"Segera pergi dari sini!" perintah seorang pria setelah mengenakan setelan jas mahal miliknya.
Terlihat seorang wanita duduk bersimpuh di lantai dengan tubuh gemetar.
"Tapi tuan." wajah wanita itu terlihat sembab.
"Kamu tidak bisa menyenangkanku. Untuk apa masih mengharapkan imbalan." lalu pria itu menendang wanita itu hingga tersungkur di atas lantai yang dingin.
Pria itu keluar hotel dengan gagah. Meninggalkan wanita itu dengan tega. Pria itu Lalu memasuki lift dan menunggu untuk turun sampai di loby.
"Tuan!"
Seorang pria bersetelan hitam menyambutnya ketika pintu lift terbuka.
Terlihat Gavin mendengus sambil melirik pria dihadapannya itu. Lalu melewati pria yang menyambutnya itu menuju keluar loby hotel.
Terlihat pria itu panik lalu mengejarnya dan membukakan pintu mobil. Setelah Gavin sudah aman, ia ikut masuk ke mobil di bagian depan penumpang.
Terlihat wajah Gavin tidak enak dilihat. Pria bersetelan hitam itu menarik nafas dalam dalam.
Wajah Gavin terlihat suram. Untuk sejenak pria bersetelan rapi itu ragu sejenak.
"Kenapa kau mencariku sampai kesini?" tanya Gavin seraya melirik sinis pria yang duduk di kursi depan.
Pria itu pun tergagap. "Tuan muda. Tuan semalam mencari keberadaan anda. Dan saya menemukan anda di hotel."
"Jadi...papah yang menyuruhmu datang kemari?" kata Gavin tanpa melembutkan suaranya.
"Benar tuan, semalam tamu dari Shine datang. Anda tidak datang untuk menghadiri undangan dari tuan. Jadi memerintahkan saya...."
"Ckckck. Tamu dari Shine. Itu pasti Siera. Jelas jelas aku tidak ingin menikahinya tetap saja situa itu memaksa." kata Gavin menyela pria di depannya.
Pria bersetelan rapi itu tercengang.
"Aku tidak akan menikah, katakan itu kepada papah." perintah Gavin.
"Tapi tuan, tuan Wahyono akan marah besar."
"Lakukan saja perintahku." kata Gavin tanpa mau di bantah.
Mobil melaju ke sebuah perusahaan. Gavin keluar dan masuk melalui pintu loby, di sana nampak berjajar rapi para staf.
"Selamat pagi Direktur Gavin." Ucap suara serentak para staf seraya membungkukan badan.
"Pagi." Balas Gavin seraya melirik sekilas dan tetap berjalan masuk ke dalam perusahaan.
Nampak para staf itu langsung mengikuti di belakang.
Gavin memasuki lift ketika pintu ruangan kecil itu terbuka. Damian selaku asistennya pun langsung menekan tombol pada lantai 19.
"Tuan muda. Semalam tuan Wahyono benar benar kalang kabut mencari anda." kata Damian memulai percakapan.
"Apa kau yang membocorkan jika aku telah bermalam dihotel." kata Gavin dengan sarkas.
Tampak Damian terlihat resah. "Ckckck. Kau benar benar tidak bisa menjaga rahasia." decak Gavin.
Damian membeku untuk sesaat. Wajahnya terlihat pucat. "Tuan maafkan saya. Saya tidak sengaja karena tuan Wahyono mengancam saya." Kata Damian diiringi dengan suara lutut yang berdebum dengan lantai. Pria itu berlutut karena merasa bersalah.
Gavin melirik sekilas. Ia menghela nafas panjang. "Dasar tak berguna." umpatnya kasar. Bertepatan dengan pintu lift terbuka. Gavin segera meninggalkannya.
Damian tampak malu ketika dia ketahuan berlutut di lantai oleh para staf. Ia memelototinya lalu mengejar langkah Gavin yang memasuki ruangan kantor.
"Tuan." pekik Damian. Tetapi sudah terlambat untuk mengejar karena Gavin sudah menutup pintunya bertepatan dengan Damian yang hendak melangkah masuk. Pintu itu tertutup secara otomatis.
Damian merasakan hidungnya perih lalu meringis. Setelah mengusap hidungnya pria itu segera mengetuk pintu.
"Masuk!" perintah Gavin dari dalam ruangan kantor.
Damian masuk.
Gavin sudah tau jika itu adalah asistennya, tanpa melihat pun ia segera memerintahkan. "Bacakan agendaku hari ini."
Damian terkesiap.
Karena Damian tidak segera membuka mulutnya, Gavin mendongakkan wajahnya menatap Damian.
"Kenapa kau diam." bentak Gavin. Seketika Damian langsung geragapan.
Damian segera mengeluarkan i-padnya dan membacakan jadwal hari ini. Setelah beberapa saat Damian langsung menutup i-padnya. "Tuan muda. Tuan Wahyono tidak bisa melepaskan anda. Anda harus menghadiri perjamuan dari keluarga Anggoro." kata Damian seraya menghela nafas.
"Cukup. Keluarlah. Jika masih membahas hal itu akan ku lempar kau ke tengah samudra afrika." Kata Gavin tajam. Seketika Damian segera mengatupkan bibirnya.
Damian keluar dengan bahu melemah. Ia bersandar pada kursinya karena mendapatkan tekanan dari sana sini. Ia terlihat prustasi.
Kringg kringgg kringggg
Telepon kantor berdering. Damian segera mengangkatnya.
"Halo, apa Gavin ada?" tanya seseorang dari ujung telepon tanpa berbelit. Suara itu seperti suara wanita.
"Ini..."
"Saya Siera Anggoro." Kata wanita itu jujur.
Damian tampak meringis lalu melihat pintu kaca yang tertutup rapat. "Celaka. Bisa dihajar bila mengatakannya." batin Damian.
"Halo." sentak suara wanita membuat kesadaran Damian kembali.
Damian tampak menggaruk pelipisnya bingung.
Tok tok
Tampak Gavin mengetuk meja didepan Damian. Damian terkejut seraya mendongak.
"Siapkan dokumen untuk rapat siang ini." kata Gavin. Kemudian berlalu pergi.
Damian meringis, apalagi telepon itu masih tersambung dengan pihak di ujung sana.
Wanita di ujung telepon tampak puas. Karena ia mendengar langsung suara Gavin di sana. Ia dengan semangat mengangkat tangannya melihat jam.
"Katakan pada Gavin, sebentar lagi aku akan sampai." kata wanita itu lalu menutup telepon.
Damian merasa hidupnya diujung tanduk. Ia meletakkan gagang telepon ke tempatnya.
Tepat jam 11 siang rapat di adakan. Di dalam aula rapat semua para staf terlihat serius. Gavin sebagai pimpinan duduk tegap memimpin jalannya rapat.
Sementara di luar, Siera langsung masuk ke dalam ruangan Gavin setelah mendapatkan petunjuk dari para staf. Ia melihat lihat ruangan itu. Ia tersenyum kala mengingat dirinya berkenalan dengan Gavin saat pertama kalinya.
Dia dan Gavin sudah lama tidak bertemu. Kalau tidak salah ingat mereka hampir sepuluh tahun. Beruntungnya keluarga Anggoro dan Wahyono berteman. Dengan koneksinya, akhirnya Siera mendapatkan kesempatan untuk bertemu.
"Siera! Kenapa kau disini." Kata Gavin kala membuka pintu ruangannya. Ia tertegun sejenak kala mendapati seorang wanita berada di ruangannya.
Sementara Damian yang berada di belakang punggung Gavin mendelik. Ia buru buru berlari menuju ruangannya dan menyibukkan diri agar tidak mendapatkan pertanyaan sarkas dari Gavin.
Siera berbalik menatap Gavin yang berada di ambang pintu. Siera tersenyum dan mendekati Gavin. Gavin masuk dan tidak lupa menutup pintu.
"Mengajakmu makan siang, apa kau keberatan jika aku berada di ruanganmu." kata Siera.
Gavin menampakkan wajah suram. "Aku sibuk. Pergilah makan siang sendiri." kata Gavin mengabaikan Siera.
Pria itu menuju kursinya dan melanjutkan pekerjaannya.
Siera tersenyum tidak perduli dengan sikap Gavin yang acuh. Ia mendekati Gavin dan duduk di meja dekat Gavin. Melihat pria itu sibuk siera hanya memandanginya dalam diam.
Gavin merasa risih dengan Siera duduk di meja seperti itu. Ia membanting pulpennya dengan marah.
"Siera!" pekik Gavin dengan mata mendelik ke arahnya.
Wanita itu terkesiap hingga menegakkan tubuhnya.
"Aku sudah katakan. Aku tidak akan menikah denganmu." teriak Gavin dengan amarah yang meluap di dadanya.
Siera menatap Gavin yang kini berbeda. "Gavin, apa yang terjadi padamu." kata siera dengan menatap Gavin tidak percaya.
Gavin mengacuhkan pertanyaan Siera. Ia dengan kesal menekan telepon dan menyuruh keamanan untuk menyeret wanita itu keluar.
Dalam beberapa menit. Tim keamanan datang lalu membawa Siera keluar. Namun Siera menghentikan keamanan tepat berada di pintu.
"Tunggu. Aku bisa jalan sendiri." kata Siera. Tim keamanan pun melepasnya.
Sebelum benar benar keluar dari ruangan Gavin, Siera menatap lekat wajah Gavin. Gavin melengos memutus pandangan dengan Siera.
Siera menghela nafas kemudian meninggalkan ruangan Gavin.
Sementara itu sang kepala pelayan yang diperintahkan untuk membawa Gavin pulang melaporkan kejadian itu.
Tampak wajah Wahyono terlihat suram. Kepala pelayan itu bergidik dan tidak berani mendongakkan kepala.
"Anak sialan. Mau sampai kapan dia akan berulah memainkan wanita." kata Wahyono dengan gigi bergemelatuk.
Kemudian pria paruh baya yang berusia sekitar 60 tahunan itu memandang kepala pelayan itu. "Jika tidak mau pulang, maka paksa dia untuk kembali." perintah Wahyono dengan tajam.
Kepala pelayan itu segera mengangguk. "Baik tuan."
Setelah Siera diusir dari perusahaan Gavin. Wanita itu melangkah menuju sebuah restoran. Meskipun dia tidak mendapatkan kesempatan untuk makan siang bersama Gavin setidaknya dia tidak harus melewatkan makan siangnya.
Siera menikmati makan siangnya dengan damai. Ia sudah lama tidak merasakan makanan Di Kertanegara sejak dia meninggalkan kota itu sepuluh tahun lalu.
Drrtttt drrttt drrtttt
Bertepatan saat makan siang, ponsel Siera berdering. Siera mengelap tangannya yang terkena minyak dengan tisu seraya melihat papan nama yang tertera di layar. Itu panggilan dari neneknya.
Sudah lama ia juga tidak menemui neneknya. Neneknya adalah orang asli kertanegara sedangkan kakeknya berasal dari Shine.
Mereka tinggal lama dan menetap di Kertanegara sementara Ayahnya, Anggoro memilih berbisnis di Shine. Apalagi kota Shine merupakan kota paling strategis dalam berdagang atau berbisnis. Jadi memilih kota Shine untuk melancarkan bisnis dagangnya.
Wajah Siera langsung tersenyum sempringah kala melihat nama neneknya. Ia segera mengangkatnya.
"Nenek!" panggil Siera.
"Siera cucuku." kata Nenek. Ia sudah berumur 70 tahun tapi dia terlihat lebih muda dari usianya.
Tampak wajah Siera tersenyum. "Nenek apa kabar?"
"Hm, baik. Kau sudah sampai di Kertanegara tapi kau tidak segera menemui nenek. Apa kau melupakan nenekmu ini." kata Aulia dengan sarkas.
"Nenek, aku tidak melupakan nenek. Tapi sejak semalam aku harus melakukan pemindahan pekerjaan. Jadi agak sibuk belum sempat melihat nenek."
"Huh, Alasan. Apa nenekmu ini akan percaya. Kau pergi ke tempat Wahyono semalam." Ujar Nenek.
Siera meringis ketika tindakannya di ketahui oleh neneknya.
"Hehe, itu Siera bisa jelaskan." Siera menyengir.
"Tidak perlu. Lebih baik kau segera datang temui nenek. Nenek tidak akan memperhitungkannya." kata nenek.
Siera melihat jam di tangannya. "Oke. Siera akan datang."
Aulia tampak puas. "Baik. Nenek akan menunggumu." setelah itu Aulia menutup telepon.
Siera tidak lagi melanjutkan makanannya. Ia berdiri dan membayar bill dengan segera. Setelah itu dia menghentikan sebuah taksi dan meminta untuk mengantarkannya ke perumahan elite blok c di jalan bahagia. tempat tinggal nenek siera.
Setelah melakukan perjalanan setengah jam, akhirnya gadis itu tiba di halaman perumahan elite blok c di jalan bahagia. Setelah membayar taksi, Siera segera turun.
Ia melihat rumah yang bergaya tiongkok didepannya dengan senyuman cerah. Rumah itu Tidak pernah berubah meski berabad abad tahun lamanya.
"Nenek, aku datang." kata Siera sambil berdiri di depan pintu rumah.
Tampak nenek duduk di kursi goyang. Mendengar suara yang familiar nenek membenahi kaca matanya.
"Siera, apa itu kamu?" kata nenek dari dalam rumah.
Siera segera masuk setelah melepas sepatunya. "Ya nek, ini aku." kata siera dengan langkah kaki yang memasuki rumah.
Nenek tersenyum lalu mengisyaratkan pelayan untuk menyeduhkan teh.
"Sini, sudah sepuluh tahun kau tidak kembali." kata Nenek. Nenek Aulia berpindah dari kursi goyang menuju sofa.
Siera memeluk neneknya yang sudah berusia renta. Meskipun begitu nenek tetap energik.
"Maaf nek, baru bisa datang melihat nenek." kata Siera dengan nada menyesal.
"Dasar bodoh." kata nenek. Lalu wanita itu mencubit hidung mancung Siera.
"Dimana ayahmu. Apa tidak pulang?" tanya Aulia ketika tidak menemukan Anggoro ikut datang bersamanya.
"Papah tidak pulang, hanya aku seorang yang datang." kata Siera mencebikkan bibirnya.
"Huh, dasar Anggoro anak nakal. Dia sudah hampir dua puluh tahun tidak melihat nenek. Dan sekarang mengabaikan nenek. Justru hanya mengirim kamu yang datang. Apakah dia begitu mementingkan pekerjaannya dari pada nenek." Marah nenek.
"Ach, nenek jangan marahi papa. Dia saat ini sedang merintis pabrik kain. Perlu bantuan tuan Wahyono untuk bisa menembus pasar Kertanegara. Jadi aku datang kemari. Papah akan segera kembali." kata Siera membela Anggoro.
"Huh, masih berani membela anak itu. Baiklah karena kau, nenek tidak akan marah. Sekarang tinggallah bersama nenek." kemarahan nenek pun mereda.
Saat malam harinya, Gavin di paksa kembali ke kediaman rumah besar Wahyono.
Gavin tampak terdiam duduk santai di kursi penumpang belakang.
Damian yang menyetir mobil melihat Gavin melalui kaca spion depan. Wajahnya tampak muram karena di paksa oleh kepala pelayan agar segera datang.
"Tuan, apa tuan baik baik saja?" tanya Damian dengan ragu ragu.
Gavin melirik sekilas asistennya itu lalu menatap keluar jendela. "Tidak perlu bertanya jika tau jawabannya. Si tua itu benar benar memaksa aku menikahi Siera. Maka mendesakku pulang." kata Gavin tidak puas.
"Tuan, Anda sudah tau tuan Wahyono. Meskipun anda menolak keras juga tetap tidak bisa. Jika anda menentangnya maka tuan Wahyono akan berbuat nekat."
Gavin menghela nafas dalam dalam. "Si tua itu tidak pernah mau mengerti keinginanku. Ckckck..." gumam Gavin.
Mobil yang di tumpangi Gavin telah sampai di pelataran kediaman Wahyono. Di depan pintu kepala pelayan sudah menunggunya. Dia berlari dengan tergesa dan membukakan pintu.
"Akhirnya tuan muda datang. Anda ditunggu tuan besar di ruang kerjanya." kata kepala pelayan itu tersenyum lega.
"Hm." Gavin mengancingkan jasnya yang terbuka. Lalu melangkah menuju ruang kerja Wahyono oleh pelayan.
Tok tok tok
Pelayan mengetuk pintu. "Tuan besar. Tuan muda telah datang." kata pelayan memberi taunya dari balik pintu luar.
"Suruh dia masuk." perintah Wahyono.
Pelayan itu mendorong pintu hingga terbuka lalu mempersilahkan Gavin untuk masuk. Setelah Gavin masuk, pelayan itu menutup pintu dengan rapat.
"Ada apa papah memanggilku?" kata Gavin tanpa mau berbasa basi. Ia langsung duduk di sofa tanpa dipersilahkan Wahyono.
Wahyono meletakkan pulpennya dan menatap Gavin dengan sorotan tajam.
"Kau ini anak kurang ajar. Siera kemarin datang kemari dan kau malah menghindarinya dengan bermalam di hotel dengan wanita." sarkas Wahyono.
"Apa menariknya Siera itu. Papa, Gavin sudah katakan jika aku tidak mau menikah dengan dia." kata Gavin membalas Wahyono.
Brak Wahyono menggebrak meja dengan keras tapi tak membuat Gavin merasa takut. Gavin tetap akan pendiriannya.
"Baik, kamu menentang papa dengan tidak mau menikahi Siera. Kalau begitu papah yang putuskan! besok malam, pernikahan tetap akan dilaksanakan. Jika kau berani meninggalkan pernikahan ini. Maka jangan salahkan papa jika perusahaanmu akan tinggal nama." Kata Wahyono sudah tidak bisa sabar lagi. Ini adalah ancaman terakhir dari Wahyono.
Seketika Gavin mendelik lalu menoleh menatap Wahyono dengan tampang terkejut.
"Pah..." Gavin mencoba memanggil Wahyono dan meminta penawaran. Tetapi Wahyono sudah memutuskan.
"Tidak perlu meminta penawaran apapun. Kesabaran papah ada batasnya. Selama ini papah membiarkanmu bermain wanita di luar sana. Dan sekarang papa tidak mau tau. Siera dan kamu sudah kenal sejak sepuluh tahun lalu. Itu akan lebih baik dengan kamu." Kata Wahyono dengan tegas.
Gavin menghela nafas. "Oke, jika itu permintaan papa. Siapa yang tahan jika aku setiap hari bermalam dengan wanita lain di saat dia sudah menjadi istriku." kata Gavin kesal.
Wahyono mendelik hebat karena ungkapan Gavin. Tapi Gavin tak perduli. Ia pun melangkah keluar dari ruang kerja Wahyono dan pergi ke kamar miliknya di lantai dua di kediaman rumah besar Wahyono.
Tampak Wahyono menghela nafas setelah kelakuan kasar Gavin. Pria paruh baya itu pun segera menghubungi tuan Anggoro.
"Tuan Anggoro. Aku tidak bisa menunda lagi pernikahan ini. Dua hari lagi segera adakan pernikahan." kata Wahyono.
"Ini...." Anggoro terkejut mendengar permintaan Wahyono yang mendadak.
"Anda tenang saja. Semua akan aku persiapkan. Anda tinggal datang dan menyaksikan. Semua bisnis yang anda inginkan akan segera saya atur."
Tampak Anggoro menghela nafas. "Baiklah, kau atur saja pernikahan ini. Asalkan aku bisa segera memasuki pasar dagang kertanegara." kata Anggoro membuat Wahyono juga merasa lega.
"Baik."
Siang itu keluarga besar Wahyono berduyun duyun datang ke tempat nenek Siera di perumahan elite blok c di jalan bahagia. tempat tinggal nenek siera.
Wahyono datang tidak dengan tangan kosong. Ia memberikan banyak hadiah.
Tampak Aulia menyambut kedatangan tuan Wahyono dengan senang hati.
Wahyono pun menjelaskan maksud kedatangannya bukan sekedar berkunjung. Ia mengatakan jika kedatangannya adalah untuk melamar Siera.
Sepertinya Aulia juga menerima pinangan resmi itu dengan baik. Aulia merasa senang karena Siera akhirnya akan menikah. Ini adalah impian Aulia bisa menyaksikan pernikahan cucunya.
Setelah mendapatkan respon yang baik dari keluarga tetua Anggoro. Wahyono kembali dengan wajah berbinar.
Saat di malam harinya Siera merasa gelisah karena mendengar pernikahan dalam dua hari lagi. Terakhir kali bertemu dengan Gavin, pria itu menolak mentah mentah dan secara terang terangan.
Sementara di tempat Gavin.
Gavin sangat murka karena omongan Wahyono bukan omong kosong. Wahyono benar benar akan menikahkannya dengan Siera.
Gavin pergi ke bar dan mabuk mabukan. Setelah itu ia bermalam ke hotel dengan wanita. Dan itu ia tunjukkan sebagai protes terhadap Wahyono yang tidak pernah mengerti perasaannya.
"Tangkap anak itu dan masukkan dia ke dalam kamar. Jangan sampai dia kabur sebelum upacara pernikahan di mulai." titah Wahyono dengan murka.
Semua pengawal pun pergi ke hotel dan menangkap basah Gavin yang sedang melakukan olahraga di atas ranjang.
Si wanita itu terkesiap kala pintu kamar di dobrak hingga terbuka.
Wanita yang berada di bawah kendali si pria itu pun mendorong dadanya agar berhenti. Tapi Gavin tidak perduli. Ia semakin brutal untuk menuntaskan hasratnya.
Si pengawal terdiam dan ragu sejenak. Pengawal itu berdiri mematung dan melihat aksi majikannya yang tanpa busana sedang menggauli seorang wanita.
Setelah Gavin selesai menuntaskan hasratnya, pria itu terlihat lemas. Ia pun berbalik dan berbaring disisi ranjang. Sementara Si wanita yang sudah gavin gauli pun buru buru memunguti pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi karena ketakutan.
Gavin dengan santai mengenakam wardrop berwarna putih. Mengeluarkan rokok dari dalam laci dan menyalakannya.
"Apa yang kalian lakukan disini. Kalian telah mengganggu aktifitasku." sarkas Gavin. Seraya menyesap rokok yang ia jepit di antara kedua jarinya.
"Maaf tuan, jika kami lancang. Tapi ini perintah tuan Wahyono. Jika anda tidak segera pulang maka kami juga akan bertindak kasar."
"Cih, si tua itu benar benar keras kepala." gerutu Gavin.
Pengawal itu pun segera maju dan menyergap Gavin dengan brutal. Tetapi Gavin tidak akan menyerah begitu saja. Gavin maju menyerang melawan pengawal Wahyono. Tetapi karena Gavin merasa kelelahan dia sudah tidak kuat lagi melawan 7 orang pengawal sekaligus.
Akhirnya Gavin dengan paksa di bawa pergi oleh pengawal dari hotel. Tampak pria itu duduk di kursi penumpang belakang tak berdaya.
Wahyono tersenyum puas. Gavin dengan tak berdaya di papah dua orang pengawal.
"Bawa dia ke kamarnya. Jaga dia dari luar dan dalam. Jangan sampai anak itu berulah lagi." perintah Wahyono.
Pengawal itu segera membawa Gavin ke kamarnya dan melemparnya ke atas ranjang. Setelah itu pengawal mengunci jendela dan pintu balkon dijaga ketat. Tidak lupa kedua pengawal juga menjaga di luar pintu. Benar benar ketat.
Ketika pagi mulai menyapa, Gavin terbangun dari tidurnya. Pria itu merasakan sakit pada bagian wajahnya. Juga merasakan pening di kepalanya.
Srek
Pintu di buka dari luar, seorang pelayan datang membawakan sup penghilang pengar.
"Tuan, ini saya buatkan sup untuk menghilangkan pengar." kata pelayan lalu meletakkan nampan dengan mangkok berisi sup itu di atas meja.
Gavin mengacuhkan pelayan itu. Ia duduk di tepian ranjang sambil melirik pelayan yang meletakkan nampan.
Setelah meletakkan nampan, pelayan itu berlalu pergi.
Gavin melihat jam yang tergantung didinding. Ini sudah jam 7 pagi. Melihat para pengawal berjaga ketat, ia mendesis pelan. Ia memilih memasuki kamar mandi untuk menghilangkan rasa sakit di kepalanya.
Setelah merasa bugar ia melihat sup yang mulai mendingin. Gavin berjalan ke arah meja dan memakan sup itu dalam diam.
Sementara di kediaman nenek Aulia, nampak pilar pilar mulai dihias. Anggoro pun segera kembali ke kertanegara bersama istrinya.
Aulia melihat kedatangan Anggoro dan menantunya. Ia tersenyum sambil meneteskan air matanya dengan deras.
"Ibu, kenapa kau malah menangis." kata Anggoro seraya memeluk ibunya penuh kasih.
"Dasar anak nakal. Ibu merindukanmu. Kau sudah pergi sejak Siera masih dalam gendongan. Dan kau masih bertanya." Aulia memarahi Anggoro seraya memukul bahunya.
Anggoro tertawa. "Ibu, aku kan berbisnis di sana. Aku sudah menawarkan kepada ibu untuk ikut denganku. Tapi ibu menolak." kata Anggoro.
"Huh." Aulia mengusap ingusnya dengan sapu tangan di tangannya. "Disini adalah tanah kelahiran ibu. Juga kenangan bersama ayahmu. Mana bisa tinggal jauh dari kertanegara." Aulia mendesis.
"Baiklah ibu, karena keputusanmu seperti itu aku juga tidak bisa menolak. Tapi sekarang ibu tenang saja, mulai sekarang putramu akan tinggal disini menemani ibu."
Tampak mata Aulia berbinar terang. "Benarkah. Bagaimana dengan bisnismu di sana?" kata Aulia kaget.
"Masalah itu sudah aku urus. Sekarang aku akan memulai bisnisku disini." kata Anggoro percaya diri.
Aulia memandang menantunya meminta penjelasan yang akurat. "Itu benar ibu, mas Anggoro akan berbisnis di sini. Jadi ibu tidak akan kesepian lagi."
Akhirnya Aulia merasa lega. "Akhirnya doa doa ku di panjatkan. Di masa tuaku aku bisa berkumpul dengan anak dan menantuku." gumam Aulia bahagia.
Anggoro dan istrinya juga ikut tersenyum.
Setelah itu, saat di pagi berikutnya. Pernikahan telah disiapkan.
Siera mengenakan pakaian adat untuk mengikuti janji suci pernikahan. Wajahnya terlihat memerah, pipinya mulus dan bibirnya merona merah. Sangat cantik.
Semua yang hadir di sana sangat memuji kecantikan Siera.
Sementara Gavin kini di paksa untuk mengenakan setelan jas berwarna putih. Setiap gerakannya selalu dikawal oleh pengawal.
Wahyono tidak puas dengan pemberontakan yang dilakukan Gavin.
"Papah, aku tidak akan kabur. Aku sudah siap menikahi Siera seperti yang papah harapkan." kata Gavin.
"Sebelum kau mengucap janji pernikahan papah tidak akan tenang." kata Wahyono.
Gavin di paksa masuk ke dalam mobil dan di himpit oleh pengawal dikedua sisinya.
Mobil keluarga besar Wahyono beriring iringan menuju lokasi upacara pernikahan.
Dalam setengah jam, iring iringan itu telah tiba di lokasi. Tampak keluarga Anggoro sudah berjajar rapi menyambut kedatangan calon mempelai pria.
Tidak banyak tamu yang hadir, hanya kerabat dan para tetangga sekitar yang datang.
Gavin di persilahkan duduk di kursi pelaminan, tak berapa lama penghulu datang.
"Silahkan mempelai wanita untuk segera keluar." titah penghulu.
Keluarga Anggoro langsung memanggil calon mempelai wanita.
Siera bersama dua saudaranya digiring dari dalam rumah menuju pelaminan.
Seketika Gavin melihat Siera yang nampak cantik dengan balutan pakaian adat. Ia tercengang untuk sesaat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!