NovelToon NovelToon

MY SOULMATE

1. Indonesia

[Perjalanan awal menuju masa depan.]

***

New york 07:39 menit.

Malam kini telah berganti dengan pagi. Bulan pun berganti dengan matahari. Kota New york yang semula di hiasi kerlap-kerlip lampu pun lenyap digantikan dengan megahnya pemandangan kota New york yang perlahan terlihat jelas. Kabut tipis samar-samar terlihat masih menyelimuti sekitarnya dan perlahan mulai terbiaskan oleh sinar matahari yang mulai menguasai dunia.

Pria yang masih bergelut di atas ranjangnya itu terlihat menggeliat, kedua matanya pun terlihat berkedut hingga kemudian terbuka secara perlahan menampilkan iris coklatnya yang menawan, mampu menyihir orang-orang yang melihatnya.

Untuk sesaat dia memejamkan matanya, merasakan silau dengan cahaya matahari yang menerobos masuk ke dalam retina matanya tanpa permisi. Begitu dia kembali membuka matanya. Iris matanya yang berwarna coklat itu nampak berbinar begitu diterpa cahaya matahari yang masuk melalui cela-cela tirai tipis yang terpasang di jendela raksaksa kamarnya.

Wajah putih bersihnya terlihat sembab dengan bibir merah muda sedikit berisinya nampak terlihat sexy ketika cahaya matahari juga ikut menyoroti keseluruhan wajahnya.

Dia menguap kecil lalu menggaruk pipinya yang terasa gatal sebelum akhirnya pria itu bangkit terduduk dengan rambut tebalnya yang terlihat kusut bagaikan singa.

Sembaring menatap sekeliling apartemen mewahnya yang terlihat sepi, pria itu pun kembali menguap lebar sembaring meringsek turun dari ranjang king sizenya. Dia berjalan mendekati jendela hanya untuk membuka lebar-lebar tirai kamarnya hingga pemandangan indah pun terpampang nyata dihadapannya.

Kedua sudut bibirnya tertarik, menciptakan senyum tipis hingga memperlihatkan lesung pipit cukup dalam di kedua pipinya membuat wajah itu terlihat semakin tampan dan bersinar.

Puas memandangi pemandangan dihadapannya, pria itu pun bergerak pergi ke kamar mandi mewahnya untuk melakukan ritual pagi, yakni mandi.

Menyalakan shower, pria bertubuh tinggi dan besar bagai atletit dengan perut sispacknya yang terbentuk sempurna di perutnya itu berdiri di bawah guyuran air yang keluar dari shower— membiarkan seluruh tubuhnya basah oleh air. Dia menyisir surai hitamnya kebelakang sembaring mengusap wajahnya beberapa kali dengan telaten.

Sementara itu di lain sisi. Seorang pria paruh baya berpakaian rapih dengan jas hitam pas yang melekat di tubuhnya, serta kacamata yang bertengger di batang hidungnya terlihat melangkah memasuki apartemen dengan map hitam terapit di tangan kirinya.

"Kau datang sepagi ini? Apa ada sesuatu yang terjadi di kantor." Suara berat yang berasal dari si pemilik apartemen terdengar— Ararya Arik Natama, akrab di sapa Arik itu terlihat baru saja keluar dari kamar mandi lengkap dengan handuk putih yang membungkus bagian bawahnya.

Pria paruh baya yang baru saja memasuki apartemennya— tak lain adalah Zou Kasuo— orang kepercayaanya sekaligus sekertarisnya itu menoleh padanya.

Arik menatap Zou sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil yang baru saja dia ambil dari dalam lemari pakaiannya.

"Maafkan saya tuan, karena sudah lancang masuk ke apartemen anda tanpa permisi terlebih dahulu," ucap Zou merasa tidak enak.

Arik tersenyum, "Tidak masalah. Jadi apa yang membawamu kemari, sepagi ini," tanya Arik lagi nampak terlihat begitu penasaran. Wajar saja Arik terlihat begitu sangat penasaran karena Zou tidak pernah datang ke apartemennya secara mendadak seperti ini, apa lagi pria paruh baya itu tidak sempat menghubunginya terlebih dahulu. Sudah bisa Arik tebak, pasti ada hal yang sangat penting yang ingin Zou sampaikan padanya.

Zou menyerahkan map hitam yang sejak dari tadi dia bawa kepada Arik. Arik pun langsung mengambil map itu dan bukanya lantas membaca berkas dalam map tersebut dengan cermat.

"Natama group yang ada di indonesia mengalami masalah cukup besar tuan, seseorang dalam perusahaan sudah membocorkan proyek rahasia perusahaan kita pada perusahaan lain. Yakni perusahaan C&L group. Tak hanya itu saja, saya juga mendapat laporan dari Zenas kalau direktur Hamdan ternyata sudah menggelapkan sejumlah uang perusahaan yang mencapai kerugiaan hingga milyaran rupiah." Lapor Zou.

"Untuk selebihnya tuan bisa menanyakannya pada Zenas."

Arik menutup keras map di tangannya itu lalu menyerahkannya kembali pada Zou. Ekspresi wajahnya yang semula tenang dan ramah seketika berubah jadi dingin. Pria itu menghela nafas dalam, melempar handuk yang dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya ke atas kasur lalu menatap sekertarisnya yang sudah 11 tahun mengabdi padanya dengan tatapan tajam.

"Kenapa Zenas baru melaporkan ini sekarang? Seharusnya dia melaporkannya dari dulu!"

Zou menunduk. "Maaf tuan, Zenas belum bisa melaporkannya pada tuan karena dia baru mengetahui hal tersebut baru-baru ini. Hamdan dan orang yang sudah menjual proyek kita pada orang lain benar-benar bermain dengan lihainya sehingga Zenas kesulitan untuk mendapatkan buktinya."

Arik mendengus.

"Kalau begitu siapkan jet pribadiku sekarang juga, kita akan ke indonesia hari ini juga!"

Zou mendongak, menatap tuannya dengan tatapan ragu, "Tapi tuan, hari ini kita ada janji meeting dengan mr. Ten di thailand."

Seolah di ingatkan kembali akan janjinya dengan perusahaan thailand itu Arik langsung memijit keningnya yang terkena migrain seketika.

"Apa kau bisa mundurkan jadwal meetingnya, aku tidak mungkin bisa terbang ke thailand sekarang mengingat perusahaan di indonesia sedang dalam masalah besar. Aku harus segera menanganinya."

"Baiklah tuan, akan saya usahakan untuk meminta jadwal ulang pada tuan Ten. Kalau begitu saya permisi tuan."

Arik mengangguk, menatap sekilas Zou yang melangkah keluar meninggalkan apartemennya. Seperginya Zou, Arik lantas membuka lemari pakaiannya— mengambil satu set pakaian yang akan dia kenakan hari ini untuk pergi ke indonesia.

***

Hari ini cuaca benar-benar terlihat indah. Langit biru membentang luas menaungi bumi, angin sepoy yang berhembus lembut menampar wajah Arik begitu dia turun dari mobil mewahnya.

Setelan mahal yang melekat di tubuh atletisnya itu terlihat begitu pas dan elegan namun juga terkesan mewah. Jas hitam yang di lengkapi kemeja putih di dalamnya itu serta celana hitam licin yang dikenakan Arik hari ini terlihat kontras dengan kulit tubuhnya yang putih. Kacamata hitam dengan lensa gelap yang dikenakannya pun jadi penambah nilai plus pada penampilan sempurna Arik hari ini membuat semua mata yang memandangnya dibuat takjub dan terpesona.

Sebuah jet pribadi dengan nama ‘Natama’ tertulis di badan jet tersebut— terpampang dihadapannya dengan pintu pesawat yang sudah terbuka menurunkan tangga naik menuju jet tersebut. Dengan langkah gagah Arik berjalan memasuki jet pribadinya itu, di mana sekertarisnya Zou dan beberapa pramugari yang bekerja di bawahnya langsung menyambutnya di dalam.

"Bagaimana apa semuanya sudah beres," tanya Arik sembaring jalan ke salah satu kursi.

"Semuannya sudah saya siapkan dan bereskan tuan," jawab Zou mengikuti Arik hingga tuannya itu duduk di salah satu kursi.

"Lalu bagaimana dengan Ten? Apa dia setuju meeting hari ini kita undur," tanya Arik lagi sembaring sibuk memakai sabuk pengamannya.

"Awalnya tuan Ten tidak setuju. Tapi karena saya menjelaskan situasi tuan saat ini yang akan benar-benar sangat sibuk mengurus cabang perusahaan di indonesia akhirnya tuan Ten pun setuju, tapi waktu kesepakatan hanya akan di undur selama satu minggu saja tuan." Beritahu Zou.

Arik mengangguk. "Tidak masalah, baiklah kau boleh pergi."

Zou menunduk lalu pergi dari hadapan Arik untuk duduk di kursi lain yang sudah disediakan untuknya.

Mengusap dagunya Arik menatap keluar jendela di mana jet pribadinya itu mulai berjalan sebelum akhirnya lepas landas.

***

Indonesia 01:23 menit.

Berjam-jam berada dalam pesawat di tambah duduk selama sejam lebih dalam taksi menuju hotel yang akan dia tempati membuat bokong Arik terasa kebas belum lagi tubuhnya yang terasa pegal karena selama perjalanan dia habiskan hanya untuk duduk dalam kendaraan. Dan begitu dia sampai di hotel, Arik langsung merebahkan dirinya di atas kasurnya yang super lembut dan empuk.

Nyaman. Satu kata yang mampu menggambarkan perasaannya saat ini.

Lelah yang menggerogotinya pun tergantikan dengan rasa kantuk yang kian datang begitu dirinya menyentuh kasur dan bantal tersebut. Sampai-sampai hampir saja Arik dibuat terlelap jika saja bel beruntun yang begitu bising tidak mengganggu ketentraman hidupnya.

Berdecak, Arik bangkit dari posisi tidurnya dengan terpaksa— raut kekesalan tercetak jelas sekali di wajah pria berusia 25 tahun itu dengan sorot mata yang terlihat sayu di tambah lingkaran hitam di bawah matanya yang kian jelas, menunjukan bahwa dirinya saat ini sangat lelah dan membutuhkan istirahat.

Tapi yang bertamu pada pukul dini hari seperti ini sepertinya tidak tahu akan etika bertamu yang baik serta privasi seseorang yang membutuhkan istirahat alias tidur. Dengan tidak sopannya tamu itu bahkan terus membunyikan bel tanpa henti meski Arik sudah membukakan pintu hotelnya lebar-lebar.

"Brisik!"

Kesal, marah dan ingin mengumpat bercampur menjadi satu saat Arik tahu siapa pelaku yang sudah mengganggu tidurnya itu dan juga si oknum yang tidak henti-hentinya memencet bel samping pintunya.

Levin Xartadyo, si oknum pengganggu ketentraman hidup Arik akhirnya berhenti juga membunyikan belnya— pria berambut merah itu nyengir lebar pada Arik yang lantas langsung memeluk erat-erat tubuh kekar dihadapannya dengan agak sedikit berjinjit akibat perbedaan tinggi mereka. Ya, Levin cukup pendek jika dibandingkan dengan Arik tapi dia juga tidak sependek itu kok.

"What’s up bro?! Lama tidak bertemu kau makin kekar dan tampan saja hehehe," kelakar Levin menepuk keras pundak Arik tanpa memperdulikan tampang kesal yang ditunjukan sahabatnya itu.

Arik mendengus keras saat melihat sabat sepermainannya waktu dari jaman Tk hingga langgeng sampai sekarang ini— menyelonong masuk ke dalam kamar hotelnya begitu saja, tanpa permisi sama sekali.

Kadang Arik bertanya-tanya pada dirinya sendiri kenapa dia mau-mau saja bersahabat dengan Levin yang kelewatan santuy. Saking santuynya, pria itu bahkan kini mengambil alih ranjangnya. Iya pria dengan rambut merah itu tiduran di atas ranjangya tanpa permisi pula.

"Jadi ada apa kau datang ke sini malam-malam begini?" tanya Arik sambil berusaha menahan kekesalannya.

"Mamih barusan mengusirku dari rumah, tidak ada pilihan lain selain ke sini," jawab Levin santai.

"Terus apa urusannya denganku? Dan itu kasurku jika kau lupa, Leviathan!"

"Pertama namaku Levin, Rik! Levin Xartadyo." Koreksi Levin dengan mata terpejam, "Dan kedua, aku ke sini karena mau menginap, hanya untuk malam ini saja kok."

Arik menghela nafas panjang bercampur lelah. "Kenapa tidak kau sewa saja hotel untuk diri mu sendiri, hanya untuk menyewa satu kamar hotel itu tidak akan membuatmu kesulitan."

"Aku bisa saja menyewa satu kamar hotel, tapi masalahnya mamihku menyita semua kartu kredit, Atm dan juga uangku."

Arik berdecak. "Memangnya apa yang sudah kau lakukan sampai ibu mu menyita semua kartu dan uang mu?"

Levin membuka matanya dan bergerak mengubah posisi tidurnya jadi menyamping.

"Itu karena aku sudah membuat keponakanku Ilira menangis, padahal aku hanya bercanda saja dengan mematahkan kepala barbienya," jawab Levin dengan wajah yang berubah menyendu.

"Pantas saja kau sampai di usir dari rumah dan ibu mu menyita semua kartu dan uang mu, bercandamu itu sudah keterlaluan, Levin."

Levin mempout bibirnya, "Keterlaluan dari mananya coba. Aku hanya bercanda, Arik. Lagi pula itu hanya boneka bukan manusia!"

"Tetap saja bercandamu itu sudah kelewatan batas."

"Ah sudah lah aku pusing, ingin tidur. Jangan menggangguku oke! Kau bisa tidur di sopa kan? Kecuali jika kau ingin tidur satu ranjang denganku, it’s oke aku masih bisa berbagi dengan mu selama itu bukan menyangkut wanita." Setelah mengatakan itu Levin mengubah posisinya membelakangi Arik.

Arik di buat melongo di tempatnya— tidak percaya dengan perkataan yang di lontarkan Levin barusan sebelum akhirnya dia tidur di kasurnya sendiri dengan santainya.

Tolong catat ini baik-baik. Levin tidur di ranjangnya begitu saja! Ranjangnya loh itu! Ranjang yang seharusnya Arik tempati tapi dengan seenak jidatnya Levin justru malah merebutnya begitu saja seolah tidak memperdullikan pemiliknya yang juga tengah membutuhkan ranjangnya. Bahkan perkataan yang Levin lontarkan seharusnya Arik lah yang mengatakannya bukan malah Levin. Tapi ini? Semuanya justru malah kebalikannya.

Sebenarnya di sini yang menyewa hotel itu dirinya atau Levin sih!

Arik mengepalkan tangannya dan mengumpat pelan— menyumpah serapahi sahabatnya itu dalam hati. Arik kemudian menghela nafas sedalam mungkin dan menghembuskannya secara teratur, mencoba menenangkan dirinya agar tidak terbawa emosi.

"Ya tuhan sebenarnya punya dosa apa aku sampai memiliki sahabat macam Levin," gerutu Arik.

Mendengus dan mengusap wajahnya kasar, Arik meraih selimut dan satu bantal yang di pakai Levin dengan kasar membuat dia sempat terbangun tapi tak lama kemudian Levin kembali tertidur.

"Kalau tahu akan menjadi seperti ini akhirnya, aku tidak akan membukakan pintu untuknya tadi," gerutu Arik lagi sambil menata bantalnya di atas sopa sebelum kemudian merebahkan dirinya di sana.

Menarik selimutnya hingga sebatas dada, Arik akhirnya memutuskan memejamkan matanya setelah dia sempat mendelik sebal pada Levin yang tertidur nyaman di kasur empuknya, pria itu bahkan sudah mengorok saja.

"Sial."

—o0o—

Entah kesialan apa yang menimpah Arik hari ini. Tiba-tiba saja mobil yang di kendarainnya mogok di tengah jalan.

Zou pergi untuk mencari bantuan atau bengkel membuat Arik mau tak mau di tinggal sendirian di bawah teriknya matahari yang terasa begitu menyengat. Di tambah lagi polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan-kendaraan yang memadati jalanan ibu kota, serta angin yang berhembus menghantarkan hawa panas alih-alih dingin— membuat Arik yang tengah berdiri di sisi trotoar dengan ponsel yang melekat di telinganya menggeram kesal.

Sejak dari tadi Arik mencoba menghubungi Levin. Niatnya sih mau minta Levin untuk segera menjemputnya, namun sudah dari sepuluh kali Arik mencoba menghubungi Levin. Pria itu tidak kunjung menjawab panggilan Arik membuat Arik kian kesal saja dibuatnya.

Saking kesalnya Arik hampir saja membanting ponselnya, namun niatnya itu urung begitu seorang musafir wanita melintas dihadapannya.

Musaifr wanita itu duduk di pinggir trotoar yang tidak jauh dari sebelah kiri Arik membuat Arik yang melihatnya jadi memperhatikannya.

Pakaian wanita itu terlihat kumal bahkan sobek di beberapa bagian. Rambut panjangnya pun terlihat kusut dan kotor begitu pun dengan wajah dan tangannya. Kaki kotor tanpa alas itu bahkan terlihat luka-luka membuat Arik menatapnya prihatin.

Merasa iba Arik lantas mengedarkan pandangannya hingga akhirnya dia menemukan sebuah warung yang berdiri dipinggiran jalan, bersebrangan dengannya. Arik lantas menyebrangi jalan untuk pergi ke warung tersebut kemudian membeli sandal, dua botol aqua, empat roti, obat merah dan beberapa plester di warung itu. Setelah membayarnya Arik kembali menyebrangi jalan dan langsung menghampiri musafir wanita itu.

"Ini mungkin tidak seberapa tapi saya harap ibu mau menerimanya." Dengan senyum ramah yang terpatri di bibirnya Arik menyodorkan belanjaannya itu kehadapan musafir wanita itu.

Wanita itu menatap kantung plastik yang disodorkan Arik untuknya sejenak lalu beralih menatap Arik dan tak lama kemudian dia mengambil kantung belanjaan itu.

"Terima kasih, nak," ucap wanita itu musafir itu.

"Sama-sama," jawab Arik. Tak lama kemudian sebuah taksi berhenti tepat disamping Arik lalu turun lah Zou dari dalamnya membuat Arik menatap sekertarisnya itu.

"Tuan mobil derek sebentar lagi akan kemari untuk membawa mobil tuan ke bengkel. Sambil menunggu mobil tuan kembali dibenarkan sebaiknya tuan segera pergi ke kantor dengan taksi ini," ucap Zou menatap Arik dan musafir wanita itu secara bergantian.

Arik menganggukan kepalanya kemudian menatap wanita musafir itu lagi dan rupanya wanita musafir itu juga tengah menatap ke arahnya dengan tatapan dalam.

"Tujuan hidup mu akan segera kau temukan nak. Tidak lama lagi kebahagiaan yang kau nantikan akan segera hadir dalam hidupmu," ucap wanita musafir itu tiba-tiba membuat senyum Arik langsung luntur seketika, digantikan dengan raut kebingungan sarat keingintahuan yang nampak begitu kentara.

"Kau hidup hanya untuknya, kau lahir hanya untuk bisa bersamanya, nak. Hanya untuk menempati janji dan sumpah lama yang kalian buat dulu. Jaga dia nak dan jangan kau sia-siakan takdir mu untuk yang kedua kalinya," ucap Wanita musafir itu lagi.

Wanita itu tersenyum lebar berbeda jauh dengan Arik yang kian kebingungan sampai Zou menepuk pelan bahunya membuat Arik kembali sadar akan kehadirannya.

"Ayo tuan, kita harus segera pergi dari sini," ajak Zou.

Dengan berbagai pertanyaan yang berkecamu dibenaknya. Arik terpaksa menuruti Zou masuk ke dalam taksi sebelum kemudian pria paruh baya itu menyusul ikut masuk ke dalam taksi dengan duduk di bagian depan bersama supir taksi.

Menurunkan kaca taksinya, Arik menatap wanita musafir itu lagi yang masih setia duduk di trotoar dengan senyum yang tak luput dari bibir keringnya.

"Tidak usah bingung nak karena apa yang ingin kau ketahui akan terjadi. Biarkan sang waktu yang akan menjawabnya. Semoga kau selalu di lindungi oleh yang maha kuasa dan selalu bahagia."

Seolah mantra sihir, setiap perkataan yang dilontarkan wanita musfir tua itu merasuk dalam pikiran Arik dan terus berputar-putar berulang kali, meski taksi yang di tumpanginya sudah melaju jauh meninggalkan wanita itu dibelakangnya hingga tidak terlihat lagi dipandangannya. Tapi Arik masih bisa mendengar jelas perkataan wanita itu di dalam batok kepalanya seolah sudah melekat di sana dan tidak mau keluar lagi.

"Apa maksud dari perkatan wanita itu?" pikir Arik berusaha mencerna segalannya.

Siapa yang akan hadir dalam hidupnya? Itu pun menjadi daftar pertanyaan Arik selanjutnya. Dia penasaran sangat penasaran namun Arik tahu dia tidak bisa memecahkannya begitu saja selain membiarkan waktu yang akan menjawabnya persis seperti yang di katakan wanita musafir tua itu. Hanya saja Arik sedikit heran bagaimana bisa wanita musafir itu tahu bahwa akan ada seseorang yang akan hadir di hidupnya. Orang yang selama ini sudah ditunggunya?

Memangnya siapa yang dia tunggu selama ini? Arik bahkan tidak tahu dan merasa tidak sedang menunggu siapa-siapa.

"Apa wanita itu memiliki kemampuan melihat masa depan?" batin Arik bertanya-tanya. Kerutan dikeningnya kembali hadir sementara sebelah tangannya terangkat menopang dagu. Dia menatap keluar jendela di mana pemandangan yang tidak jauh berbeda seperti di New york menjadi teman perjalanannya selama di jalan menuju kantornya.

"Tuan baik-baik saja?" tanya Zou menatap khawatir tuannya dari pantulan kaca spion.

Bukannya Zou tak tahu dengan apa yang dipikirkan Arik saat ini hanya saja Zou tidak ingin melihat tuannya berpikir terlalu keras, apa lagi itu untuk sesuatu yang belum pasti.

Zou tidak ingin Arik jatuh sakit karena terlalu banyak berpikir keras. Sudah cukup masalah yang menimpah perusahaan saat ini menjadi beban berat bagi tuannya yang bertanggunng jawab untuk menstabilkannya kembali. Dan sekarang Zou tak ingin hanya karena perkataan wanita musafir itu beban sang tuan kembali bertambah lagi.

"Aku baik-baik saja," jawab singkat yang diberikan Arik itu justru membuat Zou tidak tenang, pasalnya dia justru malah melihat raut tak biasa terpancar dari wajah sang tuan membuatnya jadi kian cemas.

"Tuan yakin tidak papa."

Arik melirik sekertarisnya sekilas lantas berkata, "Iya. Kau tidak perlu mencemaskanku."

"Tidak," batin Zou.

Zou tahu Arik sedang tidak baik-baik saja dalam keadaan seperti ini. Namun karena Zou sudah tahu tabiat tuannya yang seolah tidak ingin diganggu atau di tanyai lagi hanya dari jawaban singkat dan nada bicara yang diucapkan oleh Arik. Akhirnya Zou memilih diam dan mengubur segala pertanyaan juga kecemasaannya seorang diri. Meski mulut Zou rasanya gatal dan ingin terus menanyai Arik sampai akhirnya dia benar-benar merasa tenang dan yakin bahwa Arik memang tidak papa.

Sebenarnya bukan hanya Arik saja. Tapi Zou juga turut memikirkan perkataan tak biasa dari wanita musafir itu. Meski terdengar tak masuk akal tapi nada bicara wanita itu seolah mengandung berbagai makna rahasia.

2. Bertemu sahabat lama

[Menyingkirkan masalah yang ada.]

***

Arik menyenderkan kepalanya di kepala kursi lantas memijit pelipisnya yang terasa pusing.

"Zou. Apakah Sendral mau mengurus perusaanku untuk sementara waktu?" tanya Arik.

Sendral Awarman adalah sepupunya, dia tinggal di Prancis dan Sendral juga seorang pengusaha sukses hanya saja usaha yang di urus Sendral bergerak dibidang perhotelan, restauran dan juga bar.

Arik memang sudah menyuruh Zou untuk menghubungi Sendral— meminta bantuan pemuda berusia dua puluh tahun itu untuk mengurusi perusahaan induk Arik yang ada di New york untuk sementara waktu selama Arik menangani masalahnya di sini.

Meski masih muda dan hanya mengurus bisnis di bidang perhotelan, restauran dan juga bar. Tapi Sendral cukup mahir untuk mengelolah perusahaan yang Arik pegang karena anak itu memiliki kemampuan yang mumpungin juga cerdas, itu sebabnya Arik meminta bantuan Sendral karena dia bisa diandalkan.

"Sudah tuan. Dan tuan muda Sendral menyanggupi, beliau juga sudah berangkat menuju New york."

Arik mengangguk.

Tak butuh waktu lama taksi yang mereka tumpangi pun perlahan berhenti dan terparkir apik di depan gedung ‘Natama Group’ tak lama kemudian Zou turun dari dalam mobil lantas membukakan pintu untuk sang tuan.

Sesaat kemudian Arik menjulurkan kakinya, dengan wajah tegas penuh kewibawahan dia turun dari dalam taksi tersebut. Melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung perusahaannya membuat siapa pun yang melihatnya langsung terpesona dan jatuh hati hanya dengan melihat rupanya yang begitu rupawan bak disney prince yang ada dalam dongeng-dongeng pengantar tidur.

Lesung pipit muncul di kedua pipinya begitu Arik menyunggingkan senyum manis andalannya membuat para wanita yang melihatnya memekik tertahan.

Selain tampan, Arik juga terlihat manis, berkharisma dan sangat manly. Belum lagi dengan mata indahnya yang teduh menyorot lembut siapa pun yang berpapasan dengannya.

Sebelumnya Arik belum pernah datang dan menangani langsung perusahaan Natama yang ada di indonesia, Arik biasanya menyerahkan urusan perusahaan Natama yang ada di indonesia pada direktur yang ditunjuknya secara langsung. Namun kali ini berbeda. Karena perusahaan Natama group yang ada di indonesia terancam bangkrut akibat ulah direktur yang ditunjuknya sendiri, kini Arik terpaksa harus turun tangan langsung untuk menangani segala kekacauan yang sudah dibuat pegawainya sendiri. Merepotkan memang tapi ini sudah menjadi tanggung jawab Arik selaku Ceo utama Natama Group. Setidaknya, dengan pergi ke indonesia Arik jadi memiliki hal-hal baru setelah beberapa tahun hanya menghabiskan waktunya di Amerika serikat tepatnya New York.

Dan karena kedatangannya yang tiba-tiba itu membuat banyak Karyawan yang belum pernah melihatnya sama sekali, langsung terkejut. Selain terkejut bahwa bos utama mereka akhirnya menyambangi perusahaan Natama Group di indonesia. Para karyawan terutama karyawan wanita tidak pernah menyangka bahwa pemilik perusahaan Natama Group tempat mereka berkerja memiliki rupa yang hampir mendekati sempurna dan juga masih muda.

Selain tampan, kaya, masih muda Arik rupanya juga sangat ramah pada siapa pun termasuk karyawannya. Seperti contohnya saja sekarang, tanpa ragu Arik terus saja menyunggingkan senyum sepanjang jalan dan menyapa para karyawannya dengan lembut dan ramah, membuat orang-orang pun langsung segan dan menaruh perhatian padanya.

"Tuan Arik," sapa Zenas, dewan direksi yang mengawasi segala yang ada di perusahaan setelah pak Hamdan selaku direktur utama. Wanita 34 tahun itu menunduk sebentar lalu tersenyum menjabat Arik sesaat.

"Semua berkas yang saya minta sudah kamu siapkan?" tanya Arik.

Zenas mengangguk, "Sesuai perintah tuan. Saya sudah menyiapkannya dan menaruhnya di dalam ruangan pribadi tuan."

"Kalau begitu bisa kamu panggilkan pak Hamdan. Suruh dia keruanganku sekarang," pinta Arik.

Zenas mengangguk, "Baik tuan. Kalau begitu saya permisi dulu." Zenas pun undur diri pergi dari hadapan Arik.

"Saya juga undur diri tuan untuk mengurus hal lain," sahut Zou.

"Silahkan."

Setelah mendapat ijin dari Arik, Zou pun pergi dari sana. Sementara Arik pergi keruangannya.

***

Arik melepas kacamatanya, meletakannya di atas berkas yang sedang dibacanya. Pandangannya bergulir menatap pak Hamdan yang baru saja memasuki ruangan kerjanya.

"Saya tidak ingin bertele-tele. Mulai sekarang pak Hamdan akan saya pecat," ucap Arik to the poin.

Seketika pak Hamdan mendongak, menatap Arik dengan pandangan tidak percaya. "T... Tapi kenapa saya dipecat pak, kesalahan saya apa?"

Arik mengangkat sebelah alisnya lalu tersenyum kecil, "Sepertinya tanpa perlu saya jelaskan pun pak Hamdan tahu apa kesalahan yang sudah pak Hamdan buat hingga saya memutuskan untuk memecat anda."

Pak Hamdan menelan salivan gugup. Keringat dingin pun mulai bermunculan dipelipisnya.

"Bersyukurlah saya hanya memecat pak Hamdan tanpa meminta ganti rugi dari anda apa lagi sampai menjebloskan anda ke penjara," jeda sejenak, "Jadi silahkan pak Hamdan kemasi semua barang-barang anda dan pergi dari perusahaan saya," usir Arik secara halus namun penuh penekanan. Tatapannya terlihat santai ketika menatap pak Hamdan namun percayalah di balik sikaf santainya itu sejujurnya Arik benar-benar marah dan kecewa pada pak Hamdan selaku orang yang sudah dia percayai selama ini.

Pak Hamdan menunduk— menyesal sudah membuat kesalahan yang patal, "Saya minta maaf pak Arik— saya berjanji tidak akan mengulangi ini lagi, tapi tolong jangan pecat saya— "

"Saya memang sudah memaafkan pak Hamdan dengan segala perbuatan anda yang sudah merugikan perusahaan. Tapi maaf saya tidak bisa menerima pak Hamdan di sini lagi. Anda pasti tahu bukan bahwa saya orangnya optimis terhadap sesuatu, dan bagi saya orang yang sudah mengecewakan saya tidak memiliki kesempatan kedua. Karena jika dia diberi kesempatan kedua lalu mengulangi hal yang sama lagi untuk apa?"

"Tapi pak Arik— "

"Saya tidak ingin mengulangi hal yang sama untuk kedua kalinya. Jadi silahkan pak Hamdan keluar dari sini dengan baik-baik sebelum saya memanggil satpam untuk mengusir anda."

Kedua bahu pak Hamdan merosot lemah karena dirinya sudah tidak ada harapan lagi untuk diterima di perusahaan Natama.

"Baiklah. Kalau begitu saya permisi."

Arik mengangguk, memerhatikan kepergian pak Hamdan hingga pintu dihadapannya kembali tertutup rapat— meninggalkan Arik sendirian diruangan itu. Dia menghembuskan nafas panjang, memutar kursi kerjanya— menghadap jendela besar yang memperlihatkan ibu kota jakarta.

Hembusan nafas panjang kembali terdengar darinya. Rasa lelah dan pening di kepalanya membuat Arik ingin sekali pergi dari kantornya tapi pekerjaan yang menumpuk membuat dia tidak bisa pergi begitu saja sebelum dia menyelesaikan segala permasalahan di perusahaanya hingga sahamnya yang sempat anjlok pun kembali stabil.

Tok tok

"Masuk!" Perintah Arik, memutar kursi kerjanya lagi.

Senyum lebar seketika merekah dibibirnya saat Arik melihat siapa yang datang. Itu adalah sahabat lamanya yang datang menyambangi kantornya— dia adalah Dozy Manueldo Fanhar.

"Sibuk mulu bosqu, kapan kau akan memiliki waktu untukku?" Dozy, tersenyum lebar.

Arik bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Dozy dan memeluk pria itu ala-ala lelaki gentelmen— menyalurkan rasa rindunya yang membuncang pada sang sahabat yang sudah enam tahun lamanya tidak dia jumpai akibat sibuk dengan pekerjaan masing-masing, paling sesekali mereka hanya bisa berbicara lewat vidcall, bertelepon dan juga bertukar pesan itu pun cukup jarang.

"Kenapa kau tidak mengabariku jika kau datang kemari?" tanya Dozy setelah selesai berpelukan.

"Maaf. Bukannya aku tidak ingin mengabarimu, hanya saja aku tidak memiliki waktu yang tepat. Kedatanganku kemari pun tidak berencana karena semuanya serba mendadak."

"Iya deh tahu yang Ceo, sibuk mulu," cibir Dozy tapi tak lama kemudian mereka tertawa bersama.

"Jadi kau tahu dari mana jika aku ada di sini?"

"Siapa lagi kalau bukan Levin. Tadi dia sempat menemuiku ketika sedang pemotretan."

"Ah dia. Dari sejak semalam anak itu benar-benar membuatku kesal. Dia sudah merebut tempat tidurku dan tadi dia benar-benar sulit kuhubungi di saat aku benar-benar membutuhkan bantuannya. Rupanya dia malah pergi ke tempatmu."

Dozy tertawa, "Kau seolah lupa saja sifat dia seperti apa. Dari dulu sampai sekarang pun Levin kan memang seperti itu. Suka seenaknya giliran dibutuhkan pasti menghilang."

Arik mengangguk menyetujui perkataan Dozy, "Iya dan aku sangat benci dengan sifat menyebalkannya itu. Tapi semenyebal apapun Levin tetaplah Levin sahabat kita."

Dozy menepuk bahu Arik, "Sudahlah dari pada membahas Levin yang tidak ada habisnya bagaimana jika kita ngopi sebentar? Kau punya waktu kan?"

"Sebenarnya hari ini aku sangat sibuk dan tidak punya banyak waktu tapi khusus untuk mu aku akan meluangkan waktu. Kebetulan aku juga butuh asupan Kafein karena stres dengan pekerjaan ini."

"Good. Kalau begitu tunggu apa lagi, aku kita keluar dari sini dan cari cafe terdekat."

***

Pagi ini tidak seperti biasanya Cafe Famera itu dipadati pengunjung sampai membeludak yang kebanyakan di isi gadis-gadis muda. Semua itu tentunya akibat kedatangan dua pria tampan yang sekarang tengah asik duduk berdua di salah satu sudut cafe.

Kedatangan mereka berdua benar-benar membawa keuntungan tersendiri bagi pemilik cafe sebab daya tarik juga pesona keduanya yang tak bisa dibantahkan itu mampu menarik minat orang-orang yang menatap mereka hanya dalam sekali lihat.

Semua orang jelas tahu salah satu dari orang yang duduk di sana itu siapa, dia adalah Dozy Manueldo Fanhar si solois terkenal yang tengah gencar-gencarnya diperbincangkan orang-orang. Namanya yang tengah melambung dengan karir bagus yang cemerlang membuat keberadaan Dozy di mana pun menjadi sorotan semua orang.

Namun untuk saat ini, semua orang yang melihatnya di cafe Falmera selain mengundang decak kagum akan pesonanya mereka juga dibuat penasaran dengan sosok pria seusianya yang duduk gagah dihadapannya. Itu adalah Ararya Arik Natama.

Arik tentu saja tahu bahwa sejak kedatangannya ke cafe tersebut bersama Dozy langsung mengundang banyak penasaran setiap pasang mata yang menatapnya. Dia juga tahu bahwa gadis-gadis yang kebanyakan masih berseragam sma itu memandangnya penuh minat. Wajah tampan dan pesona yang dia miliki memang sulit terbantahkan hingga membuatnya menjadi sorotan utama di mana pun dia berada terutama ketika dirinya berada di keramaian saat ini. Apa lagi saat ini dirinya tidak datang sendiri tapi bersama Dozy.

Dozy sang solois. Akibatnya keramaian yang ingin menonton mereka berdua pun bertambah berkali-kali lipat.

Risih? Tentu saja.

Meski merasa risih namun Arik memilih mengacuhkan sekitarnya, tersenyum seadanya hanya untuk mendapat decak kagum bercampur iri dari orang-orang sekitarnya bahkan jeritan tertahan dari gadis-gadis yang sedang dalam masa pubertas.

"Sudah kubilang bukan, sebaiknya kita pilih saja cafe yang lebih sepi atau perlu privat saja agar tidak seramai seperti ini." Dozy angkat suara.

Arik tersenyum kalem, dan ulahnya itu berhasil membuat gadis-gadis yang setia menatapnya menjerit tertahan.

"Memangnya kenapa kalau kita di sini? Aku rasa tidak masalah, cafe ini juga lumayan nyaman dan pemandangannya cukup bagus."

"Masalahnya kita berdua jadi sorotan banyak orang." Dozy berdecak. Jelas sekali bahwa dia merasa tidak nyaman berada di sana atau lebih tepatnya merasa risih.

"Orang ganteng kan memang selalu jadi perhatian di mana pun itu," balas Arik santai.

Dozy menghela nafas, "Iya sih."

"Jadi tujuan utama mu datang kemari itu untuk apa?"

"Apa lagi kalau bukan masalah pekerjaan," jawab Arik hingga cerita mengenai masalah perusahaannya pun mengalir begitu saja. Mengenai Pak Hamdan yang sudah menggelapkan dana perusahaan dan baru saja dipecat olehnya, juga tentang seseorang yang sudah berani menjual proyek rahasia perusahaanya pada perusahan lain. Semua Arik ceritakan pada Dozy secara garis besarnya saja.

"Jadi kau kemari untuk menangani saham perusahaanmu yang anjlok akibat ulah direktur mu yang sudah menggelapkan dana perusahaan juga mencari orang sudah menjual proyek rahasiamu."

Arik menganggu menyesap kopinya sesaat. Setelah dia selesai menceritakan permasalah perusahaanya pada Dozy setidaknya bercerita pada Dozy jauh lebih baik dari pada Levin yang belum tentu mau mendengarkan keluh kesahnya. Dan yah, setelah selesai menceritakan garis besar masalahnya saat ini pada Dozy membuat Arik jadi jauh sedikit baik. Beban yang dipikulnya pun sedikit ringan.

"Lalu bagaimana dengan orang yang sudah membocorkan proyek rahasia perusahaanmu, apa kau sudah menemukannya?"

"Sejauh ini belum. Zou masih coba melacak jejaknya."

Dozy mengangguk. Meraih cangkir kopinya dan sedikit meminumnya.

"Aku memang tidak ahli dalam mencari tahu orang seperti itu, tapi aku akan coba membantumu semaksimal mungkin. Kebetulan aku memiliki kenalan hacker yang bisa melacak seseorang."

Arik tersenyum haru, "Terima kasih kau memang terbaik, Zy."

Dozy terkekeh, "Santai, Rik. Sesama sahabatkan memang sudah seharusnya saling tolong menolong."

Arik mengangguk kembali meminum kopinya.

"By the way bagaimana kehidupan mu di New york?" tanya Dozy menatap sahabatnya itu dengan seksama.

"Biasa saja, tidak ada yang istimewah," jawab Arik mengedikan bahu.

"Yakin biasa saja?"

"Iya, memangnya apa yang kau harapkan dengan hidup di sana selain gaya kehidupannya yang hedonisme." Arik meletakan gelas kopinya di atas meja lantas menyenderkan punggungnya ke kursi.

"Bagaimana dengan kekasih? Bukankah di sana banyak wanita-wanita cantik sesuai dengan tipe mu."

"Iya mereka memang cantik. Dan aku juga tidak akan menampik kalau wanita-wanita itu banyak yang mendekatiku hanya saja aku tidak tertarik dengan mereka satu pun."

Kening Dozy mengerut, "Satu pun tidak ada?"

Arik tersenyum dan menggeleng.

"Kenapa tidak ada yang menarik di mata mu? Bukankah mereka itu tipe mu?"

Arik mengedikan bahu, "Meski aku menentukan tipe perempuan yang kusuka macam wanita barat bukan berarti aku sepenuhnya tertarik pada mereka."

Dozy menyipitkan matanya. "Kau tidak trauma dengan wanita barat hanya karena pacar terakhir mu Cloudy kan?"

Arik mendengus, "Dia? Yang benar saja. Tentu saja tidak."

"Kalau begitu kenapa setelah kau terakhir kali berpacaran dengan Cloudy kau masih menjomblo juga sampai sekarang? Kau tahu Cloudy bahkan sudah menikah dengan selingkuhannya itu. Lantas kapan kau akan menunjukan pada wanita kurang ajar itu bahwa kau juga bisa move on darinya."

"Oh come on Dozy. Hanya karena aku tidak memiliki kekasih bukan berarti aku tidak bisa move on dari Cloudy. Dari dulu aku sudah melupakan tentang dia semudah menghapus debu."

Dozy mencebik dan bersidekap, "Yakin bisa menyingkirkan dia semudah menghapus debu? Dulu saja saat pertama kali kau mengetahui Cloudy selingkuh dibelakangmu kau langsung merajuk selama sebulan lebih, tidak ingin makan bahkan mandi pun tidak."

Arik nyengir, "Itu kan dulu, sekarang sudah tidak. Perasaanku terhadap dia sudah sepenuhnya hilang."

—My Soulmate—

3. Qanshana Alsava Zanisa

[Kegundahan sang jomblo wati.]

***

"Kapan kamu nikah."

"Kamu kapan punya gandengan."

"Sendiri terus, nggak bosen apa. Tuh lihat saudara kamu yang lain aja udah pada punya pasangan."

"Belum punya pasangan Juga? buruan deh kamu cari pasangan sebelum tua."

"Kamu mau jadi perawan tua."

***

Hari demi hari telah berlalu dan kini hari libur pun telah tiba. Dari Senin kini telah berganti menjadi hari minggu. Hari yang sangat di sukai semua orang tapi tidak dengan satu orang.

Ketika semua pasangan muda mudi asik berkencan dengan pasangan mereka. Istilah sundanya ngapel malam mingguan— Jalan-jalan dan bersenang-senang dengan pacar. 

Gadis berkulit putih mulus itu justru asik mendekam di dalam kamarnya— Tiduran di atas ranjang dengan kedua kakinya yang di angkat tinggi-tinggi menempel ke dinding, sementara rambut hitam panjangnya dia biarkan terurai berantakan di atas bantal.

Dia benci hari minggu. Karena di hari ini pula dirinya merasa amat kesepian juga tertekan.

Hari minggu yang selalu dia habiskan seorang diri di dalam kamar.

Dia bosan. Tapi apa yang harus dia lakukan? Tidak ada hal yang bisa dia lakukan selain berdiam diri di kamarnya. Karena jika dia nekad keluar dari batas yang telah di tentukan yakni pintu kamarnya maka bisa dipastikan dia akan semakin teraniyaya oleh omongan keluarganya. Itu sebabnya dia memilih diam di kamar dari pada harus keluar kamar dan malah mendapatkan omongan tak sedap yang berpotensial menyakiti hati kecilnya.

Sembaring bersidekap. Gadis itu menatap lurus langit-langit kamarnya yang berwarna putih gading— meratapi nasibnya yang mengenaskan.

Headseat terjejal di kedua telinganya, mengalunkan musik Nct dream X Hrvy ; Don't need your love yang berdentum-dentum di telinganya.

Di saat gadis seusianya asik menghabiskan waktu mereka dengan berpacaran.

Semua itu justru tidak berlaku bagi si jomblo wati bernama Qanshana Alsava Zanisa. Panggil saja Qansha. Umurnya baru menginjak 24 tahun dari sebulan yang lalu dengan status kejombloan hakiki yang niscaya sudah melekat di dalam dirinya, sejak dia di lahir ke dunia hingga dia berusia dua puluh empat tahun.

Bukan karena Qansha tidak laku, tapi karena gadis itu saja yang terlalu pemilih. Banyak kok pria di luaran sana yang ingin mendekati Qansha, mencoba merobohkan benteng perlindungan yang sudah dibangun tinggi-tinggi oleh gadis itu.

Akan tetapi, semuanya selalu berakhir sia-sia.

Semua pria yang mendekatinya selalu angkat tangan karena tidak kuat menghadapi sikap dingin dan acuh Qansha. Sampai status jomblowati itu pun melekat sempurna di dirinya. 

Bukan tanpa alasan pula Qansha nekad melakukan hal yang ekstrem tersebut. Menutup hatinya rapat-rapat dari para pejantan di luaran sana yang ingin mendekatinya.

Itu karena Qansha tidak ingin trauma di masa lalunya terulang kembali. Di mana hatinya terluka dan kecewa hanya karena Qansha selalu salah memberikan hatinya pada seorang laki-laki. Dan semenjak kejadian itu, Qansha bertekad tidak akan membuka hatinya sampai dirinya benar-benar menemukan tambatan hati yang benar-benar cocok dan pas untuknya.

Tentunya tidak mudah juga bagi seorang Qansha menjalani hidup dengan status jomblo wati yang masih melekat pada dirinya.

Berbagai gangguan selalu datang dari berbagai sisi. Terutama dari keluarganya sendiri.

Tak jarang anggota keluarganya itu selalu saja memanas-manasi Qansha mengenai dirinya yang masih menjomblo di saat gadis-gadis lain sudah pada memiliki pasangan.

Bahkan ada dari teman seumurannya yang sudah menikah muda. sementara dirinya? sampai sekarang masih saja betah menyendiri.

Selain memanas-manasinya, Anggota keluarganya juga gemar sekali menjodoh-jodohkan dirinya dengan cowo-cowo di luaran sana. Bahkan tak tanggung-tanggung anggota keluarganya plus ibunya dengan entengnya mempromosikan dirinya pada anak tetangga, teman, bahkan sahabat mereka. Qansha tentu saja sangat jengkel pada keluarganya terutama sang ibu. Di pikir memangnya dia barang apa seenaknya main di promosikan begitu saja seolah dirinya memang sudah tak laku betulan.

Well, meski Qansha jengkel dan kesal dia tidak menunjukan itu pada keluarganya secara terang-terangan, tepatnya belum. Jika keluarganya sampai melewati batas baru Qansha akan bergerak. Namun untuk saat ini dia memilih diam dan menahannya seorang diri.

Meski Qansha terlihat cuek dengan nasehat dan perkataan keluargannya. Di balik semua itu Qansha selalu mendengarkan dan tentu saja dirinya mulai cemas.

Awalnya Qansha memang selalu memasa bodokan masalah sindir-menyindir mengenai dirinya yang masih betah menjomblo dan juga acara jodoh menjodohkan itu. Namun belakangan ini dia mulai merasa terganggu, risih dan cemas, semuanya bercampur menjadi satu. Bahkan pertahanan diri yang selama ini Qansha bangun hampir saja goyah dan itu semakin diperparah oleh sang ibu.

Makin hari ibunya itu makin menjadi-jadi. Bahkan keluarganya yang lain juga tak henti-henti mengolok-ngolok dirinya yang masih saja betah menjomblo.

Seperti contohnya beberapa saat yang lalu ketika keluarganya tengah mengadakan makan malam. 

Qansha yang waktu itu asik tengah makan terpaksa menelan makananya dengan setengah kesal ketika sang ibu lagi-lagi mengajukan perkataan yang hampir sama seperti hari-hari sebelumnya. 

"Kamu tahu gak, Jesly. Anak teman ibu dia udah mau menikah loh."

"Oh," jawab Qansha datar.

"Calonnya tampan loh, dia baik juga. Suka bantu-bantu orang. Terus katanya calon suaminya itu anak insinyur." Zara, sang ibu terlihat melirik Qansha menunggu reaksi apa yang akan dikeluarkan oleh anaknya. Namun tak lama kemudian Zara terlihat kecewa begitu melihat reaksi Qansha yang biasa-biasa saja.

"Mau dia anak Insinyur kek, anak dokter kek, anak presiden atau anak alien sekalipun aku gak perduli. Toh gak ada urusanya sama aku." Qansha kembali menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

Meski Qansha terlihat biasa saja, nyatanya dalam hati dia sedang menahan kekesalannya akibat ucapan sang ibu yang lagi-lagi menjurus pada hal privasinya.

"Oh iya, anak tetangga sebelah. Reni, kamu kenalkan. Itu loh teman sepermainanmu waktu kecil, yang dekil dan item." Zara kembali berujar.

"Iya kenal. Kenapa emangnya."

"Dia juga udah mau tunangan loh. Padahalkan jika dibandingkan sama kamu, Reni kalah jauh. Cantik kan kamu kemana-mana, tapi kenapa Reni malah lebih dulu tunangan dari kamu. Mana calon suaminya itu ganteng banget lagi kaya Mantan boyband Exo si akang Luhan."

Qansha menghela nafas. "Ya itukan emang udah jodohnya Reni aja bu. Lagian gak baik jelek-jelekin orang. Apa lagi tetangga sendiri. Semua rejeki dan jodoh itu udah diatur sama tuhan sesuai porsinya masing-masing."

Zara terdiam, menatap kesal sang anak yang selalu bersikap acuh mengenai pasangannya. 

"Terus kamu kapan punya pasangan? Minimal gebetan gitu?"

Sudah Qansha duga, semua pembicaraan ibunya itu pasti akan berujung mengenai pembahasan kapan Qansha akan punya pacar.

Jika boleh jujur Qansha sebenarnya sudah lelah mendengar perkataan dan pertanyaan serupa yang diajukan ibunya itu.

"Jadi gimana Qansha." Zara Menatap serius Qansha.

"Udah dong bu. Jangan nanya terus. Biarin Qansha makan dengan tenang," bela Gery, sang ayah.

Zara menggeleng, menghiraukan perkataan suaminya itu dan tetap menatap serius Qansha. "Jadi gimana. Kapan kamu mau punya pacar?"

Seketika nafsu makan Qansha pun langsung hilang begitu dia mendengar perkataan yang sama kembali terlontar, untuk yang kesekian kalianya dari mulut sang ibu.

"Jadi kapan kamu mau cari pacar?" ulang Zara penuh penekanan.

"Ibu kira mudah kali cari pacar, kaya beli gorengan di warung," batin Qanshana kesal.

"Nanti nunggu Jaehyun nembak aku."

"Ibu serius Qansha."

"Aku juga serius bu."

"Qansha... "

"Ck, Ibu bisa gak sih nanyanya yang lain aja. Jangan itu terus yang dibicarain aku bosen dengernya."

"Kalau kamu bosen makanya cepetan cari pasangan sana. Jodoh gak akan dateng sendiri kalau kamu terus ngerem diri di kamar Qanshana."

"Aku udah punya pacar kok bu, Si Taeyong itu pacar aku tahu."

"Maksud ibu pacar sungguhan. Qansha. Bukan pacar khayalan," geram Zara.

"Dari pada ngidolain mereka yang gak guna. Sebaiknya kamu fokus sama masa depan mu. Mau jadi apa kamu nanti. Jika masa muda mu saja kamu habiskan hanya untuk menggilai para artis kpop itu. Yang bahkan mereka saja tidak tahu kamu hidup."

"Bu!"

"Ibu mau kamu cari pasangan Qanshana Alsava Zanisa! Atau kamu mau jadi perawan tua!"

Kedua tangan Qansha yang berada di bawah meja langsung terkepal erat. Dengan kasar Qansha manghembuskan nafasnya, mencoba memendam amarahnya setelah dia mendengar perkataan terakhir sang ibu meski terdengar sepele tapi itu cukup menyakitkan untuknya.

"Qansha baru umur 24 tahun bu. Kenapa ibu ngebet banget sih pengen aku cepet-cepet punya pasangan," sungut Qansha kesal.

"Justru karena umur kamu makin bertambah. Seharusnya kamu udah punya calon suami, minimal pacar dulu kek. Kamu tahu gak sih, umur segitu dan kamu masih belum juga punya pasangan itu gak wajar."

"Wajar-wajar aja. Di luar sana banyak tuh yang umurnya 33 masih menjomblo bahkan ada yang baru menikah di usia segitu. Apa lagi artis."

"Ya itu karena mereka hidup di perkotaan, tapi untuk kamu yang hidup di perdesaan itu gak wajar. 26 tahun saja untuk seorang wanita itu sudah dikatain perawan tua Qansha. Memangnya kamu mau di kata-katain perawan tua sama masyarakat."

Dengan wajah tertekuk Qansha bangkit berdiri, "Terserah ibu mau anggep aku apapun bahkan Lgbts sekalipun. Aku gak perduli!" Setelah mengatakan hal itu Qansha pun memutuskan untuk pergi ke kamarnya tanpa memperdulikan teriakan ibunya yang terus memanggil-manggil namanya.

Qansha menghela nafas dalam.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang," lirih Qansha.

Bohong jika dirinya sekarang merasa baik-baik saja. Bohong juga jika dirinya sekarang merasa tenang di saat teman-temannya sudah berpasang-pasangan. Bahkan bohong jika saat ini dirinya tidak merasa kesepian tanpa adanya seorang kekasih disampingnya.

Nyatanya Hampir Lima tahu sejak peristiwa itu, Qansha tidak pernah merasa baik. Dirinya tidak pernah sekali pun merasa tenang.

Selama lima tahun pula Qansha merasa begitu kesepian di antara rasa sakitnya dengan hati yang kian kosong dan hampa. 

Selama bertahun-tahun dia memendam semua itu sendirian. Tanpa ada yang tahu seperti apa perasaanya selama ini.

Qansha tidak pernah sekalipun membiarkan orang lain tahu bahwa sebenarnya dibalik sikap dingin, acuh dan keras kepalanya itu dirinya begitu rapuh nan hancur. Semua itu dia lakukan semata-mata hanya sebagai bentuk pertahan dirinya yang lemah.

Dan yang terpenting. Di antara sikap dingin dan segala bentuk pertahanan dirinya selama lima tahun itu. Sekeras apa pun Qansha mencoba melupakanya. Nyatanya Qansha tidak benar-benar bisa melupakan masa lalunya itu.

Sampai saat ini dirinya masih mencintai dia. Seseorang yang pernah singgah dikehidupannya.

Seseorang yang sudah memberikan warna indah namun juga kelabu dalam hidupnya.

Dia, orang yang telah mengajarkan apa itu cinta padanya dan juga meninggalkan sebuah rasa trauma di hidupnya.

Dialah cinta pertamanya yang sulit Qansha lupakan.

Jika kalian bertanya-tanya apakah Qansha pernah mencoba membuka hatinya kembali?

Tentu saja Qansha pernah mencoba membuka hatinya beberapa kali, karena bagaimana pun Qansha juga ingin mencoba memiliki seorang kekasih. Namun semua itu selalu berakhir gagal.

Tak ada satupun di antara laki-laki itu yang sanggup meluluhkan hatinya dan menghilangkan trauma itu.

Itu lah sebabnya kenapa sampai sekarang Qansha masih saja betah menjomblo. Selain karena trauma dengan masa lalu. Memang tak ada satu pun yang sanggup menggantikan cinta pertamanya.

"Rasanya sangat sulit dan menyakitkan." Qansha mendesah, menyentuh dadanya yang terasa sesak. "Tapi aku yakin suatu saat nanti semua masalah ini akan berakhir aku hanya perlu menunggu."

—My Soulmate—

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!