“APA KAU PIKIR AKU MAU HIDUP SEPERTI INI?” Suara teriakan dari seorang pria yang sudah setengah sadar terdengar menggema di ruangan itu. Badannya terhuyung seperti akan jatuh, tapi ia mencoba menyeimbangkan tubuhnya. Bau alkohol menyeruak keluar dari napasnya. Entah sudah berapa banyak botol minuman keras yang ia habiskan.
“Aku mohon, tenanglah. Aku akan ada selalu di sampingmu, “ jawab wanita itu dengan suara yang sudah sangat lirih. Sementara pria di depannya terus saja memakinya dengan umpatan kasar.
“Naya, seandainya saja kau bisa melahirkan seorang anak … kita mungkin bisa bahagia.”
“BRIAN!” Naya sudah tidak tahan. Ia akhirnya berani menampar pria yang sudah menjadi suaminya itu. Kalimat Brian sukses membuat air mata Naya semakin mengalir deras. Hatinya hancur. Dari semua kata makian yang keluar dari mulut pria itu, kalimat itulah yang paling menyakiti hatinya.
“Kurang ajar! BANGSAT!” pekik Brian. Emosinya tersulut. Berani-beraninya seorang wanita yang sudah cacat menamparnya.
Tentu saja Brian melayangkan tamparan keras untuk Naya. Tapi, bukan … itu bukan tamparan, tapi pukulan telak di wajah sang istri. Brian masih belum puas, ia angkat kakinya lalu ia layangkan keras untuk menjangkau tubuh Naya.
Naya terdorong kuat ke belakang lalu menabrak permukaan tembok dengan sangat keras. Ia terbatuk-batuk seraya meringis memegang perutnya yang seakan ingin memuntahkan organ-organnya.
“KAU … ADALAH PENYEBAB SEMUANYA, NAY!” teriak Brian lagi.
Naya sudah tidak sanggup mendengarnya lagi. Dengan tergopoh-gopoh, ia berlari ke kamarnya, mengunci pintu dan menangis dengan histeris. Perut dan wajahnya terluka, tapi Naya malah mencengkram dadanya kuat. Hatinya lebih terluka daripada tubuhnya.
Sementara suara pecahan dari barang di luar kamar itu terus terdengar dari kamar Naya, Naya duduk di depan pintu sambil terus menangis. Seolah Tuhan kasihan padanya, ia kirimkan hujan deras di luar sana, untuk meredam semua suara makian suaminya. Kamarnya yang temaram hanya berhiaskan cahaya dari lampu pijar yang terletak di atas nakas samping tempat tidurnya. Naya menangis dengan sangat pilu.
Naya yang sedang duduk di depan pintu dengan memeluk kedua lututnya sendiri tersadar dengan suara di luar kamar yang sudah mulai tenang. Tinggal suara hujan yang masih rintik-rintik terjatuh. Naya mengedarkan pandangannya di dalam kamar itu, lalu manik matanya berhenti pada figura yang masih tergantung rapi di atas headboard ranjangnya.
Di foto itu, Naya tertawa bahagia dengan balutan gaun putih yang panjang menjuntai, ia sangat cantik di sana. Sedangkan Brian, memakai tuksedo berwarna senada dengan gaun Naya. Rambut rapi Brian yang tertata rapi dan senyuman hangat Brian yang sudah lama Naya tidak lihat lagi. Tiba-tiba semua kenangan indah itu kembali berputar-putar dalam benak Naya. Kenangan bagaimana Brian dulu melamarnya. Kenangan itu, kenangan yang akan selalu menjadi momen terindah di hidupnya.
......................
4 tahun lalu, Andarwasa High School.
“NAYA ALZETA, MAUKAH KAMU MENIKAH DENGANKU?” suara dari loudspeaker yang menyala, menggema di seluruh penjuru sekolah saat Brian mengambil alih ruang broadcasting untuk melamar Naya, kekasihnya.
Naya yang sedang mencoret-coret baju seragam bersama teman-temannya terkejut mendengar suara yang menggema itu. Suara sorakan dan tepuk tangan dari teman-temannya sukses membuat Naya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Wajahnya sudah hampir semerah spidol yang ia pegang.
“Nay, jawab Nay.” Yuki, sahabat sekaligus roommate-nya sejak di panti asuhan sudah menggoda Naya.
“Brian, astaga.” Naya sudah ingin berlari menghampiri Brian. Tapi dari arah lapangan, Brian sudah duluan menghampiri Naya.
Naya tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang kacau. Ia sangat malu, tapi juga sangat bahagia. Kekasihnya, Brian menepati janjinya untuk melamar Naya saat pengumuman kelulusan.
Brian yang sudah berhenti tepat di depan Naya, menekuk salah satu kakinya, lalu mengeluarkan sebuah cincin dari dalam saku celananya. Napas Naya tercekat. Air matanya sudah ingin jatuh. Ia sangat bahagia.
“Nay, mau ya, nikah sama aku,” ucap Brian dengan sungguh-sungguh.
Naya menarik napasnya dalam, membiarkan wajahnya di basahi oleh butiran-butiran air mata kebahagian dan mengangguk mengiyakan lamaran Brian.
Suara sorakan yang riuh dari semua teman-teman hingga guru yang menyaksikan kejadian itu terdengar di telinga Brian dan Naya. Tapi, mereka tidak memperdulikan itu, Brian sudah menarik Naya kepelukannya.
“Terima kasih Brian, sudah mau menerimaku yang dari panti asuhan,” lirih Naya dalam pelukan Brian.
“Tidak, Naya. Aku yang berterima kasih karena sudah mau menerima lamaranku.”
......................
Naya tersenyum getir mengingat kenangan itu. Benar kata Brian, seandainya saja … seandainya ia bisa menjaga kehamilannya saat itu, seandainya ia tidak terjatuh dari tangga saat tergesa-gesa menyambut Brian yang pulang kerja. Mungkin sekarang mereka sudah mempunyai seorang putri yang cantik. Tapi, seakan Tuhan tidak cukup mengambil putri yang ia kandung, Naya harus merelakan rahimnya ikut diangkat. Kegagalannya menjadi istri yang sempurna menghancurkan semua kebahagian Naya.
Naya berdiri dari duduknya, membuka pintu kamarnya dengan perlahan. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang tengah itu, di sana ia menemukan Brian sudah tertidur di atas sofa dengan botol alkohol yang masih ia pegang. Naya perlahan melangkah di antara serpihan pecahan barang-barang yang Brian lemparkan untuk melampiaskan amarahnya.
Naya mendekati Brian dengan sangat hati-hati setelah mengambil selimut dari dalam lemari kayu di samping meja riasnya. Naya menyibakkan selimut itu menutupi tubuh Brian, lalu ia menunduk menatap wajah pria yang masih sangat dicintainya itu. Naya berjanji tidak akan meninggalkan Brian. Sama seperti Brian yang tidak memutuskan hubungannya dengan Naya ketika mengetahui Naya berasal dan masih tinggal di panti asuhan. Brian lah yang membawa Naya ke sebuah rumah. Rumah tempat Ayah dan Ibu Brian dulu tinggal. Rumah tempat ia menemukan arti sebuah keluarga.
Naya mendekatkan tubuhnya, mencium kening Brian lalu mengucapkan sebuah kalimat yang sangat ingin ia dengar dari Brian, “Selamat ulang tahun pernikahan yang keempat, sayang. Aku akan selalu mencintaimu.”
...****************...
Suara gedoran yang sangat kasar dan berkali-kali dari pintu utama rumah mengusik Naya yang masih memejamkan mata. Tapi tiba-tiba suara gedoran itu berubah menjadi suara pekikan kesakitan dari suara yang sangat Naya kenali, Brian.
Naya terbangun dengan terkejut, ia tergesa-gesa berlari menuju asal suara. Di sana, ia melihat Brian sudah terbaring tidak berdaya setelah di pukul oleh beberapa orang yang memakai pakaian serba hitam dan masker yang menutupi wajah mereka.
“BRIAN?” pekik Naya saat melihat kondisi suaminya. “APA YANG KALIAN LAKUKAN?” Naya sudah berteriak marah tidak terima.
“Suruh suamimu untuk segera melunasi utangnya. Kalau tidak, kalian harus keluar dari rumah ini, malam ini juga,” bentak salah satu preman yang memegang tongkat baseball.
Brian dengan sangat kesakitan mencoba berlutut di depan para preman itu. “Bang, jangan ambil rumah ini, Bang. Rumah ini satu-satunya peninggalan orang tua saya.” Brian memohon-mohon di kaki preman itu.
Air mata Naya sudah kembali mengalir, tidak tega melihat suaminya memohon seperti itu. Apakah ada yang bisa ia lakukan untuk membantu suaminya? Naya hanyalah anak yatim piatu yang tidak mempunyai harta sepeser pun.
“Kau tidak punya apa-apa lagi, brengsek!” Preman yang memegang kertas, melemparkan berlembar-lembar kertas itu ke wajah Brian dengan sangat kasar.
Salah satu lembar kertas itu mendarat tepat di samping Naya. Naya memungutnya dan membaca rincian utang di sana. Pembiayaan rumah sakit Ibu Brian saat koma selama setahun, pembiayaan ganti rugi perusahaan Brian yang sudah pailit dan … sebuah utang dari rumah perjudian. Mata Naya membelalak, ia seperti berhenti bernapas melihat jumlah keseluruhan utang itu. “Dua ratus lima puluh … miliar,” gumam Naya tidak percaya membaca nominal itu. Bagaimana mereka bisa membayarnya?
“Tuan, saya mohon. Jangan ambil rumah ini. Ini salah satu peninggalan mertua saya untuk kami.” Naya kini ikut memohon di bawah kaki preman itu.
Tiba-tiba, salah satu preman itu menerima panggilan telepon. Preman itu hanya menjawab ‘Baik Bos’ ketika menerima instruksi dari panggilan itu.
“Dengar! Kalau kalian tidak bisa menyerahkan rumah ini. Bagaimana jika istrimu yang ikut dengan kami?”
Ucapan preman itu cukup membuat Naya membelalakkan matanya, ia memalingkan wajahnya melihat suaminya, berharap Brian melindunginya. Tapi Brian tidak mengatakan apa pun. Brian hanya menunduk sambil meringis memegang perutnya yang terkena pukulan tongkat baseball tadi.
“Sayang?” lirih Naya mencari jawaban dari manik mata Brian.
“Maafkan aku, Nay. Maukan kamu membantuku?” Brian kini membalas tatapan Naya, matanya memerah, wajahnya penuh harap.
Setelah kalimat itu terucap, air mata Naya jatuh. Bibirnya kelu. Perasaannya dan hatinya tercabik-cabit menjadi serpihan yang tidak akan pernah terbentuk lagi. Tapi diantara sakit hati itu, Naya tersenyum lirik dan berucap, “Aku akan membantumu, Sayang.”
Preman-preman yang mendengar percakapan suami istri itu tersenyum senang, apalagi saat melihat Naya tidak memberontak ketika salah satu preman itu menarik kasar tangan Naya dan membawanya pergi. Naya masih menyempatkan berbalik melihat Brian yang masih tertunduk. Brian meneteskan air mata juga. Tapi, samar-samar Naya seperti melihat Brian tersenyum.
...----------------...
Naya diapit oleh preman yang memegang tongkat dan preman yang melempar kertas tadi, lalu di depan mereka sang supir yang tadi menarik kasar Naya. Naya masih memikirkan apa yang diliatnya terakhir kali tadi. Tidak, penglihatannya pasti salah. Naya menggeleng lemah mengusir semua pikiran buruk dari otaknya.
Mobil itu melaju keluar dari area perumahaan rumah Naya. Saat itu suara telepon kembali berdering, sang supir di depan Naya mengangkat telepon itu. Tapi lagi-lagi ucapan yang keluar dari mulut preman itu hanya, ‘Baik Bos’ lalu preman itu mematikan teleponnya dan mengangguk kepada kedua temannya yang duduk dikedua sisi Naya. Seperti mengisyaratkan sesuatu.
Seperti sudah saling mengerti, preman di sisi kanan Naya mengeluarkan sebuah tali dan preman di sisi kiri Naya mengeluarkan sebuah kain panjang yang terjuntai. Naya tidak ingin disentuh karena itu ia memberontak. Salah satu preman itu menampar Naya dengan keras karena Naya tidak bisa tenang. Naya yang terkejut hanya bisa memegang pipinya. Tapi tangannya ditepis kasar, lalu preman yang memegang tali itu memelintir tangan Naya dan menyatukan kedua tangan Naya di belakang punggungnya lalu mengikat tangan Naya. Sementara preman yang memegang kain panjang itu, menutup mata Naya lalu mengikat dengan keras di belakang kepala Naya.
Naya kini pasrah tidak bisa melakukan apa pun. Mulutnya bergetar menahan suara tangisan, sementara kain penutup matanya sudah basah karena air matanya.
Setelah beberapa menit, mobil yang mereka tumpangi berhenti. Sang supir mematikan mesin mobil lalu membuka pintu mobil terlebih dahulu. Sementara kedua preman di sisi Naya belum bergerak.
Naya sedikit gelisah, perasaannya campur aduk. Matanya yang tertutup semakin membuat firasatnya memburuk. Apa yang akan terjadi dengannya? Apa organ tubuhnya akan di jual? Apa dia akan di kirim keluar negeri untuk menjadi budak? Apa yang setara dari dirinya dengan harga 250 Miliar? Bahkan jika mereka memotong tubuh Naya menjadi 50 bagian, Naya yakin masih tidak akan cukup menutupi utang itu. Semua pikiran buruk melayang-layang dibenak Naya.
Tiba-tiba pintu di sebelah kanan Naya terbuka, preman yang duduk di sebelah kanan keluar terlebih dahulu, lalu menarik Naya dengan kasar. Naya mengaduh saat ia tidak sengaja terjatuh saat turun dari mobil. Tiba-tiba suara tamparan terdengar diindra pendengarannya.
“BODOH! KAU INGIN BUAT BARANG BARU LECET?” Suara itu berasal dari seorang wanita yang lebih dewasa dari Naya. Sepertinya, umurnya di pertengahan 40an.
“Maaf, Madam.” Suara preman itu terdengar membalas ucapan wanita itu.
Lagi-lagi Naya merasakan lengannya di tarik, tapi kali ini lebih halus dari sebelumnya. Dari balik tutup mata itu, Naya bisa melihat dengan samar pergantian pencahayaan dari matahari terik di luar berganti menjadi cahaya temaram.
Seorang menyentuh penutup mata Naya, mencoba melonggarkan ikatan itu, begitupun dengan tali yang mengikat tangan Naya. Setelah penutup mata itu terlepas, Naya mengedip-ngedipkan matanya, membiasakan cahaya masuk ke netranya. Di sana Naya melihat seorang wanita sedang duduk di atas sofa berwarna merah dengan rokok di tangannya, sepertinya ia adalah ‘Madam’ yang tadi. Lalu Naya kenoleh ke arah kirinya, preman yang tadi menuntun Naya masuk. Preman itu kemudian keluar setelah menerima anggukan dari wanita di depan Naya.
Mata wanita itu menilik tubuh Naya dari atas sampai bawah, kemudian mengangkat jarinya dan membuat gerakan memutar. Naya yang entah kenapa menurut memutarkan tubuhnya. Aura wanita itu sangat cukup untuk mengintimidasi Naya.
“Buka pakaianmu!” perintah wanita itu.
Naya terpaku. “Tidak,” jawab Naya singkat. Tentu saja ia tidak mau.
“Baiklah.” Wanita itu menghembuskan asap rokok dari mulutnya dengan kuat.
Wanita itu berdiri lalu menghampiri Naya dengan sebuah senyuman kecil di wajahnya. Naya sedikit mundur ke belakang saat ia merasa wanita itu terlalu dekat dengannya. Wanita itu kemudian melemparkan batang rokok itu ke bawah kakinya dan menginjak batang rokok itu sampai tidak terbentuk. Naya yang sedang menunduk melihat akhir dari batang rokok itu, tiba-tiba tersentak saat wajahnya tertampar keras. Belum Naya menyentuh pipinya yang perih, rambutnya sudah di tarik kasar ke belakang. Naya meringis merasakan semua rambutnya seperti ingin menyeruak keluar dari kulit kepalanya.
“Kau pikir siapa dirimu, hah?” suara wanita itu sangat rendah tapi sangat tegas.
Naya masih memegang pergelangan tangan wanita itu dengan derai air mata. Ia ingin wanita itu melepas cengkeraman pada rambutnya.
“Sekarang buka bajumu, atau preman yang diluar yang akan membantumu melepas pakaian ini.”
Naya hanya bisa mengangguk pasrah. Air matanya tidak berhenti mengalir. Akhirnya wanita itu melepaskan rambut Naya. Naya bisa melihat helaian rambutnya yang berjatuhan karena kerasnya tarikan pada rambutnya.
Wanita itu kemudian kembali duduk manis di sofa merahnya, sambil kembali menyalakan sebatang rokok.
Naya dengan ragu, mulai melepas satu persatu kancing bajunya. Naya menutup matanya, ia sendiri tidak ingin melihat apa yang terjadi pada dirinya. Setelah berhasil meloloskan atasannya, Naya kemudian menggenggam erat pinggiran pada celananya. Naya masih belum membuka mata, ia menarik napasnya dalam lalu menurunkan celana itu. Kini Naya hanya memakai pakaian dalam yang menutupi bagian pribadinya.
Tidak ada suara dari wanita itu. Hanya suara tarikan dan hembusan saat wanita itu menyesap rokoknya.
“Bagus. Sudah pernah melahirkan?” tanya wanita itu dengan nada santai.
Naya menggeleng lemah. Naya tersenyum getir, ia berharap, sangat berharap pernah merasakan melahirkan seorang anak. Keguguran yang ia alami hanya mengharuskannya menjalani prosedur pengangkatan rahim dengan sebuah tindakan operasi.
“Punya bekas luka?” tanya wanita itu lagi.
Naya menggeleng lagi, bekas luka setelah operasi itu sudah lama ia hilangkan. Apa pun Naya lakukan untuk menghilangkan bekas itu. Bekas yang selalu membuat Naya menangis setiap kali melihat dirinya di cermin. Bekas yang menunjukkan dirinya tidak lagi sempurna.
Wanita itu kemudian berdiri lagi, tapi bukan menghampiri Naya. Wanita itu memegang knop pintu lalu memutarnya. Sebelum wanita itu keluar, wanita itu berucap, “selamat datang di dunia malam, Sayang.”
Tubuh Naya menegang, akhirnya pertanyaan yang sedari tadi berputar-putar diotaknya terjawab. Dirinya dijual … di rumah pelacuran.
Naya memakai kembali pakaiannya dengan tangan yang gemetar, suara tangisannya ia redam. Sudah bukan waktunya untuk menangis. Naya ingin meraih pintu itu dan segera berlari kemana pun. Bahkan jika harus meninggalkan dunia ini, ia akan senang hati lakukan. Tapi … bagaimana dengan suaminya? Tidak … Naya harus bertahan. Demi suaminya, demi Brian.
...****************...
Seorang pria dengan tubuh jakung memasuki ruang kamar tempat Naya beristirahat. Naya yang sedang tertidur di atas sofa merah terkejut melihat pria itu. Tapi sesuatu berbeda dengan pria itu. Dandanannya sangat mencolok, bahkan pria itu sudah memakai syal yang terbuat dari bulu-bulu sintesis berwarna hijau terang.
“Sampai kapan mau tidur sayang? Bangun … sudah waktunya kerja.” Nada yang di keluarkan pria itu sedikit mendayu. Naya mengerti, pria itu seorang wanita pria.
Naya segera berdiri dari tempatnya, ia tidak tau harus melakukan apa. Waria itu menarik kursi di depan sebuah meja, lalu dengan jari telunjuknya menyuruh Naya segera duduk di kursi itu.
Naya segera menurut. Meskipun pria itu sudah berdandan menyerupai wanita, tapi otot-otot kecil yang menonjol diantara baju ketat pria itu cukup membuat Naya ketakutan.
“Call me Vicky, Darling.”
Naya hanya mengangguk. Ia memperhatikan wajahnya sendiri di pantulan cermin di depannya, kulit diatas tulang pipinya masih sedikit membiru akibat pukulan Brian semalam. Selain itu, wajahnya hanya terlihat pucat karena sangat kekurangan tidur. Setiap malam ia harus menunggu Brian pulang hanya untuk menjadi pelampiasan amarah suaminya.
“Saya … Naya,” ucap Naya hati-hati saat Vicky menyisir rambutnya.
“Nama yang cantik. Tapi … kau membutuhkan nama samaran, sayang. Tidak ada yang memakai nama aslinya di sini.” Vicky kini mulai mengoleskan dengan lembut semua make up yang ada di atas meja itu. Naya hanya memejamkan matanya mengikuti arahan Vicky.
“Aku akan memanggilmu, Lily. Aku suka wajahmu yang seputih dan sepolos bunga lily.” Vicky terkekeh dengan ucapannya sendiri.
Tanpa Naya sadari, ia juga ikut tersenyum. Rasanya lumayan hangat, bisa mendapat teman berbincang. Setelah semua kejadian buruk yang menimpanya hari itu.
“Selesai … kau boleh membuka matamu,” seru Vicky dengan bangga.
Naya membuka matanya, lalu terkejut dengan hasil riasan Vicky. Ia mengira akan didandani semenonjol riasan Vicky. Tapi ternyata, ia dirias dengan sangat cantik. Matanya dipoles dengan warna netral, bulu mata Naya yang panjang sudah dibuat lentik, lalu olesan bedak tipis dan perona pipi sudah menghias kulit wajah Naya. Naya juga sudah tidak melihat memar di wajahnya. Semuanya tertutupi dengan rapi. Naya terlihat cantik, tapi tidak berlebihan.
“Sekarang ganti bajumu. Aku akan menunggu diluar, oke?”
Naya hanya mengangguk lagi. Setelah Vicky menutup pintunya, air matanya ingin terjatuh. Dunianya akan berubah mulai malam ini. Naya berdiri dari duduknya dan mengambil baju yang tergantung di sana.
Naya tidak lagi mengeluh melihat baju yang hanya menutup bagian-bagian penting di tubuhnya. Naya memakai baju itu sambil terus mengingat Brian di rumahnya. Biasanya saat ini, Naya sedang memasak sambil menunggu kepulangan Brian. Naya tersenyum miris. Semoga suaminya bisa makan dengan teratur.
Tiba-tiba suara pintu terbuka dan mengagetkan Naya. Naya segera meletakkan tangannya menutupi tubuhnya yang terbuka. Wanita yang sepertinya seumuran dengan Naya terlihat ikut kaget juga.
“Astaga. Aku minta maaf. Aku pikir ruangan ini kosong,” ucap wanita muda itu.
Naya tidak menjawab, ia masih menekuk badannya mencoba menutupi tubuhnya.
Wanita itu memandang Naya, lalu menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Wanita itu mendekati Naya dengan hati-hati.
“Tidak apa-apa. Jangan takut ya … aku juga sepertimu saat pertama masuk di sini.”
Naya, akhirnya berani menegakkan tubuhnya. Wanita itu dengan sigap membantu Naya memakai pakaian kerjanya.
Air mata Naya terjatuh ia ingin mengeluarkan semua kesedihan di hatinya.
“Jangan menangis. Vicky bisa benar-benar marah kalau hasil riasannya rusak. Dia bahkan pernah mengamuk hanya karena bulu mata palsuku terlepas.” Cerita wanita itu lalu tertawa.
Naya ikut tersenyum disela air matanya.
“Aku Naya … eh, bukan. Aku Lily,” kata Naya mengoreksi namanya sendiri.
“Aku Clara. Salam kenal ya Lily.” Clara lalu mengulurkan tangannya. Naya tersenyum kecil dan membalas uluran tangan Clara.
“Astaga, sudah hampir jam 9. Cepat keluar, sebelum Madam Riya mencari kita.” Clara mengambil spons bedak, lalu membantu Naya memperbaiki riasannya.
Naya mengikuti Clara memasuki sebuah ruangan, musik keras yang memekakkan telinga memasuki pendengaran Naya. Naya tidak terbiasa dengan suara musik sekeras itu. Naya mencoba menutup telinganya tapi dilarang oleh Clara.
Di ruangan yang gelap itu hanya diterangi oleh lampu warna warni yang berputar-putar diatas kepala mereka. Di sana sudah ada Madam Riya yang sedang duduk dengan balutan dress pendek berwarna hitam sambil memegang rokoknya dan seorang pria baya yang sudah hampir kehabisan semua rambutnya. Umurnya mungkin diatas 50 tahun. Pria baya itu menuang alkohol pada gelasnya sambil sesekali melirik ke arah wanita-wanita muda di depannya.
Naya berdiri berjejer dengan lima gadis lainnya. Naya tidak tau harus berbuat apa. Dia melirik Clara yang sedang tersenyum manis ke arah pria baya itu. Naya tidak suka dengan tatapan pria baya itu yang seperti menelanjangi mereka.
“Apa ada yang Tuan suka dari kelima wanita ini?” Suara Madam Riya terdengar samar-samar diantara suara musik yang keras.
Naya baru sadar, mereka sedang dijadikan daftar katalog oleh madam Riya. Dalam hati, Naya berdoa semoga ia tidak terpilih malam ini.
Tidak ada jawaban dari pria baya itu. Matanya menilik satu per satu wanita yang berjejer di depannya. Ketika sampai pada wanita yang paling terakhir, pria itu mengembuskan napasnya lemah. “Apa hanya ini barang bagusmu?”
“Wanita nomor dua baru datang.” Madam Riya melirik Naya sedetik.
Jantung Naya terpacu. Tidak, jangan aku.
Pria baya itu meminum isi gelasnya sampai habis lalu ia kembali bertanya, “apa dia masih perawan?”
Madam Riya menyesap rokoknya dalam, “sudah tidak. Tapi aku jamin, dia masih sempit.”
Kalimat itu sukses membuat netra Naya berkaca-kaca. Hatinya sakit, harga dirinya sudah hilang. Ia sekarang adalah barang yang sedang diperdagangkan.
“Ck, saya tidak mau. Bawakan saya perawan.”
Madam Riya lalu berdiri, lalu membuka pintu yang berada di belakang mereka. “Masuk!” perintahnya.
Seorang wanita muda, bukan … seorang gadis dipaksa masuk oleh dua orang pria bertubuh besar dan tinggi yang mencengkeram lengan kiri dan kanan gadis itu. Gadis itu memberontak sambil menangis pilu mencoba melepaskan genggaman pria-pria itu.
Madam Riya yang sudah kehabisan kesabaran menampar keras gadis itu. Gadis itu terkejut dan menghentikan usaha melawannya.
Hati Naya berkecamuk, ia ingin berlari kesana dan menyelamatkan gadis itu. Air matanya sudah tidak bisa ia tahan melihat adegan memilukan itu. Clara yang berdiri di sebelahnya memegang lengan Naya lalu menggeleng lemah.
Clara ingin memberitahu Naya untuk tidak melakukan apa pun. Naya paham ... sangat paham kalau ia tidak bisa melakukan apa pun. Karena itu, ia hanya mencengkram ujung dress pandeknya dan menggigit bibirnya kuat untuk menyalurkan semua perasaan marahnya.
Pria baya itu malah tertawa terbahak-bahak melihat gadis itu mengalami kekerasan. Dia bahkan bertepuk tangan lalu berdiri menghampiri Madam Riya. “Saya sangat suka barang bagus seperti ini. Saya berjanji akan menambah investasi dalam waktu dekat,” ucap pria baya itu sambil mengedipkan sebelah matanya untuk Madam Riya.
Madam Riya tersenyum senang mendengar janji pria baya itu, “saya sangat senang berbisnis dengan anda, Tuan.”
Setelah itu, Madam Riya menoleh ke arah wanita-wanita yang berjejer dan mengisyaratkan mereka semua untuk keluar. Naya masih menatap tajam ke arah pria baya itu, tapi Clara sudah menarik Naya keluar dari ruang itu.
Clara membawa Naya kembali ke ruang sebelumnya. Saat tiba di sanalah, Naya baru mengeluarkan semua tangisannya. Tubuhnya bergetar hebat, Naya berteriak kencang untuk menyalurkan rasa sakit dalam hatinya. Suaranya bisa teredam akibat musik keras di luar. Clara hanya bisa menepuk-nepuk punggung Naya menenangkannya.
“Aku tau kau belum terbiasa. Menangislah kalau itu bisa membuatmu tenang.”
“Aku sangat ingin berlari menyelamatkan gadis itu. Aku … aku tidak bisa melihat gadis itu dilecehkan oleh orang sehina dia,” ucap Naya ditengah tangisannya.
Clara berdiri untuk mengambil air botol mineral di dalam lemari. Di lemari itu sudah tersedia beberapa botol minuman mineral dan snack kecil untuk persediaan mereka selagi menunggu panggilan tamu.
Clara menyerahkan botol minuman itu kepada Naya, Naya menerimannya dan meminumnya hingga tersisa setengah.
Setelah melihat Naya sedikit membaik, Clara kini duduk di samping Naya. “Naya, semua yang terjun ke dunia ini punya alasannya masing-masing. Kita tidak bisa melakukan apa pun. Aku tidak akan menanyakan apa alasanmu, tapi aku akan menceritakan kisahku.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!