Di sudut hotel bintang lima. Bima, petugas housekeeper yang seharusnya bertugas di shift malam tapi datang untuk menggantikan tugas rekannya. Pria itu melihat dua orang perempuan sedang berbincang di lobby.
“Heran, kenapa sih perempuan pada cakep-cakep banget. Di kasih makan apa sama emaknya? Harus tanya sama orang tuanya, pake gaya apa pas bikin, siapa tahu keturunan gue nanti juga cakep-cakep.” Pria itu bergumam lalu menuju ruang pembagian tugas.
Bima Erlangga, bekerja sebagai housekeeper dan tukang ojek aplikasi online di hari libur atau sela waktu shiftnya. Tampang pria itu lumayan tampan untuk ukuran laki-laki, bahkan dia sering dibicarakan oleh mbak-mbak resepsionis. Kalau di rumah, ada saja tetangga yang memberikan hantaran demi mendapat perhatian dari Bima.
Bekerja sebagai housekeeper tentu saja bukan cita-cita dan keinginan Bima, tapi dia butuh penghasilan. Profesinya saat ini hanya batu loncatan. Sampai kapan? Dia pun tidak tahu. Tinggal di Jakarta, bersama Ibunya. Termasuk kakak laki-laki yang sudah berkeluarga dengan dua orang anak. Sebagian hasil nafkahnya dia berikan pada Ibunya.
Bima pernah kuliah bahkan sampai selesai, tapi ijazahnya masih tersimpan rapi di lemari sekretariat kampus. Masih ada tunggakan biaya yang belum dipenuhi. Padahal dia lulusan manajemen, bisa saja bekerja di perusahaan. Namun, hanya dengan ijazah SMA paling tinggi dia bisa dapat posisi staf dengan gaji UMR, hampir sama dengan gajinya sebagai housekeeper.
“Loh, Bima,” sapa wanita berseragam resepsionis dengan nametag Bella. “Bukannya kamu shift malam ya?” tanya Bella.
Bima tersenyum. Dia sendiri kadang lupa dengan jadwal shiftnya, tapi ini orang lain bisa hafal dengan jadwalnya.
“Iya Mbak.”
“Udah makan belum, aku bawa bekal nih.” Bella menarik tangan Bima, lalu wanita itu mengeluarkan kotak makan dari goody bag. Isinya capcay dan beberapa potong chicken katsu tanpa nasi.
“Makan ya, bareng aja. ini kebanyakan untuk aku.”
“Bima doang yang ditawari, kita-kita nggak,” ejek petugas concierge.
Semua petugas setiap pergantian shift akan memulai dengan briefing, saat ini Bima dan rekan satu shift sedang menunggu briefing dimulai.
“Ini spesial untuk Bima,” ujar Bella.
Spesial? Dikiri martabak, batin Bima.
Bima hanya tersenyum, dia bukannya tidak tergoda dengan mbak cantik bernama Bella. Mengingat kondisi kehidupannya, dia lebih memilih tahu diri. Perempuan jaman sekarang jajannya mahal, segala skin care, langganan aplikasi film dan serial di ponsel dan segala printilan lainnya. Salah pilih, dia akan pusing sendiri.
Untuk menghargai Mbak Bella yang merepet terus minta makanannya di icip-icip, Bima akhirnya mengambil garpu dan mencicipi makanan tersebut.
“Enak nggak?” tanya Bella sambil menyerahkan botol air mineral.
“Hm. Bikinan mbak ya?” tanya Bima dengan gaya ala-ala chef Juna sedang menilai makanan peserta Master Chef.
Bella salah tingkah, jelas makanan itu bukan buatannya.
“Enak, enak kok mbak.” Bima meneguk air mineral yang diberikan oleh Bella.
“Bim, dipanggil Pak Erik,” teriak rekan kerja Bima.
Alhamdulillah, akhirnya terlepas juga dari belenggu mbak Bella. Susah berkelit, kayak berhadapan dengan debt collector pinjol, batin Bima.
“Makasih ya Mbak, enak pokoknya enak,” ujar Bima sambil menunjukan dua jempol ke arah wanita itu lalu bergegas menghindar sebelum ada lagi alasan lain menahan dirinya.
“Besok aku bawakan lagi ya,” ujar Bella tapi Bima pura-pura budeg.
Erik adalah koordinator para housekeeper, bisa dikatakan managernya. Saat ini pria itu sedang berada di ballroom, mendapatkan arahan dari manager marketing. Nanti malam akan ada acara pertunangan dari dua keluarga pengusaha. Persiapan sedang dilakukan, termasuk layanan kamar.
“Bim, ini tugas kamu. Fokus ke kamar ini dulu ya,” tunjuk Erik pada urutan pertama dalam list kamar yang harus dia siapkan.
“Oke.”
Bima menuju linen inventory, mengisi trolley dengan berbagai jenis linen kebutuhan kamar dan perlengkapan seperti sandal dan perlengkapan mandi lainnya yang akan untuk mengganti perlengkapan kamar di mana tamu telah cek out.
“Tugas lo berapa unit?” tanya petugas inventory yang mencatat jumlah perlengkapan kamar yang diambil oleh Bima.
“Pak Erik baru kasih info satu unit kamar. Lima lagi menyusul setelah ini,” sahut Bima.
“Hm. Eh, kemarin senior kasih salam buat lo.”
“Walaikumsalalam.” Rekan Bima heran karena respon Bima biasa saja.
“Nggak salam balik atau minta nomor ponselnya?”
“Nggak, nanti gue dikira kasih harapan terus ada drama macam FTV. Udah banyak drama di hidup gue. Thanks ya bro,” tutur Bima.
Kini pria itu sedang mendorong linen trolley di koridor lantai delapan, sambil bersenandung. Tiba-tiba Bima merasakan tidak nyaman dengan tubuhnya, rasanya gerah dan panas seperti habis berolahraga.
“Heran, olahraga kagak tapi kenapa gue gerah banget ya.” Bima mulai mengibaskan tangannya bahkan kancing kerah seragam paling atas sudah dilepas.
“Gue kenapa ya?” gumam Bima. “Shitt,” rutuk Bima sambil mencengkram troly. Merasakan bagian bawah tubuhnya bereaksi, seperti yang dialami ketika dia menonton film dewasa.
Sial, kenapa bisa begini. Padahal nggak bayangin yang aneh-aneh, batin Bima sambil mengusap keringat di dahi dan di lehernya.
Dengan sedikit bergegas, Bima menggeser troli agar tidak menghalangi jalan di koridor lalu masuk ke dalam kamar area tugasnya. Tujuannya adalah shower, berharap gejolaknya akan hilang ketika dia mendinginkan tubuh. Dia meninggalkan sepatunya tidak jauh dari pintu lalu menuju toilet, melepaskan pakaian seragamnya hanya menyisakan boxer. Bagian bawah tubuhnya sudah mengeras sempurna.
“Gue kenapa sih? Perasaan nggak lihat adegan yang bikin sang*.”
Saat mencuci mukanya di wastafel, pandangan Erik tertuju pada sikat gigi yang jenisnya bukan fasilitas hotel dan jam tangan yang bukan miliknya. Jelas jam tangan wanita. Juga handuk bekas pakai tergantung di kapstok.
Merasa ada yang aneh, Bima pun perlahan membuka pintu toilet sambil merutuk dalam hati karena miliknya sudah minta dimanjakan.
Deg.
Ada sepatu perempuan tergeletak di bawah meja dan koper di sudut kamar. Perasaan Bima sudah tidak enak, kalau dia kepergok oleh tamu hotel dengan kondisi tidak berpakaian. Sudah pasti dianggap pelecehan bahkan bisa jadi dituduh melakukan tindakan asusila.
Seingatnya, Pak Erik meminta dia membersihkan kamar ini karena tamu sudah cek out. Bima berdiri menatap seseorang yang berbaring di ranjang. seorang wanita yang tidurnya gelisah dan ….
Shiitt, wanita itu hanya mengenakan pakaian dalam dan tongkat ajaib Bima semakin meronta ingin keluar dari kandangnya dan masuk ke sarang lain. Bima tidak bisa berpikir jernih menghadapi masalah ini. Tidak mungkin dia keluar dari kamar dalam keadaan terangs@ng luar biasa. Tetap di sini lalu berendam atau mengguyur tubuh di bawah shower sedangkan kamar ini ada pemiliknya, fix dia akan dipecat.
Wanita itu mengerang, entah dia bermimpi apa dan suara yang keluar dari mulut wanita itu membuat Bima frustasi karena menambah tinggi gejolak yang dirasakan. Boxernya terasa semakin sesak, membuat Bima frustasi lalu mengusap kasar wajahnya.
Bima sebenarnya pria baik-baik. Seumur hidup dia mengenal perempuan dan menjalin hubungan, tidak ada hal melewati batas selain sekedar cium pipi, bibir dan sedikit meraba. Namun, kondisi saat ini membuatnya gelap mata, meskipun keadaan lampu kamar terang benderang.
Apalagi disuguhkan body aduhai dan …
“Tunggu, dia perempuan yang aku lihat di lobby. Yang cantiknya nggak kalah sama Raisa, mirip-mirip Irish Bella, sebelas dua belas sama Haico Van Der Veken dan mungkin kembar tapi beda rahim sama Mawar Eva De Jongh,” ucap Bima dalam hati.
“Ya Tuhan, berkah apa yang engkau berikan. Nggak mungkin ini godaan,” gumam Bima.
Ada perdebatan batin dalam hatinya, antara melepaskan hasratnya dengan wanita yang tersuguh di hadapannya atau meninggalkan kamar itu dan memperlihatkan kondisinya yang sedang h0rny ke semua orang.
“Maaf neng, ini bukan salah kita tapi salahkan situasi.”
Bima merangkak menaiki ranjang dan mengungkung tubuh gadis itu. Setelah melepaskan penutup tubuh terakhirnya dan juga pakaian dalam gadis itu, Bima melakukan apa yang ingin dia lakukan. Meraba bagian yang ingin disentuh. Menciumi wilayah bukan hanya wajah, tapi terus turun ke bawah leher. Melewati dia gundukan sampai ke perut dan bawah perut.
Bima khawatir kalau gadis itu bangun ketika dia sedang beraksi, tapi suara syahdu yang keluar dari bibir gadis itu seakan menikmati apa yang Bima lakukan. Membuat pria itu lebih semangat dan terus beraksi. Racauan kata yang keluar dari mulut Bima dan dessahan dari gadis yang sudah sempurna menjadi seorang wanita karena ulah Bima.
“Shittt, dia masih perawan. Mak, Bima dapet perawan.”
Pria itu terus menggerakan pinggul dan memacu tubuhnya. Entah setan mana yang merasuk dan obat apa yang mempengaruhinya sampai dia harus meng-gagahi perempuan yang tidak dia kenal. Bahkan sampai berkali-kali mendapatkan pelepasan.
“Hahhh.” Bima akhirnya rebah di samping tubuh wanita yang masih memejamkan mata. Di sela nafasnya yang tersengal, dia menoleh dan menatap wajah itu.
“Aneh, kenapa dia nggak bangun?” gumam Bima. Wanita itu memang menjerit pelan saat Bima berhasil mengoyak di bawah sana dan ikut mendesah berkali-kali, tapi tetap tertidur. Seperti tidak terganggu dengan apa yang dilakukan oleh Bima terhadap tubuhnya.
“Sumpah, kamu enak banget. Gue, istirahat bentar ya. Tenang aja, gue bakal tanggung jawab,” gumam Bima lalu terlelap.
***
Ting nong ting nong.
“Berisik,” pekik Bima sambil menarik selimutnya. Merasa tidurnya terganggu oleh suara bel dan rasa dingin menyentuh kulitnya.
Tunggu, kenapa bisa dingin begini. perasaan kamar gue nggak pake AC, adanya kipas angin yang tiap muter bunyi kretek-kretek, batin Bima.
Brak.
“Olivia! Bangsat, apa yang sudah kalian lakukan?”
“Sumpah kalian berisik, ganggu tidur gue … tunggu dulu tidur?” ujarku yang sudah membuka mata dan beranjak duduk. “Kenapa gue tidur di sini dan … siapa kalian?” tanya Bima pada dua orang pria yang berdiri di hadapannya.
Penampilan kedua pria itu sangat rapi dengan setelan jas.
“Kak Alan, Mas Haris, kenapa kalian berteriak.”
Bima menoleh ke samping, seorang perempuan yang sama terkejutnya dengan dirinya dan perempuan itu hanya mengenakan selimut sama seperti dirinya.
“Olivia, apa maksud semua ini? Siapa dia, dan kenapa kamu … tidak mengenakan apapun dengan pria itu?” teriak Haris dengan wajah menahan amarah.
“Hahh. Aku ... Siapa kamu?” tanya perempuan itu pada Bima.
“Aku ….” Bima tidak sanggup bicara, mengingat sebelumnya ingin mengerjakan tugas di kamar ini. Tiba-tiba rasanya tidak nyaman dan ….
Bugh.
Pukulan mendarat di wajah Bima, membuat telinganya terasa mendengung dan rahang yang terasa nyeri. Pria yang terlihat begitu emosi dan sejak tadi berteriak, berhasil memberikan bogem mentahnya. Saat akan kembali memberikan pukulan, pria di sampingnya menahan pria itu.
“Haris, tenanglah. Emosi tidak bisa mengatasi masalah ini.”
“Bagaimana aku bisa tenang, menurutmu apa yang mereka lakukan? Oliv, apa maksudmu melakukan ini di malam pertunangan kita?” tanya pria bernama Haris.
Bima menyadari kalau dia berada dalam masalah. Gadis yang sudah disentuh bernama Olivia, ternyata tunangan pria di hadapannya. Tamu hotel ini, mungkinkah yang acaranya digelar di ballroom yang paling luas dan dengan fasilitas mewah.
Bima, bersiaplah lo bakal digantung di monas, batin Bima.
“Tidak, aku tidak mengerti.” Olivia hendak bangun lalu terdiam dan meringis.
Pria yang sudah memukul Bima meremas rambutnya dan berteriak. “Kenapa harus sekarang? Kenapa tidak kamu katakan sebelum kita rencanakan ini semua, kamu bisa katakan kalau memang ragu denganku atau ….”
“Tidak, Kak Haris aku sungguh tidak mengerti kenapa aku dan dia bisa … Kak Alan, tolong aku,” ujar Olivia dengan wajah bingung dan mata sudah berembun.
“Haris, tenang dulu. Kita bisa duduk bersama dan bicarakan ini. Kamu lihat sendiri, mereka kebingungan. Ada yang tidak beres di sini,” tutur pria bernama Alan. Bima hanya bisa menyimak, bukan hanya merasa bersalah tapi dia juga bingung kenapa bisa berada di situasi ini. Sangat kebetulan dia dalam keadaan berhasrat dan ada wanita tersuguh di hadapannya tidak sadarkan diri.
“Cukup! Kita berakhir, pertunangan kita gagal. Persetan dengan kalian.”
“Kak Haris,” teriak Olivia. “Kak Alan, tolong aku.”
Pria bernama Alan terlihat mencari sesuatu lalu kembali dan melemparkan pakaian ke wajah Bima.
“Pakai itu lalu ikut aku.”
“Oliv.” Seorang perempuan masuk ke dalam kamar.
“Helen,” panggil Olivia. Perempuan bernama Helen menghampiri Olivia dan memeluknya lalu melirik ke arah Bima.
“Cepat!” teriak Alan.
“Sabar Bos,” sahut Bima yang memakai sepatunya. Belum terpakai sempurna, tapi Alan sudah menarik kerah seragam Bima dan menyeretnya keluar dari kamar itu.
“Bangsat. Lo jelasin kenapa bisa ada di kamar adik gue,” teriak Alan setelah menghempaskan tubuh Bima ke lantai.
“Sabar, Pak. Kita bicara di ruangan lain agar tidak mengganggu tamu lainnya.” Ternyata di luar kamar sudah ada Pak Erik dan seorang rekan Bima. Tangan Bima dicengkram kuat oleh Erik, seakan khawatir kalau Bima akan kabur.
Ada yang aneh saat Bima dan rombongan itu memasuki lift, tidak terlihat troly linen yang tadi dia bawa. Sepertinya ada benang merah yang Bima sadari, dia dijebak entah oleh siapa. Ada hubungannya dengan pertunangan Olivia dan Haris. Bisa jadi pihak yang tidak ingin pertunangan itu terjadi dan Bima hanyalah korban begitupun dengan Olivia, tapi siapa?
Beberapa jam sebelumnya, di lobby.
“Ternyata, nggak lama lagi kita jadi iparan,” ujar Helen sambil tersenyum.
“Hm. Rasanya aku juga tidak percaya kalau malam ini aku akan bertunangan dan sebentar lagi menikah. Padahal kuliah juga belum selesai,” tutur Olivia.
Kedua perempuan itu sudah berada di lobby hotel, di mana pertunangan antara Olivia dan Haris akan dilaksanakan. Olivia dan Helen bersahabat sejak masih SMP dan Haris adalah kakak dari Helen. Keduanya pasti semakin dekat, ketika Haris dan Olivia menikah.
Perbedaan umur Olivia dan Haris agak jauh. Olivia dan Helen baru berumur dua puluh satu tahun sedangkan Haris sudah tiga puluh dua. Kedua keluarga mereka sudah dekat karena hubungan persahabatan antara Olivia dan Helen. Sedangkan kedekatan Olivia dan Haris baru setahun belakangan dan keluarga setuju saja ketika Haris mengusulkan akan serius dan ingin menikah dengan Olivia.
Helen membuka amplop coklat berisi beberapa acces card dan memberikan salah satu pada Olivia. “Nih, sepertinya kita beda lantai,” ujar Helen sambil memandang acces card miliknya.
“Iya ya,” sahut Olivia melirik kartu milik Helen.
“Menurut lo, Fahri bakal dateng nggak?”
Olivia hanya menghela nafasnya mendengar pertanyaan Helen. Fahri juga sahabat mereka, lebih tepatnya mereka bertiga bersahabat. Dari SMP, SMA bahkan sampai kuliah di kampus yang sama. Kedekatan mereka ternyata menimbulkan rasa berbeda.
Fahri menyukai Olivia bahkan pernah menyatakan hal itu di depan umum, saat Fahri bergabung dalam tim Futsal dan memenangkan pertandingan. Olivia tidak menerima ungkapan perasaan Fahri, sempat kecewa karena persahabatan mereka jadi renggang.
Fahri menghargai keputusan Olivia. Ketiganya kembali bersahabat walaupun Fahri masih dengan perasaan yang sama. Ternyata bukan hanya Fahri yang akhirnya jatuh cinta, Helen pun memiliki rasa pada Fahri hanya saja tidak dia ungkapkan.
“Kayaknya nggak, tadi pagi dia kirim pesan mau antar Ibunya,” sahut Olivia
“Alibi, menurut lo gitu nggak?”
Olivia mengedikkan bahunya. “Kita harus hargai perasaannya. Aku tidak mau memaksa dia hadir, apalagi saat aku menikah.”
“Bener juga sih, tapi tenang aja gua akan pastikan dia hadir di pernikahan lo.” Helen menepuk bahu Olivia.
Olivia dan Helen, akhirnya menuju kamar mereka sambil mempersiapkan acara nanti malam. Mereka berpisah di lift karena kamar mereka berada di lantai berbeda. Olivia memastikan nomor kamar yang tertera di access card sama dengan kamar di hadapannya.
“Delapan kosong sembilan,” ucap Olivia.
Tangan gadis itu tidak jadi menempelkan kartu ke sensor pintu, setelah diperhatikan pintu kamar itu tidak tertutup rapat. Dia pun mendorong pelan pintu kamar dan menempati kamar tersebut dalam keadaan gelap.
“Tidak terkunci,” gumam Olivia.
Kartu akses diletakan di slot listrik dan lampu kamar serta pendingin udara pun menyala. Gadis itu memeriksa area ranjang dan toilet tapi tidak ada hal yang aneh dan mencurigakan. Setelah mendorong kopernya agak ke sudut ruangan, Olivia berniat untuk membersihkan diri.
Melihat dua botol air mineral yang terletak di meja dan merasakan dahaga, Olivia pun membuka salah satu botol lalu membuka seal dan meneguknya menghabiskan hampir setengah isi botol. Gadis itu melepaskan dress yang dia kenakan dan hanya menyisakan pakaian dalam, lalu menuju toilet. Melepaskan jam tangan kemudian mencuci muka. Tiba-tiba Oliv menguap dan merasakan kantuk, sangat mengantuk.
“Hoam. Kenapa ngantuk sekali,” ujar Olivia melangkah keluar dari toilet.
Melihat ranjang yang begitu nyaman, dia pun berbaring di sana. “Tidur sebentar nggak apa-apa deh,” gumamnya kemudian terlelap.
***
Ketika terjaga Olivia mendapati dirinya hanya berada di bawah selimut tanpa pakaian bersama seorang pria tidak dikenal. Haris, calon tunangannya kalap dan menghajar pria itu yang kemungkinan sudah melakukan sesuatu dengannya.
Sempat terjadi keributan, di mana Haris terus berteriak dan akan memberikan pukulan lagi pada pria di samping Olivia, tapi di tahan oleh Alan. Haris membatalkan pertunangan lalu meninggalkan kamar.
Helen menghampiri Olivia yang kondisinya berantakan.
“Oliv ada apa denganmu?”
“Aku … aku nggak ngerti. Kenapa bisa begini. Jujur aku tidak tahu siapa pria itu.” Olivia berkata dengan wajah sudah basah dengan air mata.
Masih bingung dengan kondisinya, lalu pertunangannya dibatalkan tentu saja membuat wanita itu frustasi dan akhirnya menangis. Tidak mungkin dia harus tertawa dengan situasinya saat ini.
“Kalian, tidak berbuat yang aneh-aneh ‘kan?” tanya Helen dengan hati-hati.
Olivia terdiam. Tentu saja hal itu yang menjadi pikirannya saat menyadari terbangun bersama pria asing. Apalagi tanpa sehelai kain di tubuhnya. Penampilan Olivia dengan rambut berantakan dan ada beberapa jejak cinta di leher, mungkin juga di wilayah dadanya yang tertutup selimut membuat orang lain akan menduga sudah terjadi sesuatu antara mereka.
“Helen, aku takut. Kak Haris membatalkan pertunangan kami,” ungkap Oliv dengan air mata kembali menetes. Bahkan wanita itu menggenggam erat kedua tangan Helen.
“Sebentar, kita perlu pastikan sesuatu,” ujar Helen.
“Maksudmu?”
“Kita pastikan tidak ada yang terjadi denganmu jadi tidak ada alasan Kak haris membatalkan pertunangan kalian.”
Helen menyingkap selimut dan menemukan noda di atas sprei. “Oliv,” ucap Helen.
Olivia kembali terisak.
“Bisa saja itu noda soda atau makanan. Apa ada rasa sakit di tubuhmu, terutama di bagian itu?” tanya Helen.
Olivia terdiam lalu menggeser posisi dia duduk lalu menjerit pelan.
“Helen, aku tidak tahu siapa pria itu dan tidak ingat kenapa dia bisa ada di kamar ini.” Saat ini Olivia bukan hanya terisak, tapi menangis meraung.
“Olivia, sayang. Ada apa ini, Nak?”
“Mami.”
Naya -- Mami Olivia -- langsung memeluk putrinya, sedangkan Tristan -- Papi Olivia hanya berdiri memandang putrinya. Pria itu sudah bisa menduga apa yang terjadi dengan Olivia.
“Kalian temani Oliv, aku akan temui Alan,” ujar Tristan lalu pergi.
Acara pertunangan yang seharusnya dilaksanakan beberapa saat lagi, akhirnya kacau dan dibatalkan karena Olivia tidak kunjung muncul dan tidak menjawab teleponnya. Bahkan di kamar pun tidak ada, ternyata Olivia ditemukan di sebuah kamar lain bersama seorang pria.
“Mih, Kak Haris marah. Dia ingin pertunangan ini batal. Sumpah, aku tidak tahu kenapa pria itu bisa ada di kamarku,” tutur Olivia.
Naya dan Helen saling tatap mendengar pengakuan Olivia.
“Sayang, Mami sudah ke kamarmu dan kamu tidak ada. Ini … bukan kamarmu.”
Pernyataan Naya membuat Olivia bingung.
“Ini kamarku, Helen yang berikan acces card. Delapan kosong sembilan,” sahut Oliv.
“Oliv, Tante Naya benar ini bukan kamar kamu. Ini kamar delapan kosong enam,” ujar Helen.
“Apa?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!