"Di masa lalu orang belajar untuk memperbaiki dir mereka sendiri, saat ini mereka belajar untuk membuat orang lain terkesan." - Konfusius
...****************...
"Dewi Dambi, serahkan dirimu dan bertobatlah!"
"Dewi Dambi, kejahatanmu telah melampaui pahala yang kamu kumpulkan.Terimalah hukuman!"
"Dewi Dambi! kamu adalah iblis berkedok Dewi!"
"Dewi Dambi! kamu berlumuran darah leluhurmy! tak bisa dimaafkan!"
Gadis yang berpakaian serba merah dengan pedang ditangannya yang berlumuran darah.
"Kalian orang-orang serakah! tidak pernah puas dengan apa yang diberikan. Sepanjang waktu hanya berpikir bagaimana makan dari milik orang lain". Suara wanita itu lembut namun dingin dan terasing.
"Kalian bahkan tidak sungkan memfitnah orang yang membantu kalian!".
"Dewi Dambi! tidak perlu banyak bicara dan mencari alasan lagi! terbaik kalau kamu mati!".
"Baik! kalian mau kematianku karena ingin memiliki hal yang kumiliki! kalau begitu, aku mewujudkannya!".
"Hujan pedang surgawi! amukan badai nirwana!".
Wanita itu tertawa saat mengeluarkan jurus pamungkasnya.
"Ayo..... pergi ke akhirat bersama!".
"Roh jiwaku tidak akan berada di dunia ini, begitupun semua yang kumiliki akan menghilang dari dunia ini dan akan dibawa kembali saat pembalasanku tiba! dunia ini tidak akan memiliki bakat genius yang bisa menyamai dan menandingiku!".
"Kutukan ilahi!".
Dduuaaarrrr.....!!!
langit seketika gelap dan menggelegar seolah menjadi saksi kutukan itu. Wanita baju merah itu kemudian meledak menjadi serpihan cahaya. Cahaya melesat pergi ke langit.
Mila! Mila! Ya Allah, anak gadis kok bangunnya siangan terus sih! bangun!! kalau kayak gini terus apa nggak takut jodoh dan rejekimu di patok orang lain!".
Omelan ibunya menarik Mila dari alam mimpi. Dengan enggan dia membuka matanya dan meregangkan badan. Matanya melirik jam weker di meja samping tempat tidur, 8.34 tertera disana.
"Baru jam delapan juga, ibu drama banget, deh!". Rutuknya kembali berguling-guling.
Bang....! bang....! bang.....!!!
ketukan itu berubah jadi gedoran yang membuat kepala Milan pusing.
"Gadis malas! apa kamu tidak mau bangun?! Hha.... ?!". Teriak ibu Mirna lagi.
"Iya, ya! aku bangun!". Seru Mila cepat agar pintunya tidak roboh karena digedor ibunya. Tahu sendiri, kan kekuatan emak-emak itu lebih tangguh dari badak atau banteng.
"Bu, kenapa sih harus ribut-ribut?". Mila muncul di depan ibunya dengan ekspresi penuh protes.
"Lihat! orang pada berangkat sekolah, kamu cuma di rumah aja". Ibu Mirna melanjutkan omelannya.
"Ngapain aku ke sekolah? kan udah ujian".
"lihat anaknya Bu Mega, dia ikut kursus katanya. Bimbel begitu!". Kata ibu Mirna lagi.
"Itu bimbel untuk ujian masuk universitas. Bu. Mila kan udah diterima di kampus jalur prestasi, nggak perlu ikut tes masuk segala. Ngapain capek-capek buang tenaga, waktu dan duit buat hal yang nggak penting?!". Mila menggaruk kepalanya yang nggak gatal. Jengkel!.
"Itu anak tetangga..... "
"Bu!". Mila berseru dengan kesal.
"Mereka ya mereka, Mila ya Mila! jangan disama-samain! jangan dibanding-bandingin karena kita tuh beda! setiap anak itu beda, Bu! jangan reselah!".
Ibu Mirna malah makin naik pitam mendengar ucapan Mila.
"Ooohhhh..... sudah merasa besar kamu! udah merasa pinter! udah merasa benar! sekarang ngajarin orang tua?! Hha..... baru juga mau kelar sekolah SMA, udah belagak!".
Ibu Mirna meninggalkan Mila sembari mengoceh sepanjang jalan.
Mila bersandar di pintu kamarnya dan menghembuskan napas berat. Dia masuk kembali ke kamarnya untuk mencuci muka dan menyikat gigi setelah membereskan tempat tidur.
Telpon dilamarnya berdering.
"Ya...?!". Mila dengan malas menempelkan ke telinganya.
"Mila! kamu nggak sarapan! mau makan diluar lagi?! jangan boros! makan di rumah!". Mila menjauhkan telpon dari telinganya sampai suara ibunya menghilang.
"Perasaan aku nggak pernah bilang mau sarapan di luar, udah ngomel duluan". Keluh Mila.
"Ahh..... !!! aku capek!!". Pekiknya dalam hati.
"Kamu tuh ngapain sih pagi-pagi udah bikin ibumu marah-marah?". Suara lembut ayahnya menyambutnya di meja makan.
"Ibu kemana?". Mila menarik kursi di depan ayahnya.
"Ke rumah si Darti, katanya mau lihat bunga baru Ibu Darti". Jawab pak Andre.
"Kalau ibumu ngomel, kamu dengerin aja, nggak usah membantah karena itu akan membuatnya marah.
Mila hanya memutar matanya mendengar perkataan ayahnya. Dia makan dalam diam. Orang tuanya adalah pasangan unik. Ibunya heboh kayak orkestra rusak, ayahnya sepi kayak kuburan. Ibunya kayak gas ijo yang suka meledak tiba-tiba tanpa sebab musabab. Ayahnya kayak tanah. Ada dan diam! mau diinjek, disiram, dikencingin tetap aja dibawah dan diam. Hanya sesekali dia akan menciptakan gempa yang menghancurkan. Mila sudah hidup dalam lingkungan keluarga yang aneh ini selama hampir 19 tahun. Setidaknya tiga bulan lagi dari sekarang dia genap 19 tahun tepat saat dia memasuki universitas.
Mila bukan satu-satunya anak dari pasangan Andre - Mirna ini, dia memiliki Dua kakak, Milan, 27 tahun, kini mengganti ayahnya mengurus bisnis, sering perjalanan bisnis dan jarang pulang.
Mischa, 24 tahun yang melanjutkan kuliah di luar negeri. kakaknya ini sudah jauh dari rumah sejak SMA, dia memilih tinggal di asrama sekolahnya kemudian kuliah tinggal di apartemen kecil. Memang cuma Mila yang tinggal lama dengan orang tuanya.
"Kalau kamu nggak ada kegiatan sekolah lagi, nenek Intan minta kamu nemenin dia". Ayahnya memberitahu.
"Sudah tiga kali nelpon cuma ayah selalu lupa ngasi tahu kamu. Tadi, baru banget dia nelpon lagi".
Nenek Intan ini bukanlah nenek langsungnya, dia saudara angkat mendiang kakek dari bapaknya.
"Kapan aku bisa berangkat?". Mila memang suka berlibur ke rumah neneknya itu.
"Kapanpun kamu mau. Sekarangpun bisa".
"Ya, aku akan berangkat hari ini". Putus Mila.
"Itu terserah kamu".
Usai makan dan merapikan meja makan. Dia juga dengan rajin mencuci piring tanpa menunggu Omelan ibunya. Mila berkemas dan meluncur ke kota kecil tempat neneknya berada.
"Cucuku sayang, kamu akhirnya datang!". Nenek Intan yang tengah menikmati secangkir teh di teras antusias menyambutnya.
Sayangnya, bukan cuma dia disana, hadir juga sepupu ayahnya yang sangat tidak disukai Mila. Tante Harti.
"Ngapain kamu kesini? harusnya kamu bimbel atau belajar biar bisa lulus masuk perguruan tinggi negeri".Tante Harti memberi tatapan meremehkan.
"Lihat tuh, sepupumu si Inna. meskipun nilainya selalu bagus dia masih mau belajar agar bisa lulus di universitas bergengsi". Tante Harti mulai membanggakan anaknya lagi.
"Kecuali kamu memang udah menyerah untuk masuk di universitas bagus dan memilih kampus swasta kecil. Makanya. kamu sesantai ini".
" Tante kok kayaknya nggak suka kalau Mila kesini? takut kalau harta nenek Intan diwariskan ke aku? Keluarga Tante kan udah ngambil harta warisan kakek aku. Emang itu masih kurang?". Tante ini selalu tidak menyukai keluarganya.
"Padahal aku kesini karena dipanggil nenek Intan sendiri".
"Iya, nenek sudah tiga kali manggil kamu, datangnya baru sekarang". Kata nenek Intan mengusap punggung Mila.
"Sekarang Mila disini sampai dua tiga bulan kedepan karena Mila sudah diterima di kampus paling bergengsi di provinsi kita jalur prestasi". Kata Mila bangga sembari melirik Tante Harti yang wajahnya kaku.
"Seperti diharapkan dari cucuku". Nenek Intan menggenggam tangan Mila dan menepuk-nepuknya.
"Nanti nenek kasi kamu hadiah istimewa".
"Benarkah?!".
"Tentu saja".
Percakapan cucu - nenek itu membuat wajah tante Harti kian gelap.
" Pergilah ke kamarmu dulu menyimpan barang. Kalau kamu lapar, ambil makanan sendiri di dapur".
" Oke!".
Mila berdiri dan memberi senyum provokatif ke tante Hatri sebelum menggerek kopernya pergi.
"Hidup itu sederhana, kita yang membuatnya sulit."
...****************...
Mila membuka matanya perlahan, mengeliat dan meregangkan badannya.
" Sial! aku berbaring di tanah? nenek Intan mengirimku kemana sih? ahh..... kalau tahu begini aku tidak akan menggodanya tentang menjadi pewarisnya". Mila merutuk dan cepat bangkit. Dia mengedarkan pandangannya, sejauh mata memandang hanya ada pepohonan dan tanah merah.
"Tempat aneh macam apa ini? Apa ini ilusi?". Mila memusatkan pikirannya.
"Jelas ini bukan ilusi, ini nyata". Gumannya sendiri.
Meskipun dia hidup di jaman modern, dia sedikit memahami dunia spiritual karena terpengaruh oleh nenek Intan.
Mila samar- samar mengingat ucapan terakhir nenek Intan sebelum mengirimnya lebih tepatnya sebelum dia ditendang memasuki portal teleportasi.
"Pergilah ke dunia lain dan lakukan yang kukatakan semalam!".
"Jadi ini bukan bumi! lalu dimana aku sekarang?! Pluto, Neptunus, mars.... ".
Mila mengacak-acak rambutnya sendiri dengan putus asa.
"Kenapa suasananya sepi gini, ya?!". Mila merinding sendiri dan cepat bersembunyi di balik salah satu pohon paling dekat darinya.
"Hu.... hu.... hu..... ibu! kalau aku tahu bakal di kirim ke dunia antah berantah ini sama nenek Intan, aku lebih suka ikut bimbel atau kursus meskipun itu hal sia-sia yang buang waktu dan uang. Itu lebih baik daripada seperti ini. Hu..... hu... hu.... ibu! ampuni anakmu yang durhaka ini, aku pasti berdosa karena tidak mendengarnya, ibu!". Mila menangis dalam hati.
" Tenang! tenang! dan berpikir!". Mila mengelus dadanya sembari menumbuhkan lagi keberaniannya yang telah mati.
"Nenek selalu bercerita tentang dunia spiritual. Apa ini dunia spiritual? kalau ini dunia spiritual, bagaimana aku bisa bertahan hidup? di dunia spiritual, orang-orang harus memiliki kemampuan spiritual untuk hidup. Kalau tidak, aku bisa mati kalau ada orang spiritual tinggi bersin di dekatku".
Mila meratap lagi dalam hati.
"Belajar spiritual di usia sekarang mungkin sudah terlambat. dalam beberapa novel yang kubaca, orang-orang spiritual mengolah spiritual di usia muda dan butuh bertahun-tahun untuk menguasai satu tingkatan spiritual".
"Pengolahan spiritual juga tergantung dari bakat, inti spiritual, roh spiritual, warna jiwa, roh ilahi, garis keturunan..... "
Mila mengetuk-ngetuk jarinya ke pohon dan terus berpikir.
"Alangkah bagusnya kalau memiliki semuanya itu, tapi hanya ada satu juta kelahiran yang memiliki keberuntungan seperti itu. Memiliki satu diantaranya saja sudah cukup".
"Aku dikenal lumayan dalam akademik di dunia, apa aku bisa jadi salah satu genius di dunia ini?".
"Untuk menjadi genius butuh bakat bawaan, pemahaman yang baik dan keberuntungan. Aku malah nggak tahu aku bisa mengolah spiritual atau tidak. Untuk mengolah spiritual butuh panduan seperti master dan kitab spiritual. Kedua hal ini harusnya bisa didapat kalau memasuki sekte atau akademi. Masuk akademi juga harus mengikuti ujian dasar. Masalahnya, aku tidak tahu bagaimana memulai mengolah spiritual".
"Masalah utamaku adalah tidak tahu mengolah spiritual! Ahh..... !!!! Kesalnya!!".
Mila memukul dan menendang pohon tempatnya bersembunyi.
"Aku tidak mau mati! Ahhhh..... ibu! ampuni anakmu ini! biarkan aku pulang! aku akan ikut bimbel! ikut kursus, bangun pagi, rajin kerja di rumah!".
Mila kembali histeris dan memeluk pohon sambil menangis.
"Malangnya nasibku!".
Mila menggaruk pohon dengan gemas.
"Master! selamat datang kembali!". Mila melonjak kaget mendengar satu seruan membahana.
"Master! ini benar-benar kamu!".
Mendengar suara tanpa melihat orang lain membuat Mila merinding ketakutan.
"Si... siapa di di... disana?!".
"Master, ini aku Eri!". Satu sosok melayang ke depan Mila.
"Pelayan anda, master".Gadis itu mendaratkan kakinya dan cepat berlutut.
Beberapa makhluk lain juga berbaris di belakang Eri dan memberi hormat.
"Selamat datang kembali, master!". Seru mereka serempak.
"Bukan! saya bukan master kalian!". Mila mundur beberapa langkah dan menabrak pohon tempatnya berlindung.
"Ini jelas aura dan energi anda master". si pohon menyahut membuat Mila melompat karena terkejut.
"Ahhh ... !!! pohonnya bicara!! hantu pohon!!! Ahhh.... !!!". Teriak Mila melarikan diri.
"Master! aku tidak bermaksud mengagetkanmu! master!!".
"Loi! kamu membuat master pergi lagi! aku akan menebangmu!!". Seekor burung Pipit mendekati pohon itu dan berteriak marah.
"Aku tidak bermaksud begitu. Sejak tadi master ada di sampingku, dia memukulku, menggarukku, tapi aku diam saja karena takut dia marah. Aku hanya menyapanya kenapa dia malah pergi? kalau tahu begini, aku harusnya diam saja terus. Booohoooooo ....... !!!". Si pohon yang bisa bicara itu mulai menangis merontokkan daunnya.
"Kupikir, master mungkin kehilangan ingatan".Sahut seekor kelinci.
"Kurasa itu juga benar, master menghancurkan tubuhnya saat itu, wajar kalau spiritual kesadarannya juga hancur". Timpal burung gagak.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?". Si burung Nuri berkata dengan cemas.
"Sudah! jangan bertengkar lagi! kalian kembali saja dulu. Aku akan pergi menemukan master dan membujuknya kembali". Eri menenangkan temannya. Dia sendiri terbang menusuri wilayah itu.
Mila berhenti berlari ketika mendapati sebuah gua. Dia telah jauh masuk ke dalam hutan.
"Hoss... ! hosss... ! hooss...!".
Dia bersandar di dinding luar goa.
" Mungkin, aku bisa bersembunyi dulu disini. Semoga goanya kosong". Pikirnya.
"Semoga tidak ada binatang apapun atau makhluk aneh". Doanya dalam hati.
Goa itu tidak sepenuhnya gelap. Bagian luar masih temaram. Mila mengamati sekeliling, setelah merasa aman dia duduk selonjoran tidak peduli lagi dengan debu yang menempel di pakaiannya. Sebenarnya, goa ini masih memanjang ke belakang tapi Mila nyaris tidak punya tenaga lagi untuk memeriksa lebih jauh.
" Mari istirahat disini saja dulu".
Mila menyandarkan tubuhnya dan mulai bergulat dengan pikirannya.
" Kenapa para makhluk aneh itu memanggilku master?". Mila mengetuk-ngetukkan jarinya.
"Apa aku harus berpura-pura jadi master? mungkin aku bisa mendapat petunjuk sekaligus perlindungan dari mereka". Senyum licik muncul menghiasi wajahnya.
"Tapi kalau kedokku ketahuan atau master yang sesungguhnya datang, bisa-bisa aku dicincang". Wajah Mila kembali muram.
"Master itu harusnya kuat dan punya kuasa, terpenting harus bisa melindungi orang-orangnya".
"Sedang aku hanya orang biasa, tuna wisma, bahkan tidak bisa melindungi diriku sendiri."
"Apa yang harus aku lakukan di negeri antah berantah ini?".
Keluh Mila menghela napas berat.
"Aku dikirim nenek Intan ke dunia ini untuk menjalankan misi, karena tadi terlalu kaget dan cemas, sekarang aku tidak ingat misiku".
Mila memegang kepalanya dan menggeleng keras.
" Tidak! tidak-tidak! bukan saatnya memikirkan misi. Terpenting adalah tetap hidup dan kembali ke dunia asalku, bumi!".
"Kamu bisa kembali setelah kamu menyelesaikan misimu karena hal itulah yang membantumu kembali"
Mila mengingat pesan nenek Intan.
"Ahhhh.... tetap saja harus menyelesaikan misi dulu. Kepalaku sakit memikirkannya".Guman Mila.
"Aku sangat lelah dan kehabisan tenaga. Sepertinya cukup aman disini. Aku mengantuk".
Kelelahan dan sejuknya goa membuat Mila perlahan tertidur.
"Jika kamu kaya, walaupun kamu tinggal di puncak gunung, orang akan mencarimu. Jika kamu miskin, walaupun kamu tinggal di tengah kota, tidak ada seorang pun yang akan mencarimu."
...****************...
Sehari sebelumnya, di rumah nenek Intan
" Kamu gadis, masih saja bangun siang". Tegur nenek Intan melihat Mila muncul dengan piyamanya.
"Nek, tiga tahun ini aku sudah berjuang dan berkutat dengan jadwal padat sekolah, kursus, les, dan ekstrakurikuler sekolah . Bahkan main game pun harus diam-diam". Mila mengeluh.
" Sekarang, waktu ini aku pakai buat refreshing sedikit. Bangun siang, main, nonton, baca buku. Aku ingin menikmati menjadi kaum rebahan untuk dua tiga bulan ini". Mila meraih sarapannya.
" Kamu hanya mencari alasan untuk bermalas-malasan". Nenek Intan mencibir.
" Ayolah nek, kayak nggak pernah muda aja". Kata Mila nyengir.
"Iya, kami memang pernah muda tapi kami nggak pernah bisa punya waktu santai. Nonton atau main game". Nenek Intan mendengus.
"Masa anak-anak kami main petak umpet sama penjajah biar nggak ditangkap lalu dijual jadi budak atau gundik. Masa remaja kami harus kerja buat makan, ekonomi nggak stabil karena peralihan kekuasaan dan pemberontakan. Udah nikah, kami harus berjuang hidup. Nggak kerja ya nggak makan nasi. Meski dibilang lumbung pangan, kenyataannya kita rakyat kecil lebih sering ketemu singkong daripada beras. Mau hiburan paling seminggu sekali di balai desa itu juga harus patungan bayar pajak tv desa. Giliran kami ini main medsos malah dibilang nggak ingat umur disuruh ibadah aja". Nenek Intan mengoceh.
"Padahal kalian ini yang muda-muda ini yang harusnya tahu diri. Jangan banyak main, harusnya banyak belajar dan bekerja karena masa depan kalian belum jelas. Kalau kita yang tua ini masa depannya udah jelas, kuburan, mati!".
Nenek Intan menyesap tehnya.
"Nggak perlu mikirin harus punya rumah, aset, Investasi, properti".
Mila sudah biasa mendengar neneknya ini mengoceh tak karuan.
"Ngomong-ngomong, kamu tahu nggak kenapa si Hatri datang?". Dengan cepat nenek Intan mengubah tema pembicaraan.
"Dia kan tamu nenek, bicaranya juga sama nek Intan kenapa nanya saya?". Mila satu- satunya cucu nenek Intan yang bisa bicara begitu bebas.
"Suaminya gagal Investasi dan minta pinjaman modal dari saya. Menurutmu bagaimana?".
Mila mengangkat alis mendengar pertanyaan itu.
"Haiiii..... nek! yang punya duit kan, nenek. Kok nanya sama Mila terus".
"Semua juga tahu kalau nenek akan mewariskan hartaku pada keluarga kalian, lebih tepatnya ke kamu. Jadi, wajar dong kalau nenek minta pendapatmu". Nenek Intan terus merangsek.
Mila berkata dengan acuh
"Kan belum diwariskan. Jadi masih hak nenek dong yang bikin keputusan. Kalau nenek pakai alasan ini untuk menarik keluargaku ikut campur, itu sama aja nenek sengaja membuat perselisihan antara keluargaku dengan keluarga Tante Hatri".
"Bocah, kamu memang jeli". Nenek Intan tertawa.
"Lagian kenapa nenek nggak mau bantu? paling kan minta cuma ratusan juta, satu milyar aja kecil buat nenek".
Keluarga mungkin tahu kalau kekayaan nenek Intan berasal dari tanah pertanian dan perkebunan yang puluhan hektar. Sejumlah rumah makan dan kost-kostan. Tapi Mila tahu kalau neneknya memiliki kekayaan yang jauh dari yang diketahui keluarga besarnya. Salah satu penghasilan utama nenek Intan bergerak di dunia bawah yang bersentuhan langsung dengan mafia dan gangster, perdagangan senjata.
Setelah diam beberapa saa terdiam, nenek Intan berkata
"Orang yang serakah bagai lubang tak berdasar, hari ini kamu memberinya satu, besok dia akan meminta dua, lusa menginginkan tiga, keinginannya tidak ada habisnya. Dia tidak akan puas, tidak pernah merasa cukup. Orang seperti ini tidak layak mendapat bantuan".
"Mungkin akan ada beberapa rumor yang beredar lagi, semoga bukan tentang keluargaku. Tante Hatri bukan orang yang menerima penolakan". Ucap Mila.
"Dia tidak akan memiliki alasan membuat rumor." Ujar nenek Intan tenang membuat Mila bersimpati pada Tante Hatri. Semakin tenang dan santai nenek Intan semakin tak terduga hal-hal yang akan dilakukannya.
"Setelah ini, kamu pergi mengisi gudang khusus itu dengan persediaan untuk bertahan hidup". Perintah nenek Intan.
"Bertahan hidup? kurasa nenek sudah kecanduan game survival. Apa nenek akan mengerahkan zombie?". Mila bertanya dan tertawa geli.
"Gadis bodoh, lakukan saja". Nenek Intan ikut tertawa.
"Jangan lupa mengamankan barang-barang berhargamu juga" .Sambung nenek Intan.
Mila mengangkat alis "Jadi penasaran, sepertinya nenek akan melakukan hal seru nih".
"Tentu saja. Kamu lihat saja".
Usai sarapan, Mila mengikuti arahan nenek Intan untuk mengisi berbagai hal ke dalam gudang baja.
"Hal besar apa yang akan dilakukan orang tua aneh itu?".Mila memasukkan apapun ke dalam gudang itu kemudian mengemas barang pentingnya ke dalam ransel yang bisa tiba-tiba dia ambil.
"Mila. selesai makan, ikut nenek ke paviliun samping". Kata nenek Intan ketika mereka makan siang.
"Jangan lupa bawa barang berhargamu".
"Wah! aku tidak menyangka nenek punya koleksi barang aneh begini". Seru Mila terpana saat memasuki salah satu ruangan di paviliun nenek Intan.
"Kapan nenek menjadi kolektor? barang ini dari kerajaan mana? udah berapa ratus tahun benda-benda ini?".
"Ini dari kerajaan Alengka, sebagian dari kerajaan Wima sekitar ratusan ribu tahun lalu". Nenek Intan menjelaskan.
Mila memiringkan kepalanya.
"Rasanya aku belum pernah membaca dua kerajaan itu di buku sejarah". Pikirnya.
"Dimana nenek mendapatkannya? apa itu berharga? kenapa cuma ditumpuk kayak barang rongsokan?".
"Terlalu banyak pertanyaan. Ikut denganku!".
Nenek Intan membuka kamar lain yang ada di ruangan itu.
"Ini..... ?!".Mila terbengong, karena yang dilihatnya bukan ruangan yang berisi perabot tapi sebuah taman yang indah.
"Nek, apa ini ilusi?". Tanya Mila linglung.
Nenek Intan duduk di salah satu batu datar.
"Aku sudah mengajarimu mengenali ilusi. Menurutmu ini ilusi atau bukan?". Ujar nenek Intan tidak memberi Mila jawaban pasti.
Mila tetap berdiri disana dan berkonsentrasi.
" Kurasa ini bukan ilusi. Tapi bisa jadi ini ilusi tingkat tinggi yang terlihat sangat nyata dan aku tidak bisa melihatnya".
"Penuh omong kosong". Nenek Intan mendengus.
"Duduklah disini, aku tidak punya waktu berdebat".
Mila duduk di batu datar depan nenek Intan.
"Nenek, ini sebenarnya apa?". Mila masih penasaran.
"Dunia spiritualku". Jawab nenek Intan singkat.
"Dunia spiritual itu apa?".
"Kamu akan tahu sendiri nantinya".
Nenek Intan tidak bermaksud menjelaskan. Cucunya ini punya rasa ingin tahu yang menjalar. Semakin banyak kata yang diucapkan, semakin banyak juga pertanyaan yang akan dilontarkan.
Wanita tua itu meletakkan tangannya di batu datar besar di sampingnya. Permukaan batu itu bergeser dan menampilkan lubang besar. Dari lubang itu, nenek Intan mengeluarkan satu kotak tua.
"Ini adalah mozaik Talisman".
Nenek Intan memberikan potongan Talisman itu pada Mila.
" Talisman ini disebut sang penguasa, salah satu dari tiga Talisman ilahi".
Mila mengamati benda ditangannya. Di tidak tahu pasti terbuat dari apa benda itu, seperti baja namun terlihat bukan baja biasa. Ada ukiran aneh dan dua sisinya menampilkan dua ekor yang berbeda.
"Sepertinya ini terpotong". Gumannya.
"Tepat sekali". Sahut nenek Intan cepat.
"Ini memang mozaik atau pecahan Talisman. Ada enam pecahan untuk membentuk Talisman penguasa. Ini salah satunya, lima lainnya tidak diketahui keberadaannya".
"Jadi benda ini tidak berguna?". Tanya Mila membolak- balik benda di tangannya.
"Masih berguna".
"Apa gunanya?!". Mila bertanya.
"Kamu akan tahu pada waktunya". Balas nenek Intan tak sabar.
"Teteskan darahmu!". Perintah nenek Intan.
"Kamu tidak menjadikanku tumbal pesugihan, kan?". Mila mengangkat wajahnya, ragu.
" Aku punya banyak uang, untuk apa pesugihan?". Nenek Intan menemukan jarum dan menancapkan di jari Mila.
" Waduh..... sakit !!". Mila hanya bisa berteriak sakit ketika jarum itu tiba-tiba menancap di jarinya dan darah meleleh keluar.
"Ini pencurian darah!". Dia cepat menarik tangannya dan darahnya berhasil menetes di Talisman. Seberkas cahaya keluar dan bergabung di tubuh Mila.
"Ayo keluar! Sepertinya Susan mencariku". Nenek Intan keluar dari ruang itu diikuti Mila.
" Sudah malam?!". Lampu terang dan gelap di luar paviliun mengejutkan Mila.
"Padahal kita cuma sebentar di dalam sana".
"Waktu di dunia spiritualku berjalan lambat daripada waktu di luar".
Penjelasan nenek Intan membuat Mila mengangguk bingung.
"Kita makan malam saja disini".
Mendengar itu, Susan asisten pribadi nenek Intan dengan sigap menyiapkan makan malam mereka.
" Nyonya, semua sudah dilakukan". Susan melapor melihat kedua cucu nenek itu menyelesaikan makannya.
"Ya. Tetaplah pada rencana, jangan memanggil pemadam kebakaran sebelum setengah rumah terbakar".
Mila terkejut mendengar pembicaraan nenek Intan dan asistennya.
"Apa yang terbakar?". Mila melongok keluar, matanya menyaksikan api melahap rumah besar nenek Intan yang baru ditinggalkan beberapa jam lalu.
"Nek.... rumahmu terbakar!". Spontan dia mengguncang tubuh tua di sampingnya.
"Biarkan saja". Nenek Intan menepis tangannya.
"Toh, saya bikin rumah baru lagi dan tidak perlu repot membongkar".
"Nek... Kamu sengaja membakarnya? Kamu membakar rumahmu sendiri?!". Mila mendelik melihat sikap santai neneknya itu.
"Menurutmu, kalau aku terkena bencana dan bangkrut, apa Hatri dan saudara yang serakah itu akan datang meminta uang dengan dalih meminjam, haaa?!". Nenek Intan berkata dengan tenang.
"Tapi kan, tidak perlu sampai bakar rumah juga. Ah.... sayang banget tau....". Mila mengerutkan bibirnya, dia selalu tahu kalau neneknya ini punya kepribadian nyentrik. Tetap aja dia sayang sama rumah mewah yang dibakar begitu saja padahal diluar sana masih banyak orang yang tidak punya rumah.
"Apa kamarku juga terbakar?!". Teriakan panik Mila mengejutkan Susan dan nenek Intan.
"Harusnya api sudah menjalar kesana". Jawab Susan.
"Kenapa? Apa ada barang berharga?".
"Saya tadi sudah bilang, bawa barang berhargamu kesini!". Nenek Intan langsung memarahi.
"Apa itu? Laptop, hp atau dompetmu?!".
Mila menggeleng.
"Yang itu semuanya aman dalam ranselku. Dikamarku masih ada Suami-suamiku! Haremku masih disana!". Mila makin panik.
"Suami apa?! Anak ini.... !!". Nenek Intan menepuk pundak Mila kesal.
"Jiminku ! Sugaku! Ohhh..... Jongkokku yang tampan! Mereka terbakar... !!". Seru Mila meradang.
"Kenapa sih anak ini?! Apa yang diteriakkan?". Nenek Intan bingung melihat tingkah cucunya itu.
" Ohhh .... Apa maksud nona, bantal -bantal dengan gambar cowok tampan diatasnya?".
Mila mengangguk cepat mendengar pertanyaan Susan.
"Itu sudah diamankan sama bang Kardi, dimasukin karung cuma nggak tahu simpannya dimana". Papar Susan.
" Dasar genit!". Dengus nenek Intan.
"Dikarungin? bisa-bisanya Haremku dikarungin. Aku mau cari kalau begitu". Mila yang mau beranjak pergi ditangkap nenek Intan.
" Kamu gadis mesum! Ikut aku!". Nenek Intan menyeret Mila ke ruangan tadi.
"Lupakan bantal konyolmu itu. Ada hal yang harus kamu lakukan".
"Kekayaanku yang asli terkunci, Talisman yang lengkap ini kuncinya. Sebagai ahli warisku, kamu harus mengumpulkannya. Itu misimu". Kata nenek Intan serius sembari memasang Talisman yang sudah diberi tali ke leher Mila.
" Kemana aku harus menemukan mozaik lainnya?."Tanya Mila yang masih bingung.
"Di dunia spiritual". Nenek menyelipkan cincin giok hijau di jarinya.
"Ini cincin spiritual, kamu akan menemukan bantuan di dalamnya".
"Dunia spiritual?!". Mila mengabaikan ucapan nenek Intan, dia fokus mengingat hal-hal spiritual yang sering diceritakan neneknya itu seperti sihir. Terbang dengan pedang, binatang iblis, dan banyak hal ajaib lainnya. Kalau dia pergi kesana sama saja bunuh diri karena dia tidak punya kekuatan spiritual.
"Nenek, aku tidak mau jadi ahli warismu! Berikan saja pada anak Tante Hatri atau anak-anak dari om dan tante yang lain". Tolak Mila cepat.
"Tidak bisa. Aku sudah memilihmu!". Tegas nenek Intan. Dia melambaikan tangannya dan satu portal muncul di udara, lubang ungu kehitaman itu perlahan menyedot Mila.
"Pergi! Lakukan misimu! Kalau misimu sukses kamu akan kembali ke dunia ini!". Perintah nenek Intan.
"Tidak! Tidak mau!". Mila masih kekeh menolak.
"Anak bandel! Pergi sana!". Nenek Intan menendang Mila memasuki portal yang langsung menelannya dan tertutup kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!