NovelToon NovelToon

Haura : The Parallel Universe

1. Dunia Haura

1

“Haura”

Tubuh gadis itu diguncangkan cukup keras, sekedar agar si gadis cepat terbangun dari tidurnya. Sekali. Dua kali. Tak ada jawaban. Selalu seperti itu. Haura dan Kasur adalah hal yang harus dipisahkan. Kalau tidak ya seperti ini.

Dasar kebo!

“Haura! Hey!”

Si gadis akhirnya melenguh, membuka selimut yang membungkus tubuhnya. Menampilkan wajahnya yang sedikit bengkak dengan mata yang masih terpejam sempurna.

“5 menit lagi, Bu”

“Bu?” si pelaku yang sejak lima belas menit lalu berusaha membangunkan Haura mengerutkan kening. “Haura. Bangun cepetan! Udah jam 7, kamu mau kita terlambat?!”

HAH?!

Mata Haura yang semula terpejam, akhirnya terbuka lebar. Gadis itu buru-buru membuka selimut yang membungkus tubuhnya. Dia harus segera masuk kedalam kamar mandi sebelum Mas Angga atau Mba Husna. Bisa makin terlambat dia kalau harus ada di antrian ketiga.

Tapi Gerakan terburu-buru Haura terhenti ketika gadis itu membuka salah satu pintu dan itu adalah pintu kamar mandi. Tunggu! Bukannya harusnya itu pintu ke luar kamar? Kenapa malah pintu kamar mandi?

“Haura? Kenapa bengong!”

Haura menoleh, mendapati seorang gadis cantik melipat tangan didepan dada dengan wajah merengut. “Siapa?”

“Heh?!” gadis itu mendelik. “Nggak usah pura-pura amnesia karena itu nggak lucu. Buruan mandi. Kita udah telat begok”

Kening Haura mengkerut, dia tak mengindahkan ucapan si gadis cantik. Matanya secara otomatis memindai isi kamar. Tidak. Ini bukan kamarnya! Haura tidak pernah punya kamar sebagus dan seluas ini.

Kamar Haura kecil, paling kecil dibanding kamar Mas Angga dan Mba Husna. Tidak seperti sekarang. Kamar ini luasnya dua sampai tiga kali kamar Haura, dan dengan fasilitas lengkap. Lihat saja satu set meja belajar dengan merk terbaik, televisi ukuran besar dan jangan lupakan ranjang berukuran queen.

Tunggu! Haura tidak sedang bermimpi kan?

“Haura! Ngapain bengong!” gadis cantik itu sudah berdiri didepan Haura, menepuk keras pundak Haura. “Hari ini kita ada ulangan Fisika. Jam pelajaran kedua. Kalau kamu lupa” katanya dengan penekanan disetiap kalimat.

Haura mengerjap kebingungan, “Dimana ini?” suaranya akhirnya keluar juga. “Dan kamu siapa?”

Gadis cantik yang adalah sahabat Haura itu mendelik. Kesal dengan drama yang dibuat Haura.

“Haura! Nggak lucu. Buruan mandi!” tubuh Haura didorong masuk kedalam kamar mandi kembali. “Nggak lebih dari lima menit. Aku nunggu di meja makan”

Haura menepuk kepalanya, masa bodo, dia memang ada ulangan Fisika kan hari ini? Karena itu dia belajar mati-matian agar nilainya bisa dia banggakan didepan Ibu dan Bapak. Biar tidak kalah dari Mba Husna. Pokoknya bagi Haura, dia tidak boleh kalah dari Mba Husna apalagi Mas Angga. Tidak boleh!

Gadis itu mandi dengan cepat, sedikit mengernyit ketika melihat pantulan dirinya, rambutnya tiba-tiba panjang kembali. Padahal Haura ingat betul dia baru memotong pendek rambutnya seminggu yang lalu. Kok bisa?

Keluar dari kamar mandi, gadis itu kembali kebingungan. Kenapa tidak ada lemari didalam kamar seluas itu?

“Heh? Ya Tuhan, masih bengong aja. Buruan ganti baju” tubuh Haura didorong menuju pintu lain dikamar itu.

Mata Haura melotot melihat walk in closet. Rumah siapa sebenarnya ini? Seumur-umur Haura belum pernah menginjakan kaki ditempat seperti ini. Pakaian yang diatur sedemian rapinya. Sepatu, jepit rambut, jam tangan dan kaos kaki. Aduh, kepala Haura sepertinya mau pecah.

“Sudah aku duga kamu bakal bengong lagi. Kan udah aku bilang Ra, kalo abis subuhan tuh nggak usah tidur lagi. Kayak orang begok kan kamu” cewek cantik yang sampai sekarang Haura tak tahu namanya itu masuk kedalam walk in closet, berjalan menuju salah satu lemari kemudian mengambil seragam yang sama seperti yang dikenakan cewek itu. Tapi itu bukan seragam sekolahku!

“Pake. Buruan” penekanan disetiap kalimat. “Kamu sarapan di mobil. Nggak ada bantahan” dan cewek itu keluar dari walk in closet sambil membanting pintu.

.

.

Bangunan super megah itu lebih pantas disebut hotel atau museum daripada sebuah sekolah. Apalagi dengan deretan mobil mewah yang terparkir didepannya. Haura mengikat rambutnya dengan gugup. Dari pembicaraannya dengan gadis cantik yang merecokinya sejak pagi tadi yang ternyata bernama Angel, Haura mengambil kesimpulan kalau dia bertransmigrasi entah ke bagian dunia lain yang mana. Ini bukan dunia novel yang dibaca Haura, bukan juga dunia nyata Haura. Haura tersesat didunia yang lain, ditubuh seorang gadis yang sialnya berwajah dan memiliki nama yang sama dengan Haura.

“Tumben diiket?”

Haura mengernyit, “Panas” katanya asal.

Keduanya berjalan menyusuri lorong kelas. Kerutan kembali muncul diwajah Haura ketika setiap kali bertemu sekumpulan anak, mereka buru-buru menghindar atau langsung menutup mulut tak bersuara.

DUG

“Haura, aku nggak sengaja. Maaf”

Seseorang menabraknya. Tapi bukan itu yang membuat mata Haura memicing aneh. Tapi karena Haura melihat tubuh siswi yang menabraknya berrgetar hebat.

Tunggu! Haura bukan orang yang suka membully kan?

“Matamu disimpen dimana?!” bukan suara Haura, tapi Angel. Gadis itu berkacak pinggang, matanya menatap dingin siswi didepan Haura.

“Maaf” cicit siswi itu, makin menundukan kepalanya.

“Angel” Haura meraih siku Angel, ketika Angel menoleh, Haura menggeleng.

Kerutan muncul diwajah Angel, “Haura—”

“Wah padahal belum jam delapan, tapi kamu bahkan udah mem-bully” protesan Angel terpotong.

Sekelompok siswa, berisi 4 orang berjalan ke arah Haura dan Angel. Haura bisa melihat tatapan ketidaksukaan empat pemuda itu dan dengusan dari Angel.

“Pahlawan kesiangan” sindir Angel.

Haura memilih diam. Gadis itu tengah memproses scene yang kini tengah terjadi padanya. Empat orang siswa tampan yang sepertinya sangat membenci Haura dan Angel, tatapan penasaran siswa siswi lain, ke tak gentaran Angel. Sepertinya scene ini sudah sering terjadi.

“Kamu bisa pergi” salah satu dari empat cowok itu menepuk pundak siswi yang menabrak Haura.

“Suruh siapa?!” Angel menyela.

“Saya”

Angel mendengus, “Yap. Super hero syndrome” katanya dengan tatapan mencemooh. Gadis itu memeluk lengan Haura. “Ayo kita pergi dari sini”

Haura mengangguk, melangkah beriringan bersama Angel, membuat kerutan dikening salah satu dari empat pemuda itu.

“Dia nggak salah makan kan?”

“Kok nggak ada adegan merayu atau bergelayut manja?”

Salah satu pemuda disana membalikan badan, menatap punggung Haura dan Angel dengan mata berkilat marah.

.

.

“Haura, are you okay?” akhirnya Angel bisa bertanya juga. Dia baru saja berhasil keluar kelas setelah menyerahkan kertas jawaban ulangan fisika. Kaget setengah mati ketika melihat Haura mendahuluinya mengumpulkan kertas jawaban.

“Kamu beneran nyerah?”

“Soal?”

“Fisika” mereka berjalan beriringan, membuat orang-orang menyingkir. “Setidaknya kamu baca soalnya dulu, Ra”

Mata Haura menyipit, “Aku isi semuanya”

“Apa?”

Haura tersenyum kecil. Setidaknya, belajar mati-matiannya bisa dia gunakan disini. Tunggu, Haura didunia ini nggak sebodoh itu kan?

“Apa menu makan siang hari ini?”

Haura yang sudah lebih dahulu keluar kelas setelah menyerahkan kertas ulangan memang langsung memeriksa ponselnya. Ralat, ponsel Haura. Gila, itu adalah ponsel keluaran terbaru. Haura memiliki selera yang sama dengan selera Haura. Bagus.

Dan dari ponsel canggih itu Haura berhasil mencari tahu soal sekolah ini. Kalau tidak sedang duduk, Haura yakin dia bakal terjatuh saking shock-nya. SMA Pramudya Fullday School adalah sekolah swasta terbaik dengan fasilitas terbaik pula. Ekstrakulikuler yang berisi klub-klub yang tak ditemui disekolah swasta manapun dan tentu saja yang sejak tadi membuat senyum Haura mengembang adalah fasilitas makan siang dengan konsep empat sehat lima sempurna.

“Mie tumis seafood, sayuran dan daging cincang” Angel menjawab, “Kamu mau kita pesan diluar? Aku mau kentang goreng”

Haura menoleh, “Jangan bercanda. Kita butuh setidaknya mie buat tetep bisa fokus belajar”

Kening Angel mengkerut, “Kamu mau makan mie?”

“Cuman orang begok yang nggak suka mie”

“Dan kamu salah satunya” Angel menyahut.

Haura mengangkat bahu acuh. Lagian yang diomongin Angel begok kan bukan dirinya. Begitu dia memasuki ruang makan, para siswa-siswi yang sedang mengantri langsung menyingkir. Wah, Haura semakin yakin bahwa image Haura yang ini sangat jelek. Sepertinya bukan hanya sebagai pembully saja.

Tapi Haura cuek saja, mengambil nampan dan mulai mengisinya dengan menu makan siang hari itu. Setelahnya dia dan Angel duduk disalah satu meja kosong disana.

“Kayaknya nasiku kurang deh”

Mata Angel melotot, “Sadar Ra, sadar” katanya.

Kemudian kehebohan terjadi, kaki Haura ditendang oleh Angel. Gadis itu mengernyit kebingungan. “Apaan?” masalahnya dia sedang mengagumi betapa enaknya daging cincang dipiringnya.

“Aydhan and the gank. Dan tuan putri mereka, Sofia”

Haura melihat ke arah yang ditunjuk Angel dengan dagunya, melihat empat pemuda yang tadi pagi menemuinya dan seorang cewek cantik berjalan beriringan dengan senyum. Tidak. Ada seorang yang tidak menampilkan senyum.

“Lucu banget. Padahal kamu tunangan Aydhan, tapi bahkan cowok itu selalu musuhin kamu demi membela si princess”

Uhuk

Apa katanya tadi? Tunangan? Haura tunangan dengan Aydhan? Yang masa Aydhan?

“Kita tahu itu hanya tunangan bisnis, tapi setidaknya dia memperlakukan kamu dengan baik kan?” Angel mendengus, “Lihat, bahkan si princess itu bisa membuat Aydhan tersenyum. Aku sebel banget”

Haura mengangguk. Jadi yang sejak tadi memasang wajah stoic itu Aydhan.

“Teman-temannya nggak kalah nyebelinnya. Kita belum pernah membahas ini kan, Ra? Astagfirulloh” Angel mengetuk meja berkali-kali sambil bilang ‘amit-amit’. “Semuanya pro sama si Sofia, nggak tahu otaknya dicuci atau gimana”

“Angel”

“Tapi yang bikin aku nggak tahan deket mereka adalah tatapan merendahkan mereka ke kamu. Emang kenapa kalau kamu suka sama Aydhan. Salah? Aku nggak rela mereka natap kamu begitu”

“Angel”

“Haura”

“Aku nggak suka Aydhan”

“APA?”

“Sekarang aku sadar kalo aku nggak suka Aydhan” tukas Haura.

“Ra? Kamu beneran nyerah?”

“Soal fisika?”

“Soal Aydhan!” Angel menatap serius pada Haura. “Kamu ngejar dia dari sekolah dasar, dari belum tahu kalau yang kamu rasain itu perasaan suka. Sekarang kamu bilang kamu baru sadar kalo kamu nggak suka Aydhan? Kamu waras, Ra?”

Oh, jadi Haura menyukai Aydhan sejak dulu. Tapi melihat bagaimana pemuda itu bersikap dan bagaimana cerita dari Angel tentang Aydhan, rasanya cinta Haura bertepuk sebelah tangan.

“Mungkin aku salah paham?” Haura mengedikan bahu acuh. “Perasaan manusia itu, sesuatu yang mudah sekali berubah”

“Tapi nggak secepet itu, Ra” Angel menggeram, “Kemarin sore kamu masih nangis bombay gara-gara Aydhan nurunin kamu di jalan tol”

“Mungkin itu alasannya. Aku jadi sadar”

“Kamu aneh” Angel menghela nafas panjang, tapi matanya masih memicing pada Haura. “Apa ini efek kamu kehujanan dan pingsan? Atau sesuatu terjadi sebelum aku datang? Atau—ada yang belum kamu ceritain sama aku?”

Mendengar ucapan Angel, Haura jadi berpikir kalau Angel adalah orang yang paling mengerti Haura. Pasalnya, sepertinya Angel menjadi tempat ‘pulang’ jika Haura ada masalah. Gadis itu juga terlalu mudah dan mengenal seluk beluk mansion Haura. Kalau mereka tidak dekat, tidak mungkin kan Angel berkeliaran dengan bebas di mansion Haura? Apalagi sambil memerintah seenaknya para asisten rumah tangga Haura?

“Aku nggak menutupi apapun dari kamu”

“Benar” Angel menyahut. “Jadi sekarang kamu nggak tergila-gila sama Aydhan?”

“Nggak. Tenang aja. Sekarang aku waras”

Angel tertawa. Ada kelegaan yang dilihat Haura pada tatapan Angel padanya. Apa selama ini Haura selalu membuat gadis cantik didepannya ini kesulitan? Selalu mengkhawatirkan dirinya?

“Mie-nya enak”

Uhuk

Sebentar! Kenapa semuanya berputar?

“HAURA!”

….

2. Perubahan Haura

2

Ukh

Haura berhasil membuka pejaman matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah ruangan bercat putih dan bau obat. Ruangannya kecil. Haura tebak kalau itu adalah ruang Kesehatan. Ada infus yang dipasang dipunggung tangan kirinya. Dia kenapa? Seingatnya tadi dia makan mie dan langsung sesak nafas. Apa dia diracun?

“Kamu udah bangun?” Angel berdiri disamping ranjang, “Jangan ngomong dulu. Suaramu habis” katanya ketika melihat Haura hendak membuka mulutnya.

Haura mengangguk, memberi kode pada Angel untuk mengambilkan air minum.

“Sialan banget. Padahal biasanya aku nggak pernah kecolongan. Kamu sih pake acara ngaku kalo udah nggak suka sama Aydhan, aku jadi nggak lihat kalau mie campur seafood-nya pake udang. Padahal biasanya nggak” gadis itu menarik kursi plastik. “Untung kamu baru makan sedikit, kalo banyak aku nggak tahu lagi bagaimana kondisi kamu sekarang”

Ah, oke, Haura alergi udang. Itu kenapa setelah memakan mie campur seafood dia merasa sesak nafas.

“Kamu yakin udah nggak pa-pa? Apa kita perlu ke rumah sakit?”

Haura menggeleng, dadanya memang masih sesak dan beberapa anggota badannya juga masih gatal-gatal. Tapi dia masih bisa menahannya. Yang jadi masalahnya adalah sekarang suara Haura masih hilang.

“Aku kan udah bilang, Ra, kalo makan apa-apa tunggu aku makan dulu” Angel merengut, “Sekali lagi kamu hampir buat aku—”

Brak

Pintu ruang kesehatan terbuka lebar. Wajah tampan seorang pemuda muncul tanpa senyum. Siapa lagi ini? Bisa tidak sih, Haura yang ini memberi setidaknya memori tentang orang-orang disekitarnya? Biar Haura tidak perlu menebak.

“Hobi banget ya kamu bikin geger sekolah” katanya ketus. “Mau cari perhatian Aydhan lagi?!”

“Kak Haikal”

“Gue lagi ngomong sama anak pembawa sial ini” pemuda itu menatap Angel tajam.

Deg

Perasaan macam apa ini?

“Jangan ikut campur. Keluar”

Angel menghela nafas panjang, menatap Haura dengan tatapan kasihan. Ketika melihat Haura mengangguk, gadis itu segera keluar dari ruang kesehatan. Dia memang orang asing kan?

“Kamu nggak pernah sadar diri ternyata. Kenapa selalu nyusahin? Kenapa bukan kamu yang mati aja? Kenapa mesti Mama?!”

Ada apa ini?

Lalu tiba-tiba potongan-potongan scene berputar dikepala Haura. Berdesakan, tak beraturan. Seperti ingin memberitahu Haura alasan mengapa si Kak Haikal ini bersikap begitu ketus padanya.

“Kalau bisa, aku juga lebih suka kalau aku yang mati” dengan suara serak Haura menjawab. Ditatapnya Haikal dengan datar. “Dan Kakak nggak perlu peduliin laporan anak-anak mengenai aku. Aku bisa ngatasin sendiri”

“Sombong kamu”

Haura terkekeh, wah Haura, tapi aku minta maaf karena bakal ngelawan Kakak kesayangan kamu. “Hanya jangan peduliin aku”

Haikal mendengus keras, tanpa mengatakan apapun pemuda itu langsung keluar dari ruang kesehatan.

.

.

“Rara mau pergi kalo Mama yang anterin”

Gadis 7 tahun itu meraih kemeja Mamanya, “Sampai depan sekolah aja, Ma. Ini kan hari pertama Rara sekolah”

Perempuan cantik yang sudah berpakaian rapi itu berjongkok, “Tapi Mama ada janji. Rara berangkat sama Kak Haikal, Kak Irsyad dan Kak Kafka saja ya”

“Iya, sama Kak Haikal aja” bocah 9 tahun itu menarik lengan adiknya agar menjauhi Mama. “Rara belum pernah lihat sekolah Kak Irsyad sama Kak Kafka kan? Bagus loh. Nanti kalau sempat kita ikut turun. Boleh kan Kak?”

“Iya”

“Nggak mau”

“Haura” pria yang sejak tadi membaca koran pagi nya mendekat, berjongkok membujuk si bungsu. “Mama lagi sibuk. Besok lagi dianterin, Mama-nya”

“Nggak mau”

“Yaudah Mas, aku nganterin Haura aja dulu. Nanti kita ketemu di restoran aja langsung” lengan Haura digandeng.

Hari itu, untuk terakhir kalinya, Haura merasakan kasih sayang keluarganya. Setelah dia bangun dari tidur panjangnya, dia menemukan kenyataan bahwa Mama telah pergi jauh, ketempat yang tidak bisa dijangkau Haura, bernama kematian. Dan keluarganya, yang seharusnya mendekapnya kala menjerit mendengar kenyataan itu malah membuang muka, meninggalkan bocah 7 tahun itu merasakan kepahitan hidup. Sendirian.

.

.

Haura menghela nafas panjang. Okay, kepingan puzzle mulai tersusun. Haura yang tubuhnya dia gunakan ini, punya hubungan yang buruk dengan keluarganya dan tunangannya. Demi menarik perhatian Kakak dan tunangannya dia sering membuat masalah. Dia juga menjadi tokoh antagonis dikehidupan banyak siswa SMA Pramudya Private School.

Oh bagus, kenapa aku bangun ditubuh gadis banyak masalah ini?

Maksudnya, hidup Haura dikehidupan sebelumnya memang nggak semewah sekarang. Tapi dia punya keluarga yang selalu men-support dia. Bapak bekerja sebagai guru yang selalu menanamkan semangat belajarnya, dan Ibu yang hanya seorang Ibu rumah tangga mendukung dengan banyak makanan untuk anak-anaknya.

Mas Angga, kakak pertama Haura, sudah lulus kuliah dan langsung diterima kerja disalah satu perusahaan besar yang bekerjasama dengan pihak kampus. Gajinya lumayan besar. Dan Mba Husna, baru semester 3 tapi selalu mendapat beasiswa full.

Satu-satunya momen tidak akur Haura dan Mba Husna adalah kalau nilai Haura lagi turun, biasanya Haura akan dibandingkan dengan Mba Husna.

“Tuh lihat Mba-mu, Ra. Nilainya nggak pernah turun. Itu karena Mba Husna punya program belajar yang bagus. Coba dicontoh”

Sehari itu Haura akan mendiamkan seluruh penghuni rumah. Tapi besoknya, ketika Ibu menyodorkan kotak bekal yang isinya adalah makanan kesukaan Haura, kemarahan Haura langsung lenyap tak bersisa.

Tapi Haura yang ini, punya masalah yang rumit. Betapa kesepiannya gadis ini selama ini. Bagaimana Haura ini bisa bertahan sejauh ini?

“Mulut Kakakmu itu emang nggak pernah ada filternya” Angel masuk sambil menenteng sebungkus roti. “Abaikan saja Ra. Kalau kamu hilang nanti dia juga cemas. Tsundere”

Ah!

Haura tersenyum lebar. Angel bena-benar perwujudan Angel. Haura jadi punya ide. Bagaimana kalau dia mengabaikan saja para Kakak-nya dan hidup sebagai diri Haura yang sebenarnya? Haura disini punya fasilitas mewah, sangat disayangkan kan kalau tidak digunakan dengan baik. Okay, jadi itu rencananya. Mari hidup sebagai Haura dikehidupan Haura!

“Kok cuman satu?” roti ditangan Angel sudah berpidah ketangan Haura. “Aku baru makan daging cincang dan sayuran. Baru makan satu suap mie dan bahkan belum menyentuh banana milk-nya”

Angel mendengus, “Setelah infus kamu dicopot, aku traktir makan. Nggak usah bawel”

“Serius?”

.

.

“Kayaknya saya sudah pernah membahas ini sama kepala chef” kalimat yang diucapkan kelewat tenang dari pemuda berusia 17 tahun itu membuat semua yang berada didapur menunduk semakin dalam. Ini gara-gara mie campur seafood yang jadi menu makan siang tadi, dan tentu saja kejadian mengejutkan tadi.

“Maaf Tuan”

“Maaf?” pemuda itu melipat kakinya, menatap satu persatu orang didalam ruangan. “Kalian dipecat”

“Tapi Tuan”

“Kecuali ada yang mengaku. Saya bisa pertimbangkan” kemudian pemuda itu berdiri. “Pukul 6 sore. Itu batas waktu yang saya kasih”

Dia berjalan keluar dapur dengan tatapan datar. Dibelakangnya, ketiga sahabatnya mengekor tanpa mengucapkan apapun. Mood penerus Pramudya sedang buruk dan tentu saja tidak ada yang mau menambah ke-bete-an pemuda itu.

Benar. Dialah penerus tunggal Pramudya Groups yang terpaksa harus bertunangan demi kelancaran bisnis keluarga. Aydhan Pramudya.

“Haura, seriusan kamu mau makan itu?” suara dengan nada memelas itu membuat Aydhan dan ketiga temannya berhenti berjalan, menemukan dua gadis berjalan kearah mereka.

Angel rasa seharian ini kuping dan matanya benar-benar bermasalah. Pagi tadi Angel kira dia akan mendapat penolakan dari Haura untuk berangkat sekolah sekedar merajuk karena diperlakukan semena-mena oleh tunangannya.

Belum hilang keterkejutan Angel, dia mendapati Haura berhasil mengerjakan ulangan fisika tanpa mengeluh, hal yang Angel yakini tak akan pernah terjadi jika itu menyangkul Fisika dan Haura. Lalu kejutan selanjutnya saat makan siang, Haura lebih memilih makan dikantin dibanding memesan makanan dari luar seperti kebiasaannya. Dan tadi apa kata Haura? Gadis cantik itu mau makan nasi padang?

“Aku kok curiga kamu abis kebentur pas diturunin Aydhan ditengah jalan. Kamu aneh banget”

“Mau makan nasi kok dibilang aneh sih, Ngel”

“Kamu nggak diet?”

“Badan kurus gini, mana bisa aku diet?”

“Kamu yang selalu bilang mau diet, Ra”

“Kayaknya waktu itu aku lagi nggak sadar. Nah, sekarang aku sadar banget” Haura berjalan mundur, “Lihat dong Ngel, badanku kurus banget. Banyak beban hidup. Jadi gimana kalau makan malemnya kita makan dirumah makan Korea?”

Masih dengan berjalan mundur, mencoba mempengaruhi Angel agar mengajaknya mencari tempat makan khas Korea. Bagaimanapun Haura belum tahu tempat-tempat hits disini. Dia kembali berceloteh mengenai menu makan malam apa yang akan dipilih demi menggemukan badannya, hingga tidak sadar empat pemuda menghalangi jalannya.

“Aduh sorry sorry”

Alis Aydhan naik sebelah mendengar ucapan maaf dari Haura. Bukan hanya Aydhan, bahkan Nuraga, Risakha dan Candrama mengerutkan keningnya juga. Pasalnya, seumur mengenal Haura, pemuda itu tak pernah mendengar permintaan maaf dari Haura untuk hal sesepele itu, menginjak kaki orang lain. Biasanya yang akan Haura lakukan adalah mengumpati orang yang ditabraknya sampai orang tersebut yang meminta maaf. Keahlian Haura adalah menyalahkan orang lain dan mau menang sendiri.

“Sepertinya kamu sudah sembuh melihat bagaimana kamu sudah membuat ulah lagi” Aydhan bersuara, datar.

Haura mendengus. Dia sepertinya harus menjauhi, benar-benar menjauhi Aydhan. Selain karena Haura tidak suka sikap pemuda itu pada Haura asli, juga karena tatapan pemuda itu tak pernah bisa Haura baca. Sangat misterius dan menakutkan. Pokoknya yang Haura tahu Aydhan ini salah satu orang yang harus dia jauhi kalau mau membangun kembali kehidupan Haura, agar ketika Haura kembali ke tubuhnya, gadis itu bisa menikmati hidup yang lebih baik. Atau minimal jauh dari orang-orang yang selalu memandangnya rendah, seperti Aydhan ini.

“Benar bahwa aku sudah sembuh. Tapi maaf banget, bagian mana dari perilaku ku yang kamu judge ‘membuat ulang lagi’?”

“Berjalan mundur—”

“Aku baru tahu kalau disekolah ini ada peraturan ‘dilarang berjalan mundur’” potong Haura, “Lagipula kalau kamu sudah lihat aku berjalan mundur, kan kamu bisa menghindar. Kenapa repot banget” dengus gadis itu.

Haura bisa melihat pemuda berwajah stoic didepannya itu melebarkan matanya, sedikit. Pasti Aydhan kaget dengan jawaban Haura karena Haura yang dia kenal tidak akan pernah menunjukan wajah tak suka pada Aydhan. Haura akan selalu berwajah manis, bahkan ketika Aydhan membentaknya.

Tapi, Haura yang ini tidak akan menunjukan wajah seperti itu. Haura akan berekspresi sesuai dengan perasaannya. Dia tidak akan memakai topeng seperti Haura.

“Haura” Angel yang sejak tadi menutup mulutnya kembali bersuara ketika melihat mata Aydhan berkilat marah. Pasti Aydhan merasakan perbedaan sikap Haura padanya. Bagus sih, tapi Angel tahu Aydhan sedang dalam mood buruk melihat bagaimana sahabat-sahabatnya sejak tadi hanya diam, tak ikut menyuarakan kekesalan pada Haura -seperti biasanya.

“Ayo”

….

3. Perubahan Besar

3

Ada yang berbeda dengan Haura. Dan yang paling nampak adalah tatapan gadis itu pada Aydhan. Tidak ada lagi tatapan pemujaan. Pun, tak ada lagi sikap sok manis ketika berhadapan dengan Aydhan. Apa karena kejadian sore itu? Apa sore itu Aydhan keterlaluan?

Tidak.

Sikap Aydhan pada Haura memang tak pernah baik. Sejak pertemuan pertama mereka di sekolah dasar, Aydhan tahu kalau Haura akan selalu merecoki hidupnya karenanya dia selalu bersikap jahat pada gadis itu. Puncaknya adalah ketika gadis itu meminta orang tuanya menjodohkan dirinya dengan Aydhan. Hidup Aydhan yang aman mulai menjadi kacau.

Haura dulu tidak semenyebalkan sekarang, entah bagaimana gadis manis itu tumbuh menjadi gadis urakan dan suka bikin masalah. Aydhan sebenarnya tidak peduli, tapi nama baiknya sebagai tunangan Haura selalu disangkut pautkan. Dan Aydhan tak pernah suka itu. Nama baiknya harus tetap baik sampai dia mewarisi semua kekayaan Pramudya Groups.

“Lo yakin dia nggak kebentur pas lo dorong keluar dari mobil?” Sakha membuka suara ketika punggung Haura dan Angel sudah tidak terlihat.

“Dia aneh banget nggak sih?” kali ini Raga yang bersuara, menyuarakan keanehan tunangan sahabatnya.

Aydhan masih diam, memperhatikan Haura yang berjalan beriringan dengan Angel. Tawa gadis itu terdengar sampai telinga Aydhan, padahal jaraknya sudah cukup jauh. Dan itu mengganggunya.

“Menurut gue sih dia udah nyerah” Aydhan menoleh dengan kening berkerut, “Elo udah sering minta dia nyerah kan? Selamat. Mungkin sebentar lagi lo bakal ditelepon Bokap lo yang nyampein pembatalan pertunangan” Chandra berkata cuek.

“Ah benar. Mungkin dia capek ngejar-ngejar lo” Shaka menyetujui ucapan Chandra. “Biasanya kan dia kalo ketemu lo langsung meluk lengan lo. Ini sekarang udah 3 kali ketemu tapi dia bahkan nggak mau deket-deket lo”

Aydhan mendengus, kemudian melangkah cepat menuju kelasnya. Dia nggak peduli.

“Kamu jadi nemenin aku beli buku?” Sofia menyambut didepan pintu kelas. Suasana kelas sudah sepi. Maklum jam pelajaran sudah berakhir.

“Okay”

Sofia tersenyum, mengekori Aydhan dan ketiga sahabatnya. Gadis itu menikmati berdekatan dengan keempat pentolan sekolah. Bersyukurlah dia karena Haura pernah membully-nya dan karena itu dia bisa berdekatan dengan Aydhan dan ketiga temannya.

.

.

“Ra, aku nggak tanggungjawab ya kalau kamu sakit perut”

Haura mendengus, “Nggak bakal” katanya. Cewek itu keluar dari mobil Angel. “Besok nggak usah jemput. Aku berangkat sendiri aja”

“Loh, kenapa?”

“Nggak pa-pa” Haura menutup pintu mobil, “Bye”

Gadis itu berjalan masuk kedalam rumah, mengabaikan Angel yang masih menatapnya protes. Tapi Haura sudah kelelahan. Gadis itu ingin buru-buru memejamkan matanya, berharap ketika dia bangun kejadian hari ini hanya mimpi buruknya.

“Gue nggak tahu jam pulang sekolah bisa semalam ini” ini memang sudah lebih dari jam 7 malam. Sepulang sekolah, Angel beneran mentraktir Haura nasi padang. Lalu mereka berkeliling mall sekedar mencuci mata.

Haura menemukan Kak Haikal dan Aydhan diruang tamu. Keduanya menatap Haura dengan datar. Wah, sepertinya Haura benar-benar tidak bisa langsung tidur karena harus menghadapi dua pemuda yang pasti akan membuat tekanan darahnya menjadi tinggi.

“Aku juga nggak tahu kalau apapun yang aku lakuin harus lapor ke Kak Haikal” Haura menyahut sambil mendengus.

Mata Haikal melebar. Merasa aneh dengan sikap Haura. Sebenarnya sejak siang tadi. Tapi Haikal tak pernah menyangka Haura akan bersikap begitu didepan Aydhan. Biasanya, jika Haikal menegur, Haura hanya akan tersenyum manis, pura-pura merasa bersalah padanya, bersikap seolah mereka kakak-beradik ideal, seolah gadis itu dilimpahi kasih sayang oleh kakak-kakaknya.

Sama halnya dengan Haikal, Aydhan juga tak dapat menutupi keterkejutannya oleh perubahan sikap Haura yang tiba-tiba. Apa benar kata sahabatnya kalau Haura sudah menyerah padanya? Seharusnya Aydhan senang kan? Ini yang dia mau selama ini. Tapi entah mengapa dia malah merasa tak senang sedikitpun. Ada sesuatu disudut hatinya yang tak rela wajah berseri yang selalu ditunjukan gadis didepannya berganti menjadi datar dan tak terbaca.

“Ah benar” tatapan Haura beralih pada Aydhan, “Kamu pasti kaget kenapa Aku se-enggak sopan itu sama Kak Haikal kan?” gadis itu maju mendekati Aydhan, “Hubunganku sama kakak-kakakku emang nggak terlalu bagus. Oh nggak. Ini bukan lagi disebut nggak terlalu bagus, tapi emang buruk. Buruk banget, karena kita bahkan nggak saling sapa dirumah”

Haura bisa melihat mata pupil mata Aydhan melebar, “Dan yang kamu lihat selama ini adalah sandiwara keluarga kami. Hebat kan?”

Haura menoleh pada Haikal, “Sekarang, Kakak nggak perlu sok perhatian sama Aku didepan Aydhan dan keluarganya. Kakak bebas mengekspresikan bagaimana bencinya Kakak sama Aku. Kakak bebas jadi diri Kakak sendiri, jadi orang yang benci adiknya dan berharap adiknya mati setiap hari”

“Haura!” Haikal berteriak.

“Kenapa? Jangan-jangan Kak Haikal nggak inget sama ucapan Kakak siang tadi pas mengunjungi Aku di ruang Kesehatan? Kalau begitu, biar aku ingetin, Kakak bilang,”

“Haura” Haikal memotong dengan suara datar, menatap tak percaya bagaimana gadis yang selalu bersikap manja padanya meski dia perlakukan seenaknya hari ini terang-terangan menentangnya.

Haura bertepuk tangan, tampak suka dengan reaksi yang ditunjukan Haikal. “Wow. Untuk pertama kalinya di tahun ini Kak Haikal manggil nama Aku dengan benar. Haura. Bukan anak pembawa sial atau tukang cari perhatian”

Mata Haikal berkilat, “Masuk kamar” suaranya berat, dalam. Haikal rasa Haura akan semakin menjadi jika gadis itu tetap berada disana. Atau—sebenarnya dia tak suka dengan kalimat yang mungkin akan keluar dari mulut Haura yang kini tak bisa tertebak?

“Fine” gadis itu mengangkat tangan, kembali beralih menatap Aydhan. “By the way, Aku akan ngomong sama Papa buat mutusin pertunangan kita. Gimana, kamu seneng kan?”

Dan kalimat selanjutnya yang diucapkan gadis itu tak pernah masuk kedalam telinga Aydhan. Dia mendadak tuli. Kalimat pembatalan pertunangan yang selama ini Aydhan Yakini tak akan keluar dari mulut Haura akhirnya keluar. Dan hal itu bukan yang menyenangkan. Bahkan ketika Haura berjalan meninggalkan dirinya dan Haikal, Aydhan tetap mematung, mencoba memahami perasaannya sendiri.

.

.

Haura membanting pintu kamar dengan keras lalu menguncinya. Masa bodoh kalau para kakaknya marah. Sekarang Haura akan hidup sebagai dirinya sendiri. Kalau kesal dia akan menunjukkan nya, tak mau pura-pura lagi.

Setelah melempar ranselnya asal, gadis itu buru-buru masuk kedalam walk in closet, mencari baju ganti. Dia ingin segera tidur tapi harus ganti baju dulu. Meskipun sudah melihatnya pagi tadi, malam ini ketika masuk kedalam walk in closet Haura tetap merasa takjub. Haura rasa itu akan bertahan berminggu-minggu kedepan.

“Bahkan baju santainya aja bermerek. Haura, harusnya kamu hidup dengan baik” gadis itu bergumam sambil memilih baju tidurnya. Pilihannya kemudian jatuh pada piyama berwarna biru dengan motif bulan bintang. Lucu banget.

“Haura, kalau kita emang tertukar, nikmatin waktu kamu bareng Mba Husna dan Mas Angga. Mereka bakal jagain kamu dan membuat kamu menikmati rasanya punya kakak. Disini, aku bakal sedikit membuat masalah. Aku harap kamu nggak keberatan kalau pertunanganmu batal dan hubunganmu dengan kakak-kakakmu um sedikit renggang”

Mata Haura yang sedikit berembun menyipit ketika melihat satu kotak yang tersimpan didalam lemari, dibawah pakaian yang digantung dengan rapi. Gadis itu berjongkok, menarik kotak itu keluar lemari.

“Dikunci?” Alis Haura menyatu. Kotak itu disegel dengan sandi. Diatasnya ada tulisan dengan spidol permanen. Kotak kesedihan.

Haura adalah tipe gadis yang mudah penasaran. Jadi alih-alih kembali memasukkan kotak itu kedalam lemari, dia malah membawa kotak itu keatas ranjang. Dia harus membuka kotak ini.

Ada 6 angka yang harus Haura masukan untuk bisa membuka kotak ini. Gadis itu buru-buru membuka dompetnya mencari kartu pelajar. Keningnya menyatu melihat tanggal kelahiran Haura. Sama. Tanggal yang tertera disana sama dengan tanggal kelahirannya. 05.05.05.

Haura memasukan angka itu. Salah. Lalu membuka ponselnya, Haura ingat tadi dia membaca pengingat diponsel. Hari pertunangan Haura dengan Aydhan. Tapi ketika memasukkan angkanya, kotak masuk belum terbuka.

“Kotak kesedihan?” Gadis itu bergumam. Mungkin alasan yang membuat Haura bersedih? “Hari meninggalnya Mama Haura?”

Haura mencari memo di ponsel Haura. 06.07.15

Klik

“Terbuka”

.

.

Haura keluar kamar sambil mengikat rambutnya asal. Sepertinya yang tertulis dalam buku harian yang ditemukan Haura didalam kotak bersegel semalam, kakak pertama Haura, Kafka, sudah ada diruang makan. Keduanya bertatapan ketika Haura meletakan ranselnya dikursi. Alih-alih duduk dan merebut sandwich seperti yang biasa Haura lakukan, kali ini Haura beralih ke arah lemari, mencari sekotak sereal yang katanya disimpan Haura disana.

Kak Kafka selalu mengulang kegiatan yang sama. Jam 6 pagi sudah duduk diruang makan dan membuat sandwich. Aku tidak terlalu suka sandwich. Tapi demi menemukan interaksi kecil dengan Kak Kafka aku akan merebut sandwich buatannya dan memakannya dengan lahap. Kak Kafka akan marah, tapi akhirnya membuat yang baru untuk dirinya. Sekotak sereal yang biasanya selalu habis selama 3 hari, sekarang bahkan tidak pernah ku sentuh. Demi memakan sandwich buatan kak Kafka.

Kafka memperhatikan Haura yang melenggang pergi membuka lemari bagian atas, tempat gadis itu menyimpan sereal. Lalu keningnya mengkerut melihat Haura mengambil kotak sereal itu dan membawanya ke atas meja makan. Berdiri lagi, gadis itu membuka lemari es dan mengambil sekotak susu cokelat dari sana. Semuanya dilakukan tanpa bersuara, tanpa menyapanya. Padahal Haura selalu menyapanya sebelumnya.

“Kamu sakit?”

“Sayang banget, Aku sehat walafiat” Haura menjawab cuek, gadis itu menuang sereal dan susu kedalam mangkuk lalu mulai makan. Tak memperdulikan bagaimana mata Kafka melebar mendengar jawabannya.

“Kenapa?” Jengah juga ditatap bak orang tidak waras oleh Kafka, Haura menatap Kafka dengan mata bosan. “Mulai sekarang Aku nggak akan pura-pura suka sandwich lagi biar setidaknya Kak Kafka mau natap dan ngomelin aku. Jadi mulai sekarang nggak usah khawatir Kak Kafka kena darah tinggi tiap pagi”

“Jaga sikap kamu, Haura!”

Haura tertawa, hampir tersedak. “Haura? Ini kali pertama dalam setahun Kak Kafka manggil namaku dengan benar. Wow”

Kafka tercekat. Selain wajah Haura yang menatapnya datar juga tawa gadis itu yang mencemooh begitu mengganggunya. Tapi kenapa? Bukannya bagus kalau Haura tidak merebut sandwich buatannya lagi? Tapi sudut hati Kafka seperti tercubit mendengar alasan Haura melakukan itu, demi mendapat perhatian darinya katanya? Benar. Haura tidak terlalu suka sandwich. Bahkan sejak dulu. Mama selalu membuat 5 sandwich, Haura akan dibuatkan sereal untuk sarapan. Kenapa, Kafka bisa lupa?

….

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!