Di sebuah tanah yang kosong dimana hanya ada bebatuan dan tanah gersang yang cukup luas, terlihat ada dua pasukan yang sedang berbaris saling berhadap-hadapan dengan alat perang serta persenjataan yang lengkap.
Ratusan prajurit kedua belah pihak dipimpin oleh tiga Panglima di masing-masing kubu, dan dari pakaian yang dikenakan, mereka berdua jelas adalah dua pasukan berbeda Kerajaan yang siap untuk maju berperang.
Panglima tertinggi dari kedua belah pihak sedang duduk di atas kuda perkasanya memperhatikan barisan pasukan musuh sekaligus para panglimanya, begitu juga sebaliknya.
"Jangan ada yang takut sedikitpun! Untuk Kerajaan Qin kita, maju dan kalahkan Pasukan Kerajaan Song," kata seorang Panglima tertinggi yang bertubuh tegap yang sangat gagah dengan memegang sebilah golok panjang di tangan dan pedang yang masih tersarung di pinggangnya.
"Hidup Kerajaan Qin, hancurkan Kerajaan Song!" seru semua prajurit kerajaan Qin secara serempak.
Pasukan berpakain kuning hanya memperhatikan sorak semangat pasukan musuh di hadapannya, dan salah seorang panglima besar mereka memperhatikan semua itu sekaligus membaca situasinya.
"Panglima Lian, semua pasukan pemanah sudah bersiap untuk menunggu perintah," kata salah seorang Panglima satunya.
Sosok yang dipanggil Panglima Lian adalah seorang Panglima dari Kerajaan Song, tubuhnya sebanding dengan Panglima tertinggi Kerajaan Qin yang saat ini sedang menyemangati pasukannya, sedangkan senjatanya adalah Tombak berpita Kuning dan pedang yang ada di pinggangnya.
Pasukan Qin sudah mulai bergerak maju, dan yang ada di barisan depan adalah pasukan yang memiliki tameng pelindung, barisan kedua adalah pasukan pemanah, dan barisan ketiga adalah pasukan tempur biasa.
Ketiga barisan ini mulai maju untuk menentukan jarak panah mereka nantinya, dan jika Pasukan Song melepaskan panah, maka pasukan pelindung akan menggunakan tameng mereka untuk melindungi pasukan di belakangnya.
Di barisan paling belakang, masih ada barisan pasukan Qin yang belum bergerak yang terdiri dari pasukan tempur elit yang terdiri dari pasukan berkuda dan pasukan yang memiliki persenjataan serta baju tempur yang kokoh, belum lagi meriam bola api yang siap untuk di lepaskan kapanpun, ditambah dengan busur besar yang disebut dengan Busur Balista, busur besar itu akan digunakan untuk memanah pasukan berkuda musuh, dan di pihak Kerajaan Song juga memiliki Busur tersebut.
"Pasukan Pemanah! Hujani mereka dengan panah Api," kata Panglima Lian.
Pasukan pemanah segera maju ke barisan depan lalu mulai membakar anak panah yang sudah diberi kain serta minyak. Begitu Panglima Lian memberikan aba-aba, pasukan pemanah segera melepaskan anak panahnya ke arah pasukan musuh.
Langit seketika menjadi gelap oleh hujan ratusan anak panah api yang mulai menghujani pasukan Qin, walau ada pasukan perisai di depan yang mulai membuat formasi pelindung, namun tetap saja ada beberapa prajurit yang masih terkena anak panah itu, beberapa ada yang masih bisa bertahan, dan beberapa pasukan ada yang mati walau tubuhnya tidak terbakar.
"Pasukan Perisai, maju untuk memblokir serangan musuh," seru Panglima tertinggi Kerajaan Qin.
Para prajurit pelindung bergerak maju sekaligus memasang perisai mereka untuk melindungi diri serta pasukan yang ada di belakang mereka, tidak peduli terhadap serangan hujan panah yang terus menyerang, mereka tetap maju, tetap saja ada beberapa prajurit yang jatuh terkena panah, namun mereka tidak menghentikan langkah untuk terus bergerak.
"Barisan tiga maju!" seru Panglima Lian lalu para pasukan pemanah mundur dan digantikan oleh pasukan barisan ketiga yang semuanya mengenakan baju besi serta perisai sekaligus memegang tombak.
Pasukan barisan tiga adalah sebuah sebutan untuk pasukan pelindung sekaligus penyerang, pasukan ini yang akan lebih dulu melakukan serangan sekaligus bertahan, dan strategi ini baru pertama kali digunakan oleh Panglima Lian.
Kedua pasukan kini sudah sangat dekat, dan begitu keduanya berhadapan, pasukan barisan tiga sudah sangat hafal dengan strategi musuh, mereka semua segera menancapkan perisai mereka ke tanah, dan secara bersamaan pasukan musuh yang berada di barisan pasukan pelindung melepaskan tusukan Tombak.
Tusukan Tombak itu tentu tertahan oleh perisai pasukan Song, dan begitu tombak itu akan ditarik, para pasukan barisan kedua di belakang pasukan barisan tiga segera meraih tombak-tombak musuh lalu menariknya dengan sangat kuat sehingga menyebabkan pemilik tombak ikut ditarik keluar dari dalam perlindungan, dan pasukan barisan tiga segera menghujamkan tombak mereka ke tubuh pasukan Qin.
Pasukan Qin segera membalasnya, mereka membuka perisai lalu serangan anak panah mulai menghujani pasukan Song, dan setelah itu pasukan berkuda dari kedua belah pihak segera memasuki medan pertempuran.
Pertempuran sengit dari kedua belah pihak berlangsung selama setengah hari saja, dan dalam waktu setengah hari itu, pasukan Qin kehilangan lebih dari separuh pasukannya, sedangkan Pasukan Song hanya sedikit saja yang gugur.
Pertempuran itu yang tidak menguntungkan pasukan Qin akhirnya memilih untuk mundur, dan hasil dari pertempuran itu dimenangkan oleh pasukan Song.
Pasukan Song bersorak sorai atas kemenangan mereka, dan Panglima Lian yang mengalami luka ringan memerintahkan pasukan penjaga untuk membangun benteng, sedangkan dirinya bersama beberapa prajurit akan kembali ke Kerajaan untuk menyampaikan kabar kemenangan itu kepada Raja Song.
***
Kerajaan Song dan Kerajaan Qin adalah dua kerajaan yang menduduki daratan Barat. Berbeda halnya dengan daratan tengah serta daratan timur yang hanya memiliki satu pemerintahan saja.
Kerajaan Song adalah kerajaan pertama yang berdiri di Daratan Barat, dan setelah berdiri selama lebih dari 50 tahun, Kerajaan baru muncul yaitu Kerajaan Qin, dan kerajaan Qin sendiri di bangun oleh salah satu pejabat kerajaan Song yang membelot.
Anehnya Kerajaan Qin memiliki banyak dukungan sehingga dalam waktu kurang dari 10 tahun, Kerajaan Qin sudah memiliki pasukan yang cukup untuk menandingi kekuatan militer Kerajaan Song.
Hari ini Raja Song sedang berdiri di depan kamar salah satu selirnya yang akan melahirkan anak ketiga Sang Raja. Dengan cemas Raja Song mondar-mandir di depan kamar yang membuat para pengawal yang menemani Raja Song merasa Pusing melihat Raja Mereka yang tidak mau diam.
Sesekali Raja Song akan melihat ke pintu kamar kemudian kembali lagi berjalan kesana kemari dengan cemas, sedangkan di dalam kamar suara wanita yang sedang kesakitan berusaha sebisa mungkin untuk melahirkan bayinya.
"Tarik nafas dalam-dalam Putri, sebentar lagi akan segera keluar," kata seorang wanita tua yang membantu persalinan sang Selir Raja.
Wanita itu mengikuti apa yang wanita tua itu perintahkan, setelah dia menarik nafas dalam-dalam, sang Selir mencengkram kain bantal dengan erat sekaligus berteriak dengan sangat keras.
Tiba-tiba saja langit menjadi mendung, dan tepat saat sang Selir berteriak dan sekuat tenaga mendorong bayinya keluar dari rahimnya, disaat yang bersamaan, petir menyambar atap istana, dengan suara tangis bayi yang tertutup oleh suara Guntur yang membuat atap istana langsung hancur.
Semua pengawal Raja dan para prajurit jelas terkejut atas fenomena tersebut, sedangkan Raja Song sendiri yang mendengar suara tangis bayi setelah suara guntur berlalu langsung berhenti bergerak seraya menghadap ke arah Pintu kamar dengan perasaan tidak sabar untuk melihat anak ketiganya.
Hujan mulai turun dengan sangat deras, dan beberapa pasukan berusaha memperbaiki kembali atap istana yang bocor dengan mengganti atapnya, dan mereka rela hujan-hujanan demi memperbaiki atap istana yang hancur.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya pintu kamar terbuka, dan Wanita tua keluar dengan menggendong bayi mungil yang sudah dibersihkan serta membungkus tubuh bayi mungil itu dengan kain lembut dan juga hangat.
"Selamat Paduka, Putri Lin Fei melahirkan bayi laki-laki," kata wanita tua itu seraya mempersilahkan Raja Song untuk menggendong bayi tersebut.
Raut wajah Raja Song terlihat sangat senang setelah mengetahui jika anak ketiganya adalah laki-laki, dan bayi itu adalah anak laki-laki satu-satunya, sedangkan dua anak sebelumnya adalah perempuan.
Anak yang pertama bernama Song Lie Hua anak dengan sang Permaisuri, dan yang kedua bernama Song Xi Yifei anak dengan selir kedua, dan sekarang adalah bayi laki-laki.
Raja Song menimang bayi itu lalu wanita tua itu menjelaskan jika bayi ketiganya memiliki tanda lahir aneh di belakang punggungnya, gambar lingkaran merah sebesar ibu jari terukir di pundak sebelah kanan.
Raja Song segera memeriksanya dan dia menemukan tanda lahir tersebut, Raja Song sedikit bingung sebab jarang sekali ada tanda lahir sebuah gambar lingkaran yang sangat sempurna berwarna merah, biasanya tanda lahir berwarna biru kehitaman atau bahkan hitam pekat, dan tanda seperti itu sudah umum terlihat.
Hanya saja kali ini terlihat berbeda, walau Raja Song tidak mempermasalahkannya, setidaknya putranya lahir tanpa cacat sedikitpun, dan tanda lahir yang unik mungkin hanyalah sebuah tanda lahir biasa saja.
Raja Song berjalan menghampiri sang Selir yang masih terbaring lemah, dan Raja Song dengan penuh kebahagiaan berbicara kepada selir tersebut.
"Terima kasih Fei'er, kamu sudah memberikan harapan masa depan bagi kerajaan kita ini," kata Raja Song.
Selir yang memiliki nama Lin Fei hanya bisa tersenyum kemudian Raja Song keluar membawa bayi nya ke Aula Istana, Raja Song ingin semua orang mengetahui jika Sang Pewaris Kerajaan telah lahir.
Begitu Raja Song memasuki Aula Istana, semua petinggi Kerajaan segera berlutut seraya berseru, "Selamat atas lahirnya anak Paduka Raja yang ketiga, semoga Raja dan keluarga diberikan anugerah dan panjang umur," ucap semuanya yang ada di dalam Aula tersebut.
"Terima kasih! Hari ini adalah hari kebahagiaanku, karena hari ini telah lahir calon pewaris tahta Kerajaan ini, Putra Mahkota Kerajaan Song, aku memberikan nama putraku, Pangeran Song Lin Qian," kata Raja Song seraya mengangkat bayi itu tinggi-tinggi berharap para Dewa juga merestui lahirnya sang Putra Mahkota.
"Hidup Raja Song, hidup Pangeran Song Lin Qian!" seru semuanya yang masih berlutut.
Permaisuri dan dua selir lainnya memasuki Aula Istana bersama dua Putri Song, satu berusia 8 tahun yang bernama Song Lie Hua, dan satu berusia 4 tahun bernama Song Xi Yifei.
Setelah berada di sebelah Raja Song, Sang Permaisuri meminta bayi itu untuk dia gendong, dan Raja Song memberikannya.
"Song Lin Qian, lihatlah! Kelahiranmu di sambut dengan doa dan restu dari kami semua, semoga kelak kamu menjadi pria yang gagah dan bijak seperti ayah mu," kata Sang Permaisuri seraya mencium kening Song Lin Qian yang masih halus dan lembut.
Song Lie Hua dan Song Xi Yifei juga tidak sabar ingin melihat adik mereka, sedangkan kedua Selir di mana salah satunya juga sedang hamil hanya saling berpandangan, tatapan iri dan tidak senang mulai terlihat di raut wajah keduanya, hanya kedua Selir itu tidak berani untuk mengutarakan ketidak senangan mereka terhadap Bayi laki-laki itu.
Kedua selir itu bernama Yie Ling Yi, dia adalah ibu dari Song Xi Yifei, sedang yang sedang hamil bernama Lio Xiayi, lalu Sang Permaisuri bernama Wang Hua Yin.
"Apakah putra dari seorang pelayan berhak menjadi pewaris tahta Kerajaan ini? Lin Fei, lihat saja nanti apa yang akan aku perbuat pada anakmu dan juga dirimu," batin salah satu selir itu dengan saling melirik kepada selir satunya.
Diketahui jika Lin Fei sebelumnya adalah seorang pelayan yang datang dari desa kecil, Lin Fei memiliki paras wajah yang sangat cantik, dan ketika Song Guo Li atau Raja Song bertemu dengan Lin Fei yang sedang bekerja membersihkan kamar Permaisuri, Raja Song pun terpesona dan segera meminang Lin Fei, dan Lin Fei akhirnya menjadi Selir kedua setelah Yie Ling Yi.
Setelah Lin Fei menjadi selir kedua, Raja Song kembali meminang seorang putri dari salah satu bangsawan, dan putri tersebut bernama Lio Xiayi.
Kini Raja Song memiliki tiga Selir. Yie Ling Yi sendiri adalah putri seorang menteri, sehingga status derajat Yie Ling Yi dan Lio Xiayi seharusnya lebih tinggi daripada Lin Fei.
Berbeda halnya dengan Sang Permaisuri dimana Permaisuri sendiri adalah seorang Putri dari salah satu dari kerajaan yang menguasai wilayah Daratan Tengah, Sang Permaisuri statusnya jelas lebih tinggi dari semua selir-selir Raja Song, terlebih lagi Sang Permaisuri asal Istri sah sang Raja.
Seorang Raja hanya bisa memiliki satu istri yang sah saja, dan itu memang sudah menjadi aturan hukum tetap seluruh pemerintahan di seluruh belahan dunia, jika pemimpin atau Raja ingin menikah lagi, maka jalur pernikahannya sangat berbeda dan pastinya tidak bisa di panggil sebagai permaisuri, sebab kedudukannya sendiri sangatlah berbeda antara Permaisuri dan juga Selir.
Hanya demi bisa memiliki anak laki-laki, Raja Song telah menikahi tiga wanita, Raja Song tidak mempertimbangkan terlebih dahulu akan apa yang akan terjadi di masa depan jika sampai dia memiliki dua putra dari dua selir yang berbeda.
Mengingat masih ada satu selirnya yang lagi hamil 7 bulan, jadi masih belum diketahui bayi apa yang akan lahir dari selir yang ketiga itu, sedangkan Lio Xiayi yakin jika bayi yang dia kandung itu juga bayi laki-laki.
"Beritahu ke para Panglima yang berada di perbatasan untuk berhenti berperang selama dua hari, suruh ketiga Panglima membuat pertahanan saja, sebab selama dua hari ini aku tidak ingin ada peperangan, ini untuk menyambut kehadiran Song Lin Qian di Kerajaan ini," kata Raja Song.
Tiga prajurit segera membungkuk dan berjalan mundur setelah menerima titah Raja Song, namun baru saja mereka ingin berbalik, Panglima Lian pun muncul dan segera menemui Raja Song.
Panglima Lian bingung saat melihat semua petinggi Kerajaan yang hadir, namun dia segera mengacuhkan mereka semua dan lebih Fokus untuk berbicara kepada Sang Raja.
"Lian Bai memberi hormat kepada Yang Mulia dan Permaisuri!" kata Panglima Lian Bai yang langsung berlutut di hadapan Raja Song serta Permaisuri.
"Bangunlah Lian Bai," kata Raja Song.
"Terima kasih Yang Mulia! Hamba kembali dengan membawa berita kemenangan, Pasukan Qin berhasil kami usir dari wilayah perbatasan," kata Lian Bai.
"Owh, jadi kelahiran Song Lin Qian juga memberikan kemenangan untuk Kerajaan kita, bagus-bagus! Ini adalah pertanda yang baik," kata Raja Song yang menoleh ke arah Song Lin Qian yang berada di pangkuan Permaisuri.
Lian Bai kebingungan mendengarnya, dan saat melihat bayi di pangkuan Permaisuri, barulah dia mengerti dan segera mengucapkan selamat kepada Raja Song atas kelahiran putra nya.
"Karena hari ini adalah hari bahagia, kita akan mengadakan pesta untuk Pangeran Song Lin Qian," kata Raja Song sehingga semua yang ada disana sangat gembira dan Raja Song menyuruh para prajurit untuk menyebarkan acara pesta itu kepada seluruh Rakyatnya dan Raja Song akan membagi-bagikan sedekah untuk orang yang benar-benar sangat miskin.
Atas sikap dan perlakuan Raja Song yang terlalu berlebihan itu, kedua Selir Raja sama-sama memandang bayi di pangkuan Permaisuri dengan tatapan yang sangat tajam, niat buruk mereka semakin liar dan kedua selir itu sama-sama menganggukkan kepala mereka, keduanya seperti sepakat untuk merencanakan sesuatu kepada Song Lin Qian beserta dengan ibunya.
***
Suara alunan musik kecapi yang di sertai dengan tarian para wanita-wanita cantik membuat suasana di dalam istana sangat ramai, suara tawa dan teriakan sorak-sorai menikmati hiburan di depan mata para tamu undangan yang ada di dalam aula.
Setiap tamu yang datang selalu membawa hadiah kepada Pangeran Song Lin Qian serta tidak lupa mengucapkan selamat kepada Raja Song sekaligus mendoakan sang Pangeran agar bisa tumbuh menjadi pemuda yang diharapkan oleh Raja Song.
Pesta di Istana tentu di peruntukan untuk para tamu-tamu penting baik dalam maupun orang penting dari luar kerajaan. Namun bukan berarti rakyat kecil yang jauh tidak bisa menikmati acara bahagia tersebut.
Raja Song telah mengirimkan dana kepada para masing-masing pejabat Desa untuk membuat pesta, tidak lupa Raja Song juga memberikan sedekah kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan, seperti anak yatim piatu, para gelandangan, para pengemis serta para kakek-kakek jompo dan juga nenek-nenek yang sudah tidak mampu mencari Nafkah.
Saat ini di istana sudah kedatangan orang-orang yang paling disegani dan juga dihormati oleh Raja Song. Empat sosok ternama datang bersama dengan para murid-murid perguruan mereka masing-masing.
Dan tidak jauh di belakang rombongan perguruan itu, ada tiga Biksu yang juga ikut datang ke acara bahagia itu.
"Pendeta Bai Long, Guru Ling Ying, Tabib Li Xhiang, Pendekar Yan Bao, terima kasih atas kehadiran kalian," kata Raja Song yang menyambut kedatangan mereka secara langsung.
"Paduka terlalu sungkan! Selamat atas kelahiran Pangeran kecil, tolong terimalah sedikit hadiah dari kami untuk pangeran," kata salah satu pria paruh baya yang tubuhnya mengeluarkan bau obat.
"Terima kasih banyak Tabib Li," kata Raja Song kemudian para pelayan istana segera memindahkan semua hadiah dari mereka dari tengah jamuan.
"Mari silahkan duduk," kata Raja Song.
Raja Song kembali menyambut kedatangan ketiga Biksu, dan kali ini sikap Raja Song semakin ramah menyambut kedatangan ketiga Biksu tersebut.
"Amithafa! Kami perwakilan dari Biara Fu Zhong mengucapkan selamat atas kelahiran putra Paduka, Maha Guru kami tidak bisa hadir karena beliau sedang melakukan meditasi," kata salah seorang Biksu yang lebih senior dari kedua Biksu lainnya.
"Terima kasih banyak karena Maha Guru masih berkenan mengirim perwakilan untuk datang! Mari para Guru, silahkan duduk disana," kata Raja Song yang mempersilahkan kepada ketiga Biksu itu untuk duduk di tempat yang telah disediakan khusus untuk mereka.
Sebenarnya tidak perlu seorang Raja yang harus menyambut para tamu undangan, namun Raja Song memiliki sifat yang merakyat sejak dirinya belum menjadi Raja, dan sifat itu terus ada hingga dirinya sudah menggantikan ayahnya menjadi Raja.
Semua rakyat di seluruh Kerajaan Song sangat menyukai Raja Song Guo Li, tentu saja yang disukai adalah sifatnya yang merakyat.
"Yang Mulia, ini sudah waktunya!" kata salah satu penasehat yang berbisik kepada Raja Song.
Raja Song segera mengangguk dan kemudian dia berjalan ke kursi singgasananya, namun dia tidak menduduki Kursi nya.
Suara Musik dan tarian segera berhenti, dan semua orang sudah tidak lagi mengobrol saat Raja Song sudah berdiri di depan singgasananya.
"Hari ini adalah pesta untuk kelahiran putra ku yang aku beri nama Pangeran Song Lin Qian! Terima kasih atas kehadiran kalian di acara yang sangat bahagia ini, kami para keluarga Kerajaan mengharapkan restu kalian untuk Pangeran agar kelak dia bisa menjadi sosok yang bisa memakmurkan Kerajaan Song kita ini," kata Raja Song dan kemudian dia memberikan kode kepada para pengawal di belakang.
Permaisuri segera keluar dengan menggendong bayi itu, dan kemudian Permaisuri berdiri di samping Raja Song.
"Semuanya, silahkan kalian memberikan berkat kalian satu persatu kepada Pangeran Song Lin Qian," kata Raja Song.
Semua tamu undangan yang hadir segera berdiri, dan kemudian satu persatu para tamu undangan dari arah kanan mulai datang untuk memberikan berkat serta Doa kepada Song Lin Qian.
Setelah memberikan Hormat kepada Song Lin Qian yang terlelap tidur, mereka akan menyentuh keningnya seraya mengucapkan pujian Doa untuk bayi tersebut.
Setelah tiba giliran Biksu tiba, salah satu biksu itu segera memberikan hormat dengan cara mereka sendiri.
"Amithafa! Budha akan senantiasa membimbing jalanmu Pangeran Song," kata Biksu tersebut yang membuat Raja Song sangat bahagia atas doa biksu tersebut.
Biksu itu menggulung sedikit lengan bajunya lalu dia menyentuh kening Song Lin Qian, dan saat ibu jarinya bersentuhan dengan kening Song Lin Qian, tiba-tiba saja raut wajah Biksu itu berubah.
Mata Biksu itu terlihat kosong untuk sesaat sebelum akhirnya berubah dengan tatapan penuh kesedihan, dan setelah beberapa saat ruat wajah sang Biksu kembali cerah.
"Tidak semua jalan itu bersih, untuk bisa melewati jalan yang benar-benar bersih dari halangan, maka diperlukan usaha untuk membersihkan jalan itu dari duri, batu dan api, setelah semuanya di bersihkan, barulah jalan itu bisa di lewati dengan aman," kata Biksu itu yang membuat Raja Song dan Permaisuri kebingungan.
"Maksud Guru?" tanya Raja Song.
"Semua takdir sudah ada yang mengaturnya, kita sebagai manusia hanya bisa menghadapi dan menjalani takdir masing-masing, sebagai makhluk fana, kita hanya bisa membuat rencana dan harapan, tapi rahasia masa depan kita tidak tahu, semuanya akan kembali dari jalan pikiran yang akan kita lewati masing-masing," kata Biksu itu yang membuat Raja Song semakin tidak mengerti.
"Terima kasih atas pencerahannya Guru," kata Permaisuri dengan membungkukan setengah tubuhnya.
"Amithafa."
Biksu itu segera kembali ke tempat duduknya, sedangkan Raja Song yang masih tidak mengerti bertanya kepada Permaisuri dengan suara pelan.
"Apakah Ratu mendapatkan pencerahan?" tanya Raja Song.
Permaisuri tersenyum lembut sehingga membuat Raja Song yakin jika Permaisuri mengerti akan apa yang Biksu itu katakan, namun berikutnya Raja Song justru kaget saat Permaisuri menjawab dengan sangat pelan.
"Sama sekali tidak mengerti," jawabnya.
Raja Song hanya bisa mengumpat di dalam hatinya serta menatap Permaisuri dengan tatapan aneh yang membuat sang Permaisuri ingin tertawa melihat ekspresi wajah Raja Song, hanya saja dia berusaha untuk tidak tertawa.
Setelah semua tamu undangan memberikan restu dan doa untuk sang Pangeran, acara pesta kembali dilanjutkan, sedangkan Sang Permaisuri mengantarkan bayi itu kembali kepada ibunya untuk di beri ASI.
Banyak hidangan yang disuguhkan, baik itu berupa makanan serta minuman yang beralkohol, namun makanan dan minuman untuk ketiga Biksu yang tidak mau mengikuti acara pesta sangat berbeda.
Setelah hampir seharian menikmati Pesta yang sangat meriah di seluruh pelosok-pelosok desa, kini para Tamu Kerajaan sudah meninggalkan istana, dan situasi kembali seperti semula.
Malam harinya semua para pekerja hingga para pelayan istana membersihkan Aula Istana, sedangkan Lin Fei sedang duduk di dalam kamar menemani putranya yang baru saja selesai diberi ASI.
Dengan belaian penuh kasih sayang, Lin Fei mengusap rambut putranya yang hitam lebat serta halus itu dengan lembut seraya berkata, "Tidurlah yang nyenyak putraku, kasih sayang kami akan membawamu ke alam mimpi yang indah," kata Lin Fei.
Saat masih membelai putranya, suara ketukan pintu terdengar, anehnya biasanya seorang pelayan atau siapapun itu yang ingin masuk atau ada keperluan pasti akan mengetuk pintu sambil mengatakan akan siapa dirinya serta tujuannya, hal itu juga berlaku terhadap Raja.
Namun kali ini tidak ada suara siapapun selain ketukan pintu sehingga Lin Fei bertanya dari dalam, "Siapa di luar yang mengetuk pintu?" tanya Lin Fei, namun dia tidak ada jawaban selain ketukan pintu kembali yang menjadi jawabannya.
Perasaan Lin Fei mulai tidak enak, dia mulai cemas dan segera mengangkat Song Lin Qian yang masih tertidur kemudian menggendongnya.
"Siapa diluar?" tanya lagi Lin Fei namun jawabannya masih sama yaitu sebuah ketukan pintu.
Lin Fei yang mulai khawatir segera mengambil beberapa barang di atas meja riasnya seraya menjepit rambutnya dengan jepit rambut terbuat dari giok berwarna Biru muda serta berbentuk ekor merak.
Lin Fei juga diam-diam menyelipkan pisau kecil di pinggangnya lalu menutupi pisau itu dengan gaun birunya, dan tepat saat dia sudah selesai menutupi Pisau nya, suara salah satu pelayan terdengar sedang menanyakan sesuatu di luar.
"Siapa kalian?"
"Ah! Tolong! Tolong! Ada… !"
Suara pelayan itu tiba-tiba menghilang dan kemudian suara teriakan lain dari beberapa prajurit juga mulai terdengar.
"Hai siapa itu?"
Setelah suara pertanyaan itu, terdengar lagi suara benturan pedang di depan kamar, dan Lin Fei melihat bayangan prajurit dan bayangan beberapa orang lain mulai bertarung.
Terdengar suara erangan serta darah yang mulai mengalir dari bawah pintu kamar yang terus mengalir kedalam. Raut wajah Lin Fei langsung pucat saat mencium bau amis serta darah yang mulai masuk, dan setelah itu rasa ke khawatirannya semakin kuat ketika Pintu kamar ada yang mendobrak.
Begitu pintu kamar terbuka, Lin Fei melihat orang-orang berpakaian tertutup dari wajah hingga kakinya, beberapa kepala prajurit juga menggelinding sehingga Lin Fei segera menjerit histeris.
"Cepat habisi dia dan juga bayinya sebelum para prajurit yang lain datang, kita harus bergegas karena Panglima Lian Bai tidak lama lagi pasti akan datang kesini," kata suara seorang wanita yang sepertinya dikenali oleh Lin Fei.
"Jiejie Yie Ling Yi! Apakah itu kamu?" tanya Lin Fei dengan suara gemetar dan takut serta curiga jika suara itu milik Yie Ling Yi.
Pemilik suara wanita itu menatap Lin Fei dengan tatapan terkejut seolah-olah yang dipanggil oleh Lin Fei memang dirinya, namun dia segera mengacuhkan pandangannya dan memerintahkan kepada orang-orang yang berpakaian serba tertutup itu untuk segera membunuh Lin Fei.
Lin Fei sekuat tenaga mengumpulkan keberaniannya untuk bisa lari serta menyelamatkan putranya, dia sadar jika yang mereka incar adalah dirinya serta bayinya.
Salah satu pembunuh melompat dan langsung berhenti tepat di hadapan Lin Fei, hal itu membuat Lin Fei panik dan berjalan mundur ke dekat jendela.
Pembunuh itu tanpa basa-basi langsung mengayunkan pedangnya yang diarahkan langsung ke kepala Lin Fei dan akan lurus mengenai tubuh Song Lin Qian.
Lin Fei segera menghindar ke samping sehingga dia berhasil selamat dari tebasan pedang pembunuh itu, namun itu hanya sesaat saja karena pembunuh yang lain kini sudah berhasil meraih selimut bayinya.
Bayi yang sedang tertidur lelap itu jelas terbangun karena guncangan dan sang bayi mulai menangis, sedangkan Lin Fei berusaha melepaskan tangan si pembunuh lain yang ingin merebut bayinya dari pelukannya.
Jarak antara dirinya dan pembunuh itu cukup dekat, melihat dirinya memiliki peluang untuk melukai pembunuh itu, Lin Fei segera mengeluarkan Pisau kecilnya dan entah kenapa tiba-tiba saja dia berani menancapkan Pisau itu tepat ke ulu hati si pembunuh yang ingin merebut bayinya.
Pembunuh itu langsung jatuh dan mulai kejang-kejang lalu tidak bergerak lagi. Melihat rekannya yang mati di tikam pisau, pembunuh yang lainnya langsung menyerang Lin Fei, sedangkan Lin Fei berbalik lalu dia mencoba untuk melompati jendela yang telah terbuka akibat terkena tebasan pedang sebelumnya.
Lin Fei memang berhasil melompat, namun di saat yang bersamaan, pedang si pembunuh sudah lebih dulu berhasil menusuk pinggangnya, hanya saja Lin Fei berusaha menahan rasa sakitnya dan sekuat tenaga lari dari sana mencari perlindungan.
Namun begitu dia berlari, ternyata sudah banyak mayat prajurit serta para dayang istana yang mati bersimbah darah, dan kekacauan itu rupanya sudah menyebar hingga ke Aula Istana, bahkan Panglima Lian Bai sendiri sudah bertarung sekaligus melindungi Raja dengan Sang Permaisuri.
Lin Fei ingin berlari ke arah Sang Raja yang sedang dilindungi oleh Panglima Lian Bai, hanya saja luka tusukan di pinggangnya membuat langkahnya melambat, dan tiga pembunuh sudah berhasil menyusulnya.
Lin Fei ingin berteriak memanggil Lian Bai, hanya saja nafasnya sudah sangat berat sehingga dia tidak mampu melepaskan teriakan. Mau tidak mau Lin Fei harus berlari ke arah lain walau dia sendiri tidak tahu apakah masih ada tempat yang aman atau tidak.
Lin Fei yang berusaha berlari mulai dihujani tusukan pedang dari belakang, hal itu menyebabkan Lin Fei muntah darah, namun dia masih dengan gigih menahan sakit itu demi menyelamatkan putranya.
"Hei! Putri Lin Fei dan Pangeran sedang dalam bahaya! Cepat kejar dan selamatkan Pangeran..!" salah satu prajurit yang sedang bertarung tidak sengaja melihat Lin Fei yang sedang dikejar-kejar oleh tiga pembunuh segera memberitahu yang lain, dan suara prajurit itu terdengar oleh Raja Song serta Panglima Lian Bai dan juga Permaisuri.
Panglima Lian Bai berusaha menyelesaikan pertarungannya agar secepatnya bisa menolong Lin Fei, namun kali ini dia sedang berhadapan dengan salah satu pembunuh yang memiliki ilmu bela diri yang cukup tinggi sehingga dia tidak bisa dengan mudah menyingkirkannya.
Raja Song segera meminta kepada Sang Permaisuri untuk lari kebelakang, karena di kamarnya masih aman, sedangkan Raja Song sendiri segera berlari melewati pertarungan para prajurit melawan orang-orang yang tidak diketahui dari mana asalnya tanpa peduli lagi akan keselamatan dirinya.
Raja Song berusaha secepat mungkin berlari untuk menyelamatkan Lin Fei dan putranya, namun dia dihadang oleh beberapa orang sehingga dia tidak bisa berlari, walau Raja Song masih cukup beruntung karena para Prajurit segera menolongnya, namun dia sudah tidak melihat Lin Fei lagi.
Sebenarnya Raja Song sendiri tidak tahu jika akan ada penyerangan, awalnya dia hanya mendengar suara teriakan dan keributan kecil. Namun saat dirinya akan pergi untuk melihat, tiba-tiba saja dia dihadang oleh orang-orang berpakaian serba tertutup, dan disaat yang bersamaan, Panglima Lian Bai yang juga berencana akan memeriksa sumber suara itu akhirnya harus melindungi sang Raja dan permaisuri, setelah itu orang-orang berpakain serba hitam itu semakin banyak yang berdatangan yang membuat peperangan di dalam istana pun tidak bisa dielakkan lagi.
Panglima Lian Bai yakin jika orang-orang misterius itu sudah lama menyusup di dalam istana, mungkin mereka sempat menyamar menjadi prajurit dan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.
Kebetulan malam ini banyak sekali para prajurit yang mabuk setelah seharian minum di acara pesta, dan hanya sedikit yang masih tersadar, itu sebabnya kekacauan itu tidak menguntungkan bagi istana, dan terlihat jelas jika itu adalah kekacauan yang direncanakan jauh-jauh hari.
Raja Song yang berhasil diselamatkan oleh beberapa prajurit hanya menatap ke arah menghilangnya Lin Fei yang di kejar-kejar oleh tiga orang pembunuh dengan tubuh lemas, dia takut kehilangan putra yang baru saja hadir di kehidupannya.
"Panglima Lian…! Lepaskan Panah petasan sekarang juga," seru Raja Song yang terlihat sangat marah.
Panglima Lian Bai segera melompat keluar lalu dia mengambil busur dan panah seraya meletakkan sesuatu di ujungnya, setelah menyalakan sumbu benda itu, Panglima Lian Bai segera melepaskan nya ke udara lalu suara Ledakan serta cahaya petasan yang sangat terang segera menarik perhatian semua orang.
Ledakan petasan itu sebenarnya adalah kode panggilan untuk para pendekar yang memiliki hubungan dengan kerajaan sekaligus sebagai pertanda jika sedang ada masalah besar yang terjadi di istana.
Cahaya ledakan kembang api di langit malam membuat ketiga Pembunuh yang mengejar Lin Fei teralihkan, kesempatan itu segera diambil oleh Lin Fei untuk bersembunyi di balik sebuah papan.
Agar bayinya tidak menangis, Lin Fei menyusuinya seraya mendekap bayinya agar tidak kedinginan. Tidak jauh di sebelahnya, ketiga pembunuh itu kini kembali mengejar Lin Fei dan berhenti tepat di hadapan Lin Fei yang sedang bersembunyi.
"Kemana larinya wanita itu?"
"Sial, disini terlalu gelap, jika tidak kita pasti bisa mencari jejak darahnya," gerutu salah satu dari mereka.
"Emm! Dia sudah terluka parah, tidak mungkin dia bisa pergi jauh dari sini. Kemungkinan besar dia masih ada disekitar sini."
Lin Fei semakin panik sebab mereka mulai mencurigai dirinya yang pasti masih bersembunyi di sekitar tempat itu, terlebih lagi pandangan Lin Fei mulai terasa kabur, dan nafasnya semakin berat karena terlalu banyak mengeluarkan darah dari beberapa luka bekas tusukan di punggungnya.
"Aku harus bertahan," batin Lin Fei yang berusaha untuk tetap sadar.
Ketiga pembunuh itu mulai berpencar untuk mencari Lin Fei, sedangkan Lin Fei tanpa sengaja menginjak sebuah batu sebesar kepalan tangan. Lin Fei segera menemukan ide, dia secara perlahan mengambil batu tersebut lalu dia melemparkannya ke arah pohon bunga yang gelap sehingga batu itu menimbulkan suara.
Mendengar suara itu dari arah Bunga, tanpa pikir panjang ketiga pembunuh itu segera pergi kesana, dan mereka mulai menebas dan menusuk kedalam dedaunan.
Lin Fei secara perlahan-lahan keluar, dia dengan sangat hati-hati melangkah kakinya agar tidak menimbulkan suara apapun, sedangkan ketiga Pembunuh itu masih terlalu fokus menebas dedaunan serta menusuk-nusuk ke dalam dedaunan dengan berharap Lin Fei yang mungkin sedang bersembunyi di dalamnya terkena tusukan pedang mereka.
Mereka tidak tahu jika sebenarnya Lin Fei sudah pergi jauh dari mereka, dan Lin Fei tentu tidak berani untuk kembali lagi ke istana, dia tahu jika tujuan kekacauan itu sebenarnya untuk membunuh dirinya serta anaknya, apalagi dia sempat mengenali salah satu suara wanita itu, Lin Fei sangat yakin jika suara itu adalah suara milik Yie Ling Yi, selir pertama sebelum dirinya.
Jika Lin Fei kembali, dia hanya akan mengantarkan anaknya untuk dibunuh, karena itu dia memilih lari keluar dan pergi meninggalkan istana lalu menghilang di dalam kegelapan malam.
Di dalam Istana sendiri kekacauan masih berlanjut. Panglima Lian Bai memang tidak hanya satu-satunya orang yang tidak mabuk, akan tetapi hanya dia satu-satunya orang yang memiliki ilmu beladiri paling tinggi sehingga dirinya harus berusaha bertahan melawan serangan para penyusup.
Andai lawannya hanya pendekar-pendekar lemah, Lian Bai pasti bisa menghadapinya, nyatanya ada beberapa diantara mereka yang memiliki keahlian ilmu beladiri cukup tinggi sehingga membuat Lian Bai hanya bisa bertahan seraya menunggu bala bantuan tiba.
Raja Song dan Permaisuri segera dibawa ke tempat yang paling aman, dan setelah itu para prajurit yang masih mampu bertahan menjaga pintu ruangan Raja Song dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki.
Beberapa para pembunuh berniat untuk membakar istana agar para prajurit yang masih belum sadar mati terbakar, namun sebelum mereka sempat menyalakan api, sebilah pedang tiba-tiba saja melesat dari arah kegelapan lalu mengenai lengan pembunuh itu hingga terpotong.
Semua rekan-rekan mereka terkejut saat melihat pedang yang menancap di dinding, semuanya segera menoleh ke arah pedang itu datang, dan setelah itu, beberapa pedang tiba-tiba datang dan membunuh beberapa orang hanya dalam sekali tusuk.
"Ini adalah Jurus Pedang Gugur dari perguruan Pedang Emas!"
Beberapa orang dari para pembunuh segera mengenali jurus pedang itu, dan setelah itu sepuluh pendekar muncul dari dalam kegelapan.
"Hem, sepertinya kalian masih orang-orang Kerajaan Song sehingga kalian mengenali jurus pedang ku," kata salah satu Pendekar seraya mencabut kembali pedangnya yang tertancap di dinding.
"Itu adalah Pendekar Hao Chen! Cepat kalian mundur, dia bukan lawan kita," seru salah satu dari mereka yang mengenali pendekar tersebut.
"Kenapa kalian harus lari? Kami sudah berusaha untuk datang dan kalian justru ingin pergi?" kata pendekar itu dengan tatapan dingin serta melepaskan aura membunuh yang membuat semua yang ada di hadapannya berkeringat dingin.
"Habisi mereka semua," kata Hao Chen lalu kesembilan anggota di belakangnya segera melompat dan mulai menyerang para pembunuh yang ketakutan.
Di tempat lain, ada dua orang anggota pembunuh yang baru saja menghabisi beberapa prajurit, kedua orang itu saat ini tengah mengejar beberapa dayang istana, namun mereka segera dibentak oleh wanita yang juga berpakaian seperti mereka.
"Apa yang kalian lakukan? Tugas kalian bukan untuk memburu para dayang, tapi membunuh para prajurit agar prajurit disini semakin berkurang, terlebih lagi tugas utama kalian adalah membunuh Lin Fei dan anaknya! Tapi kenapa kalian justru memburu para dayang yang tidak memiliki pengaruh apa-apa?" tanya wanita tersebut.
Salah satu dari kedua orang itu mendekati wanita tersebut seraya berkata, "Itu adalah tujuanmu, sedangkan tujuan kami adalah bersenang-senang! Jangan hanya karena kamu adalah kekasih pemimpin kami, lalu kami akan menurut kepada perintah mu? Jika kami mau kami bisa melecehkan mu disini lalu membunuhmu, dan nanti kami tinggal memberikan kesaksian palsu kepada pemimpin kami jika kamu telah terbunuh oleh Panglima Lian," ucapnya.
"Kamu…!" wanita itu sangat marah dengan menunjuk wajah pria dia hadapannya.
"Kenapa? Kamu mungkin bisa menipu dan memperdaya Raja bodoh itu, tapi kami bukan orang seperti itu! Tapi baiklah, karena aku masih memandang pemimpin, jadi aku tidak akan melakukan itu padamu, yang pasti kami tidak akan membunuh anak gadis berusia 4 tahun yang ada dalam istana ini, dan sisanya itu terserah kami," ucapnya lalu dia berbalik dan berbicara kepada para anggotanya.
"Ayo lanjutkan, malam ini kita tidak hanya akan merebut istana ini, melainkan akan melanjutkan pesta kita tadi siang, bersenang-senanglah," seru pria tersebut kepada semua anggota yang ada di hadapannya.
Mendengar seruan tersebut, para pembunuh itu semakin dibakar semangat, mereka akhirnya lupa akan tujuan mereka yang sesungguhnya sehingga mereka mulai melakukan hal di luar rencana.
Wanita itu yang terlihat kesal hanya bisa mengumpat lalu dia segera pergi ke salah satu kamar, sedangkan pria yang sebelumnya berdebat dengannya menatapnya dengan tatapan yang berbeda.
"Apa tidak apa-apa kamu bicara seperti itu?" tanya rekannya.
"Tenang saja, suatu saat nanti jika dia benar-benar berhasil menguasai istana ini, aku akan segera membunuh Pemimpin kita itu, dan berikutnya akulah yang akan menguasai tempat ini, dan untuk wanita itu, aku akan menjadikan dia sebagai pelayanku di dalam kamar," ucapnya.
Rekannya hanya bisa diam, dia berpikir jika temannya telah kehilangan akal, sebab tidak mungkin dia akan mampu membunuh pemimpin mereka, apalagi dia baru diangkat menjadi ketua anggota serta belum terlalu mengetahui kekuatan pemimpin mereka yang sesungguhnya.
"Sudahlah ayo kita juga ikut bersenang-senang!" kata pria itu dan kemudian dia berbalik untuk menyusul anggota yang lain yang sudah lebih dulu pergi mengejar para dayang.
Saat baru berbalik, tiba-tiba saja dia merasa sesuatu yang melesat ke arahnya, dan dengan sigap dia menangkap benda yang datang ke arahnya.
"Jarum akupuntur?" Pria itu terkejut saat mengetahui jika benda itu adalah sebuah jarum kecil dan halus yang biasa digunakan untuk pengobatan akupunktur.
Pria itu menoleh dan melihat seorang pria sepuh berpakaian jubah hitam dengan dalaman putih sedang berdiri seraya mengusap-usap rambutnya.
"Tabib Li Xhiang? Jadi kamu juga datang karena cahaya petasan itu!" kata Pria tersebut.
"Aih, kamu begitu mengenal ku, tapi kenapa aku justru tidak mengenalmu! Jika boleh orang tua ini meminta, bukalah penutup wajahmu agar aku bisa melihatmu dengan jelas," kata Pria sepuh itu dengan tenang.
"Berhati-hatilah, walau dia adalah seorang tabib, dia juga seorang pendekar," kata rekannya.
"Aku tahu, sebaiknya kamu ikuti aku dengan berpura-pura tenang, kita cari celah untuk bisa kabur," jawabnya.
"Hehehe! Kenapa kalian malah saling berbisik? Jika kalian tidak mendengar ucapanku tadi, mungkin pendengaran kalian bermasalah, sini biar aku bantu memeriksa telinga kalian," kata Li Xhiang dan kemudian dia mengeluarkan sebuah pisau bedah berukuran cukup besar lalu berjalan menuju ke arah mereka berdua.
Keduanya yang awalnya berpura-pura tenang kini mulai terlihat panik, bagaimanapun juga mereka tidak bisa memandang remeh pria tua gemuk di hadapannya, sebab pria itu tidak hanya terkenal sebagai tabib, dia juga terkenal sebagai pendekar hebat.
Karena panik, pria itu segera berseru memanggil para anggotanya untuk datang menghadapi Li Xhiang, dan seketika itu juga belasan anggotanya berdatangan lalu menyerang Li Xhiang dengan pedang mereka.
Menghadapi serangan yang begitu banyak, Li Xhiang justru masih terlihat santai menghindari serangan-serangan yang datang dari berbagai arah, bahkan Li Xhiang dengan mudahnya menyayat beberapa urat-urat tertentu mereka agar tidak bisa bergerak, sedangkan kedua orang yang tadi sudah lebih dulu lari menyelamatkan diri.
"Panglima Lian, maaf kami terlambat! Panglima lindungi saja Yang Mulia, serahkan saja mereka kepada kami," kata sosok gadis bergaun biru.
"Terima kasih Nona Han, maaf telah merepotkanmu," kata Lian Bai.
"Tidak apa-apa, guru sudah memberikan tugas untuk membantu Panglima melindungi Kerajaan, pergilah," ucap gadis tersebut.
Lian Bai mengangguk dan kemudian dia segera pergi ke tempat Raja Song berada, sedangkan gadis berusia 23 tahun itu memperhatikan kelima sosok yang sudah membuat Lian Bai kerepotan menghadapi mereka berlima.
Kelima pria itu terpana melihat kecantikan wajah gadis tersebut, nafsu membunuh mereka seketika itu juga berubah menjadi nafsu birahi, dan mereka sama-sama ingin segera melumpuhkan gadis tersebut, namun sebelum niat mereka dilaksanakan, muncul empat sosok wanita lain dan kini sudah ada lima wanita yang semuanya memegang pedang.
"Perguruan Bunga Biru! Kenapa aku jadi lupa dengan pakaian mereka?" kata salah satu dari mereka.
Keempat pria lainnya melihat kesana-kemari seperti sedang mencari seseorang, namun mereka tidak menemukan orang yang sedang mereka cari.
"Apakah Ling Yang juga datang bersama dengan kalian?" tanya salah satu dari mereka.
"Untuk menghadapi kalian tidak perlu guru kami yang bertindak, kami saja sudah cukup untuk mengalahkan kalian," jawab gadis tersebut lalu dia dan keempat wanita lainnya secara bersamaan mengangkat pedang lalu mereka maju menyerang kelima sosok pria yang merupakan para pembunuh.
Lian Bai yang baru tiba di tempat Raja Song berada terkejut saat melihat musuh yang semuanya terbaring di atas lantai, tubuh mereka kamu, namun mereka masih hidup.
"Panglima Lian, maaf aku tidak tega untuk membunuh mereka, jadi aku melumpuhkan beberapa syaraf mereka agar tidak bisa bergerak," kata seorang pria paruh baya.
"Terima kasih Pendeta Yu, ini sudah lebih dari cukup! Apakah Pendeta Bai Long juga datang?" tanya Lian Bai.
"Tidak, kakak Bai Long tidak sempat datang karena ada urusan penting, itu sebabnya aku yang datang kesini bersama dengan murid-murid lainnya," jawab pria paruh baya tersebut yang bernama Yu Kang.
Lian Bai menghela nafas lega karena akhirnya bala bantuan sudah tiba. Dengan datangnya bala bantuan walau hanya sedikit saja, tapi itu sudah cukup untuk mengubah arus, dan hanya dalam waktu singkat saja, para pembunuh itu mulai mundur, namun beberapa sudah ada yang tertangkap.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!