Sial. Inilah satu kata yang bisa menggambarkan nasibnya saat ini. Seorang gadis pekerja keras yang hampir jarang sekali mengeluh, kini mesti dihadapkan pada ketidaksenangan yang terjadi secara beruntun.
Malam ini, gadis cantik nan ceria yang sering disapa dengan nama depannya, Ashila, harus lembur di tempatnya bekerja. Sudah hampir sejak satu setengah tahun belakangan gadis berusia 23 tahun itu bekerja sebagai pengantar barang alias kurir di bawah salah satu perusahaan jasa antar. Sehari-hari, kardus-kardus paket yang hendak diantar ke alamat tujuan orang-orang menjadi kawannya. Dan, kali ini, ia mesti lebih lama menatap paket-paket itu karena jam lemburnya, mengecek tiap alamat, memastikan semua paket terkemas dengan rapi, sampai menyimpannya dengan hati-hati ke setiap rak di tempat penyimpanan sebelum semua itu diantar lagi mulai esok hari.
Bila hanya disuruh lembur, rasanya terlalu berlebihan kalau dibilang sial. Tentu, tak hanya itu alasannya. Begitu lewat tengah malam gadis itu bisa kembali ke rumah, di perjalanan pulang, ia justru harus menghadapi hujan lebat. Ashila tetap melaju dengan motor kesayangannya yang biasa ia pakai untuk mengantar paket-paket juga. Tak lupa tetap mengenakan helm juga mantel agar ia tak terlalu basah kuyup. Meski begitu, tentu saja ia masih cukup kesulitan menerobos hujan selebat ini dengan motornya.
Tak terduga, musibah harus terjadi. Inilah sejatinya yang lebih cocok dikata menjurus pada kesialan. Sebuah kecelakaan terjadi. Ashila tak lagi bisa menghindar begitu seorang pria muda yang mungkin hanya dua atau tiga tahun lebih tua darinya tiba-tiba berjalan gontai dan muncul tepat di hadapannya. Brukk... sontak pria itu bertubruk dengan motor yang dikendarai Ashila hingga terlempar agak jauh lantas tergeletak di jalan.
“Aaaa...” teriak Ashila yang terkejut karena kejadian barusan.
Ini benar-benar merepotkan. Hujan juga belum kunjung berhenti. Tentu saja, gadis muda itu kini hanya dilanda panik.
“Aduh, gimana ini? Apa dia masih hidup? Kalo dia kenapa-napa, gimana nasib aku nanti?” monolog Ashila sendiri.
Gadis itu bisa saja memilih langsung pergi dari sana meninggalkan sang pria yang terkapar agar tak perlu bertanggung jawab dan disalahkan atas kecelakaan ini. Toh, keadaan jalanan sekarang benar-benar sepi. Tak ada siapa pun atau kendaraan lain yang lewat, itu berarti tak ada satu pun saksi mata yang melihat insiden mereka. Namun, hati kecilnya yang begitu murni tak membiarkannya bertindak seburuk itu. Ashila bergegas turun dari motornya. Ia menghampiri korban yang terkapar tadi, mengecek keadaannya, berusaha membangunkannya.
“Hei, apa kamu bisa denger aku? Bangunlah! Aku mohon,” ujar Ashila sembari masih menggoyang-goyangkan tubuh sang pria.
Belum ada reaksi. Namun, Ashila masih punya harapan untuk tidak dicap sebagai pembunuh karena ia masih bisa merasakan detak jantung dan denyut nadi pemuda tersebut.
Sebisa mungkin Ashila berusaha memberikan pertolongan segera. Dengan cara bagaimanapun ia bertekad mesti membawa pemuda tadi ke rumah sakit atau klinik terdekat.
***
Akhirnya, Ashila sampai di sebuah rumah sakit yang tak jauh dari sana. Untunglah, setelah mencari-cari tadi, gadis itu bisa menemukan satu taksi yang bisa membantunya membawa korban ke rumah sakit. Ya, walau begitu, ia juga mesti rela kehilangan uang untuk biaya taksi. Pikirnya, tak apalah, daripada ia kesusahan sendiri membawa pria yang masih tak sadarkan diri dengan motor sendiri.
Pemuda tadi sudah dibaringkan di atas ranjang dorong. Mereka masih berada di koridor untuk menunggu giliran, sekaligus menunggu dokter beserta ruang penanganan siap untuk pasien. Ashila masih harap-harap cemas. Semoga saja usahanya membawa sang pria ke rumah sakit kali ini tidak terlambat. Pria itu harus masih bisa tertolong.
Tak berapa lama kemudian, pria tersebut membuka matanya. Tanpa berkata apa pun ia menatap sekelilingnya. Sepertinya ia tampak bingung. Sementara Ashila yang melihat pria itu siuman tentunya bersyukur dan merasa sedikit lega.
“Kamu bangun. Syukurlah. Tenanglah, semua akan baik-baik aja. Sebentar lagi dokter akan obatin kamu. Apa rasanya sangat sakit?”
Pria itu tak menjawab. Entah mengapa ia justru seperti berusaha menyembunyikan dirinya dari seseorang, seolah meminta Ashila menutupi keberadaannya sekarang agar tak terlihat oleh orang yang entah siapa. Apa memang ada orang yang tengah mencari-cari pria itu? Bahkan, mengikuti sampai ke rumah sakit? Memang apa motif orang-orang tersebut? Apa memang ada yang sengaja ingin mencelakai sang pria atau ada tujuan lainnya? Begitu banyak pertanyaan, bukan? Ya, sebab semua ini masih terasa begitu awal. Lambat laun, tentu segalanya akan terjawab.
Ashila bahkan tak menyadari maksud pria tersebut. Gadis itu sempat menoleh ke kanan-kiri dan ke belakang, tetapi sepertinya memang tidak ada hal yang mencurigakan. Tiba-tiba, perawat yang tengah lewat koridor tak sengaja menyenggol Ashila, hingga gadis itu terdorong ke depan. Parahnya, tepat ketika ia terdorong, seketika itu pula bibirnya tepat menyatu dengan bibir sang pemuda di ranjang tadi. Inilah yang dinamakan ciuman bibir tanpa sengaja.
Tentu saja, hal itu membuat Ashila salah tingkah. Ini kali pertama bibirnya menyentuh bibir seorang pria. Seperti telah ada yang merenggut ciuman pertamanya meski jelas ini keadaan tak disengaja. Padahal, Ashila sendiri yang terdorong tadi dan berujung menubruk sang pria, tetapi gadis itu malah refleks memukul wajah sang pria korban tadi dengan cukup keras karena merasa tak terima. Pria yang semula sudah mendapat kesadarannya kini harus kembali pingsan karena pukulan Ashila. Kemudian, Ashila justru kembali merasa bersalah.
“Eh, aduh maaf, aku gak bermaksud begitu, aku ....” Ashila menyesali tindakan refleksnya.
Untunglah, sesaat kemudian tiba giliran pria itu untuk mendapat penanganan dokter.
***
Setelah diperiksa dan diobati luka di kakinya oleh sang dokter, pria itu pun kembali siuman. Ashila langsung menghampiri pria itu. Tentu saja ingin menanyakan bagaimana kondisinya sekaligus minta maaf.
“Em, hai, gimana keadaan kamu sekarang? Apa kaki kamu masih terasa sakit?”
“....”
“Ah, aku bener-bener minta maaf. Aku gak sengaja nabrak kamu tadi. Kamu tau kan, hujannya begitu lebat, pandangan aku ke depan jadi gak begitu jelas. Lagian, kamu juga muncul tiba-tiba di depan motor aku. Em, tolong jangan diperpanjang, ya. Aku dah mau tanggung jawab, kan. Nanti, aku juga yang akan bayar biaya rumah sakitnya,” mohon Ashila.
“Kasus kecelakaan begini, harusnya dibawa ke pihak berwajib, kan? Kaki aku terluka, mungkin aku gak akan bisa jalan normal untuk beberapa waktu.” Akhirnya Ashila bisa mendengar suara pria itu.
“Hei, kita bisa bicarain baik-baik, kan. Aku mohon. Aku akan coba tetep tanggung jawab sampe kaki kamu sembuh. Aku janji. Tapi, plis, jangan lapor polisi.”
“Hm, lalu aku ini siapa?”
“Ha? Apa? Maksudnya?”
Masalah baru pun datang. Apa pria tadi benar-benar tak tahu siapa dirinya? Dia amnesia?
Ashila tentu panik mendengar pengakuan sang pria tadi. Kalau dirinya memang tak bisa mengingat siapa dirinya sebenarnya, bagaimana urusan ini akan selesai nantinya? Ashila harus bagaimana? Harus ia bawa ke mana pria ini?
Gadis itu bahkan menanyakan pada dokter, apakah mungkin pria itu benar-benar amnesia. Dokter yang merawatnya hanya mengatakan soal cedera kaki yang mungkin butuh waktu cukup lama untuk sembuh. Sementara untuk bagian kepala dan otak, dokter berkata berdasarkan pemeriksaan semua terlihat baik. Namun, dokter mengimbuhi, lupa ingatan itu wajar juga terjadi pada pasien kecelakaan, bisa jadi disebabkan karena faktor guncangan atau syok berlebih. Tentunya, itu hanya akan terjadi sesaat. Karena penjelasan dokter itu, Ashila akhirnya percaya bahwa pemuda yang tak sengaja ditabraknya itu memang tengah amnesia, lupa siapa dirinya.
Setelahnya, Ashila pergi ke bagian administrasi untuk mengurus pembayaran. Untuk perawatan seperti itu saja, Ashila mesti membayar mahal. Mau tak mau, gadis itu mesti menguras tabungannya. Ia sungguh merutuki nasibnya. Tabungan yang mestinya bisa ia gunakan untuk menyambung hidup dan keperluannya yang lain, kini harus melayang dalam sekejap akibat kesialan yang menimpanya malam ini.
Bahkan, pas sekali, begitu ia selesai membayar tagihan rumah sakit, Ashila mendapatkan telepon dari penagih uang sewa rumah. Tentu saja, Ashila kini hanya bisa bermanis-manis merayunya agar berkenan memberikan tambahan waktu. Gadis itu berjanji pasti akan melunasinya, hanya saja bukan sekarang. Baru saja tabungannya terkuras, sisa uang yang ia punya tinggal sedikit. Karena masih punya iba dan berbaik hati, sang penagih akhirnya setuju memberi Ashila waktu. Ya, satu masalah selesai sekarang.
Sayang sekali, begitu Ashila kembali menemui sang pria, pria tersebut justru meminta hal yang aneh-aneh. Bertambahlah lagi masalah gadis itu saat ini. Dengan santainya, pemuda itu menyodorkan kertas rincian kepada Ashila. Tertulis di sana, ia butuh biaya untuk pemulihan sakitnya di sebuah rumah sakit yang Ashila tahu itu adalah rumah sakit ternama yang cukup mahal biayanya untuk sekali berobat saja. Juga, ada biaya untuk pemesanan tempat istirahat di sebuah hotel bintang lima selama ia dalam masa pemulihan dan belum mengingat siapa dirinya. Maksudnya ia memberikan rincian itu pada Ashila adalah agar sang gadis bisa membayar semua itu sebagai ganti rugi. Bila tidak dituruti, pria itu bisa saja berubah pikiran dan memperpanjang masalah kecelakaan sampai ke pihak berwajib.
Dan, sekarang ini, Ashila bingung bukan kepalang.
“Astaga, apa-apaan ini? Kenapa mesti semahal ini? Uang dari mana aku?” seru Ashila.
“Itu ganti rugi yang harus kamu bayar. Aku butuh tempat istirahat selama kaki aku belum normal, juga perawatan rutin biar kaki aku lebih cepat pulih. Aku gak tau harus ke mana. Makanya, aku minta biaya itu ke kamu. Kamu harus bayar, atau gak, aku bisa aja berubah pikiran dan kamu—
“Eh eh eh, bentar bentar. Jangan main berubah pikiran begitu. Aku akan pikirin ini.”
Ashila terdiam sejenak. Mau berpikir sekeras apa pun juga ia tak mungkin tiba-tiba saja bisa dapat banyak uang, tak ada uang yang langsung turun dari langit. Namun, bila tak ada cara, nasibnya sendiri yang akan dipertaruhkan. Kemudian, terbersit sebuah ide dalam benak Ashila. Gadis itu berharap sang pria mau diajak bernegosiasi. Semoga caranya ini bisa jadi alternatif.
Ashila pun memberanikan diri mulai menyampaikan maksudnya.
“Em, begini... jujur aja, aku sekarang bener-bener lagi gak ada uang, apalagi sebanyak yang kamu minta itu. Tabungan aku pun barusan aku kuras buat biaya rumah sakit.”
“Lalu, aku gimana? Apa kamu mau—
“Eh tunggu, jangan buru-buru, aku belum selesai. Jadi, aku ada kepikiran cara lain buat penuhin ganti rugi itu. Aku harap kamu gak keberatan. Begini, masalah tempat tinggal buat istirahat selama kamu belum pulih, mungkin aku bisa ajak kamu tinggal di rumah aku dulu. Selama ini aku tinggal sendiri, jadi gak masalah kalo harus nambah satu orang lagi. Rumah aku cukup nyaman, kok. Ya, walau jauh gak semewah hotel. Dan, em, masalah perawatan kamu, aku tetep akan rutin bawa kamu ke rumah sakit sampe kaki kamu sembuh. Gak harus rumah sakit mahal kan, yang penting dokternya berpengalaman. Banyak rumah sakit bagus yang gak semahal pilihan kamu tadi, kok. Kalo butuh perawat di rumah, aku juga bisa rawat kamu. Aku akan bantu kalo kamu butuh bantuan buat kegiatan sehari-hari selama di rumah aku. Aku akan lakuin apa pun yang kamu mau selama kamu tinggal sama aku.”
“Apa pun?”
“Ee i-iya. Selama itu legal dan gak melanggar hukum. Em, jadi gimana? Kamu mau?”
Pria itu terlihat berpikir sejenak.
“Oke.” Akhirnya, ia pun setuju.
“Dengan ini, kamu janji gak akan perpanjang masalah kecelakaan itu, kan?”
“Itu tergantung.”
“Maksudnya?”
“Kalo kamu gak bener-bener penuhin janji kamu tadi, aku pasti bisa berubah pikiran.”
“Gak, kok. Aku pasti lakuin sesuai perkataan aku tadi.”
“Hm, ya. Mungkin, setelah ini kita juga harus buat surat perjanjian.”
“Apa pun itu terserah kamu. Oke, ayo kita siap-siap pulang. Gak masalah kalo aku bonceng pake motor, kan? Masalahnya, kalo mesti bayar taksi lagi kemahalan. Sayang uangnya.”
“Hmm.”
Ashila mengajak pria itu pulang bersamanya ke rumah sewanya. Walau agak tak nyaman, pria itu tetap menurut membonceng motor Ashila. Dalam perjalanan pun tak satu pun dari mereka memulai pembicaraan. Padahal, suasana jalan malam ini sudah sangat sepi. Bila mereka mengobrol pun tak akan khawatir terganggu oleh suara bising kendaraan lain.
Baru sampai di depan, pria itu melongo melihat bangunan di hadapannya. Ya, itu semacam apartemen sederhana alias rumah susun. Unit tempat tinggal Ashila ada di lantai tiga. Ashila memang tinggal sendirian. Sudah cukup lama gadis itu menetap di rumah susun ini. Orang tua kandungnya, keduanya sudah tiada. Itu sebabnya selama ini Ashila tumbuh menjadi gadis mandiri dan pekerja keras.
“Di sini?” tanya pria itu.
“Ya. Aku tinggal di sini. Unit aku ada di lantai tiga. Kenapa?”
Pria itu hanya menggeleng.
“Ah, ya. Sebelum kita naik, jadi, aku harus panggil kamu apa, selama kita tinggal sama-sama? Kamu sendiri gak inget nama kamu.”
“Panggil apa pun terserah kamu.”
“Em, apa ya ... ee ah, mungkin, mulai sekarang aku akan panggil kamu Lucky. Gimana?”
“Terserah.”
Lucky. Itulah sebutan yang Ashila pilih untuk pria itu. Lucky yang berarti keberuntungan. Ya, sebenarnya ini bertolak belakang dengan apa yang Ashila hadapi sekarang. Tapi, ia juga tak mungkin memanggil pria itu dengan sebutan si sial, bukan? Sebutan Lucky ini Ashila berikan dengan harapan di balik segala kesialan ini, akan ada keberuntungan yang menantinya di masa mendatang. Hitung-hitung sebagai ganti atas banyak kehilangan yang mesti ia tanggung.
Sudah diputuskan, Ashila akan memanggil pria yang bersamanya saat ini dengan sebutan Lucky. Sang pria pun sama sekali tak menolak. Mungkin pria itu juga merasa senang dengan sebutan yang Ashila berikan.
Ashila mengajak Lucky untuk segera naik ke unitnya di lantai tiga. Konyolnya, bahkan sebelum mereka naik, Lucky sempat bertanya adakah lift di sana. Benar-benar tak masuk akal. Bagaimana rumah susun sesederhana ini bisa memiliki lift. Tentu saja, Lucky hanya disuguhi anak tangga yang jumlahnya mungkin tak terhitung karena saking tingginya.
“Di sini cuma ada tangga, Ky. Gak masalah, aku bisa bantu kamu naik. Aku akan tuntun dan papah kamu,” ujar Ashila.
Gadis itu pun sadar, Lucky pasti cukup kesulitan untuk naik tangga setinggi itu dengan keadaan kakinya yang tengah sakit. Untuk berjalan pun Lucky harus memakai kruk.
Namun, sebelum menurut menerima bantuan Ashila untuk naik tangga, lagi-lagi Lucky memikirkan hal konyol. Ia membayangkan, ketika gadis itu membantunya naik tangga, bisa saja Ashila justru membahayakannya, membuatnya terpeleset hingga terpelanting dan menggelinding ke dasar sampai entah bagaimana nasibnya nanti, entah itu karena Ashila yang dinilainya sebagai gadis ceroboh atau bisa jadi Ashila memang sengaja mencelakakan Lucky agar bisa langsung lepas tanggung jawab. Menyelami benaknya, Lucky merasa ngeri sendiri. Ya, itu bayangan yang picik sekaligus menggelikan, bukan? Mana mungkin gadis setulus Ashila tega mencelakainya?
“Kenapa? Kamu mikir apa lagi? Ayo naik! Biar aku bantu,” lanjut Ashila membuyarkan lamunan Lucky.
“Ah, gak. Aku ... aku lebih baik naik sendiri. Kamu gak perlu papah aku, tuntun aku, atau bantu aku. Aku bisa sendiri.” Ternyata Lucky masih saja meragukan Ashila.
“Eh kamu yakin?”
“Ya.”
“Baiklah, ayo!”
Meski tak membantu atau menyentuh Lucky, Ashila tetap memelankan langkahnya untuk naik, menunggu Lucky yang mesti naik tangga dengan mode slow. Sampai beberapa menit mereka menghabiskan waktu meniti tangga, mereka akhirnya sampai di unit tempat tinggal Ashila.
“Kamu baik-baik aja, kan? Aku tau kamu pasti lelah, apalagi naik tangga dengan keadaan kaki sakit begitu. Coba aja unit aku di lantai dasar. Maaf, ya.”
“Hm.” Jawaban amat singkat.
“Oke, ayo masuk!” Ashila membuka pintu huniannya. “Welcome, selamat datang di rumah aku. Jadi, kamu akan tinggal di sini sama aku untuk beberapa waktu ke depan. Semoga kamu bisa betah dan nyaman di sini, ya.”
Lucky mengikuti Ashila masuk. Pria itu langsung mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Seperti merasa baru melihat hal yang baru. Baginya, tempat tinggal ini sangat sederhana. Jauh sekali dengan bayangannya.
“Aku tau, rumah ini kecil dan gak mewah. Tapi, selama ini aku bisa nyaman tinggal di sini, kok. Jadi, kamu pasti juga akan nyaman. Em, kamu bisa pake barang apa pun yang ada di sini, tapi usahain bilang dulu ke aku, ya. Dan, uhm, ya... besok aku akan beliin barang-barang keperluan pribadi buat kamu, karena gak mungkin juga kamu pake punya aku, kan. Oke, kamu butuh apa pun langsung bilang aja.”
“Hm, lalu, aku harus tidur di mana? Aku gak mau tidur di sofa.”
Ya, Ashila baru terpikirkan hal itu. Hanya ada satu kamar tidur di rumahnya. Sudahlah, terpaksa ia mesti merelakan Lucky menempati kamarnya dan Ashila sendiri mungkin harus membiasakan diri tidur di sofa mulai sekarang.
“Em, oke, aku tunjukkin kamarnya sama kamu.”
Lucky mengikuti Ashila ke kamar tidurnya. Begitu masuk ke dalam, Lucky makin tak habis pikir. Kamar gadis ini terlihat amat sangat berantakan. Baju-baju berserakan di mana-mana. Kasurnya pun terlihat belum dirapikan. Banyak kertas-kertas berserakan juga memenuhi kamarnya. Ya, Ashila mungkin terlalu sibuk bekerja di luar sampai-sampai jarang memperhatikan kerapian kamarnya.
Gadis itu tersenyum malu.
“Ehehe, aku akan rapiin buat kamu, sebentar, ya.” Ashila mulai membenahi sprei kasurnya lebih dahulu.
Sembari itu, Lucky masih kepo-kepo dengan sekelilingnya. Ia menemukan hal cukup menarik di sana. Ada lukisan indah berikut alat-alat lukis yang masih berserakan di sana. Juga kertas-kertas yang menampakkan gambar-gambar sketsa kartun.
“Kamu suka ngegambar kartun?”
“Ah, iya bisa dibilang begitu. Sembari kerja jadi kurir, aku juga buat komik di platform online,” sahut Ashila sekenanya sambil masih merapikan kasurnya.
Lucky meraih beberapa tumpukan baju Ashila di atas bangku yang terletak di depan meja komputer Ashila. Namun, ketika mengangkat beberapa baju, Lucky tak sengaja menjatuhkan pakaian dalam Ashila yang seharusnya tak dilihatnya. Sebuah bra milik Ashila tergeletak di lantai. Benar-benar Ashila ini, bra saja sampai kececeran di bangku, tak disimpan dengan rapi. Segeralah Lucky meraih bra itu dan buru-buru mengembalikannya ke atas bangku, lalu ia tutupi lagi dengan beberapa baju. Bila Ashila tahu Lucky sempat melihat bra-nya, tentu gadis itu akan sangat malu.
Lucky beralih mengamati hal lain. Ia menemukan sebuah bingkai foto di atas nakas. Terlihat foto seorang gadis kecil yang manis bersama wanita paruh baya di belakangnya yang merangkulnya. Lucky pikir itu adalah foto Ashila kecil bersama ibunya. Namun, melihat sosok gadis kecil di foto itu membuat Lucky terpikirkan sesuatu. Ia langsung mengulas senyum, entah ada apa. Apa foto itu mengingatkan Lucky akan sesuatu?
“Ini foto kamu sama ibu kamu?” tanya Lucky kemudian.
Ashila yang melihat Lucky memegang bingkai fotonya dengan refleks langsung merebut dan memeluk bingkai itu. Ia terlihat agak tak suka Lucky menyentuh bingkai foto itu.
“Em, kamu boleh pake barang-barang di sini sesuai keperluan kamu. Tapi, tolong jangan sentuh barang pribadi aku. Apalagi foto ini. Ini harta karun yang amat berharga buat aku, aku gak mau ini sampe rusak.”
“Ahh, sorry. Jadi, itu memang foto kamu sama ibu kamu? Lalu, di mana beliau sekarang? Apa beliau gak tinggal di sini juga?”
“Aku udah bilang kan, selama ini aku tinggal di sini sendirian. Ayah sama ibu aku, mereka udah tiada.”
“Oh, maaf, Ashila.”
“Em, gapapa. Oke, aku udah rapiin kasurnya. Kamu bisa istirahat. Ah, beberapa yang berantakan ini, aku akan rapiin besok, ya.”
“Ashila, gak masalah, aku tidur di sofa aja.”
“Eh? Serius? Tadi bilang gak mau.”
“Gapapa.” Lucky berjalan keluar kamar dengan kruknya. Sementara itu, Ashila tersenyum senang. Gadis itu lega karena ia tak mesti membiarkan kamarnya ditempati oleh orang asing.
Ashila ikut keluar, memastikan bagaimana Lucky sekarang. Apakah nanti ia akan berubah pikiran lagi?
“Cuma ada sofa itu. Semoga kamu cukup nyaman tidur di situ. Ah, aku ada selimut dan bantal lebih, kok. Nanti aku akan kasih ke kamu. O ya, di sini gak ada AC, hanya satu kipas angin di atas sofa itu. Kalo kamu masih kegerahan, kamu bisa buka aja jendela di balkon itu.”
Lucky langsung memandang kipas angin di langit-langit tepat di atas sofa itu. Seketika, ia bergidik dan berseru pada Ashila.
“Bisa kamu geser dulu sofanya? Pindahin agak jauh ke sisi sana.”
“Ha?” Ashila membatin, ternyata pria yang ia temukan ini cukup banyak maunya. Benar-benar ribet. Letak sofa saja dipermasalahkan.
Ashila belum tahu apa yang ada di pikiran Lucky sampai meminta menggeser sofa begitu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!