Pukul 9 pagi, gadis yang bekerja sebagai pekerja lepas itu baru saja bisa keluar meninggalkan kantor karena kemarin dia mendapat jadwal kerja malam. Sulitnya mencari pekerjaan membuat Raine Lister—— gadis tersebut rela mengerjakan apapun yang dapat memberinya upah untuk bertahan hidup termasuk sebagai security.
Tiba di halte, Raine duduk di kursi kosong—— menunggu bus yang melintasi rumahnya tiba sambil memukul-mukul bagian bahunya yang pegal. Semalam dia harus dengan berat hati menemani Jesse—— salah satu karyawan tetap yang bekerja di perusahaan tersebut dan meninggalkan pos jaga nya. Dia bilang dia mendengar suara wanita sedang bernyanyi padahal ketika ruangan sebelah dicek, tidak ada siapa pun di sana. Begitu juga dengan ruangan Jesse yang hanya diisi olehnya karena rekan-rekan yang lain telah pulang lebih dulu.
"Dasar sialan, mana ada hantu di dunia ini" gerutu nya.
3 menit berlalu, bus tiba dan Raine segera naik. Ia berdiri di sebelah pria yang berpakaian formal. Suasana di dalam bus tampak penuh dan sesak karena hampir tidak ada ruang untuk bergerak, tapi pria yang berdiri di sebelahnya itu tampak santai dan nyaman dengan situasi ini.
"Ya Tuhan, ingin sekali aku menghajarnya" geram Raine.
Raine mengerjapkan netra nya kala tangan seseorang meremas bokong nya, napasnya tidak beraturan. Susah payah dia menahan emosi sampai menggigit bibir bawahnya tapi tiba-tiba——
"Maaf, aku tidak sengaja"
Seorang pria datang menabraknya entah karena kehilangan keseimbangan atau apa, Raine sendiri pun tidak tahu. Yang jelas dia menabrak pria di sebelahnya cukup kencang hingga membuat kehebohan di dalam bus dan beberapa penumpang di belakangnya nyaris terjatuh akibat ulahnya.
Dia lantas menanggalkan jas nya di tubuh Raine, tubuhnya yang mungil tenggelam dibuatnya karena jas itu mampu menutupi seluruh tubuh Raine hingga paha bahkan nyaris sampai lutut.
"Sudah aku bilang jangan sampai terpisah, kamu membuatku panik saja" tuturnya lembut seraya merapikan surai Raine yang berantakan.
Dia merangkul Raine dengan erat seolah takut gadis di sebelahnya menghilang, sementara gadis yang dirangkulnya hanya bisa diam, mencoba mencerna situasi apa yang sedang dihadapinya saat ini.
Netra nya berkali-kali melirik pria yang sejak tadi merangkul nya, dia tampak tenang dan Raine dapat merasakan aura positif yang dia pancarkan. Senyum dan ekspresi wajahnya yang teduh benar-benar mampu membuat Raine merasa aman berada di sisinya.
"Saya akan turun di sini" ucap Raine pelan agar tidak terdengar oleh pria yang tadi mengusik nya.
"Ayo!"
Alih-alih mengambil jas nya, pria itu justru malah menuntunnya turun dari bus saat Raine hendak melepas jas dan mengembalikannya. Alhasil, dia hanya bisa mengikuti alur drama yang sedang dia mainkan saja. Dia akan berterima kasih nanti ketika keduanya tiba di rumah.
"Apa Anda ingin mampir dan minum teh?" Tawar Raine begitu tiba di depan gedung apartemen.
"Tidak perlu, aku masih ada urusan"
"Terima kasih telah membantu saya" tuturnya seraya melepas dan menyerahkan jas pada pemiliknya.
"Dengan senang hati, Nona. Kalau begitu aku pergi, ya"
Ternyata masih ada orang baik di dunia ini, Raine dibuat kagum oleh sikap gentleman nya. Dia bahkan tidak meminta imbalan apapun atas bantuan yang dia berikan.
Sementara pria tersebut langsung melanjutkan perjalanannya menuju salah satu kampus usai mengantar Raine pulang. Kai Crawford—— senyum pria tampan itu merekah begitu melihat seorang pemuda yang dikenalnya terlihat sedang duduk menikmati makanannya di kantin bersama teman-temannya, tapi bukan itu yang membuat senyum manisnya mengembang.
"Kau terlambat 10 menit, Tuan Crawford" sembur seorang pemuda dilengkapi ekspresi kesal.
"Maaf teman-teman, tadi aku ada urusan"
"Dan apa-apaan senyuman mu yang menjijikan itu?" Tukas Devon.
Devon Belmore—— teman Kai sejak kecil itu menangkap ada sesuatu yang aneh dari ekspresi yang ditunjukkan oleh teman baiknya, wajahnya tampak berseri-seri dan bersinar terang tidak seperti biasanya.
"Apa? Memangnya aku kenapa?"
"Jangan bermain-main, bung. Kau menyimpan rahasia dari kami?" Sambar Jesse.
Tiga pria yang tadi sedang bersantai sambil menikmati makanan masing-masing itu kini mendekatkan wajahnya dan menyerang Kai dengan tatapan tajam secara bersamaan. Meski Kai dikenal sebagai pria yang menyenangkan dan mudah berbaur, itu tidak berarti membuatnya menjadi orang yang terbuka. Contohnya saja tentang masalah dua minggu yang lalu, di mana Brooks mengirim Casey—— putri keempatnya dari suami ketiganya ke kediaman Crawford. Kai hanya diam dan sibuk melakukan pekerjaannya seolah tidak ada yang terjadi.
"Baiklah, baiklah. Bisakah kalian memberiku ruang?"
Jesse, Devon, dan juga Ryder merubah cara pandang mereka kemudian memundurkan wajah mereka yang berdekatan—— memberi ruang sesuai dengan apa yang diinginkan Kai.
"Sebenarnya aku mendaftar menjadi dokter relawan" ungkapnya dengan tampang tenang dan datar, tanpa dosa.
"Kau bercanda?"
"Di keadaan seperti ini? Kau tidak mencoba untuk melarikan diri, kan?"
Ryder menatap netra biru milik Kai tajam, masalah keluarga saat ini sedang sangat runyam karena Brooks Grason—— ibu dari Kai memutuskan untuk berpisah dengan suaminya yang telah dia nikahi 2 tahun lalu. Pemuda berambut ikal yang usianya 6 tahun lebih muda dari Kai ini juga merupakan korban pertengkaran kedua orang tuanya, kegagalan orang tuanya dalam membina rumah tangga menjadi mimpi buruk yang sangat menakutkan baginya hingga dia enggan menjalin hubungan dengan siapa pun apa lagi sampai memberi kepercayaan dan menaruh harapan terhadap seseorang.
"Aku butuh waktu dan ruang untuk berpikir" jawab Kai setelah terdiam cukup lama.
"Dengan pergi ke tempat yang sedang dilanda musibah? Kau gila, Kai. Dasar tidak waras!"
"Biarkan kakak mu menenangkan diri, Ryder. Dia bukan anak kecil lagi" lerai Devon.
Ryder menyimpan kedua tangannya di dada, dia memang kerap bersikap bossy dan posesif terhadap Kai.
"Kau juga harus memikirkan acara makan malam nanti. Brooks pasti sudah merencanakan sesuatu makanya dia memintamu untuk hadir"
"Dia juga ibumu, Ryder Torres!" Tegas Kai.
"Aku tidak peduli"
Pandangan Ryder turun, bukan hal mudah melupakan sesuatu yang telah menggoreskan luka di dalam hati kita apa lagi yang melakukannya merupakan orang terdekat dan sangat kita sayangi.
Ryder merasa dibuang kala ayahnya yang telah berpisah dengan Brooks meninggal dan Brooks memutuskan untuk menikah lagi dengan salah satu kolega ayahnya, pemuda ini malah dititipkan pada Hayden Crawford—— ayah dari Kai menjelang hari pernikahannya saat dirinya masih berusia 6 tahun, tapi sampai saat ini wanita itu tidak pernah menjemputnya pulang. Mungkin dia tidak ingat telah melahirkan nya, pikir Ryder.
"Kau juga harus datang nanti malam"
Kai mengambil ponselnya yang tadi sempat ia letakkan di atas meja kemudian mengulurkan tangan seraya meminta sesuatu pada salah satu temannya, setelah dia mendapatkan kunci mobil yang kemarin dibawa kabur oleh Devon dia pergi meninggalkan sang adik dan dua temannya. Situasi akan bertambah runyam jika dia tidak segera pergi, Ryder pasti akan memarahinya sepanjang waktu bak ibu tiri.
Maka dari itu, sebelum hal buruk itu terjadi Kai memilih untuk pergi dan meninggalkan kampus, tapi——
BRUK!
Seseorang yang memakai helm tidak sengaja menabraknya di tempat parkir, ponselnya pun sampai lepas dari genggaman nya.
"Maaf, saya tidak sengaja" suara wanita terdengar, dia sedikit membungkuk meminta maaf.
"Tidak apa-apa, lain kali hati-hati. Apa kau terluka?"
Dia tidak menjawab, hanya menggeleng singkat kemudian meninggalkan Kai. Tampaknya dia sedang terburu-buru karena Kai dapat melihatnya berlari-lari kecil menuju motornya yang terparkir rapi bersama kendaraan lainnya.
"Sudah aku peringatkan untuk berhati-hati" gumam Kai yang melihatnya hampir jatuh terpeleset.
~*~
Pengendara motor itu melepas helm nya begitu tiba di tempat parkir bawah tanah, kakinya yang sudah lelah berjalan itu lekas mendekati elevator dan menekan tombol bergambar panah di sebelah pintu elevator.
Raine keluar dari elevator usai tiba di lantai yang dituju. Kakinya yang berjalan cukup cepat itu tiba-tiba terhenti setelah suara tangisan yang coba dia abaikan sedari tadi terdengar semakin kencang, semakin kakinya melangkah menuju tempat tinggalnya, semakin jelas pula suara tangisan tersebut.
"Apa itu?" Gumam nya.
Sebuah kardus berukuran cukup besar membuat Raine memikirkan banyak hal, tidak terkecuali tentang organ manusia yang dikirim oleh seseorang mengingat maraknya penculik yang mengincar anak-anak saat ini untuk mendapatkan ginjal, jantung, hati atau organ lainnya yang menurut mereka berharga dan bisa ditukarkan dengan uang.
Ditendang nya kardus itu pelan dengan rasa takut yang melilit dirinya hingga dia terlompat, namun suara tangisan bayi justru terdengar semakin kencang.
"Apa tangisan itu berasal dari sana?"
Tiba-tiba rasa panik dan takut menggerogoti diri Raine. Netra nya menjelajah ke area sekitar. Sungguh, Raine tidak berani membuka kardus tersebut.
Tapi, kebetulan ada salah satu penjaga keamanan di sini yang melintas ketika netra nya menatap ke arah ujung lorong. Segera saja ia melambaikan tangan dan memanggilnya.
"Tuan Wright!" Serunya.
Pria itu segera menghampiri Raine begitu mendengar namanya dipanggil, dia sedikit berlari agar bisa lebih cepat tiba di hadapan Raine.
"Ada apa, Raine?" Tanyanya begitu tiba.
"Bisakah Anda membantu saya?"
"Apa ada masalah?"
"Seseorang meletakkan kardus besar itu di depan pintu rumah saya. Terlihat mencurigakan dan menakutkan" jelasnya sambil menunjuk ke arah kardus besar.
Gadis malang itu menggigit jarinya. Dia benar-benar panik saat ini, berbagai pikiran buruk melintas di kepalanya. Tidak ada hal baik atau pun hal positif yang terlintas, pada dasarnya Raine memang dikenal sebagai gadis yang ceroboh dan mudah paranoia.
"Tadi saya mendengar suara bayi. Apa itu berasal dari dalam sana?" Ucapnya lagi dengan tubuh yang gemetar.
"Aku akan mengeceknya"
Petugas keamanan tersebut maju, perlahan tangannya membuka kardus misterius tersebut dan matanya terbelalak begitu melihat isinya.
"Raine?" Panggil nya pelan.
"Ya?"
Dia berdiri usai mengambil secarik kertas yang berisi sebuah pesan——
Untuk Raine Lister,
Sebelumnya aku minta maaf karena menghilang tanpa kabar selama beberapa bulan terakhir ini, apa kau khawatir padaku? Aku baik-baik saja di sini, Raine. Jangan khawatir. Tapi bisakah kau membantuku? Tolong rawat bayiku, aku sedang menghadapi masalah darurat dan aku takut dia akan berada dalam bahaya jika aku membawanya bersamaku. Aku juga belum memberinya nama. Tolong beri dia nama yang bagus:)
Salam, Taylor Lister.
"Raine?"
Petugas keamanan itu berbalik menatap Raine yang sejak tadi tidak bereaksi. Tatapan nya berubah menjadi kosong usai mendengar isi catatan yang dibacakan oleh Wright, dia seperti sedang cosplay menjadi patung saat ini. Diam ditempat dan tidak bergerak sama sekali.
"Kau baik-baik saja?"
"Tidak" jawabnya lemah sambil menggelengkan kepala.
Kini ekspresinya berganti menjadi sedih bercampur marah, takut, juga cemas. Kepalanya beberapa kali menggeleng.
"Jadi dia adalah... keponakan saya?" Tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan nada lemah.
"Ya. Taylor itu kakak mu, kan?"
"Brengsek! Apa dia meminta saya untuk merawatnya?"
"Ya. Begitulah pesan yang tertulis di sini?"
Dia kehilangan kata. Tidak tahu harus sedih atau bahagia atas berita mengejutkan yang satu ini. Lama tidak mendengar kabarnya, ternyata sang kakak telah melahirkan seorang bayi sekaligus keponakan untuknya.
Tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang selain menghela napas dan menangis. Raine berjongkok, dia menutup wajahnya dan mulai meratapi jalan hidupnya yang sepertinya akan berjalan tambah rumit.
"Raine?"
"Bagaimana ini, Tuan Wright? Saya tidak tahu bagaimana cara merawat bayi" rengek nya.
Malam ini Kai ada janji makan malam bersama Brooks, sejujurnya dia malas bertemu dengannya lagi tapi berhubung dirinya masih menghormati Brooks sebagai ibunya, akhirnya dia memutuskan untuk tetap datang bersama Ryder dan Casey.
"Lama tidak bertemu, bagaimana kabar kalian?" Tanyanya membuka obrolan.
"Cih, sangat memuakkan, peduli apa kau?" Umpat Ryder.
Brooks bisa mendengar umpatan yang dilayangkan putra ketiganya, dia juga bahkan menoleh ke arah Ryder yang sejak tadi hanya memainkan makanannya.
"Kau sama sekali tidak tahu bagaimana cara menghormati orang tua. Belajarlah dari kakak mu" ucap Brooks.
"Bagaimana bisa aku tahu cara menghormati orang tua jika ibuku saja tidak pernah mengajarkan aku dan lebih memilih pergi bersama pria lain?"
"Ryder—"
"Sudahlah, Kai. Berhenti membelanya! Dia memang tidak pantas menjadi ibu, gelar itu terlalu hormat untuknya" potong Ryder cepat.
Ryder pergi meninggalkan restoran setelah meluapkan emosinya. Sementara Casey masih diam duduk disampingnya dengan manis, berharap ibunya melihat keberadaannya, namun Brooks justru meraih tas tangannya.
"Lain kali jika aku mengajakmu bertemu, pergilah sendiri. Makan malam kita jadi kacau seperti ini karena ulahnya"
"Ibu..." rengek Casey.
"Jangan menangis! Ibu tidak suka anak cengeng"
Brooks berlalu meninggalkan kedua anaknya yang masih duduk dan menatap kepergiannya. Sikap Brooks dari dulu tidak pernah berubah di mata Kai, dia tidak pernah peduli pada anak-anak dan lingkungan sekitarnya. Satu-satunya yang ada di mata Brooks adalah ambisi—— kekayaan dan kekuasaan.
Casey menangis tersedu-sedu menyaksikan ibunya pergi, dia kira dengan dirinya ikut makan malam bersama Kai, dia akan punya kesempatan untuk pulang bersama ibunya. Casey sangat rindu ibunya, di rumah juga—— sebelum kedua orang tuanya bercerai, Casey jarang bertemu Brooks meski mereka tinggal di satu atap yang sama. Brooks sangat sibuk dengan kegiatan di luar rumah hingga dia lupa dengan perannya sebagai seorang istri juga seorang ibu.
"Sudah, jangan menangis. Kita bisa bertemu ibu lagi nanti"
Kai menggendong Casey seperti koala, mereka semua meninggalkan restoran dengan suasana hati yang buruk, tidak terkecuali dengan Kai. Dia juga sedih melihat betapa dinginnya sikap Brooks terhadap anak-anaknya. Tidak ada rasa bersalah atau pun menyesal baik dari perkataan maupun sikap yang Brooks tunjukkan. Dia benar-benar ibu yang buruk.
Awalnya Kai pikir dialah satu-satunya anak yang tidak beruntung karena memiliki sosok ibu seperti Brooks, dari pertama kali dirinya hadir di muka bumi hingga detik ini, Kai sama sekali belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu yang sesungguhnya dari Brooks.
Brooks pergi meninggalkan Hayden dan Kai yang baru berusia 4 tahun, setiap hari Kai kecil menangis dan selalu bertanya pada ayahnya di mana dan kapan ibunya akan pulang, tapi Hayden selalu mengalihkan perhatiannya dengan mengajaknya berjalan-jalan ke taman bermain atau ke kebun binatang hingga suatu hari rasa lelah itu akhirnya berhasil menyentuh titik puncak di mana dirinya sudah tidak sanggup lagi berbohong dan mengatakan lebih banyak omong kosong lainnya, Hayden yang tidak tahu harus berbuat apa lagi terpaksa menghabiskan waktu di kantor dari pagi hingga larut malam demi bisa terhindar dari teror Kai.
Akhirnya Kai tidak hanya kehilangan sosok ibu di hidupnya, tapi juga perhatian dan sosok ayah.
Beruntunglah Casey dan Ryder, meski dirinya disibukkan dengan pekerjaan, kedua adiknya itu masih bisa mendapatkan perhatian dan kasih sayang seorang ibu dari Darla Powell—— istri baru Hayden, meski rasanya tidak sama setidaknya mereka tidak akan menangis sendirian di sudut kamar seperti yang sering Kai lakukan dulu.
"Kalian sudah bertemu dengan ibu?" Tanya Darla yang melihat Kai masuk sambil menggendong Casey yang sudah tertidur.
"Ya"
Kai melanjutkan langkahnya menuju kamar Casey, usai menidurkan sang adik dia kembali turun dan pergi ke dapur.
Baru saja dia hendak membuat susu hangat, tetapi keberadaan Darla membuat Kai menghentikan langkahnya, ibu tirinya itu mengangkat gelas berisi sampanye pada Kai seraya memintanya bergabung.
"Ada apa? Apa ada masalah?" Tanya Kai sambil menarik kursi dan duduk di depan Darla.
"Bukankah kau yang sedang mengalami masalah?"
"Lalu kenapa kau yang minum?"
"Aku hanya ingin menemani mu minum"
"Aku tidak minum, Darla"
Wanita paruh baya itu tertawa pahit lalu meneguk segelas sampanye nya sampai habis, sebelah tangannya menjambak rambut frustasi.
"Apa aku sebegitu buruknya, Kai? Apa aku sama sekali tidak pantas?"
Pandangannya turun menatap botol minuman keras yang tadi dia ambil dari lemari es sementara tangannya memainkan gelas kecil yang tadi dia gunakan sebagai wadah sampanye, di awal tahun pernikahannya Darla merasa amat bahagia karena Hayden akhirnya berani mengambil keputusan tegas dalam hubungannya yang telah mereka jalin selama 8 tahun, tapi entah kenapa sekarang rasanya pernikahan ini begitu hampa.
Kai hanya diam, memperhatikan Darla yang sekarang sedang tertawa kecil, tertawa pahit lebih tepatnya.
"Aku merasa tidak berharga dan berguna" lanjutnya.
Tangan Darla hendak menuangkan sampanye lagi pada gelasnya, tapi ditahan oleh Kai.
"Kau sudah mabuk"
"Hahaha... kenapa kau peduli?"
Darla dan Hayden baru menikah 2 tahun, tapi dia sudah mengenal Kai dari remaja, kebetulan dulu Kai bersekolah di tempat dirinya mengajar.
Kai adalah murid yang pintar dan ceria, dia mudah berbaur dan memiliki banyak teman. Darla pikir dengan sikap Kai yang humble, dia akan bisa masuk dan diterima dengan mudah oleh muridnya itu. Tapi, nyatanya Kai bukan tipe orang yang mudah menerima kehadiran orang baru.
"Kau istri dan ibu yang baik" ucap Kai.
"Jangan katakan itu hanya untuk menghiburku"
"Aku tidak menghiburmu. Kau ibu dan istri yang baik, aku belum pernah melihat ayah tersenyum bahagia seperti itu sebelumnya... Yah, setelah sekian lama" ucapnya dengan nada yang semakin melemah di akhir kalimat.
Kai merebut gelas kecil dari tangan Darla kemudian dia isi dengan sampanye dan menghabiskan nya dalam satu tegukan.
"Kau juga ibu yang baik bagi Casey dan Ryder"
~*~
"Keajaiban macam apa ini?"
Di depan jendelanya yang terbuka, Kai sibuk memainkan ponsel orang yang kemarin tidak sengaja menabrak dirinya. Ternyata tidak hanya ponsel miliknya saja yang terjatuh akibat benturan tersebut, melainkan juga ponsel milik wanita yang belum diketahui namanya oleh Kai.
Suasana hatinya pagi ini sedang baik, entah kenapa pertemuan kemarin yang terjadi secara kebetulan itu terus melintas di pikirannya. Gadis itu cukup tomboi dan sepertinya tidak pandai berdandan seperti wanita lainnya yang sering dia lihat dan temui, kemarin Kai bisa lihat betapa polos dan natural nya wajah mulus milik gadis yang mampu memenuhi pikiran Kai semalaman ini. Bahkan masalah Brooks pun teralihkan begitu saja.
"Aku akan pergi mengembalikannya. Dia pasti sedang kebingungan mencari ponselnya sekarang" ucapnya setelah menatap arloji yang melingkar di tangannya.
Ruang makan sudah diisi oleh Ryder, Casey, Hayden, dan Darla.
Ketika Kai keluar dari kamarnya, keempat anggota keluarganya itu secara serentak menoleh ke arahnya dengan pandangan yang berbeda. Ryder memandangnya kesal karena kejadian semalam, Casey memandangnya sedih dan penuh harap, sementara Darla memandangnya ceria seperti biasa dan Hayden? Dia menatapnya datar seperti biasanya.
"Selamat pagi, Kai" sapa Darla.
"Pagi, Darla" jawabnya "Selamat pagi, Ryder, Casey" lanjutnya, dia mengecup puncak kepala Casey.
Kai mengambil sepotong roti kemudian dioleskan nya selai cokelat pada roti tersebut, tampak dia benar-benar sedang dikejar waktu karena Kai langsung pergi usai mengoleskan selai pada roti nya, dia memakannya sambil berlari-lari kecil menghampiri mobilnya yang terparkir di garasi membuat Darla berteriak.
"Kai, makan dengan benar! Habiskan susu mu!"
"Maaf, aku tidak punya waktu lagi, Darla"
Mobil kesayangannya yang jarang tersentuh itu akhirnya dia pakai juga, dengan kecepatan sedang ia keluar dari perumahan tempatnya tinggal. Kai membuka sedikit jendela mobilnya agar udara pagi bisa masuk dan menyegarkan pikirannya.
Hampir satu jam lamanya ia berkendara, akhirnya Kai sampai juga di depan gedung apartemen yang kemarin dia datangi. Tapi alih-alih masuk dan mendatangi rumah Raine, dia justru malah membeku sambil menatapi gedung tinggi tersebut.
"Sial, aku lupa menanyakan namanya, aku juga tidak tahu berada di lantai berapa rumahnya" gerutu Kai.
Dokter bedah itu merutuki dirinya, kenapa dia begitu bodoh? Padahal kemarin tidak ada urusan yang darurat, seharusnya mampir dan minum teh bersama selama 15 menit bukanlah masalah besar. Sekarang bagaimana cara dirinya mengembalikan ponsel yang hilang ini kepada pemiliknya? Tidak mungkin dia mencarinya dari satu rumah ke rumah lainnya. Gedung ini terlalu besar dan dia tidak tahu ada berapa banyak rumah dalam satu lantainya.
"Apa aku tunggu di sini saja sampai dia keluar, ya?"
Jarum kecil di arloji nya terus bergerak. Kepala Kai menggeleng beberapa kali, dia tidak punya banyak waktu sekarang.
"Baiklah, semoga Dewi Fortuna membantuku"
Akhirnya dia maju dengan hanya mengandalkan feeling. Dia sudah pergi sampai sejauh ini, sangat disayangkan jika dia tidak bisa bertemu dengannya, kan?
"Mm... lantai 7?" Tebak nya.
"Apa Anda penghuni baru?"
Suara seorang pria sukses membuat Kai melompat kaget, dia tidak menyadari kalau di elevator ini ada orang lain selain dirinya.
"Bu-bukan"
"Lalu?"
"Aku hanya ingin mengembalikan ponsel seseorang"
"Dia penghuni di sini?"
"Ya"
"Boleh aku lihat ponselnya?"
Kai mengambil ponsel dari saku celananya, meski ragu tapi dia masih berharap orang asing ini bisa membantu dan mengenal pemiliknya. Dia mungkin terlihat sedikit aneh menurut Kai, tapi Kai berusaha mempercayainya bahwa pria ini adalah orang baik.
"Ah... ini ponselnya Nona Lister. Saya pernah melihatnya beberapa kali"
Tangannya secara paksa mengambil alih ponsel itu dari tangan Kai kemudian berjalan keluar tepat ketika pintu elevator terbuka.
"Tunggu! Ke mana kau akan membawa ponsel itu?"
Kai juga ikut keluar dari elevator membuntuti pria yang telah merebut ponsel dari tangannya, setelah melalui beberapa lorong pria tersebut berhenti di depan pintu—— entah pintu rumah siapa.
Dia tampak santai menekan bel kemudian berbalik dan mengembalikan ponsel itu pada Kai.
"Ini rumah Nona Lister. Dia tinggal di lantai 5, bukan lantai 7"
"Aa~ begitu" Kai membeku saat menyadari pikiran buruk itu hanyalah sebuah prasangka.
Suara teriakan yang terdengar dari dalam sana membuat perhatian Kai teralihkan, dia lekas menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka dan menampilkan sosok wanita yang telah dia bantu kemarin.
Penampilannya terlihat buruk. Sepertinya dia tidak tidur semalaman, wajahnya tampak lelah dan linglung. Dia juga terus menggigit jari telunjuknya.
"Hei—" kalimat pertamanya terpotong dengan cepat.
"Bisakah Anda membantu saya? Monster kecil itu sangat mengerikan. Saya tidak bisa tidur semalaman ini"
Raine mendorong tubuh Kai agar masuk lebih dulu sementara dirinya berjalan di belakang Kai sambil memegangi punggungnya, netra nya tertuju pada ruang tamu yang tampak berantakan.
"Di mana monster nya? Kau yakin ada monster di sini?"
"Itu, di sana!"
Raine menunjuk ke arah sofa, Kai berjalan mendekat ke arahnya dan tidak lama kemudian netra nya pun berbinar saat sosok bayi perempuan terlihat sedang menatapnya dengan tatapan polos nan menggemaskan.
"Hai, cantik!" Sapa Kai lembut.
"Cantik? Siapa yang Anda maksud cantik?"
Kai mengangkat bayi menggemaskan itu ke udara, membuatnya tertawa gembira.
"Siapa namanya?" Tanya Kai bersemangat.
"Nama?"
Alis Raine terangkat sebelah, apa dia punya waktu untuk memikirkan itu? Semalaman ini dia tidak bisa tidur karena bayi itu terus menangis dan tak kunjung menutup matanya.
"Jadi, Tuan Crawford ini pengasuh bersertifikat, ya? Pantas saja Anda bisa menaklukan monster kecil itu dengan mudah"
"Tentu saja. Aku pengasuh bersertifikat dan berpengalaman"
Raine menyuguhkan teh dan kue buatannya, rumahnya yang minimalis membuat Raine dan Kai bisa mengobrol meski Raine sedang sibuk di dapur membuatkan teh hangat untuk tamunya sementara tamunya sibuk mengasuh bayi mungil yang semalam ditelantarkan oleh ibunya.
"Tapi omong-omong, kenapa kau memanggilnya monster kecil? Bukankah dia sangat manis dan menggemaskan?"
"Dia terus menangis sepanjang malam dan saya tidak tahu bagaimana cara mengurus bayi. Semalaman suntuk saya dibuat stres olehnya"
"Serius? Kau tidak tahu bagaimana cara mengurus bayi?"
"Anda pikir saya punya waktu untuk itu?"
Raine sejak tadi tidak berhenti bergerak, dia mengobrol dengan Kai sambil mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah selesai membuatkan teh untuk Kai, dia langsung cuci piring dan menyapu lantai lalu dilanjutkan dengan mengangkat pakaian yang dia jemur di balkon.
"Ke mana orang tua mu?"
"Ibu meninggal saat saya berusia 8 tahun dan saya tidak tahu di mana keberadaan ayah. Taylor bekerja di luar kota ketika saya masuk sekolah menengah"
Pria bermata biru itu terdiam mendengar cerita Raine yang terdengar pilu di telinganya, tapi dia salut karena Raine bisa menceritakannya dengan nada ceria dan santai seolah ini bukanlah hal besar, padahal hatinya saat ini pasti tengah terkoyak oleh luka yang tak kunjung mereda dan mendapat penawar nya.
"Ibu meninggal bunuh diri. Sepertinya dia tertekan karena keadaan tidak pernah berpihak padanya"
Gadis itu kini duduk di lantai menghadap meja dan Kai yang sejak tadi duduk di sofa bersama keponakannya yang sudah tertidur pulas, cerita masa lalunya yang pahit dia lanjutkan dengan senyum mengembang dan sorot mata yang dalam.
Raine terlahir dari keluarga miskin yang serba kekurangan, kehadirannya sama sekali tidak terduga karena Quinn Fenlon—— yang saat itu dinyatakan sulit hamil justru dinyatakan positif mengandung anak kedua setelah 14 tahun yang lalu berhasil melahirkan Taylor Lister, anak pertamanya.
Kabar bahagia bagi Quinn itu nyatanya dianggap petaka oleh Haven Lister, dia sama sekali tidak merasa senang dengan kabar menggembirakan itu.
Reaksi pertama yang Haven tunjukkan saat tahu Quinn kembali mengandung adalah pergi dari rumah dan pulang sebagai pemabuk, dia berubah menjadi orang yang ringan tangan dan pemarah. Benar-benar tidak seperti Haven yang Quinn kenal—— Haven yang lemah lembut dan penyayang.
Semua cerita itu telah Raine dengar dari semua anggota keluarganya yang juga tidak menyambut kelahirannya, kisah pilu tentang hidupnya yang diceritakan oleh mereka terus terngiang tanpa terkecuali saat dirinya tertidur, Raine kerap dihantui oleh rasa takut juga cemas.
Kai menatap Raine yang sekarang masih duduk di hadapannya, gadis itu masih menampilkan senyumnya padahal cerita perjalanan hidupnya sangat menyedihkan. Wajahnya juga tampak santai seolah yang sedang dia ceritakan itu merupakan salah satu dongeng putri kerajaan, bukan tentang dirinya.
"Aku——"
"Tuan Crawford, apa saya boleh minta bantuan?" Potong Raine.
"Bantuan apa?"
"Bisakah Anda tetap di sini?"
"Ha?"
"Tolong jaga monster kecil itu untuk saya. Saya belum tidur semalaman dan kebetulan kemarin saya mendapat jadwal kerja malam, saya sangat lelah dan butuh istirahat sekarang"
"Ah, baiklah"
"Terima kasih. Jika Anda lapar, ada banyak makanan di kulkas. Jika Anda bosan, ada banyak buku novel di bawah meja televisi. Anda juga bisa menonton film jika mau dan jika——"
"Raine?" Potong nya.
"Ya?"
"Tidurlah yang nyenyak. Aku bisa mengurus diriku sendiri, jadi jangan khawatirkan aku"
"Hm, baiklah. Terima kasih sebelumnya"
Kai memperhatikan punggung Raine yang perlahan menjauh dan akhirnya hilang terhalang oleh pintu kamarnya. Netra nya cukup lama memperhatikan pintu kamar Raine, nada bicaranya yang terdengar gembira itu cukup menyayat hati Kai. Bagaimana bisa dia masih tersenyum menceritakan kisah hidupnya yang memilukan? Bahkan dirinya yang tidak tahu persis kebenaran dari cerita hidupnya itu ingin menangis di pelukan seseorang—— meluapkan semua emosi dan beban yang ada di pundaknya.
"Cantik, kau harus tumbuh menjadi gadis yang baik dan pengertian, ya? Jangan terlalu sering menangis dan merengek, hibur bibi mu jika dia sedang sedih dan merasa kesepian"
Pria itu berceloteh sendiri sambil mengusap lembut kepala bayi tanpa rambut itu, kesan pertama pertemuan mereka sebenarnya tidak meninggalkan kesan istimewa bagi Kai pribadi. Satu-satunya yang membuat Kai terpesona adalah penampilan Raine yang polos bak anak kecil yang belum mengerti banyak hal. Sederhana, polos, tidak neko-neko. Cara bicaranya pun terdengar ramah dan ceria. Raine tidak seperti wanita cantik yang feminim dan terobsesi dengan penampilan, sweater rajut yang polos dipadu celana jeans tampak cocok untuknya seperti yang terakhir kali dia lihat saat mereka bertabrakan di area parkir. Tampak sederhana dan apa adanya.
~*~
"Tolong jaga dia untukku"
Cukup lama dokter bedah itu terpesona oleh kecantikan bayi manis nan menggemaskan ini hingga mampu membuatnya lupa mengenai jadwal operasi hari ini, beruntung teman satu profesinya itu menghubunginya dan memberitahu tugas yang sempat terlupakan itu.
Karena Raine baru tidur sekitar 15 menit dan Kai tidak tega meninggalkan bayi kecil yang dipanggil monster kecil oleh bibinya itu sendirian, maka di sinilah mereka berada sekarang. Si cantik dibawa ke rumah sakit tempat dirinya bekerja, dia meminta seorang perawat untuk menjaganya selama ia melakukan pekerjaannya.
Karena ini hanya operasi kecil, maka waktu yang dibutuhkan pun tidak akan banyak. Dia bertekad untuk melakukan yang terbaik dan secepat mungkin.
"Ah, menggemaskan sekali. Siapa dia?" Sambut seorang perawat.
"Dia anakku" jawabnya spontan.
"Ha? O-oh, siapa namanya?"
"Panggil saja cantik. Aku mohon bantuannya, ya. Aku usahakan tidak akan lama"
"Tenang lah, Dokter Crawford. Anda bisa mempercayakan nya pada saya"
"Aku mengandalkan mu"
Kai mengusap pipinya lembut kemudian mengecup keningnya, tidak terlihat seperti orang asing sama sekali. Kai begitu perhatian dan hangat padanya.
"Jadilah anak baik. Jangan rewel, ya. Aku akan segera kembali"
Kai keluar dari ruang kerjanya usai bersiap, kini hanya tersisa seorang perawat dan bayi perempuan yang menggemaskan di ruang kerjanya.
Si cantik yang diperkirakan berusia 4 bulan itu terus menebar senyum manis dan tawanya yang candu, dia tidak rewel. Orang yang diberi tugas menjaganya malah dibuat gemas dan terus tertawa oleh tingkahnya.
"Berhentilah tertawa sebelum aku melahap mu" canda sang perawat.
Candaan yang disertai mimik wajah yang lucu itu lagi-lagi berhasil membuat si bayi tertawa lepas, bayi itu tidak merengek dan berisik seperti bayi lainnya. Dia tidak merasa takut terhadap orang asing saat orang tuanya tidak berada di sisinya.
Bayi kecil ini secara tidak langsung telah menepati pesan dari Kai. Dia benar-benar menjadi anak baik dan tidak merepotkan orang lain.
Waktu demi waktu yang berlalu pun rasanya begitu menyenangkan. Perawat pria yang diperintahkan oleh Kai itu sama sekali tidak merasa kesulitan mengasuhnya, tatapan polos dan ekspresinya yang menggemaskan berhasil menghipnotis nya.
"Huh, aku jadi ingin segera menikah dan memiliki anak menggemaskan seperti mu"
"HAHAHA..."
Tawanya kembali dibuat pecah memenuhi ruangan, kedua tangannya saling bertemu seraya bertepuk tangan kala melihat wajah nelangsa sang perawat.
"Apa? Kau menertawakan aku, ya?"
Sayangnya, kebersamaan mereka harus terganggu usai seorang wanita datang memasuki ruangan setelah mengetuk pintu beberapa kali tetapi tidak ada jawaban, wanita berambut panjang dengan warna biru gelap itu lekas mendekati si bayi yang sudah merentangkan kedua tangannya seperti meminta digendong.
"Monster kecil, kau membuatku cemas saja" protesnya.
Ya, wanita yang baru saja datang itu adalah Raine Lister. Tadi dia tidak bisa tidur dengan tenang karena teringat pada monster kecilnya, tapi ketika matanya terbuka dan menjelajahi seisi rumah, dua orang yang tadi menguasai ruang tamu itu entah ke mana hilangnya. Suara berisik itu hilang digantikan oleh kesunyian.
"Kai!"
Pandangan dua orang dewasa yang ada di ruangan itu tertuju pada sumber suara yang berasal dari ambang pintu, seorang pemuda yang mungkin usianya tidak berbeda jauh dengan Raine sedang berdiri di sana sambil memegangi gagang pintu.
"Easton, di mana Kai?"
"Dokter Crawford sedang melakukan operasi"
Netra Ryder kemudian tertuju pada Raine yang tadi hendak menggendong keponakannya, tapi urung. Dia ragu untuk menggendong nya, jika dia salah melakukannya itu mungkin bisa menyakiti si bayi.
Tatapan nya yang tajam bak pisau belati itu berhasil membuat Raine gemetar, dia merasa terintimidasi dengan sikap Ryder.
"Siapa kau? Kenapa kau bisa ada di sini?"
Lidah Raine rasanya tiba-tiba kelu, dia juga tidak tahu harus jawab apa. Pemuda di depannya terus berjalan, memangkas jarak yang ada—— memaksa Raine yang gugup spontan mundur hingga tidak bisa pergi ke mana pun lagi karena dibelakangnya hanya ada dinding kokoh berwarna putih.
"Hm?" Ryder masih menagih jawaban dari Raine.
"Aku... aku... Tu-tuan Crawford, aku mencari Tuan Crawford karena dia membawa monster kecilku" jawab Raine tergagap-gagap.
"Bodoh, apa yang baru saja kau katakan, Raine?" Dalam hati dia merutuki dirinya sendiri.
"Monster kecil?"
Pemuda itu mundur, dia menatap bayi kecil yang sejak tadi duduk di pangkuan perawat bernama Easton. Dia membeku cukup lama kala menatap monster kecil yang langsung melemparkan senyum manisnya begitu pandangan mereka bertemu, tampaknya bukan hanya Easton dan Kai saja, tapi Ryder juga mungkin akan segera menjadi korban si cantik yang berikutnya.
"Siapa dia?" Tanya Ryder.
"Raine?" Panggil Kai dengan napas terengah-engah.
Ruangan kerja yang biasanya sepi dan hanya diisi oleh Kai atau Ryder yang sesekali datang mampir ke rumah sakit sekarang tampak penuh dan ramai.
Kai mengambil alih si bayi, dia menggendong kemudian mencium pipi kanan dan kirinya.
"Maaf sudah membuatmu khawatir. Aku hanya ingin kau tidur tanpa gangguan jadi aku membawanya kemari"
"I-iya, saya hanya khawatir dia akan merepotkan Anda"
Wajah Raine berkeringat deras, suaranya lebih kecil dari biasanya dan senyumnya juga tidak terlihat ceria seperti tadi.
"Kau baik-baik saja?"
"Sa-saya belum sarapan" jawabnya pelan. Dan sebenarnya bukan hanya karena sepenuhnya lapar dia berkeringat, tapi juga karena tatapan Ryder yang menusuk.
"Sarapan? Ini bahkan sudah hampir waktunya makan siang. Bagaimana bisa kau melupakan waktu makan?"
Menyaksikan interaksi Kai dan Raine membuat Ryder termenung, siapa wanita ini? Kenapa mereka tampak dekat? Sepanjang dirinya mengenal Kai, Ryder belum pernah melihat Kai begitu perhatian terhadap seseorang bahkan suaranya terdengar lembut dan merdu.
"Kai, siapa dia?"
"Namanya Raine Lister"
"Bukan itu——"
"Aku akan pergi makan siang bersamanya, apa kau ikut Ryder?" Potong Kai.
"Kai!" Jerit Ryder kesal.
"Dia belum makan dari pagi, Ryder. Kau ingin ikut makan siang bersama kami atau tidak?" Tanyanya mengabaikan kekesalan Ryder.
"Tuan Crawford, saya baik-baik saja. Jika ada urusan mendesak, pergilah!" Timpal Raine.
Netra nya kemudian beralih pada si bayi, dia sangat baik dan ceria sejak tadi. Dia juga tidak rewel saat para orang dewasa tengah berbicara di hadapannya, tangannya yang mungil terus menggenggam jari telunjuk Kai yang ramping. Sesekali dia memasukkannya ke dalam mulut, menggigit nya dengan gusi-gusi nya yang masih empuk hingga rasa geli bisa Kai rasakan.
"Bagaimana, Ryder?" Tanya Kai sekali lagi.
"Aku tidak bisa pergi bersama kalian, ada sesuatu yang harus aku selesaikan" jawabnya pelan.
"Baiklah, kalau begitu kami pergi dulu"
"Tapi, Kai dia—— siapa?" Ucapnya dengan nada yang perlahan menghilang.
Rasa penasaran Ryder sayangnya tidak bisa terjawab karena Kai dengan cepat membawa Raine dan keponakannya keluar dari rumah sakit.
"Kau tahu dia siapa?" Tanya Ryder pada Easton yang hanya dijawab oleh gelengan kepala.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!