Salahkah aku mencintai suamiku sendiri, salahkah aku berusaha menjadi istri yang baik untuk suamiku? Tapi kenapa luka terus yang aku dapati, bukannya sebuah kebahagiaan yang aku terima.
...----------------...
“Mas, ampun ... ampun Mas ... sakit Mas.” Rintihan kesakitan Aurelia di bagian punggungnya, sabetan demi sabetan dari tali pinggang suaminya masih mencambuk punggungnya.
“Ampun ... Mas Dhafi,” ucap Aurelia begitu lirihnya serta memohonnya, air matanya sudah deras membasahi kedua pipinya yang berwarna putih susu itu.
Dhafi sang suami menghentikan sabetan dan menarik napasnya dengan kasar. “Ingat Aurelia, kalau kamu masih saja tidak mematuhi semua peraturanku di rumah ini, maka jangan salahkan aku akan menghajarmu seperti ini! Dasar istri kampungan!” maki Dhafi tidak ada ampunnya, sembari mengatur napasnya yang sempat menggebu-gebu. Usai menghajar istrinya yang baru dinikahinya selama tiga bulan, pria yang berkulit coklat tan itu membanting pintu kamar dengan kencangnya.
Aurelia hanya bisa menelungkupkan wajahnya di atas ranjang dengan isak tangis yang memilukan, menahan segala rasa sakit yang masih bisa dia rasakan di punggungnya.
“Ibu ... Bapak,” gumam Aurelia masih dalam isak tangisnya.
Wanita yang masih berusia 18 tahun itu sungguh tidak menyangka suami yang telah menikahinya, ternyata ringan tangan. Ingin rasanya dia memundurkan waktu, dan menolak perjodohan kedua orang tua mereka. Jika dia melakukan kesalahan apa pun baik kecil atau besar, baik disengaja maupun tidak disengaja, maka dia harus siap menerima hukuman dari suaminya.
Aurelia Almashyra, dia adalah bunga desa sebelum menikah dengan Dhafi Basim yang kini berusia 25 tahun. Layaknya gadis desa lainnya, di saat kedatangan Dhafi Basim ke desa mereka, banyak yang terpesona dengan ketampanan Dhafi Basim dan mereka berharap di pinang oleh keluarga yang cukup kaya selama tinggal di desa, akan tetapi sudah sepuluh tahun pindah dan tinggal di kota.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, ternyata rasa kagumnya Aurelia diam-diam terhadap pria kota itu gayung bersambut. Keluarga Dhafi Basim mendatangi keluarga Aurelia Almasyhara, yang rupanya kedua ayah mereka adalah teman sekolah waktu SMP, dan keluarga Dhafi pun meminta Aurelia untuk Dhafi. Sungguh bahagia kedua orang tua Aurelia saat ada keluarga yang terhomat dan kaya raya mau melamar seorang gadis dari keluarga sederhana. Semua itu juga karena jasa ayahnya Aurelia yang pernah menyelamatkan kakeknya Dhafi dari kecelakaan.
Tidak ada kisah pacaran di antara mereka berdua, saat itu mereka dikenalkan, di satu posisi Aurelia tersenyum malu-malu saat berkenalan, sedangkan di posisi Dhafi pria itu lebih banyak mengamati ketimbang mengajak bicara calon istrinya. Hingga akhirnya dua bulan kemudian mereka pun menikah, dan tinggallah di kota.
Perjalanan rumah tangga Aurelia pun dimulailah ketika Dhafi memboyongnya ke ibukota, karena pekerjaan dia ada di sana.
“Ingatlah Aurelia, aku menikahimu itu terpaksa demi baktiku kepada orangtuaku serta permintaan kakekku! Jadi jangan besar kepala dan mengira aku menyukaimu!” sentak Dhafi.
Aurelia masih mengingat sekali kata-kata suaminya ketika mereka sudah tiba di Jakarta, dan tinggal di rumah milik Dhafi yang dibelikan oleh ayah mertuanya. Saat itu hatinya sudah mulai terluka, tapi dia tidak berdaya, untuk meninggalkan rumah suaminya saja dia tak mampu, karena tidak memiliki kenalan siapa pun di Jakarta dan karena rasa cintanya yang tak ingin meninggalkan suaminya.
“Aku akan menjadi istrimu yang baik Mas Dhafi, aku juga akan membuat Mas Dhafi mencintaiku karena aku sangat mencintaimu.” Doa yang sering dipanjatkan, tapi apa yang dia dapatkan!
Aurelia yang hanya lulusan SMK dari desanya, dengan kepolosannya tidak mengenal lebih jauh tentang seluk beluk kehidupan di luar rumahnya, karena dia lebih sering berada di rumah, dan kini dia hidup dalam siksaan suaminya.
“Aurelia, mana makan malam ku! Kenapa belum tersedia!” teriak Dhafi yang begitu kencangnya dari meja makan.
Ingin rasanya dia tidak menyahuti teriakan suaminya itu, tubuhnya sudah tidak kuasa untuk bangkit dari ranjangnya karena kesakitan akibat sabetan suaminya.
BRAK!
Dhafi kembali membuka pintu kamar yang ditempati Aurelia dengan kasarnya, dan pria itu pun berkacak pinggang.
“Ck ... masih saja kamu menangis, siapkan makan malam untuk ku sekarang juga!” sentak Dhafi dengan suara teriaknnya.
Masih dalam keadaan terisak, susah payah Aurelia menopang dirinya untuk bangkit dari tempat tidur, melihat pergerakan istrinya lambat Dhafi menarik lengan istrinya dan menyeretnya ke arah dapur.
“Sakit ... Mas,” ucap Aurelia begitu lirih, sembari menahan rasa sakit yang menggelenyar di punggungnya.
“Aku tak peduli! Buatkan aku makanan!” perintahnya dengan gaya bossynya, maklumlah Dhafi memiliki jabatan yang cukup lumayan tinggi di perusahaan tempat kerjanya sebagai manajer marketing walau usianya masih terbilang muda.
Sembari menahan rasa sakit di tubuhnya, Aurelia melihat isi rice cooker, lalu bergerak ke arah lemari pendingin yang isinya tinggal beberapa butir telor sama beberapa sayuran hijau. Diputuskanlah dia memaksakan nasi goreng untuk makan malam mereka berdua, karena memang tidak ada lagi yang bisa dia masak, sedang uang belanja bulanan yang diberikan oleh Dhafi sebesar satu juta sudah habis, tidak ada sisa.
“Ini Mas Dhafi makan malamnya,” ucap Aurelia sembari meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Dhafi.
Dhafi terlihat geram melihat isi piring tersebut, lalu dia menatap tajam ke arah istrinya itu. Aurelia mulai mengusap-usap lengannya, dia sudah bisa memastikan suaminya pasti akan memarahinya kembali.
“Ini yang kamu siapkan makan malam untukku, hanya nasi goreng saja. Mana lauk yang lain! Ini cuma telur saja!” bentak Dhafi kembali memaki Aurelia.
“Mas, uang belanja sudah habis ... isi kulkas juga habis Mas,” jawab Aurelia apa adanya.
BRAK!
Dhafi menggebrak meja makan dengan emosinya. “Dasar wanita gak becus, uang bulanan sudah habis! Kamu habiskan buat foya-foya ya, dasar wanita kampungan kamu!” bentak Dhafi.
Kembali merinding tubuh mungil Aurelia. “Mas, ini sudah sebulan lebih, Mas Dhafi belum kasih uang belanja lagi buat kebutuhan dapur, lalu aku foya-foya apanya,” balas Aurelia menyangggah hal yang tidak benar itu, walau dirinya agak ketakutan.
Dhafi beranjak dari duduknya, dan membuang isi piring itu ke wajah Aurelia, hingga wanita itu terkejut dan gelapan. “Berani ya kamu melawan aku ya! Sudah berani kamu ya! Masih kurang apa aku memberi pelajaran sama kamu ... huh!” sentak Dhafi, pria itu mulai mendekati istrinya, dan Aurelia bergerak mundur agar bisa menghindari pria tampan itu.
“AKHH!” teriak Aurelia, dia tidak bisa menghindar lagi, tangan suaminya sudah berhasil menjambak rambut nya yang terkuncir dan menyeretnya kembali ke kamar.
“AMPUN MAS!!” teriak Aurelia kembali kesakitan, semakin lama suara teriakannya sudah tidak terdengar lagi.
...----------------...
Keesokan hari ...
Suara adzan shubuh sudah berkumandang di segala penjuru, suara kokokan ayam pun saling bersahut-sahutan, akan tetapi tetap tidak membuat wanita bertubuh mungil itu beranjak dari lantai yang begitu amat dingin. Dia masih meringkuk bagaikan bayi yang ada di perut ibunya.
Matahari pun datang menggantikan tugasnya sang bulan, sinarnya yang masih terlihat teduh mulai menyapa dunia yang penuh dengan berbagai cerita. Lambat laun, tubuh mungil itu mulai menggeliat dengan suara rintihan yang begitu lirihnya.
“Akkh ...,” ringis Aurelia kesakitan, saat punggungnya bersentuhan dengan dinginnya lantai keramik.
Aurelia mulai mengerjap-ngerjap, lalu membuka kedua netranya perlahan-lahan, terlihatlah kedua netranya bengkak akibat menangis semalaman.
“Auaw ...”
Wanita muda itu berusaha menopang tubuhnya untuk duduk, akan tetapi rasa sakit di punggungnya semakin menjadi-jadi.
“Ya Allah ... ini sangat sakit.”
Saat dia terduduk di lantai, kedua netra menelusuri sudut kamarnya yang dia tempati seorang diri. Ya ... semenjak Aurelia dan Dhafi tinggal di Jakarta, mereka tidak tinggal sekamar. Aurelia tinggal di kamar bawah, sedangkan Dhafi tinggal di kamar utama yang ada di lantai dua, itulah peraturan yang dibuat oleh suami tampannya itu, tanpa ada alasan yang dijelaskan.
Dengan rasa sakit yang menggelenyar di punggungnya, wanita itu berusaha untuk bangkit dari lantai, lalu duduk di tepi ranjang sembari menatap jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan waktu jam 6 pagi. Melihat jam tersebut, Aurelia bergegas ke kamar mandi yang ada di luar kamarnya untuk mengambil wudhu, walau waktu shubuh sudah lewat tetap dia laksanakan kewajibannya sebagai umat muslim.
“Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, hanya padamu aku berlindung. Hamba memohon lembutkanlah hati suamiku padaku, tolong ubahlah sikap kasarnya padaku menjadi sikap yang lembut. Sebenarnya aku tak kuat Ya Allah, tapi aku sangat mencintai suamiku,” kata Aurelia bermunajat saat usai sholat shubuh.
Cinta! Cinta kadang bikin orang buta, bikin seseorang tenggelam dengan perasaannya cinta itu. Walau dia diterjang hantaman kekerasan, namun tetap bertahan karena mencintai! Sungguh miris.
❤️❤️
Halo Kakak Reader semuanya kembali lagi dengan karya terbaru Mommy Ghina, mohon dukungannya ya untuk selalu mengikuti kisah Aurelia, Dhafi dan Emran, kalau bisa jangan tabung bab ya biar karya ini bisa lulus stay di sini, karena sangat berpengaruh. Dan please jangan kasih rate ⭐⭐⭐⭐⭐ 1 s/d 4, jika tidak suka ceritanya mending tinggalkan saja tanpa kasih rate ya, maklum perjuangannya berat di sini.
Selalu klik tombol LIKE, dan komentar jangan lupa. Terima kasih sebelumnya.
Lope Lope sekebon 🍊🍊🍊🍊🍊
Visual MC
Aurelia Almashyara, usia 18 tahun istri Dhafi Basim
Dhafi Basim, usia 25 tahun, suami Aurelia, Manager Marketing PT. Pasific Indo.
Emran Fathin, usia 35 tahun, pemilik dan CEO PT. Pasific Indo.
Athallah Fathin, usia 4 tahun, anak Emran Fathin.
Faiza Tazka, usia 21 tahun, saudara sepupu Aurelia.
Air mata Aurelia kembali berlinang jatuh membasahi pipinya saat melihat pantulan punggungnya yang sudah penuh dengan luka baret serta memar di cermin, mau diobati pun tak bisa karena tidak ada yang bisa membantu mengobatinya, dan jangan berharap suaminya mau mengobati bekas luka sabetan. Aurelia kembali menurunkan daster lusuhnya, dan bergegas keluar dari kamarnya untuk melakukan tugasnya sebagai istri yaitu bersih-bersih, bagi Aurelia berbenah rumah menjadi salah satu pelampiasan dari semua rasa kecewanya.
Setiap pagi Aurelia tidak menyiapkan sarapan buat Dhafi, karena pria itu setelah shubuh sudah berangkat ke kantor dengan alasan takut kena macet. Entah benaran takut kena macet atau ada sesuatu dibalik itu, tapi buat wanita lugu itu dia memercayainya, dan dilarang banyak bertanya pada suaminya.
Ketika ke dapur, Aurelia melihat kebutuhan dapur sudah habis, sedangkan dia butuh makan, dan Dhafi ternyata benar-benar tidak meninggalkan uang belanja untuk dia masak.
“Uangku tinggal sepuluh ribu, ini tidak cukup buat belanja sayur,” keluh Aurelia sembari melihat isi dompet kecilnya, namun ada rasa bersyukur ternyata masih ada sisa uang. Dengan langkah tertatih-tatih dia tetap keluar dari rumahnya, dan pergi ke warung sayur yang tak jauh dari rumahnya.
...----------------...
Warung sayur
“Eh Bu Tin, tahu gak sih si Ima udah ngelaporin suaminya loh yang suka KDRT itu ke kantor polisi. Semalam polisi udah tangkap suaminya, duh saya tuh senang akhirnya si Ima ngelaporin suaminya juga. Gak tega saya teh lihat badannya si Ima penuh sama luka-luka memar, belum lagi wajahnya suka lebam ngitu,” cerosos Lilis bagaikan kertas api, sembari kedua tangannya pilih-pilih sayuran.
“Wah baguslah kalau begitu, makannya kalau jadi istri tuh jangan mau diperlakukan kasar, walau cinta mati sama suaminya,” sahut Bu Tin si pemilik warung sayur.
Aurelia yang ada di antara ibu-ibu komplek terlihat terdiam, dan mendengar jelas gosip hangat tersebut.
“Eh Neng Aurel, mau beli apa? Kok malah jadi bengong begitu,” tegur Bu Tin yang baru ngeh melihat kedatangan Aurelia.
Lamunan Aurelia sekitar buyar, lalu dia menatap ke arah Bu Tin. “Lagi mikir dulu mau masak apa Bu,” jawab Aurelia apa adanya, sembari memegang seikat sayur bayam.
Bu Tin diam-diam memperhatikan wajah Aurelia yang terlihat bengkak dan sembab di bagian kedua netranya.
“Ya udah sok atuh dipikirkan dulu mau masak apa buat suaminya,” balas Bu Tin, sembari melayani ibu-ibu yang lain.
“Ya Bu.”
Aurelia bergegas memilih sayuran yang harganya terjangkau dengan uang sepuluh ribunya, dan jatuh pilihannya pada sayur bayam dan tempe, tidak ada lauk pauknya.
“Bu Tin, saya beli ini aja sayur bayam sama tempe, jadi berapa Bu harganya?” tanya Aurelia menyodorkan seikat sayur bayam dan tempe berbungkus daun.
“Jadi sepuluh ribu, Neng. Gak sekalian beli ayam atau ikannya Neng?” tanya Bu Tin menawarkan barang dagangannya.
Aurelia mengambil uang satu-satunya yang dia miliki, dan memberikannya. “Kebetulan kemarin masih ada ayam di kulkas Bu, belum saya masak,” jawab dusta Aurelia.
Bu Tin menerima uang tersebut dari tangan wanita itu. “Neng Aurel lagi sakit ya, mukanya kok kelihatan bengkak begitu?” tanya Bu Tin agak penasaran.
Tangan Aurelia menyentuh pipinya sendiri. “Ah ini saya alergi obat Bu, semalam badan saya agak gatal-gatal, jadi bengkak begini wajahnya,” jawab Aurelia kembali berdusta, masih menutupi tindakan suaminya.
Lilis yang masih memilih sayuran, menolehkan tatapannya ke arah Aurelia. Wanita paruh baya itu menepuk lembut bahu Aurelia, akan tetapi wanita itu langsung mengerakkan bahu dengan meringis kesakitan saat disentuh bahunya.
“Aduh Neng Aurel, bahunya lagi sakit ya, Ibu tadi maksudnya mau kasih tahu minum susu cap badak kalau alergi obat atau keracunan obat, kalau belum mendingan bawa ke dokter biar dicek,” kata Lilis, wanita paruh baya itu melayangkan tatapan yang mencurigakan.
“Iya Bu Lilis, bahu saya agak sakit karena terkilir, kalau begitu terima kasih banyak buat infonya. Saya duluan ya Bu,” pamit Aurelia segera mengambil plastik belanjaan, dan bergegas menuju rumah suaminya. Wanita muda itu memilih bergegas meninggalkan warung ketimbang banyak mata yang menatap curiga padanya.
Bu Tin dan Lilis menatap wanita yang berpenampilan sederhana itu, hanya menggunakan kaos oblong dan rok plisket panjangnya.
“Bu Tin, kok saya feeling-nya agak gak enak dengan pengantin baru itu ya,” ucap Lilis curiga.
“Hush ... Jangan menduga seperti itu, siapa tahu apa yang dia katakan tadi memang benar. Masa suaminya yang tampan bisa ringan tangan sama istrinya. Beda sama suaminya si Ima yang suka mabok-mabokkan, plus wajahnya udah kayak begal begitu,” sahut Bu Tin, walau hati kecilnya juga punya praduga yang sama.
“Iya semoga saja.”
Setibanya di depan rumah Aurelia buru-buru masuk ke dalam rumahnya yang lumayan terlihat mewah minimalis itu, dan segera meneguk segelas air dingin dari dispenser.
“Jangan sampai suamiku di penjara, nanti apa kata ibu dan bapakku di kampung dan mertuaku,” gumam Aurelia sambil menggelengkan kepalanya.
Sementara itu di tempat yang berbeda.
Tubuh Dhafi masih mengungkung seorang wanita yang berlihat agak lebih tua dengan Aurelia, sama-sama mereguk dan mencari kenikmatan indah di pagi hari ini, suara erangan saling bersahutan mengisi ruang kamar tersebut.
“Terima kasih, Sayang ... kamu benar-benar nikmat dan sangat hot,” kata puji Dhafi sembari mengecup kening wanita yang masih berada di bawah kungkungannya.
“Sama-sama Mas, kamu juga hebat sekali, makin perkasa saja,” jawab wanita itu, sembari mengusap wajah tampan Dhafi.
Puas menikmati sarapan pagi yang indah, Dhafi pun mengajak wanita itu untuk mandi bersama dan sekaligus sarapan bersama. Sungguh sikapnya jauh berbeda dengan wanita yang senantiasa menerima perlakuan buruk darinya di rumah mereka berdua.
“Ingat ya Mas Dhafi, jangan sesekali kamu melakukan hubungan intim dengan wanita kampungan itu. Kamu adalah milikku, dan hanya aku yang boleh menikmati tubuhmu ini,” kata wanita yang baru saja menyelesaikan sarapan paginya.
Dhafi merangkul bahu wanita itu, dan mengecup pipinya. “Tenang dong Sayang, aku tidak akan tergoda dengan wanita itu. Dan hanya kamulah istriku satu-satunya,” jawab Dhafi begitu lembutnya.
Wanita yang berparas ayu itu tersenyum tipis dan membayangi wajah Aurelia yang tampak menyedihkan itu.
“Terima nasibmu Aurelia, memangnya hanya kamu saja yang bisa memiliki Mas Dhafi, nyatanya dia juga menjadi suamiku,” gumam wanita yang bernama Faiza.
Faiza mengurai rangkulan Dhafi, lalu memeluk suaminya itu dengan dekapan hangatnya, kemudian kembali mengecup bibir Dhafi.
“Aku sangat mencintaimu, dan aku berharap kelak akan menjadi istrimu satu-satunya,” ungkap Faiza.
Dhafi membelai lembut rambut istri keduanya itu. “Kamu bersabar ya, tunggu sembilan bulan lagi. Aku harus menunggu pembagian warisan milikku dari kakek, jika aku terburu-buru menceraikan Aurelia maka aku yang rugi. Dan kamu tenang saja, aku tidak akan jatuh cinta dengan sepupumu itu, kamu dan dia sangat jauh berbeda,” balas Dhafi dengan kesungguhan hatinya.
Faiza tersenyum sembringah, tangannya pun terulur mengusap lembut rahang kokoh Dhafi, pria yang berhasil dia taklukkan dan sudah jatuh di pelukannya.
“Mmm ... Mas Dhafi, aku bolehkan main ke rumah baru itu yang kamu tempati, sekalian mau sapa maduku itu?” tanya Faiza dengan tatapan lembutnya.
Dhafi menatap lekat wajah istrinya itu. “Kamu tidak sedang cari masalahkan dengan Aurel?”
Wanita itu mengulum senyum tipis sembari mengusap rahang Dhafi. “Tenang Mas, aku gak akan cari masalah kok. Aku akan tetap menjaga rahasia kita.”
Bersambung ...
Yuk dukung selalu karya ini dengan cara selalu klik LIKE nya ya, jangan lupa tinggalkan komentarnya juga. Makasih
Lope-lope sekebon 🍊🍊🍊🍊🍊
Wanita yang memiliki kulit kuning langsat terlihat keluar dari taksi online di depan rumah bergaya minimalis itu. Dia menyibakkan rambut panjangnya dan menatap sinis rumah tersebut.
“Seharusnya aku yang tinggal di sini, bukan kamu!” gerutu Faiza, sembari membuka pagar rumah tersebut.
Wanita yang masih berusia 21 tahun itu mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.
“Alaikumsalam,” sahut dari dalam rumah, dan terdengar suara kunci pintu berputar.
Aurelia tersenyum lebar saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu, wanita yang sudah dia kenal dari kecil dan tinggal satu kampung dengannya.
“Halo Aurel,” sapa Faiza membalas senyuman saudara sepupunya.
“Ya Allah, Mbak Faiza ... kok gak kasih kabar kalau mau datang,” balas Aurelia kaget, sembari memeluk kangen saudara sepupunya tersebut.
Dibalik pelukan, Faiza tersenyum smirk. “Aku sengaja gak kasih kabar biar suprise, oh iya aku minta alamat rumah kamu sama ibumu loh,” jawab Faiza agar tidak menimbulkan kecurigaan, sembari mengurai pelukan Aurelia.
“Ah baru aku juga mau tanya, kok Mbak Faiza bisa tahu alamat rumahku, ya udah ayo masuk ... pasti Mbak capek di perjalanan dari kampungkan,” ajak Aurelia dengan menuntut tangan Faiza.
Kedua netra Faiza tampak memindai setiap sudut yang ada di rumah minimalis bertingkat dua itu. “Ck ... bagus banget rumahnya, kenapa aku harus tinggal di rumah kontrakkan sih, pokoknya aku harus sering-sering tinggal di sini, aku tidak mau tahu pokoknya,” batin Faiza iri hati.
“Duduk dulu Mbak Faiza, aku buat kan minuman dingin dulu,” kata Aurelia mempersilahkan.
“Eh iya ... rumah kamu bagus ya,” kata Faiza memuji, sembari menjatuhkan bokongnya di sofa yang sangat terasa empuk.
Aurelia tersenyum tipis mendengarnya. “Alhamdulillah Mbak, kado pernikahan dari mertua,” jawab Aurelia apa adanya, kemudian dia bergegas ke dapur untuk membuatkan minum.
Wanita kampung yang sudah banyak perubahan alias penampilannya sudah kaya orang kota, menyilangkan kakinya lalu mengambil ponselnya dan segera memberi kabar pada Dhafi.
✅Faiza.
Mas, aku sudah sampai di rumahmu. Aku iri loh Mas, enak banget Aurelia tinggal di rumah mewah kamu ini. Sedangkan aku hanya tinggal di rumah kontrakkan yang sempit.
✅Mas Dhafi
Sayang, sabar dong. Nanti rumah itu juga bakal buat kamu kok. Aku minta sabar menunggu ya. Ingat kamu jangan macam-macam di sana, jangan bongkar tentang pernikahan kita ya. I love you, istriku tercinta.
Faiza yang menerima balasan pesan seperti jadi tersenyum sendiri, hati yang sempat merasa iri jadi meredup seketika itu juga.
“Mbak Faiza silakan diminum, maaf ya hanya ada sirup saja,” kata Aurelia apa adanya, sembari meletakkan nampan di atas meja.
“Gak pa-pa kok.” Faiza mengambil gelas tersebut dan menatap saudara yang masih berpenampilan kampungan itu.
Aurelia duduk bersama di sofa, dan kedua netranya menelisik Faiza yang tidak membawa tas besar, hanya tas bahu saja. “Mbak Faiza dari kampung gak bawa tas baju salin?” tanya Aurelia dengan polosnya.
“Oh ... Aku udah lama tinggal di Jakarta, dapat pekerjaan di sini. Jadi aku dari rumah kontrakan, bukan dari kampung,” jawab Faiza dengan santainya.
Aurelia terlihat senang mendengarnya, ternyata dia ada saudara yang tinggal di Jakarta juga.
“Wah aku senang mendengarnya, akhirnya ada saudara dekat yang tinggal di Jakarta juga. Mbak Faiza keren deh pantas saja tambah terlihat cantik ternyata sudah bekerja, kerja di mana Mbak?” tanya Aurelia.
“Kerja di kantor lah, kamu kan tahu aku ini lulusan terbaik waktu di sekolah, jadi aku dengan mudahnya dapat pekerjaan di kantor yang ada di Jakarta,” jawab Faiza yang tidak sesuai dengan fakta kenyataannya.
“Masya Allah luar biasa Mbak Faiza, sayangnya aku udah nikah, pasti tidak diizinkan untuk bekerja kayak Mbak Faiza,” jawab Aurelia begitu lirihnya.
“Justru enak kayak kamu, udah nikah dan tidak perlu capek-capek cari duit. Cukup dapat uang bulanan dari suami, dan layani deh suami dengan sepenuh hati,” ungkap Fauzi dengan semangatnya yang menggebu-gebu.
Aurelia tersenyum getir, lalu dia mengambil minum miliknya dan menyesapnya pelan-pelan. Apa yang dikatakan oleh Faiza tidak sesuai dengan kenyataannya.
“Eh iya suami kamu biasa pulang kerja jam berapa?” tanya Faiza dengan tatapan ingin tahunya, padahal tahu.
“Pulangnya gak tentu Mbak, paling cepat jam 9 malam, kadang jam 12 malam, lebih sering lembur di kantor,” jawab Aurelia apa adanya.
Bibir Faiza tersenyum tipis mendengarnya, ya iyalah wong lemburnya di rumahnya, bukan dikantornya, setiap jam lima sore Dhafi sudah berada di rumah Faiza setiap hari.
“Sorry Aurel, Mas Dhafi tinggal di sini hanya untuk tidur saja, selebihnya dia ada di rumahku,” batin Faiza kesenangan.
Disela-sela mereka berdua masih berbincang, suara deru mobil milik Dhafi terdengar dan terparkir rapi di luar halaman rumah. Dari ruang tamu, Aurelia merasa heran karena baru kali ini melihat suaminya pulang di waktu menjelang sore.
“Assalammualaikum,” sapa Dhafi ketika masuk ke dalam rumah.
“Alaikumsalam,” jawab serempak Aurelia dan Faiza, serta sama-sama bangkit dari duduknya.
“Oh ada tamu rupanya,” lanjut kata Dhafi terdengar lembut, sembari memberikan bungkusan pada Aurelia.
Faiza mengulum senyum tipis melihat kehadiran pria yang dia cintai, begitu pula dengan Dhafi yang terlihat membalas senyuman itu namun terlihat samar.
“Aku saudara sepupu Aurelia, Mas masih ingatkan? Yang waktu itu bantuin di pernikahan Mas dan Aurel,” ungkap Faiza, pura-pura baru bertemu kembali di hadapan Aurelia.
“Oh iya aku ingat, Faiza ya, apakabarnya?” tanya Dhafi sembari mengulurkan tangannya, dan Faiza pun menyambut ulur tangan Dhafi. Jemari Dhafi pun mengusap lembut bagian telapak Faiza, hingga membuat wanita itu berdesir.
“Aurel tolong sajikan cemilan yang aku bawakan tadi buat saudara kamu ini, masa ada tamu jauh tidak disuguhkan makanan, dan sekalian buatkan aku kopi pahit,” titah Dhafi ketika mengurai jabatan tangannya.
“Eh ... iya Mas,” jawab Aurelia, dia bergegas ke dapur, sementara itu Dhafi yang melihat Aurelia sudah ke belakang, langsung menarik tubuh Faiza dan melabuhkan ciuman hangatnya, sungguh ciuman yang sangat memabukkan.
“Mas ...” Faiza mendesis ketika mereka melepaskan pagutannya.
Pria itu mengusap bibir Faiza yang terlihat basah. “Nanti kita ketahuan loh, Mas,” ucap Faiza dengan lembut, tapi suka dengan keadaan curi-curi kesempatan seperti ini.
“Mumpung dia ada di dapur, Sayang,” jawab Dhafi sedikit berbisik. Pria itu kembali membasahi bibir wanita itu, tapi sepertinya kedua orang itu lupa, jika pintu rumah terbuka lebar, hingga orang yang lewat secara tidak sengaja bisa melihat apa yang terjadi di ruang tamu.
“Aduh si Neng Aurel bermesraan sama suaminya kok gak ditutup dulu pintunya,” celetuk Bu Tin yang tak sengaja melihat adegan ciuman itu, dan secepat kilat membuang pandangannya dan buru-buru kembali ke rumahnya.
Sementara itu di dapur, Aurelia tampak bingung karena kopi dan gula sudah habis, dan tak mungkin di depan Faiza dia minta uang pada suaminya untuk beli kopi dan gula.
“Bagaimana ini, pasti Mas Dhafi akan memarahiku lagi,” gumam Aurelia mulai gelisah.
Tanpa pikir panjang Aurelia bergegas balik ke arah ruang tamu untuk pergi ke warung, pikir wanita muda itu dia bisa ngutang dulu di warung milik Bu Tin. Namun apa yang terjadi ...
Tubuh Aurelia langsung lemas seketika, hatinya terasa sesak melihat apa yang terjadi di depan matanya. Dia yang tak pernah dicium oleh suaminya. Kini, dia melihat suaminya berciuman dengan saudara sepupunya.
“M-Mas ...”
Air mata kembali jatuh di pelupuk matanya.
Bersambung ...
Mohon dukungannya, stay tune selalu, dan jangan lupa klik LIKEnya, tinggalkan komentarnya. Makasih sebelumnya 🙏😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!