Happy Reading...
Mobil Mercedes-Benz warna hitam memasuki gerbang bertuliskan 'kediaman Lawson'. Berhenti di depan rumah megah dengan perkarangan luas. Pintu terbuka, memperlihatkan dua sosok berbeda usia. Satunya seorang gadis cantik. Dan satunya lagi seorang pria yang sudah berkepala empat.
Gadis cantik itu bernama Calya Sean, sebentar lagi akan berganti menjadi Calya Lawson. Nama yang persis seperti nama kediaman yang akan dia tinggali sekarang. Dan pria yang bersamanya bernama Abram Lawson. Pemilik kediaman sekaligus ayah kandungnya.
Abram menjemput putrinya saat mendengar kabar mantan istri pertamanya telah pergi untuk selamanya. Entah bahagia atau sedih yang dia rasakan saat ini. Bahagia karena bisa bertemu putrinya. Namun juga sedih karena tidak bisa berada di saat terakhir kepergian mantan istri pertamanya. Meski sudah lama berpisah tapi wanita itu tetap berada di puncak nomor satu dihatinya. Bahkan istrinya saat ini belum bisa menggantikan posisi ibu Calya.
"Sayang selamat datang di rumah papa dan juga tempat tinggal mu yang baru. Semoga kau suka dan betah disini" Kata Abram lembut membuat Calya yang sedang menatap sekitar berhenti dan beralih menatapnya.
"Calya suka selama ada papa" sahut Calya datar. Tidak ada wajah bahagia atau senang. Hanya ada wajah tanpa ekspresi.
Walau begitu Abram tak mempermasalahkannya. Justru hatinya menghangat ketika mendengar kata putrinya. Dia senang saat putrinya menganggap keberadaannya sangat penting baginya.
"Papa janji tidak akan mengabaikan mu lagi. Papa akan menyayangimu dan tidak membiarkanmu merasa sendiri" Calya hanya membalas dengan gumaman pelan. "Ya udah ayo kita masuk" Abram merangkul bahu putrinya dan membawanya masuk ke dalam.
"Bawa semua barang nona pertama ke kamar yang telah disediakan. Suruh pelayan merapikannya" Abram memberi perintah kepada kepala pelayan yang sudah menyambut kedatangan mereka di depan pintu.
"Baik tuan"
Kepala pelayan itu bergegas keluar bersama beberapa pelayan untuk mengambil barang Calya di mobil . Sedangkan Abram dan Calya berjalan menuju ruang tamu. Tempat penghuni lainnya menunggu.
Saat tiba, keduanya langsung di sambut dari tiga pasang mata yang berbeda. Namun sorot yang di tampilkan hampir sama. Sama-sama tidak bersahabat. Abram tidak menyadari itu. Berbeda dengan Calya yang peka. Tapi bukannya takut malah tetap tenang dengan raut tanpa ekspresinya.
"Bram kau sungguh membawanya? Bukankah sudah ibu bilang tidak boleh membawa apapun bagian dari wanita itu lagi" Nyonya tua Lawson lebih dulu membuka suara. Langsung menyuarakan isi hatinya atas ketidaksukaannya pada Calya.
"Bu, Calya adalah putri kandung ku. Dia berhak tinggal disini" Abram menimpali perkataan ibunya dengan ketegasan yang tidak bisa dibantah.
Ketidaksukaan semakin timbul pada nyonya tua Lawson, "baik dia memang putrimu. Tapi apakah kau sudah membicarakannya dengan istri dan putrimu? Apakah kau tidak bertanya apakah mereka setuju atau tidak" melihat ke arah dua perempuan di dekatnya lalu beralih pada putranya.
"Kenapa aku harus meminta persetujuan mereka jika ingin membawa putriku untuk tinggal disini? Aku kepala rumah, jadi aku bebas melakukan apa yang aku mau" menjawab dengan ringan tanpa merasa terbebani atau bersalah.
Ketiga perempuan di sana jelas terkejut dan tidak percaya. Terutama sang istri yang merasa tidak dihargai.
"Apa maksud papa berbicara seperti itu? Apa papa sekarang lebih menyayangi anak itu daripada kami?" Rihanna Lawson, putri kedua Abram dari istri keduanya. Berkata dengan lantang dan penuh kebencian.
"Anna turunkan nada bicaramu!! Apa seperti ini etika yang di ajarkan padamu?" Tegur Abram marah. Rihanna pun terdiam ketakutan.
"Bram putrimu hanya bertanya padamu. kau tidak perlu memarahinya" Rose membela putrinya. Ia adalah istri kedua Abram.
"Aku tidak memarahinya. Aku hanya menegurnya untuk berbicara lebih sopan" kilah Abram.
"Oke Anna bersalah. Tapi apa yang dikatakan ibu tadi ada benarnya. Seharusnya kau bicarakan dulu perihal ini padaku. aku adalah istrimu" protes Rose. Ia tidak akan terima jika anak wanita itu tinggal disini.
Calya yang menjadi titik permasalahan hanya diam menyaksikan. Terlihat menikmati gurat ketidak berdayaan ketiga perempuan itu.
"Rose cukup jangan membuatku mengulangi perkataanku. Ini adalah rumahku. Aku bebas ingin membuat siapa saja tinggal disini. Jika kau tidak suka silahkan pulang ke rumahmu"
Lagi, perkataan Abram kembali mengejutkan ketiganya.
"Abram kau paham kan apa yang kau bicarakan?" Tanya nyonya tua Lawson memastikan. Tidak di sangka putranya akan mudah berbicara seperti itu. Memulangkan istri kerumahnya bukankah artinya menceraikannya.
"Aku sangat paham betul ibu. Jadi jika ada yang masih tidak setuju, silahkan angkat kaki dari sini" Tegas Abram datar. Sudah cukup dia mendengar ucapan ibu dan istrinya untuk melarangnya bertemu putrinya. Kali ini dia yang akan memutuskan.
Semua bungkam tak ada yang berani membuka suara. Masih cukup pintar menangkap maksud ucapan Abram. Meski tidak suka sekalipun harus tetap mematuhi. Jika menentang lagi, maka keluar dari rumah ini adalah resikonya. Dan mereka tidak mau itu terjadi. Mereka masih ingin hidup mewah.
Karena Lawson adalah salah satu keluarga terkaya di negara ini. Jika mereka keluar, tak akan ada lagi hal yang bisa dibanggakan di hadapan teman maupun publik.
Tak ada perlawanan lagi, Abram beralih menatap Calya yang daritadi hanya diam disampingnya. Ia tidak merasa enak hati membiarkan putri pertamanya melihat semua ini. Padahal nyatanya Calya mendesah kecewa dalama hati karena terlalu cepat berakhir.
"Calya kau tak perlu hiraukan perkataan mereka. Pergilah istirahat ke kamar, pelayan akan mengantarkanmu. Papa harus kembali ke kantor dulu. Dan untuk perpindahan sekolah biar papa yang mengurusnya" berkata lembut.
"Baik pa" sahut Calya dengan senyum senang. Sengaja ingin memanasi mereka bertiga. Dan itu berhasil. Mereka terlihat seperti orang yang kebakaran jenggot.
"Baiklah papa pergi dulu. Pak Lan antarkan nona pertama ke kamarnya" Kepala pelayan langsung menyahut patuh.
"Hati-hati pa" Abram mengangguk sambil tersenyum simpul pada Calya. Mengelus kepalanya sebentar lalu pergi tanpa menoleh pada ketiga perempuan itu.
Saat kepala rumah telah pergi. Ketiganya menatap Calya dengan sorot mematikan. Terutama Rihanna yang langsung berlari menerjang Calya dengan tamparan. Sangat marah melihat papanya lebih menyayangi Calya.
"Nona pertama awas!" teriak Pak Lan.
Tanpa di beritahu pun Calya tau apa yang harus dilakukan. Dengan tenang Calya menghindar hingga tangan Rihanna tidak menyentuh apapun. Justru terlalu kencang berlari, Rihanna tidak bisa menyeimbangkan tubuh dan akhirnya terjatuh ke lantai.
"Anna/nona Anna!!" Ketiga orang itu berteriak bersamaan.
Rose dan Nyonya tua Lawson bergegas menghampiri Rihanna. Membantunya untuk berdiri. Begitupun pak Lan, namun langsung di tepis oleh Rihanna.
"Apa yang kau lakukan pada cucuku!!" bentak nyonya tua. Tatapannya berkilat marah hendak membelah tubuh Calya.
"Aku bahkan tidak menyentuhnya" hanya di jawab santai oleh Calya tanpa merasa takut.
"Kau seharusnya tidak menghindar dan membuat Anna ku terjatuh" Rose ikut menimbrung dengan sinis sambil memapah putrinya.
Calya terkekeh geli, "apa kau bodoh? seseorang akan memukulku kenapa aku tidak boleh menghindar" Ejeknya.
"Ka,kau! Beraninya dirimu!" Rose merasa darahnya mendidih mendengar dirinya dikatai bodoh. Anak ini sangat berani padanya, gumamnya dalam hati.
Calya tidak menyahut. Sudah merasa bosan, ia pun berkata pada pak Lan untuk menunjukkan kamarnya.
"Hey kau mau kemana? siapa yang memberimu izin untuk pergi!!" Langkah Calya terhenti lalu berbalik kembali dan menatap nyonya tua dengan datar.
"Kurasa anda masih dapat mendengar dengan baik. Apa perlu aku mereka ulang adegan dimana papa menyuruhku untuk istirahat ke kamar?Anda tidak mau kan putramu kembali dan memarahi anda nyonya Lawson yang terhormat" menekan kata terhormat sambil memberikan pandangan meremehkan.
"Ayo pak Lan" lanjutnya kembali berjalan. Pak Lan mengikuti dengan perasaan tidak karuan. Ini pertama kalinya ada yang berani melawan ketiga perempuan itu. Berharap nona pertama tidak bertindak terlalu jauh. Takut jika tanpa sepengetahuan tuan Abram, nona pertama akan disiksa.
Bersambung~
Happy Reading...
"Dasar anak sialan! Emangnya kau siapa berani mengancam ku? Kau sama tidak tau malunya seperti ibumu!" Nyonya tua sudah terbakar emosi tapi di ujung tangga Calya terus berjalan tak menghiraukan.
Ruang tamu kini hanya menyisakan tiga orang yang masih berapi-rapi. Seakan ingin menyemburkan amarah tapi pada siapa. Orang yang menjadi pemicu kemarahan tidak terlihat lagi batang hidungnya.
"Bagaimana ini Bu, anak itu sangat kurang ajar! Abram bahkan tidak mendengarkan ku lagi" Ujar Rose sama emosinya dengan ibu mertua. Masih belum terima apa yang terjadi hari ini.
"Iya nek. Pokoknya aku tidak suka dia tinggal disini. Baru datang saja sudah merebut kasih sayang papa. Bagaimana jika dia mengambil apa yang menjadi milikku?" timpal Rihanna gusar. Membiarkan anak itu tinggal sama saja menjadi boomerang bagi dirinya. Ia tak akan pernah mau mengakui anak itu sebagai kakaknya. Gara-gara dia, dirinya ditegur oleh papa untuk pertama kalinya.
"Nenek juga bingung harus mengatakan apa lagi. papamu sangat keras kepala jika sudah mengambil keputusan. Kita tak punya pilihan lain selain membiarkan anak itu tinggal disini" kecemasannya akhirnya terjadi. Abram datang membawa putrinya dari wanita kampungan itu untuk tinggal bersama kita. Ini akan menjadi aib bagi keluarga Lawson.
"Lalu nek kita harus apa. Kita tak mungkin kan membiarkan anak miskin itu tinggal disini selamanya" sahut Rihanna masam. Rose nampak menyetujui ucapan putrinya.
"Kalian tidak perlu khawatir. Mana mungkin nenek akan membiarkan anak miskin itu tinggal disini dan membuat malu keluarga" ujar nyonya tua sinis " Kita hanya perlu melakukan beberapa metode untuk membuat papamu membencinya. jika papamu membencinya bukankah akan mudah mengusirnya dari sini?" wajah yang terlihat awet muda itu tersenyum licik.
Ibu dan Anak itu juga tidak bisa menahan diri untuk ikut tersenyum. Mendengar kata metode, mereka paham apa maksud sang nyonya tua. Mereka tau metodenya memang tak bisa diragukan. Dan Rose menjadi saksi bagaimana ibu mertuanya membantunya untuk merebut Abram dari istri pertamanya. Mereka percaya jika semuanya pasti akan berjalan lancar.
***
Di lantai tiga, Pak Lan menghentikan langkahnya di sebuah pintu yang masih tertutup. Lalu berbalik untuk menatap Calya.
"Nona Pertama ini adalah kamar anda. Semua sudah siap. Anda bisa langsung istirahat" ujar Pak Lan sopan.
"Calya saja. Dan terimakasih" sahut Calya datar.
"Baik. Sama-sama nona Calya" Pak Lan sempat bingung tapi kemudian paham saat Calya menyuruhnya memanggil dengan nama.
Karena sudah tidak ada lagi Calya ingin masuk, tapi melihat pak Lan belum juga pergi dari sana, Ia pun menoleh dan menatapnya datar, "Ada lagi?" Namun Pak Lan hanya diam seperti ragu untuk berbicara. "katakanlah pak Lan! Saya akan mendengarkan!"
Pak Lan pun mulai memberanikan diri untuk bicara dengan hati-hati agar tidak menyinggung nona pertamanya.
"Nona Calya selama tinggal disini anda harus berhati-hati. Jangan sampai anda membuat mereka marah, takutnya nona tidak akan bisa tenang selama disini. Tuan juga jarang di rumah jadi anda tidak bisa meminta perlindungannya setiap saat"
Calya termangu. Tatapannya lurus pada pak Lan yang terlihat khawatir. Entah kenapa Ia sedikit tersentuh. Dua sudut bibirnya kemudian terangkat membentuk senyum tipis yang tulus. Menghilangkan jejak datar untuk sementara pada wajahnya.
"Terimakasih Pak Lan saya akan mendengarkan anda untuk berhati-hati"
Senyum lega terbit di wajah Pak Lan.
"Tapi saya butuh alasan kenapa anda mengatakan itu pak Lan" masih dengan senyum tipis tapi menuntut.
Berbeda dengan Pak Lan yang berhenti tersenyum. Tergantikan oleh wajah gelisah miliknya. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Dan Calya tau apa penyebabnya.
"Apa ini ada hubungannya dengan ibu ku dulu? Apa pak Lan tau ibuku dulu diperlakukan buruk hingga pak Lan menyuruhku untuk hati-hati?" tepat sasaran. wajah pak Lan seketika menegang dan semakin gelisah. Dia hanya diam tak berani menjawab pertanyaannya.
"Pak Lan tak perlu menjawab. Anggap saya tidak pernah bertanya apapun pada anda" karena dirinya sudah tau seperti jawabannya. Hanya dengan melihat reaksinya saja dirinya sudah bisa menyimpulkan, "sekarang saya ingin istirahat dulu. Saya boleh masuk, kan?" tersenyum tipis seakan tidak ada ketegangan diantara mereka.
"Si,silahkan nona. Selamat istirahat" Calya mengangguk pelan kemudian masuk ke kamarnya dan meninggalkan Pak Lan yang masih termenung.
Tadi, dirinya terlalu impulsif. Mengira jika nona Calya tidak akan mengerti maksudnya. Tapi siapa sangka, dia paham apa yang dirinya pikirkan. Ternyata nona Calya sangat cerdas. Lambat laun dia pasti akan tau seperti apa ibunya diperlakukan saat tinggal disini. Semua orang disini telah dibungkam oleh nyonya tua termasuk dirinya. Itulah kenapa dirinya tidak berani menjawab pertanyaan nona Calya. Ketahuan sedikit saja maka resikonya sangat besar.
Lama dalam lamunan akhirnya Pak Lan beranjak dan turun ke bawah.
Sementara di dalam, Calya tidak lagi bersama senyum tipisnya. Senyum itu sudah berubah menjadi senyum dingin hingga ke pancaran matanya. Kembali pada wajah yang datar tanpa ekspresi. Auranya bahkan sudah berubah menjadi gelap. Siapa saja akan bergetar ketakutan jika melihatnya.
"hati-hati, eh?" kepingan pembicaraannya dengan Pak Lan kembali melintas. Ia tersenyum sinis mengingat bagaimana kepala pelayan itu terlalu takut untuk menjawab pertanyaannya.
"Sejauh apapun kalian menyembunyikan aku akan tetap mengetahuinya. Karena perbuatan busuk tidak akan mampu menyembunyikan baunya terlalu lama"
"Dan untuk kalian yang sudah menyakiti ibuku! Akan ku balas perlahan-lahan, membuat kalian meraung dalam penderitaan sampai kalian menyesal telah dilahirkan" berkata dengan dingin.
Inilah tujuan dirinya menerima uluran tangan ayahnya untuk membawanya datang ke tempat ini. Mencari tau apa yang telah dilalui ibunya hingga terus menderita diakhir hidupnya. Impiannya untuk membahagiakan sang ibu harus tertelan bersama kepergiannya. Dirinya bahkan tidak bisa mendampingi disaat terakhirnya, karena saat itu dirinya berada dikota lain bersama paman dan bibinya.
Di saat dirinya masih bayi, ibunya sudah bercerai dengan ayahnya, entah karena alasan apa. Ayahnya ingin mengambil hak asuh atas dirinya tapi nyonya tua itu tak memberikan. Hingga hak asuh jatuh pada ibunya.
Ibunya yang malang tidak punya apa-apa berjuang untuk menghidupinya. Dengan kondisi lemah Ia terus bekerja. Selain itu ayahnya ternyata juga memberikannya pesangon hidup tiap bulan dalam jumlah yang besar. Dan itu pun tanpa sepengetahuan nyonya tua.
Hanya beberapa tahun itu bertahan, hingga ayahnya ketahuan oleh nyonya tua. Yang menjadi sengsara adalah ibu dan dirinya. Nyonya tua melampiaskan semuanya pada kami berdua. Ia sangat murka karena mengetahui putranya masih berhubungan dengan ibunya.
Inilah yang membuat ibunya harus menyerahkan dirinya pada paman dan bibi di kota x. Ibunya tidak ingin dirinya ikut menderita atas perbuatan sang nyonya tua yang kejam itu. Hal ini pula yang membuatnya benci pada diri sendiri. Tidak bisa apa-apa untuk melindungi ibunya. Dirinya yang masih kecil berharap tumbuh besar dan jadi kuat secepatnya. Namun ketika keinginan itu terwujud, ibunya justru telah tiada.
Tak terasa air matanya menetes tanpa komando. Kesedihan atas kepergian ibunya belum ia terima sepenuhnya. Rasanya sesak mengingat ibunya tidak pernah bahagia. Dan ini semua gara-gara nyonya tua gila itu. Semua kebahagian ibunya telah direnggut olehnya. Bahkan saat ibunya sudah terlepas dari putranya sekalipun ibunya tak bisa menemukan kebahagiaannya sendiri.
"Aku bersumpah akan membuat kedatanganku adalah mimpi buruk bagi kalian!"
Suara lirih di keheningan kamar menjadi saksi bagaimana kebencian Calya yang mendarah daging.
Bersambung~
Happy Reading...
Waktu terus bergerak, tak terasa siang sudah tergantikan dengan malam. Calya masih berdiam diri di kamar barunya. Jarak waktu berjam-jam yang dilalui hanya diisi dengan bobo cantik. Tidak mau ambil pusing apakah perilakunya dikatakan sopan atau tidak sebagai pendatang baru dirumah ini. Dan tetap santai meski di bawah sana ada tiga singa betina yang terus mengaum.
Bertepatan saat dirinya baru selesai dari kamar mandi, seseorang mengetuk pintu. Setelah itu terdengar suara dari seorang pelayan yang memintanya untuk turun makan malam. Ia hanya menyahut singkat kemudian tak terdengar suara lagi.
Sudah rapi dengan baju santai, Ia turun ke lantai satu tepatnya ruang makan. Ketika tubuhnya sudah menginjakkan kaki di sana, ternyata semua orang sudah ada dimeja makan. Tinggal dirinya seorang yang belum.
Atensi semuanya teralihkan. Tatapan yang sama saat tadi pagi kembali Ia dapatkan. Hanya papanya yang menatapnya hangat sambil tersenyum.
"Kemarilah sayang, sini duduk di dekat papa!" Abram menunjuk kursi di sebelah kanannya yang masih kosong.
Ia mengikuti arah tunjuk papanya. Diam-diam menyeringai saat mengetahui bahwa kursi itu sengaja dikosongkan untuknya. Melihat bagaimana kecutnya wajah Rihanna yang duduk di samping kursi itu. Ia yakin jika kursi itu biasanya adalah tempat duduknya tapi disuruh pindah oleh papa.
"Terimakasih pa" duduk tenang seolah tidak terganggu dengan tatapan yang ingin mengoyak habis dirinya.
Ayo terus tunjukkan wajah jelek kalian! Semakin membuatku bersemangat untuk memprovokasi kalian
"Santai sekali dirimu ya! Sampai membiarkan kami menunggu sangat lama" Suara ketus dari nyonya tua memudarkan senyum Abram dan beralih menatap ibunya.
"Ibu jangan bicara seperti itu! Ini pertama kalinya Calya ke rumah ini. Ia masih belum tau" Abram membela.
"Kami juga tau Ia pertama kali disini. Tapi setidaknya tunjukkan hormatnya pada kami, bukan membiarkan kami menunggu hingga kelaparan!" Rose menimpali dengan nada sarkastis. Niatnya ingin membantu ibu mertua untuk memojokkan Calya.
"Iya pa. Anna juga sudah kelaparan karena kelamaan nunggu" Sekarang giliran Rihanna yang merengek sambil meletakkan tangannya diperut. Menunjukkan bahwa dirinya juga sudah sangat lapar. Sengaja ingin mendapat simpati dari papanya agar Calya kena tegur.
Calya mendengus dalam hati. Sepertinya kalian sangat tidak sabaran ingin membuat dirinya dibenci. Lihatlah, papanya sampai tidak tau harus berkata apa. Hebat sekali kau nyonya tua. Sangat tau darimana harus mulai bertindak. Tapi inilah yang dia inginkan. Membiarkan kalian memulai lebih dulu, lalu dirinya menyerang balik hingga tak berkutik.
"Tidak apa-apa ini memang salahku pa" senyum kemenangan di wajah mereka langsung membuatnya geli. "Harusnya aku tidak membuat semua menunggu. Takutnya nanti akan ada huru hara disini. Seperti kejadian dikebun binatang yang hewannya menggila karena sudah sangat lapar" tersenyum polos.
Pfft.
Abram dan beberapa pelayan disana berkedut menahan tawa. Perkataan Calya barusan mengartikan jika mereka akan menggila jika tidak bisa menahan lapar. Mengamuk atau menyerang seseorang seperti yang dilakukan hewan dikebun binatang.
Sedangkan orang yang disindir langsung berwajah kesal bercampur malu. Ingin marah maka perkataan Calya akan benar adanya. Jadi mereka bertiga hanya diam menggertakkan gigi sambil mengumpat dalam hati. Hanya itu yang bisa di lakukan untuk meredam kekesalan mereka.
Bocah sialan! Awas kau!, Nyonya tua.
Jika tidak ada Bram disini aku pasti akan menampar mulut sialanmu itu! , Rose.
Dasar ja*lang! beraninya kau mempermalukan kami. Tunggu saja aku akan membalasmu! , Rihanna.
Calya mendapati sorot tajam dari berbagai sisi hanya memasang senyum polos yang terlihat menyebalkan bagi ketiganya. Ia tau jika mereka mengumpatinya di dalam hati. Tak terbayang seberapa kesal dan malunya mereka. Yang pasti Ia puas akan hal itu.
"Sudah sudah kita tak usah berbicara lagi" Abram mencoba menjadi penengah meski tawanya masih terdengar samar. "Karena kalian lapar mari kita makan. Jangan sampai ada kekacauan di meja makan" setelah itu terkekeh geli sebab tidak tahan. Namun berusaha menghentikan saat dirinya mendapat pelototan dari ibu dan istrinya.
Makan malam kemudian berlangsung dengan suasana yang sedikit berbeda. Dengan ketegangan yang masih belum menghilang. Tentunya hanya bisa dirasakan oleh para pelayan. Karena Abram sendiri fokus dengan makanannya dan makanan untuk Calya. Jadi tidak sadar ada kilatan tajam dari belahan bumi lain.
***
Berakhirnya makan malam, berakhir pula ketegangan di atas meja makan. Tapi permusuhan yang berkobar tentu tidak padam begitu mudah. Malah semakin membesar. Setelah Calya berbincang sebentar dengan papanya di ruang tamu untuk membahas tentang sekolah. Ia kembali ke kamar. Mungkin yang lainnya juga sudah masuk ke kamar masing-masing. Tapi dugaan itu langsung terbantahkan. Sebab baru beberapa menit Calya di kamar, pintunya sudah di ketuk dengan keras.
Saat membukanya, Calya langsung mundur beberapa langkah ke belakang karena ada tenaga kuat yang mendorongnya. Dengan sigap dia mencoba menahan keseimbangan tubuhnya. Lalu menatap siapa orang yang melakukannya.
Ternyata itu adalah Rihanna. Berdiri dengan ekspresi mengeras dan seluruh wajah memerah. Tatapan yang penuh kebencian dilayangkan untuknya. Seakan menunjukkan bahwa kejadian di meja makan belum berakhir dan sekarang baru diperhitungkan. Namun bukannya ikut tersulut, Ia justru mengumbar senyum manis lalu berkata selembut sutra. Seolah menjadi saudara yang hangat tanpa ada benci di antara mereka.
"Apa yang membawamu kesini adik? Kau terlihat bersemangat sekali. Apa kau ke sini ingin mengakuiku sebagai kakakmu?"
"Tidak sudi! Seumur hidup aku tidak akan sudi mengakui kau sebagai kakak ku! Hanya ada satu anak di rumah ini yaitu Rihanna Lawson!tidak ada yang lain" menjawab cepat dengan suara lantang.
"Astaga adik kenapa bicara seperti itu? Jika di dengar oleh papa kau akan kena marah " pura-pura terkejut sambil menunjukkan perhatian.
Rihanna menyipitkan mata tidak suka,"Dia bukan papamu. Aku tidak setuju kau memanggilnya papa" Sikap kekanakannya keluar. Calya hanya memutar mata bosan karena harus berurusan dengan bocah.
"Lagipula ibumu tidak pernah diakui sebagai istrinya papa. Huh, siapa juga yang ingin mengakui wanita j*lang yang sama menjijikkannya seperti dirimu!" Rihanna kembali melanjutkan ucapannya. Kali ini terdengar lebih kasar. Tanpa menyadari bahwa ucapannya bisa menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Hanya tersenyum puas karena merasa sudah berhasil memprovokasi lawannya.
Calya tak lagi tersenyum. Dingin dan datar menguasai wajahnya, bisa ditebak jika dirinya terpengaruh dan merasa marah. Namun hanya sekilas, karena senyum kembali mendominasi. Bukan senyum manis atau menjengkelkan melainkan senyum dingin yang mengerikan. Dan pada detik berikutnya, tangannya secepat kilat meraih leher mulus itu dan mendorongnya ke dinding dekat pintu. Hingga terdengar suara sangat keras.
"Akh a-apa ya-yang kau lak-lakukan! Lep-paskan ak-aku!!"
Bersambung~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!