Salju yang turun diantara perayaan natal dan tahun baru memiliki cerita tersendiri bagi setiap oranga, tanpa kecuali Chanyeong Kim yang duduk diantara pepohonan tanpa daun ditengah salju yang mencair.
Taman galeri Cheonsang yang sangat indah bahkan ketika bunga snowdrop mulai tumbuh kuncup diantara salju yang menutupi jalan, sinar matahari yang hangat ditambah cuaca dingin waktu yang pas baginya untuk kembali masuk ke galeri.
"Ah, dingin sekali."
Chan menghentikan langkahnya, menghadap ke lukisan akrilik yang berada di depan pintu masuk aula galeri, bunga snowdrop yang terpantul oleh cahaya matahari.
"Aku melihat bunga snowdrop dari balik jeruji jendela ku, aku melukisnya. Siapa tahu kau suka dan memaafkan ku."
Chan menatap sedih dengan tanda tangan si pelukis yang tertera di samping lukisan, noname. Sebab itu, ia hanya bisa melakukannya demi galeri dan grup yang di asuhnya sekarang.
Ia memasukan tangannya guna meraih ponsel yang bergetar dengan keras, satu panggilan dari kepala sipir penjara pusat Seoul.
"Aku segera ke sana."
Chan melihat sosok didepannya dengan pipi yang mencekung, garis hitam di bawah matanya dan kelopak mata yang sayu. Lengan kiri dan kanan yang perban serta baju tahanan yang terciprat darahnya sendiri.
"Kau menjengukku?"
"Kali ini dengan pensil?" tanyanya sembari bersandar pada tembok ruang kesehatan.
Ia mengangguk.
Chan menghampirinya kemudian menepuk pundaknya. "teman, kau tidak boleh mati dengan mudah, bertahanlah dengan penderitaan dan rasa bersalahmu," bisiknya.
Erangan dan teriakan tiba-tiba membuat beberapa sipir masuk dan menahan kedua tangan orang tersebut sambil memasang borgol pada kakinya, teriakannya semakin menjadi begitu Chan keluar dari sana.
Ini novel ke tigaku di sini, huhhuhu ... Aku jarang on disini. Semoga aku lebih sering update dan tolong dukung novelku.
Musim dingin di negri ginseng mulai terasa, itu terlihat dari mereka yang mulai memakai pakaian yang lebih tebal dan hangat, syal warna-warni dan jaket hangat, tapi yang mencolok di sini adalah saat musim dingin para wanita tetap memakai rok pendek diatas lutut. Itu fashionble untuk sebagian wanita.
Salju belum turun, walau penyiar berita cuaca mengatakan akan turun hari ini, nyatanya belum turun juga, ia menggedikan bahu, mengeratkan coat coklat yang di kenakannya, wajahnya memerah karena musim dingin mencapai puncaknya.
Bukan tanpa alasan ia keluar rumah saat dingin seperti ini, karena ini hari spesial setiap tahunnya. Menunggu salju pertama turun bersama kekasihnya, Chan mengulum senyum, calon istri nantinya, batinnya.
Rambut hitam, coat coklat, celana gombrong, tas ransel, siapa sangka kalau yang berdiri di sana adalah desainer perhiasan terkenal, Chan Kim dari CK jewelry.
Ia berdiri di sebrang trotoar membiarkan lampu bergantian dan orang lalu lalang dengan berpegangan tangan itu membuatnya tersenyum dari balik syal yang menutupi sebagian wajahnya.
pemandangan yang luar biasa, batinnya.
"Wah," Ia melihat salju mulai turun di hadapannya. ia mengeluarkan tangannya dari saku coat dan membiarkan salju berjatuhan di telapak tangannya.
"Chan!" teriak seseorang di sebrang trotoar dan melambaikan tangan kearahnya. "Tunggu di sana," teriaknya lagi.
Chan mengangguk.
Wanita dengan coat berwarna brown sugar, rambut yang selalu tergerai, tubuh semampainya berlari mendekati Chan, sepatu flat hitam yang dikenakannya menarik perhatian Chan.
"Ugh, dingin," keluhnya begitu sampai di sebrang.
"Wajar, salju turun."
"Aku tidak suka salju," acuhnya berjalan lebih dulu.
Chan menyelaraskan langkahnya, "why?"
"So cool."
"And you, Winter."
Ia menghentikan langkahnya, mengernyit menatap Chan.
"Winter choi," ledeknya.
Ia menghela napas, "ya karena namaku adalah musim dingin, jadi aku merindukan musim panas dengan segelas smotie semangka, indahkan?"
"Okey," jawabnya seraya berjalan mundur, "setiap musim salju turun, kau selalu memakai sepatu itu."
Winter melihat sepatu flatnya, ia mengangguk, " ini mengingatkan ku, kalau kau satu-satunya keluarga ku dan menungguku di rumah," jelasnya, lalu mengulurkan tangan. "dingin," ucapnya sembari memberi isyarat agar mereka berjalan bergandengan.
Jelas, Chan menyambutnya dengan senang. Ia mengenggam tangan Winter dengan erat dan memasukan ke saku coatnya.
Tangan Winter menyentuh benda logam dan dingin, ia mencoba menarik benda tersebut tetapi, Chan menahannya.
"Apa ini?" tanyanya heran dengan melihat wajah Chan yang hanya tersenyum.
"Secret," jawabnya.
"Aish," Winter kesal.
"Haruskah kita minum yang hangat?" tanya Chan menunjuk cafe yang hampir penuh.
"Yap, ku rasa ide bagus. ruang kerja ku terlalu dingin akhir-akhir ini."
"Benarkah, mau ku buatkan pabrik tembikar sendiri?" tawar Chan.
"Ssst."
"Aku bisa membuatnya, aku, Kim Chanyeong, desainer serta pemilik lebel perhiasan CK serta kekasihmu."
"Ya, aku tahu, sajang-nim, aigo, aigo, sombongnya."
Chan merangkul Winter dan keduanya masuk bersamaan.
"Duduklah, aku akan mengantre," Chan menarik bangku untuk Winter.
Winter meletakan tas ranselnya lalu membuka sedikit syalnya, mengecek ponsel dan ada satu pesan serta 3 panggilan yang tidak terjawab.
Tuan Lee, batinnya.
Ponselnya bergetar. Chan yang mengantre mengiriminya pesan, hanya emoticon senyum, tetapi membuatnya sangat di perhatikan. Winter melihat dengan tersenyum kearah Chan yang hampir menyelesaikan antreannya.
Beberapa menit, Chan datang dengan timer untuk pesanan kopinya. Ia meletakannya di meja dan meraih tangan Winter.
"Berapa lama kita tidak bertemu ?" tanyanya dengan senyum terus bersinar di wajah.
Winter memutar bola matanya, "4 jam 12 menit ?"
"Ah," Chan tersenyum malu.
"Berapa lama kita sudah bersama ?" kali ini Winter melontarkan pertanyaan yang membuat Chan memutar bola matanya.
Winter tertawa.
"Why?"
Ia menggeleng.
"Ah, aku membuat sesuatu untuk mu," ia mengeluarkan sesuatu dari saku coatnya, lalu memakaikan di pergelangan tangan Winter, "selamat untuk pameran mu."
"Wah," Winter mengangkat tangannya, ia memamerkannya dan bertanya kepada pelanggan cafe yang duduk di belakangnya. "bagaimana menurut kalian?"
"Gelang yang cantik," jawab mereka.
" Cantik kan? Kekasih ku yang membuatnya," pamernya dengan bangga sembari melirik Chan.
"Waah, so sweet."
"Dia desainer perhiasan CK dan pemiliknya, datanglah ... ke tokonya."
"Winter, sudahlah," pinta Chan sembari menarik lengan Winter, wajahnya memerah.
"Wajah mu merah, apa kau malu? Apakah malam ini aku harus menginap di rumah mu?"
"Menginap?" tanyanya heran, "bukankah rumah ku adalah rumah mu dan rumah mu adalah rumah ku?"
"Ku pikir, kau akan bosan dan pergi ke rumah yang lain, kau miliader sekarang."
"Winter-shi, dengar ya ... kau itu tempat aku pulang, percayalah, kemanapun aku pergi akan selalu kembali padamu."
Winter tertawa.
"Ah, kau menggoda ku," Chan mengedipkan sebelah matanya.
"Dua coklat hangat, siap!" teriak waiters di kasir.
"Ya," Winter berlari menerima pesanan.
Chan menoleh kearah jendela, salju turun dengan lebat.
"Apa salju semanis ini?" gumamnya.
Winter meletakan secangkir coklat hangat di depan Chan.
"Thank you," ucapnya.
"Chan, 15 hari kedepan sepertinya kita akan sulit bertemu."
Chan mengangguk, "kau sibuk dengan pameran keramik dan tembikar mu, aku sibuk dengan pameran perhiasan toko ku."
"Yah, semua ini demi."
"Haruskah aku batalkan pameran ku?" Chan menyela perkataan Winter.
"Uang!" lanjutnya dengan menggesekan kedua telapak tangannya seakan mengeluarkan uang, wajahnya berubah serius.
"Aku tersadar satu hal."
"Apa?"
"Kekasih ku sangat, sangat matrealistis."
Winter menjentikan jarinya, "itu aku, bukan?"
Chan tersenyum geli.
"Wah, salju benar-benar turun," gumam Winter.
Chan ikut melihat keluar jendela cafe, salju turun dengan lebat seperti sebelumnya. Ini bukan pertama kalinya mereka menyaksikan salju pertama bersama, mereka telah melakukan hal ini selama 5 tahun dan tidak ada yang berubah, tetap hangat dan mendebarkan acap kali mata mereka melihat salju pertama turun.
"Apa musim dingin yang akan datang, aku bisa melihat salju juga?" ujar Winter.
"Apa yang kau katakan, kita pasti bisa menikmati salju dengan secangkir coklat hangat. Seperti sekarang."
Winter tersenyum.
Chan mengenggam tangan Winter dan memainkan gelang yang melingkar di pergelangannya. Gelang dengan bentuk patrikal es yang di susun dengan hati-hati dan satu kuncup bunga snowdrop, Chan ingin tetap melihat Winter di depan matanya.
"Chagiya, kau tahu arti bunga snowdrop dan musim dingin?"
"Tidak."
"Aku membuat ini karena ingin mengingatmu sebagai musim dingin, seperti namamu dan kau seperti bunga snowdrop bagiku."
"Kenapa?"
"Kau memberi harapan baru seperti bunga snowdrop yang tumbuh setelah salju mencair begitu musim semi tiba. Winter, mau hidup bersamaku?"
Winter tersenyum kecil, "itu yang kau katakan setiap tahun dan setiap salju pertama turun di musim dingin."
Chan menunduk.
"Chan, selepas pameran kita selesai mari kita menikah," Winter menepuk punggung tangan Chan lembut.
"Oke, mari kita selesaikan pameran tahun ini dengan baik dan dapatkan uang," Chan tiba-tiba bersemangat, atmosfer kembali berubah begitu Chan tertawa menyipitkan mata.
Winter tersenyum, apa aku bisa menjadi bunga snowdorp seperti yang kau maksud, Chan? Sesak rasanya kau begini, batin Winter.
Salju masih turun dengan lebat, natal yang sebentar lagi tiba, banyak toko dengan ornamen berwarna merah hijau dan lampu-lampu kelap kelip yang indah mulai menyala, bersinar gemerlap diantara riuhnya orang-orang yang menikmati musim dingin.
...****...
Seorang laki-laki dengan setelan jas berwarna donker mengeluarkan bebeapa gundi dari tungku pembakar tepat di depan studio minimalis dengan pohon pinus yang hampir tertutup salju.
Tangan yang memakai sarung tangan terus mengenggam gundi panas, membiarkan beberapa dari mereka tergeletak di tanah, Ia menunduk menenggelamkan wajahnya diantar kedua dengkulnya dan melempar gundi tersebut hingga pecah berserakan.
Hangat perapian dari tungku, matanya yang basah membuat wajah putihnya memerah.
Namun, tangisnya mengisi kesepian sore itu, sekali lagi ia memecahkan gundi-gundi tersebut dengan martil di tangannya.
*********
Ia meletakan satu kotak kalung dengan liontin bintang di depan wanita yang berusaha mengeluarkan tembikar dari dalam tungku.
Wanita itu melirik dan tersenyum paksa.
"Apa ini?"
"Hadiah."
"Aku tidak berulang tahun," ia kembali menarik ke perapian.
"Tetaplah bersama ku."
"..."
"Menikahlah dengan ku."
"..."
"Aku melamar mu."
Ia berdiri, "maaf, presdir."
Ia tersenyum sedih.
"Bisakah kita hentikan ini? Aku ingin merubah kecanggungan selama ini. Kau juga sahabat ku, kita sahabat tapi, haruskah berakhir saling membenci?"
"..., kenapa harus dia?"
"Apa?"
"Antara aku dan dia, kenapa harus dia?" tanyanya menatap wanita di depannya dengan dalam.
"Minhoo!" bentaknya.
Ia melempar kotak berisi cincin tersebut ke dalam tungku api.
Wanita itu menutup mulutnya shock. ia segera membuka sarung tangan serta apron lalu meraih mantol, tas dan syalnya, ia meninggalkan Minho yang terpaku sendiri di depan tungku api.
*****
Tolong dukungannya ><.
2007.
Rumah dengan pagar berwarna hitam bermotif kuda emas menjulang tinggi di depan seorang anak perempuan dengan sweter dan syal warna peach senada dengan jepit rambut yang menghiasi sisi kanan rambutnya. Ya, Winter menatap takjub rumah bak kastil di cerita dongeng yang sering ia baca dan hayalkan sebelum tidur.
"Woah, apa seorang pangeran juga tinggal di dalam sana?" gumamnya sembari menyungingkan senyum takjub.
Setelah hari itu, Winter lebih sering berdiri di sana sekedar memainkan kelopak bunga plum yang gugur di depan gerbang di saat musim semi dan memainkan salju di saat musim dingin.
Namun, ia belum juga melihat pangeran keluar dari sana.
Hari ini saat ia memainkan salju suara derit gerbang membuatnya berdiri, sebuah mobil mewah dengan hiasan kuda di knap depan, membuatnya semakin takjub.
Dari jendela mobil ia melihat seorang anak laki-laki yang duduk di kursi penumpang dengan tatapan tajam ke depan.
"Apa itu pangerannya? Yah, tidak buruk," ia kembali bermain salju dan membuat bulatan besar yang di susun menjadi bagian tubuh boneka salju kecil, "yeah, olf."
"Nak."
Ia menoleh.
"Apa tidak dingin?" tanya laki-laki dengan setelan hitam putih dan dasi kupu-kupu.
"Tidak."
"Dimana rumah mu?"
Winter menunjuk rumah flat minimalis di dekat pohon akasia yang tidak berdaun lagi.
"Ah, kau anak dari sutradara Choi?"
"Ya,na ... Choi winterimida," ia memerkenalkan diri dengan membungkuk.
"Aigo, hippone. Winter-a, besok mau main ke rumah paman?"
"Eum, any, Ahjussi. Ibu bilang jangan main ke rumah orang asing," jelasnya dengan gaya orang dewasa.
Hal tersebut justru mengundang tawa bagi laki-laki tersebut.
"Wae?"
"Katakan kepada sutradara Choi, keluarga Lee dari galeri cheonsang, mengundang untuk makan malam," katanya sembari mengelus kepala Winter.
"Geureh, arasho, Ahjussi," Winter berbalik dan berjalan pelan menendangi salju, tetapi ia kembali menoleh, "Ahjussi, apa pangeran yang tinggal di sana baik hati?"
Laki-laki tersebut tersenyum dan menganguk.
"Lalu, siapa nama, Ahjussi?"
"Panggil saja, Yul samchon."
Winter mengangguk.
...****************...
keluarga Choi yang memenuhi panggilan undangan keluarga Winter berdiri di tengah megahnya mansion milik keluarga Lee, lukisan besar yang terpampang di dinding membuat Winter terkagum, bagaimana tidak, lukisan tersebut adalah karya kedua orang tuanya.
Ayahnya memegang tangan Winter dengan erat agar putrinya tidak berlarian kemanapun, Winter yang hanya menggoyangkan tangan ibunya terheran melihat wajah tegang dari kedua orang tuanya.
"Omma, apa kita pulang saja?"
Ibunya hanya meletakan jari telunjuknya di jari dan memintanya untuk diam.
"Itu, Paman Yul," teriak Winter sembari melepaskan genggaman kedua orang tuanya.
"Winter, oh ... Pelukis Choi, selamat datang, mari duduk," ia mempersilahkan mereka untuk duduk.
"Maaf, Pak Yul. ada apa Tuan Lee, mengundang kami?" tanya Choi Min hyuk, Ayah Winter dengan panik.
"Bukan, Tuan Lee, tapi Tuan Muda Lee Minho, sebentar lagi dia akan turun setelah pembelajaran bisnisnya selesai."
Kedua orang tua Winter mengangguk.
"Samchon, apa makan malam sudah siap? Aku tidak ingin makanan yang berminyak."
Suara yang terdengar seperti anak berusia sepuluh tahun, tetapi terdengan bijak dan cukup dingin, terlebih ia berjalan dengan bahu tegap lurus meskipun menuruni tangga, rambut yang sangat tertara rapi sesuai dengan kemeja cream yang dikenakannya.
Winter menatapnya setalah memberi hormat kepadanya, mata keduanya bertemu seakan Winter dapat menembus manik coklat yang terlihat kesepian, tidak ada senyuman bahkan sangat menderita.
Winter mendekatinya, "halo, Aku Choi Winter, apa kita seumuran?"
"tidak."
Winter yang merasa diabaikan memegang tangan Minho sambil menjabatnya. "mulai sekarang aku adalah teman mu," ucapnya dengan tersenyum.
Minho berdecih melepaskan jabatan tangan Winter.
Kedua orang tua Winter membungkuk, "maaf, Tuan Lee. Anak kami."
"tidak apa-apa, lagi pula dia hanya mengasihani diriku yang terkurung di rumah terkutuk ini."
"Em?" Winter menatap Minho dengan heran.
Minho segera meninggalkan mereka menuju ruang makan, diikuti oleh Paman Yul yang mengajak keluarga Choi untuk makan malam bersama.
Winter yang betul-betul menikmati makanan yang terhidang membuat Minho lupa kalau sudah waktunya ia kembali ke ruang belajarnya, hingga guru privat bisnisnya menghampiri mereka yang sedang bercengkrama.
"Tuan Lee, mari selesaikan pembelajaran malam ini."
Minho menghela napas sambil meletakan garpu dan pisaunya hingga berdenting. "kalau aku melawanmu, kau pasti akan mengadu ke monster itu, bukan?"
"Maaf, Tuan Lee," ucap guru privatnya.
"Minho, kau belajar di jam delapan malam?" tanya Winter terheran.
Minho tidak menjawab, ia hanya me-lap mulut dan tangannya lalu bangkit dari duduknya.
"Minho-a, lain kali ayo bermain, di rumah ku."
Minho tersenyum, "baiklah."
"Bermain di taman."
Minho mengangguk, "siapa namamu?"
"Winter Choi."
"Baiklah, Winter. Hari itu aku yang akan mentraktir mu."
Minho berjalan cepat menuju ruang belajarnya, Winter menghela napas panjang, "menyusahkan menjadi Chaebol."
...****************...
2009
Winter mengencangkan jaketnya dengan erat, sesekali meniup tangannya agar hangat. Musim dingin tahun ini berada di suhu 3 derajat celcius, salju yang turun juga agak lebat. Ia menunggu Minho di gerbang mansionnya, sebab malam ini ia akan bermain di rumah Winter.
Winter mengeluarkan ponselnya dan menelpon Minho.
"Minho-ya, kau dimana?"
"Pulanglah, aku terjebak di ruanganku."
"kau belajar? "
"Ya, aku harus mempelajari ini, sebab perusahaan LH akan mengakuisisi perusahaan Alangga."
"Ah, masa bodoh. Minho-ya, kau tahu dongeng Rapunzel yang disekap oleh penyihir?"
"Ish, lalu?"
"Aku akan menjadi Flynn Rider. Jadi, Rapunzel, kau tunggu aba-aba ku."
Winter mematikan telponnya, setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku, ia berbalik arah kembali ke rumahnya.
Minhyuk yang sedang duduk menghadap jendela segera menyusul anaknya yang berlari kearah gudang rumah.
"Appa, apa kita punya tali panjang?"
"Untuk apa?"
"yap, ketemu," Winter mengangkat gulungan tali, ia segera mengalungkannya dipundak dan hampir menutupi separuh tubuhnya.
"Kau mau kemana, apa yang akan kau lakukan?" teriak Ayahnya sambil tergesa mengejarnya.
"Menculik Rapunzel."
"Apa-apaan dia?" heran Ayahnya.
"Yeobo, ada apa?"
"Ah, tidak. Dia ingin menculik, Rapunzel."
"Apa, Ra-punzel?"
Choi Minhyuk mengankat bahu.
winter mulai memperkirakan ketinggian gerbang mansion Lee Minho kemudian berputar ke belakang mansion. Ya, tembok tinggi yang menutupi mansion, tetapi ada pohon ekaliptus yang sangat rindang tepat menghadap kamar Minho.
"sepertinya, dahan ekaliptus bisa menopang tubuh ku," gumamnya sembari naik perlahan ke pohon ekaliptus, begitu sampai di dahan yang tinggi, Winter segera menelpon Minho.
"Ya, kau sudah menyipkan seprai, selimut, apapun yang bisa di pakai untuk turun dari jendela?"
"Iya, aku sudah mengikat ujungnya di kaki ranjang."
"Cepat turun, kau melihat ku di pohon ekaliptus?"
"Apa?"
"Cepatlah!"
"Oke."
Winter melihat Minho yang melempar seprai yang telah di disambung dengan kain separai lainya lewat jendela, Minho mulai turun perlahan. Winter sendiri mengikat tali yang dibawanya dengan kencang dan melempar kedalam pagar tembok mansion Minho.
Dari atas pohon, Winter melihat Minho lari secepat mungkin, "Minho, naik ke tembok dengan tali itu, oke?"
Minho mengangguk lalu meraih tali tersebut dan berhasil melompati pagar tembok rumahnya.
Winter yang sudah turun dari pohon segera menarik tangan Minho, "kita tidak jadi main di rumah ku."
"Em, kita mau kemana?"
Winter hanya tersenyum kearah Minho dan menarik tangannya kedalam genggamannya, "Minho-a, jangan lepas tangan, Noona, oke."
"Ya, Noona."
Winter segera berlari bersama menuju halte bis, ia melihat rute ke tujuannya dengan seksama di papan pengumuman halte bus.
"Winter-a, apa kita tidak akan kesasar?"
"Hem, tidak. kau percaya padaku?"
"Tidak."
"Wae?" Winter mulai kesal.
"Mana mungkin aku percaya dengan orang yang menculikku, ish."
"Aish," Winter memukul bahu Minho keras, "ayo, naik. Mulai sekarang kau harus menuruti perkataan, kakak perempuan mu ini, Arasho?"
"Nee, Noonim," ucap Minho sembari membungkuk.
...****************...
Minho menatap rumah tradisional dengan segala ornamen kuno, keasriannya masih sangat terjaga terlebih ia melihat jajaran tembikar dari ukuran kecil hingga besar di sudut halaman rumah tersebut. Ada kolam bunga teratai yang membeku hanya terlihat salju diatasnya, jalan bebatuan yang berselimut salju membuat Minho terpeleset.
"Omo," Winter menutup mulut begitu Minho meringis sembari memegangi bokongnya, "apa sakit?"
Minho menggeleng.
"Bagus, Minho, kau keren," Winter mengacungkan jari jempolnya.
"Ish, kau pikir aku anak SD, kita sudah 14 tahun."
Winter terkikik.
Pintu di hadapan mereka berderit pelan, seorang wanita dengan syal yang menggelantung, rambut yang sudah putih, mendekati Winter dan memeluknya.
"Kau berhasil menculik, Rapunzel?"
"Ya, Nek," Winter menunjuk Minho yang berdiri tidak jauh dari mereka.
"Omo, Rapunzel yang sangat tampan. Rapunzel, kemarilah."
Minho membungkuk sambil melirik Winter yang terkikik.
"Rapunzel, ayo, hangatkan tubuhmu."
"Ya, Haelmoni."
Minho mengikuti Nenek Winter yang berjalan menuju ruang makan, sementara Winter sibuk melihat ponselnya dengan gelisah membaca setiap pesannya.
"Winter-a, ada apa?" tanya Minho yang melihat perubahan pada wajah Winter.
"Ah, tidak ada. Bagaimana pelariannya?"
"Sangat seru, aku juga jadi merasakan memiliki Nenek."
"Minho-a, kau bisa kabur kemari kapanpun itu, baik bersamaku atau tidak, rumah Nenek tetap akan menerima kehadiranmu."
Minho hanya mengangguk, lalu melihat salju yang turun dengan lebat. Ia mengunyah biskuit dengan sangat lembut , entah perasaan sedih mulai membuat dada dan matanya panas. Ia mulai menangis.
"Minho-a, kau menangis?"
"Tidak," elaknya dengan menghapus air matanya cepat.
Winter segera memeluk Minho dan menepuk punggungnya lembut, "tidak apa-apa, kau punya aku yang akan mendukungmu."
...****************...
->Noona: kakak perempuan (sebutan untuk perempuan yang lebih tua dari laki-laki)
Terimakasih dukungannya, Aku harap novel ini terus dibaca oleh pembaca, terimakasih ;)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!