada kamu Yan, tapi Bapak sudah keluar kata-kata berupa janji ketika Bapak nyaris kehilangan nyawa dan ditolong oleh Pak Kosim......" kata Pak Soleh seperti ditirukan oleh Yani kepada Kosim.
(Bersambung)
Entah atas pertimbangan apa akhirnya Yani menerima menjadi istri Kosim. Sebaliknya Kosim pun sempat menolak karena sadar diri atas kondisinya yang tak mungkin menjadi suami wanita cantik dan anak orang kaya seperti Yani atau nama lengkapnya Yani Nurmala.
Lagi-lagi Pak Soleh menasihatinya, juga ibunya Mak Tiah -kependekan dari Sutiah ibunya Kosim- menyemangatinya karena begitulah amanat yang ia terima dari almarhum bapaknya Kosim.
"Bapakmu yang mengamanti Emak agar kamu mau menikah dengan putrinya Pak Haji Soleh. Tapi itu pun kalau Pak Haji Soleh mau menunaikan janji, kalau tidak ya kamu harus tahu diri cari jodoh yang sesuai dengan kondisi kita, Sim," ujar Mak Tiah kepada anak kesayangan satu-satunya.
Ya, Kosim anak tunggal Pak Soma almarhum dan Bu Sutiah yang kini usianya sudah kurang lebih 60 tahunan. Oleh karena itu Kosimlah satu-satunya harapan Mak Tiah.
"Tapi Mak, uing (aku) malu harus bersanding sama Neng Yani yang cantik lagian dia pun pasti tak bakal mau sama aku," lirih Kosim saat itu, kira-kira setahun lalu sebelum pertikahan berlangsung.
"Emak 'kan udah bilang tadi kalau Pak Soleh masih ingat janjinya. Kalau tidak ya udah cari yang lain kalau kamu masih laku sama perempuan!" tutur Mak Tiah sedikit bercanda.
"Yah...Mak. Pasti kagak bakal maulah Yani dinikahi aku meski bapaknya Pak Haji Soleh mengizinkan atau menunaikan janjinya. Lagian banyak pemuda di sini yang mengejek aku karena aku akan ditikahkan kepada Neng Yani," ujar Kosim bersikeras tak mau menikah dengan Neng Yani.
"Jangan berpikir ke mana-mana, Sim. Kalau berpikiran ke mana-mana malah tambah pusing. Sekarang turuti saja omongan Emakmu. Jika Pak Soleh mengizinkan atau menunaikan janjinya, laksanakan meski anaknya Yani menolak."
Emaknya Kosim rada marah juga karena seolah Kosim bersikeras menolak.
"Tapi Mak, bagaimana kalau orang bilang aku mau ditikahkan gegara janji bapaknya dan bukan atas dasar cinta. Kata si Jojo juga cinta itu penting kalau rumah tangga ingin awet," ujar Kosim masih berkilah dan mengemukakan bebagai alasan.
Secara hasrat lelaki sih memang Kosim bisa dikatakan tak normal kalau tak mau ditikahkan dengan gadis cantik, anak orang kaya, seksi lagi. Tapi Kosim tahu betul jika kondisi timpang antara dirinya dengan Yani kelak bakal banyak menimbulkan masalah.
"Halaaaah....omongan si Jojo kamu denger. Si Jojo sendiri masih jomblo gak laku-laku. Itu tandanya dia tak punya cinta, wong bilang sama orang soal cinta dia sendiri tak punya cinta buktinya gak laku-laku," celoteh Mak Tiah membicarakan anaknya Mpok Ipah, tetangganya.
"Nih dengar lagi ya Sim, dengerin baik-baik. Yang penting kamu menikah dengan Yani sudah mendapat restu Bapaknya. Nah entar jika sudah menikah, lucuti segala embel-embel istrimu yang anak orang kaya. Kamu harus anggap istrimu orang miskin seperti kamu. Karenanya kamu harus berusaha menafkahi istrimu, tanpa menggantungkan pemberian mertuamu. Dengan begitu harga dirimu akan tetap terjaga," ujar Mak Tiah dengan panjang lebar.
Nasihat emaknya setahun lalu itu masih terngiang-ngiang di telinga Kosim. Itulah sebabnya ketika Pak Soleh mengutarakan janjinya untuk menikahkan Kosim dengan Yani, Kosim tak menolak apalagi membantah, dia menyatakan siap dengan catatan Neng Yani pun siap.
"Tenang Sim. Anak Bapak Yani sudah menyatakan kesediannya. Bapak telah menjelaskan mengapa kalian harus menikah dan Yani menerima," kata Pak Haji Soleh saat itu. Ya, sekitar satu tahun lalu.
Akhirnya Kosim dan Yani menikah dalam perhelatan sederhana, hanya dihadiri keluarga terdekat dan handai tolan sekitar tetangga dan kenalannya.
Itu tak lain atas inisiatif Amih Iah yang tak menghendaki pesta mewah atas pertikahan yang disebut oleh Amih Iah sebagai "bencana".
Ini berbeda dengan pertikahan anak sulung Pak Haji Soleh dan Bu Hajah Sajiah atau Amih Iah, Toni, yang sangat mewah karena Bu Hajah Iah sangat puas mendapatkan besan orang kaya seperti dirinya.
Lain halnya saat menikahkan Kosim dan Yani, Amih Iah merasa sayang kalau harus mengeluarkan uang banyak untuk pertikahan "bencana" putri satu-satunya itu.
"Tapi Bu, Toni anak kita Yani anak kita. Bagaimana perasaan hati Yani kalau dia menikah tanpa pesta mewah seperti kakaknya?" ujar Pak Haji Soleh ketika membicarakan rencana pertikahan Kosim dan Toni.
Dengan wajah memerah dan mata sedikit melotot, Amih Iah bicara lantang kepada suaminya.
"Bapak ini bagaimana tho. Kalau bicara itu harus dipikirkan terlebih dahulu, apa benar atau tidak menurut orang lain, bukan menurut hati sendiri!" koar Amih Iah membuat Pak Haji terkaget-kaget.
"Ya tentu dipikirkanlah Bu. Gini-gini juga aku pernah ke Tanah Suci kan bersama Ibu?" balas Pak Haji Soleh
"Jangan bawa-bawa Tanah Suci, malu Pak. Bawa tanah kita saja di sini." ejek Amih Iah.
"Maksud Ibu?" Pak Haji Soleh mengernyitkan dahi.
"Kalu Ibu dulu saat menikahkan si Toni dan si Riri dengan pesta mewah ya wajar karena besan kita juga orang kaya. Takkan kesulitan mengeluarkan biaya berapa pun. Lah ini anak orang miskin, ibunya janda tua, bapaknya telah tiada. Apa Bapak tega meminta duit bayak kepada si janda tua itu?" sungut Amih Iah sekalian saja meledek sang suami.
Pikir Amih Iah mau-maunya saja sumainya memenuhi janji padahal orang yang dijanjikanya sudah meninggal dunia, pasti takkan apa-apa kalau diingkari juga. Ini malah bersikeras mau menikahkan tanpa bekal cinta, tanpa saling cinta, orangtua macam apa itu? bisik batin Bu Hajah Sajiah. Dia lupa bahwa janji itu erat kaitannya dengan urusan agama, tepatnya dengan Allah SWT.
"Jangan hina orang lain Bu. Kemuliaan orang tidak diukur dengan harta kekayaannya, tapi oleh akhlak dan budi perangainya serta nilai-nilai agamanya. "
"Tapi buktinya hanya orang-orang kaya yang bisa memenuhi keinginannya. Ingin ini ingin itu, kalau punya uang dalam waktu sekejap sudah terlaksana. Coba orang miskin, ia hanya mampu melamun dan melamun," sindir Amih Iah membuat Pak Haji Soleh tak berkutik.
Namun bukan tak berkutik tanpa punya senjata untuk membalikkannya, Pak Haji Soleh yang tergolong rajin membaca, rajin menuntut ilmu di majelis taklim bahkan sesekali memberikan ceramah, sudah punya penangkal untuk menyadarkan sang istri yang pemikirannya sudah jauh melenceng.
Akan tetapi untuk sementara Pak Haji mengalah dulu. Yang penting sekarang si Kosim dan si Yani anaknya menikah untuk memenuhi nazar atau janjinya kepada almarhum bapaknya Kosim. Biarpun tidak diistimewakan seperti anak sulungnya.
Benar juga omongan istrinya kalau mau hajat pertikahan mewah tentu Kosim dan Mak Tiah bakal angkat tangan.
Pak Haji hanya bisa berdoa semoga pertikahan Kosim dan Yani berlangsung langgeng, hingga tua, dibarengi dengan limpahan rezeki halal, bisa mengubah nasib takdirnya ke arah yang lebih baik agar menjadi orang yang dihargai orang lain.
Alhamdulillah hingga kini setahun sudah Kosim dan Yani membina rumah tangganya. Namun ada ganjalan dalam hati Pak Haji yaitu hingga kini Yani belum bilang-bilang sedang mengandung.
Padahal Pak Haji sangat mengharapkan Yani segera mengandung, punya anak, sehingga Pak Haji bertambah lagi cucunya. Cucu pertama sudah lahir dari Toni dan Riri, kini tinggal menunggu cucu dari Yani.
Sementara dari Deni, entah kapan, Pak Haji tak begitu berharap, wong si Deni kerjanya cuma minta duit dan duit kuliah enggak beres-beres padahal sudah semester enam.
***
Waktu telah menunjukkan pukul 12:00 siang. Kosim segera bangkit dan menuju masjid terdekat untuk menunaikan salat zuhur.
Usai beribadah, Kosim kembali ke rumahnya, tepatnya rumah mertuanya, ingat suruhan mertuanya untuk menimba air guna mengisi bak mandi hingga penuh.
Kosim pun segera mamasuki kamar mandi yang berada di samping dapur. Dia segera memegang tali timba dan menurunkan ember timbaan yang berukuran sedang membuat penimba agak kesulitan karena airnya terlalu berat untuk diangkat.
Anehnya ember timbaan menjadi sedang itu setelah Kosim tinggal di sana. Sebelumnya ember kecil yang normal-normal saja kalau diangkat. Ember yang ini terasa sangat berat. Lagian kedalaman sumur pun lebih dari 10 meter.
(Bersambung)
Kosim segera menimba air dengan agak malas mengingat dia harus mengisi baik air dengan penuh, sementara ember yang digunakan berukuran sedang tetapi terasa berat ketika harus diangkat saat menimba.
Apa boleh buat karena memang begitu keadaannya yang membuat dirinya merasa serbasalah. Dikerjakan berat tak dikerjakan berat juga.
Namun akhirnya Kosim menimba air, sudah dua ember dia isikan ke dalam bak. Lumayan sudah seperdelapan ukuran bak.
Kalau dikerjakan terus dengan tekun pastilah bakal terisi penuh dan pastilah mertua perempuannya akan senang meski jangan berharap Kosim mendapatkan ucapan terima kasih.
Bagi Kosim, ucapan terima kasih dari sang mertua wanita adalah barang langka kalau tak boleh dikatakan mustahil terucap.
Sikap seperti itu tak ubahnya Kosim dijadikan kacung alias pembantu, alih-alih menjadi pangeran karena mendapat istri cantik dan anak orang kaya.
Ketika serius menimba untuk ember berikutnya dan air sudah terisi sekitar seperempat bak, tiba-tiba Kosim mendengar orang berjalan ke arahnya. Ketika ditoleh ternyata Amih Iah.
"Coba lihat sudah penuh belum kamu mengisi bak Kosim?" ujar Amih Iah sembari masuk kamar mandi dan melihat bak yang baru berisi seperempatnya.
"Kamu ngapain saja sih di sini?" tanya Amih Iah.
"Ya lagi nimba air Mih. Kan tadi Amih menyuruh aku menimba air bukan joged," timpal Kosim sekenanya.
"Kalau kamu benar menimba air mestinya sudah penuh ini bak. Nyatanya baru seperempatnya. Itu artinya kamu kerja enggak beres!" koar Amih Iah.
"Sudah sana dulu aku mau mandi, kamu sekarang sapuin sampah di dapur dan di halaman belakang, terus buang ke tempat yang biasa," kata Amih Iah sudah memerintah pekerjaan yang baru padahal pekerjaan menimba air pun belum beres.
"Oh, jadi mengisi bak oleh Amih ya. Kalau begitu aku keluar mau menyapu dan buang sampah."
"Apa kau bilang?" tanya Amih Iah sembari berkacak pinggang dengan mata melotot ke arah Kosim.
"Iya Amih yang akan menimba air karena aku disuruh membuang sampah kan?" ujar Kosim.
"Setelah kamu menyapu dan membuang sampah, kamu kembali ke sini melanjutkan menimba air karena air yang ini akan aku pakai mandi. Paham?"
Kosim tak menjawab. Ia ngeloyor pergi dari kamar mandi, lalu mengambil sapu untuk menyapu di sekitaran dapur.
"Biar oleh aku Kang. Udah beres menimba airnya?" tiba-tiba Yani, sang istri menghampiri.
"Baru seperempat bak Nyi, itu pun kini sedang digunakan Amih mandi, Akang disuruh nyapu dapur dan halaman dapur," keluh Kosim.
"Iya biar nyapu dapur ini oleh aku, Akang di bagian luar saja biar cepat," tutur Yani.
Kosim pun membersihkan bagian halaman dapur. Setelah terkumpul lalu dimasukkan ke dalam wadah sampah lalu diangkut ke TPS (tempat pembuangan sampah) sementara di dekat kebun.
Setelah membuang sampah Kosim kembali melanjutkan mengisi bak air. Begitu melihat bak, Kosim geleng-geleng kepala karena isi dalam bak itu benar-benar sudah kering, tak ada air sedikit pun.
Lagi-lagi Kosim hanya bisa mengurut dada. Dia merasakan benar-benar dijadikan pembantu bukan menantu. Padahal sebelumnya di sini ada pembantu pria yang biasa disuruh-suruh baik oleh Pak Haji maupun Amih dan keluarga lainnya. Namun setelah ada Kosim si pembantu pria bernama Mang Koyod itu malah diberhentikan oleh Amih dan tugas-tugas sebelumnya dilimpahkan kepada Kosim.
Kosim pun segera meraih tali timba. Lalu meluncurkan ember ke dalam sumur dengan bebas hingga kemudian terdengar dentuman keras di dalam sumur sebagai pelampiasan kekesalan Kosim.
"Yang bener kamu nimba air, jangan main lepas begitu, Kosim!" tiba-tiba terdengar Amih Iah berkoar marah.
Kosim tak menyahut. Syukur saja ulahnya barusan terdengar, semoga saja dia mengerti bahwa apa yang terjadi barusan merupakan protes dirinya agar tidak dijadikan pembantu terus-menerus.
Kosim sudah berhasil mengisi air bak hingga seperempatnya. Cukup untuk mandi seorang, bahkan kalau ingat mengambil air dari sumur itu berat orang yang menggunakannya pastilah akan berhemat air kecuali mau menimba sendiri itu bukan masalah.
Ketika Kosim akan melanjutkan menimba air karena disuruh mengisi bak hingga penuh, tiba-tiba Deni, kakak iparnya, muncul. Deni sedang berada di rumah karena libur kuliah katanya.
"Sim, sori euy gue ikut dulu ke kamar mandi," kata Deni.
"Mau ngapain Kak?"
"Sebentar buang air," timpal Deni.
"Tapi tolong nimba dulu airnya itu sudah aku timba untuk memenuhi air bak disuruh Amih," wanti-wanti Kosim kepada kakak iparnya.
"Wa kamu perhitungan amat sih sama kakak ipar? Cuma air doang!" protes Deni enteng.
Kosim pun tak menimpali, lalu keluar kamar mandi dan memilih duduk di kursi yang ada di samping pintu kamar mandi.
"Lho, kenapa kamu duduk di situ bukankah disuruh menimba air hingga penuh?" tiba-tiba muncul Amih Iah.
"Deni lagi di air Mih," ucap Kosim pendek.
"O ya awas ya jangan sampai tak penuh. Sebentar lagi Bapak pulang pasti butuh air untuk mandi," kata Amih Iah sambil ngeloyor pergi ke tengah rumah.
Kosim masih menunggu Deni keluar kamar mandi, namun ditunggu-tunggu masih anteng. Katanya mau buang air? Mungkin buang air besar, pikir Kosim.
"Kok lama banget Kak?" akhirnya Kosim bertanya pula mengingat Deni sudah begitu lama di dalam WC.
"Bentar gue sembelit," timpal Deni.
Benar aja tuh anak itu sedang buang hajat. Namun Kosim tak enak hati karena mendengar gelontoran air sepertinya keran air bak dibiarkan menggelontor tak ditutup.
"Kosim berdiri, penasaran dengan apa yang terjadi di dalam WC. Namun dia tak bisa melihat karena pintu tertutup rapat.
"Tolong Kak itu keran airnya jangan dibiarkan terbuka terus nanti airnya habis!" kata Kosim dengan suara nyaring.
"Iya, iya maaf aku lupa menutupnya." kata Deni.
"Apaaaaa?" Kosim setengah berteriak.
"Sudah ditutup Sim. Tenang aja," kata Deni enteng.
Lalu pintu kamar mandi terbuka, tanpa mengucapkan terima kasih karena sudah diambilkan air dari sumur, Deni ngeloyor entah ke mana.
Kosim berdiri mematung dengan dada sesak melihat air di bak kembali sudah kering. Entah lupa entah sengaja tadi Deni membiarkan keran air bak tidak ditutup hingga airnya terbuang percuma.
Seketika Deni ingin menangis, tak ibu tak anak sama-sama tak berperasaan menghabiskan air bak sekarep dewek. Mau enaknya, biar orang lain enek.
Meski begitu Deni lagi-lagi menahan diri untuk tidak meluapkan emosi dengan tetap sabar dan segera saja meraih kembali tali timba untuk mengambil air dalam sumur.
Kalau saja dia tukang sulap, ingin sekali bisa menyulap air itu bisa terbang sendiri dari dalam sumur lalu masuk bak hingga penuh.
Namun tentu saja itu mustahil bisa terwujud. Namanya juga sulap, sekadar manipulasi pandangan penonton yang dibuat trik oleh pesulap.
Menyadari menyulap air takkan terwujud, maka Kosim pun mengikuti dunia nyata saja dengan mengulangi menimba air sumur yang akhirnya penuh juga.
Setelah penuh ia memutar kuat-kuat keran air bahkan lubang pipa saluran air di dalam bak dia tutup rapat agar airnya tidak keluar semena-mena.
Tiba-tiba muncul Yani membawa piring. Di atasnya terlihat pisang goreng.
"Mau dimakan di mana Kang?" tanya Yani dengan wajah sayu.
"Di sini aja Yan," timpal Kosim.
Yani pun lantas menyimpan pisang goreng itu di meja kecil terbuat dari kayu di samping kursi kayu yang tengah diduduki suaminya.
Yani kembali ke ruang tengah dapur terlihat oleh Kosim istrinya tengah membuat kopi. Dan benar saja Yani sedang membuat kopi. Namun tiba-tiba muncul Amih Iah.
"Kopi untuk siapa itu Yan?" tanya Amih Iah.
"Untuk Kang Kosim, Mih" timpal Yani terdengar juga oleh Kosim.
"Halah.......menimba air segitu aja meski dimanja dengan air kopi. Biar ia suruh bikin sendiri, nanti kalau terus begitu bisa ngelunjak," kata Amih Iah.
Kosim tak habis pikir mengapa Amih Iah bicara sampai segitunya. Bukankah kewajiban istri melayani suami? Dan tak semestinya pekerjaan Kosim menimba air disepelekan.
Toh tadi juga yang menggunakan airnya dia sendiri. Kosim mau cuci muka sekalipun tak mau mengganggunya takut air baknya berkurang meski hanya sedikit.
"Buru cepet kamu mandi, sebentar lagi ada tamu. Awas ya kamu harus menuruti apa yang ibu katakan," kata Amih Iah bicaranya seperti dikeraskan agar terdengar oleh Kosim.
"Tamu siapa sih Bu?" tanya Yani.
"Den Johar!"
Deg!
Kosim terkejut mendengar nama itu disebut mertua perempuannya.
(Bersambung)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!