NovelToon NovelToon

Seumur Hidup Itu Lama

Bab 1

El Zaidan nampak sibuk di apartemennya pagi - pagi. Weekend ini dia akan kembali ke kampung halamannya karena permintaan dari orang tuanya.

Sebenarnya El malas untuk pulang kampung saat ini. Karena menurutnya lebih baik dia menghabiskan waktu dengan Vivian sang pacarnya.

Yah memang El sangat bucin terhadap Vivian sang pacar. Dia merasa sangat beruntung mendapatkan Vivian yang sangat cantik.

"Sayang, kamu beneran akan pergi hari ini?" tanya seorang wanita yang masih berbaring di kasur empuknya dengan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Iya sayang, aku harus pulang karena ini permintaan ibuk dan ayah."

"Padahal kan weekend waktunya kita senang - senang yang." rengek Vivian dengan manja.

El tersenyum mendengar suara Vivian yang manja. Dia berjalan menuju ranjang tempat tidurnya.

"Kan masih ada weekend yang lain, ini cuma beberapa hari aja kok." ucap El sambil mengusap rambut wanita itu.

"Iya deh, kalau gitu aku pulang aja ke apartemen aku."

"Iya, jangan nakal di sini selama nggak ada aku." pesan lelaki itu kepada wanita itu.

Setelah beberapa jam akhirnya El sudah berada di perjalanan. Selama di perjalanan dia merasa ada yang salah dengan kepulangannya kali ini. Entah kenapa dia merasa ada yang janggal saja.

Secara tiba-tiba ayahnya meminta pulang dini hari. Hal ini tidak pernah terjadi selama ia tinggal di Jakarta.

Waktu tempuh yang tidak terlalu jauh membuat El pulang menggunakan mobil pribadi. Jarak tempuh ke kampungnya sendiri hanya butuh waktu 2 jam lebih tanpa menggunakan tol. Namun El melewati jalan tol sehingga perjalanannya lebih cepat.

Sesampainya di rumahnya, El memarkir mobilnya di halaman rumah. Tampak rumah begitu sepi seperti tidak ada penghuni.

El berjalan masuk ke dalam rumah. Dia mencoba mengetuk pintu depan. Pintu di bukakan oleh salah satu asisten rumah tangganya.

Yah keluarga El termasuk keluarga berada di kampung halamannya. Di rumahnya ada satu asisten rumah tangga yang membantu ibunya.

"Ayah sama ibu di mana mbak las?" tanya El kepada wanita yang baru saja membuka pintu rumahnya.

"Tuan dan ibu sedang pergi melayat den." jawab Lastri.

"Siapa yang meninggal?" tanya El kepada wanita yang sudah berumur kurang lebih 40 tahunan.

"Itu bapaknya Arum yang meninggal tadi subuh."

"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un."

Terbayang wajah Arum melintasi pikiran El. Dia mengenal Arum sejak kecil. Bagaimana tidak mengenal wanita itu, karena wanita itu masih saudaranya. Dan ia sudah menganggap wanita itu sebagai adiknya.

Dia tidak begitu ingat wajah wanita itu karena terakhir kali ia merantau kuliah, wanita itu masih duduk di bangku SD.

"Ya sudah mbak, saya nyusul ke sana aja, kok ayah nggak bilang kalau Mamang Karwo meninggal." ucap El setelah tau tujuan ayahnya menyuruhnya pulang.

El mengendarai mobilnya menuju rumah Arum. Walaupun satu kecamatan, namun ke rumah Arum butuh waktu beberapa menit naik mobil.

Dia lansung menuju rumah duka. Setelah sampai ia lansung bergabung dengan ayahnya dan kakeknya yang baru saja pulang dari kuburan.

"Turut berdukacita ya bi, bibi yang sabar, semoga arwah mamang di terima di sisi Allah." ucap El ikut merasakan kesedihan keluarga itu.

"Aamiin, terima kasih nak El." jawab sang bibi.

El melirik ke sebelah kiri ibunya. Nampak seorang wanita dengan mata sembab. Dia yakin itu adalah Arum. Baginya wanita itu sangat manis untuk di desanya. Namun jika di bandingkan dengan wanita-wanita Jakarta, maka perempuan itu tidak ada apa - apanya. Apalagi dengan Vivian sang pacar.

Arum juga melirik El sekilas ketika lelaki itu mengucapkan belasungkawa. Ia mengakui bahwa lelaki itu semakin matang secara fisik dan umur. Yah El memang gagah seperti yang di ceritakan wanita - wanita di kampungnya. Selain tampan juga beredar bahwa lelaki itu juga sukses di Jakarta.

Setelah pulang, keluarga El duduk berkumpul di ruang tamu. Di sana El mulai merasakan hawa yang tidak enak.

"El kamu tau kenapa ayah kamu menyuruh kamu pulang?" pertanyaan ini lolos dari mulut sang kakek.

"Karena mamang Karwo meninggal kek."

"Iya, tapi ada yang lebih penting dari itu lagi."

"Lebih penting dari itu?" tanya El bingung.

"Kamu belum membicarakan dengan anak kamu ndi?" tanya sang kakek.

Sang ayah nampak menggelengkan kepalanya. Dia nampak merasa bersalah sekali.

"Biar saya yang bicara kalau begitu, sejak dulu aku suruh sampaikan." ucap sang kakek.

"Ada apa ini yah?" tanya El semakin bingung.

"Kamu sudah kakek jodohkan dengan Arum, sesuai dengan wasiat Karwo, dia dan kakek pernah berjanji akan menikahkan kalian sama-sama dewasa, karena Karwo sudah tidak ada maka wasiat ini perlu di laksanakan secepatnya." ucap sang kakek.

El tau bahwa mamang Karwo memiliki dua orang putri. Putri pertama adalah Arum, lalu sang adik yang masih duduk di bangku SMP. Tapi dia tidak tau sama sekali bahwa sang kakeknya telah membuat perjanjian seperti itu.

"Ini nggak bisa kek, ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi kek, nggak ada lagi perjodohan seperti ini." jawab El tidak terima.

"Kakek tidak mau tau, kalian tetap menikah, titik." ucap sang kakek lalu berlalu dari ruangan itu.

"Kenapa ini bisa terjadi seperti ini yah? Ibu?" tanya El kepada kedua orang tuanya.

"Itu sudah janji kakek dan mamangmu, jadi ayah tidak bisa berbuat apa-apa." jawab ayah.

"Tapi aku sudah punya wanita lain ya." ucap El mencoba menyampaikan apa yang ia rasakan.

"Siapa? Masih Vivian itu?" kali ini ibunya yang bersuara.

El menganggukkan kepalanya dengan agak berat hati. Dia tau bahwa orang tuanya masih tidak merestui hubungan mereka.

"Ayah tidak akan merestui hubungan kalian, masa kamu menikahi wanita yang berbeda keyakinan dengan kamu, mau jadi apa kamu." ucap ayahnya nampak tegas.

"Bagaimana jika Vivian mau memeluk agama yang sama aku yah?"

"Jika Vivian mau Islam, maka kami akan setuju." ucap sang ibu di anggukan oleh ayah.

"Baik, aku akan melakukan sebaik mungkin." ucap El senang karena di kasih pilihan.

"Waktu kamu cuma seminggu, jika dia tidak merubah keyakinannya dan tidak bisa datang ke sini, maka kamu harus menikah dengan Arum, titik." ucap sang ayah.

Walaupun terasa berat namun bagi El ini adalah harapannya. Dia yakin bahwa Vivian mau mengikuti keyakinannya untuk hidup bersama. Dia juga tau bahwa Vivian sangat mencintai dirinya sama seperti ia mencintai wanita itu.

" Aku akan hubungi Vivian agar dia datang ke rumah ini, dan kami akan menjadi pemenangnya." ucap El dalam hatinya dengan penuh keyakinan.

Bab 2

El POV

Aku termenung duduk di teras rumah. Suasana malam memang tampak sepi. Angin sepoi menerpa kulitku. Sekarang terasa otakku sangat buntu sekali. Aku nggak tau harus berbuat apa agar bisa menggagalkan perjodohan konyol ini.

Aku harus berpikir keras malam ini, karena bagaimanapun aku tidak ingin menikah dengan Arum. Dia tidak secantik Vivian. Ku akui dia memang manis, tapi itu tidak cukup untuk menjadi istriku.

Bagaimana jika aku menikah dengan dia? Aku tidak mau menghabiskan seumur hidup ku bersama orang yang tidak aku cintai. Ingat seumur hidup itu lama.

Aku terkejut dari lamunanku karena pundakku di tepuk oleh ibu. Aku membalikkan badanku menghadap ibu, lalu duduk di kursi yang ada di teras rumah yang tidak jauh dari ibu.

"Apa yang kamu pikirkan di sini sampai malam begini?" tanya ibu dengan lembut.

Bagaimana aku bicara dengan ibu? Apakah ibu akan memberikan aku solusi. Atau malah sebaliknya. Ah aku jadi di lema.

"Kamu masih memikirkan perjodohan kakek kamu?" tanya ibu sepertinya bisa membaca pikiranku.

Aku menganggukkan kepalaku mengiyakan ucapan ibu. Aku berharap kali ini ibu berada di tim aku.

"Bu, aku nggak bisa menikah dengan Arum, aku nggak mencintai dia Bu, apalagi dia udah seperti adik sama aku Bu."

"Seiring waktu cinta itu akan tumbuh kalau kamu tinggal bersama, percayalah sama ibu."

Ah dari jawaban ibu sudah tau bahwa ibu ternyata di tim yang sama dengan kakek. Jadi mereka memang sudah matang merencanakan pernikahan ini.

"Buk aku ini sudah punya kekasih, aku dan dia sudah lama bersama."

"Bawa dia ke sini dalam Minggu ini, kenalkan kepada kami, mungkin itu akan jadi pertimbangan kami."

"Tapi ini mendadak sekali Bu."

"Tidak ada yang mendadak, jika dia benar mencintai kamu maka dia akan melakukan hal yang sama dengan kamu agar kalian tetap bersama." jawab ibu dengan anggunnya.

"Arum juga wanita yang baik, keluarga kita sudah lama mengenal dia." ucap ibu lagi.

Aku tau bahwa Arum adalah wanita yang baik. Masalahnya ini untuk teman seumur hidup. Ah aku semakin pusing dengan semua ini.

Ibu akhirnya masuk kembali ke dalam rumah. Sedangkan aku juga masih duduk di teras sambil mencoba menghubungi Vivian.

Ah benar - benar sial sekali. Sejak tadi dia benar-benar tidak bisa di hubungi. Entah apa yang dia lakukan sehingga sulit sekali menerima teleponku.

Sebenarnya bisa saja aku kirimkan pesan, namun membicarakan pernikahan aku rasa tidak etis lewat sebuah pesan. Aku takut dia salah paham terhadapku.

Sudah dua hari aku berada di kampung. Kali ini aku memutuskan untuk mengambil cuti untuk memikirkan semuanya. Aku ingin berpikir dengan tenang dan bicara dengan baik dengan Arum.

Aku melihat dia datang bersama ibu entah dari mana. Dia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum menyapa aku. Ku akui senyumannya manis. Tapi dia buka tipe wanita yang aku mau.

"Rum, duduk dulu, uwa kedalam dulu sebentar buatkan minum." kata ibuku.

"Nggak usah repot-repot wa."ucapnya dengan sopan dan manis.

"Repot apanya? udah duduk aja dulu."

Aku tau ini pasti ide - idenya ibu membawa gadis ini ke rumah. Apalagi dengan sengaja ibu meninggalkan kamu berdua.

"Aa apa kabar?" tanya gadis itu dengan nada lembut.

"Baik, kamu gimana? Udah tamat SMA ya?" tanyaku sambil memperhatikan dia.

"Alhamdulillah udah aa."

"Udah kerja?"

"Alhamdulillah udah aa, kerja di salon a, ya walaupun gajinya nggak Segede Aa tapi Alhamdulillah." ucapnya.

"Kamu nggak berniat kuliah di Jakarta?"

"Mau atuh Aa kalau ada uang, tapi kan Aa tau sendiri gimana kondisi ekonomi keluarga saya, begini aja saya udah bersyukur sekali aa." ucapnya lagi.

Wanita seperti ini memang sangat banyak bersyukur. Beruntungnya lelaki mendapatkan dia karena dia tidak akan menuntut apa - apa. Tapi kenapa aku tidak mau dengannya. Jawabannya karena dia memang bukan tipe aku.

Aku menelisik gayanya saat ini yang tidak menarik sama sekali. Dari busananya nampak sekali ia berasal dari kampung. Tidak seperti Vivian yang modern. Dia selalu menggunakan baju - baju yang modis dan kekinian.

"Kamu tau kalau kita ini di jodohkan?" tiba-tiba mulutku bertanya seperti itu.

"Tau aa, abah sendiri yang bicara sama kakek Aa di depan saya." jawabnya sambil menunduk.

"Jika aa keberatan menikah dengan saya tidak apa-apa Aa, saya juga tau diri bahwa gadis seperti saya ini mah mana pantas bersanding dengan aa." ucapannya yang membuat aku kaget.

Kenapa dia berkata seperti itu? Bukannya semua wanita yang ada di kampung ini sangat ingin di pinang oleh aku. Eh dia malah menyuruh aku menolaknya. Jika aku bisa sudah aku lakukan sejak malam itu.

"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" selidikku.

"Semua orang juga tau aa dan keluarga, selain kaya aa juga berpendidikan, pasti pikirannya modern, apalagi sudah tinggal bertahun-tahun di kota." ucapnya lagi.

"Kalau kamu merasa minder seperti itu, kenapa bukan kamu saja yang menolak?" pancing aku.

"Jika saya melakukan seperti itu, maka saya akan mencoreng nama keluarga Aa, bagaimanapun keluarga Aa adalah orang terpandang, mana mungkin aku melakukan hal seperti ini, itu namanya aku tidak tau diri a."

Aku melihat ketulusan dari jawabannya. Jika begini maka aku sendiri tidak akan bisa menolaknya secara lansung. Wanita ini terlalu baik untuk di sakiti.

Bab 3 El POV

Akhirnya aku bisa berpikir dengan tenang setelah meminta Vivian datang ke kampungku. Setelah berkali-kali menelponnya, akhirnya dia mencari ku.

Aku ingin membuktikan apakah wanita ini mencintai atau tidak sama sekali.

Benar seperti yang aku mau. Setelah aku pura - pura ngambek, akhirnya wanita itu memutuskan untuk datang ke rumah bersilahturahmi.

Kedatangannya membuat aku semakin bersemangat menunggu kehadirannya. Ku akui, aku sangat merindukan dirinya.

Sebuah mobil hitam masuk ke pekarangan rumah. Aku tau bahwa itu adalah mobil Vivian. Aku tersenyum saat wanita itu keluar dari mobilnya. Aku pangling melihatnya karena begitu cantik sekali. Dan pakaian yang dia pakai begitu modis dan aku menyukainya.

"Sayang kamu kok lama banget di sini, aku kangen tau." ucapnya dengan manja.

"Aku juga kangen." ucapku lansung memeluknya.

Aku tidak peduli bahwa tindakanku bisa saja menimbulkan pembicaraan warga sekitar. Rasa rindu yang membuncah membuatku tidak sadar tempat lagi. Jika bukan di halaman rumah, mungkin sudah ku cium bibirnya yang merah itu.

"Hmmmmmmm."

Aku lansung tersadar ketika mendengar deheman ayah dan kakek bersamaan. Ku liat wajah ibu juga masam melihat ke arah Vivian.

"Vivian ayo masuk, ku kenalkan kamu sama keluarga aku." ucapku menarik tangannya.

"Halo semua, aku Vivian." sapa Vivian dengan sopan.

"Assalamualaikum." ucap ibu dengan ketus.

Baru kali ini aku melihat ibu seketus itu sama orang lain. Dan aku tau dari wajah ibu, dia tidak menyukai Vivian. Sedangkan kakek dan ayah masih tersenyum.

"Maaf Tante, aku nggak bisa."

"Nggak di ajari orang tuamu sampai nggak bisa."

"Bukk." tegur ayah.

"Maaf om, saya memang nggak bisa karena memang tidak di ajarkan orang tua saya, saya ini bukan muslim." ucap Vivian.

Nampak semua orang agak terkejut mendengar jawaban Vivian. Tapi ayah dan kakek nampak bisa mengendalikan dirinya lagi dari keterkejutannya.

"Ayo masuk dulu." ucap Ayah masih ramah.

Aku menggandeng tangan Vivian masuk ke ruang tamu. Itu aku lakukan untuk memberinya semangat untuk menghadapi keluargaku.

Tidak lama kemudian Lastri datang membawakan minuman dan beberapa cemilan.

"Silakan di cicip mbak." ucap Lastri.

"Kamu mencintai cucu saya?" tanya sang kakek.

"Iya kek." jawab Vivian.

"Kamu tau saat ini dia sudah di jodohkan dengan wanita lain?"

Vivian menggelengkan kepalanya. Yah dia memang belum tau karena aku memang belum bicara dengannya soal itu.

"Tapi saya dan El saling mencintai kek."

"Kami tau, tapi kami sangat ingin cepat - cepat melihat El menikah, apakah kamu siap menikah dengan El dalam waktu dekat?" tanya kakek.

"Tapi dia tidak muslim bah." ucap ibu nampak begitu kuatir.

Ah ibu begitu memikirkan agama Vivian. Aku yakin itu bisa di pertimbangkan nanti. Bagiku bersama dengan Vivian sudah membuat aku sangat bahagia.

"Yah dengan syarat, dia harus masuk agama kita, lalu baru bisa menikah dengan El." kali ini ayah yang bicara.

Aku agak kaget mendengar ucapan ayah. Selama ini kamu tidak pernah memikirkan perbedaan keyakinan kami. Kami hanya menikmati hidup dengan melaluinya tanpa berpikir ke arah sana.

"Tapi itu mendesak sekali." jawab Vivian.

"Karena kalian tidak akan bisa menikah jika kalian tidak satu keyakinan, kami tidak memaksa, tapi kami memberikan jalan untuk hubungan kalian berdua." ucap sang kakek.

Vivian nampak berpikir keras. Aku berharap agar Vivian menerima syarat yang di berikan oleh keluarga aku.

"Maaf sepertinya aku tidak bisa menggadaikan keyakinan aku." jawab Vivian tiba-tiba membuat ku shock.

"Jadi kamu memutuskan mundur?" tanya kakekku.

"Iya, aku tidak siap kehilangan keyakinan aku." ucapnya membuat aku sedikit kecewa.

"Maafkan aku jika aku mengecewakan kamu, tapi ini memang tidak bisa di tukar, jika keluarga kamu ingin kamu menikah secepat mungkin, mungkin memang bukan aku jodoh kamu, karena sampai kapanpun aku tidak akan bisa memenuhi syarat dia dari keluarga kamu." ucap Vivian lagi.

"Jika sudah tidak ada lagi yang di bicarakan, maka saya pamit dulu." ucap Vivian berdiri lalu melangkahkan kakinya.

Aku berusaha mengejar wanita itu.Namun wanita itu malah menyuruh aku untuk menikah saja dengan pilihan keluarga ku. Mendengar hal itu membuat aku semakin kecewa.

Akhirnya aku membiarkan wanita itu pergi meninggalkan rumahku. Aku hanya menatap mobilnya yang semakin jauh.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!