Sudah hampir satu jam aku duduk di lobi kantor Om Hasa, suami dari teman Mama. Aku satu dari tiga orang yang akan melakukan wawancara kerja pagi ini. Sialnya aku orang terakhir yang belum dipanggil. Dua orang sebelumnya keluar dengan wajah kecewa, mungkin mereka tak diterima bekerja di perusahaan itu. Namun, aku cukup yakin kalau aku akan diterima karena Om Hasa dan Tante Ira sudah berjanji akan menerimaku kerja di sana.
“Marissa Indrawan.”
Namaku dipanggil. Aku segera bangkit dan langsung masuk ke dalam sebuah ruangan. Aku tak bisa mendeskripsikan seperti apa ruangan tersebut karena aku hanya fokus pada seorang pria yang duduk di depan sebuah meja.
Jantungku bertabuh kencang. Kupikir orang yang akan mewawancaraiku adalah Om Hasa.
“Duduk,” kata pria itu tanpa menatapku dan malah sibuk menatap layar ponsel, seolah aku tidak penting. Pantas dua orang yang sebelumnya terlihat kecewa, ternyata seperti ini wawancara kerjanya.
“Kenapa masih berdiri?” Dia mengangkat wajah dan menatapku. “Kamu?”
Jantungku mencelus. Kupikir dia akan lupa padaku.
“Mau apa kamu di sini?” tanyanya angkuh.
“Baru jadi karyawan aja udah angkuh banget,” dengkusku seraya duduk. “Om Hasa mana?” tanyaku seraya menatap mata elangnya. Jangan dia pikir aku takut, meski tatapannya terlihat mengintimidasi, tapi aku tidak boleh menunjukkan kalau aku takut padanya.
“Saya yang menggantikannya.”
“Hah?”
“Kalau kamu tidak suka, silakan pergi.”
Jantungku kembali mencelus. Kalau bukan karena formalitas yang dikatakan Om Hasa sebelumnya, aku tidak akan mau duduk di depan pria berblazer coklat muda itu. Melihat mukanya saja sudah membuatku kesal, apalagi mendengar perkataannya.
“Jangan buang-buang waktu, pekerjaan saya masih banyak,” katanya tanpa menoleh dan malah sok sibuk membuka berkas.
“Marissa Indrawan.” Dia menyebut namaku. “Hah?” Tiba-tiba kedua alisnya bertaut dan wajahnya berubah masam. “Kamu membuat cv seperti ini?” Dia menatapku nyalang.
“Maksudnya?” Aku lekas melongok berkas yang dia pegang.
Kurasa tak ada yang salah dengan surat lamaran yang kubuat, meski memang sedikit asal-asalan karena kupikir tidak akan masuk seleksi yang ketat, lagi-lagi semua karena Om Hasa yang bilang kalau tanpa surat lamaran pun aku akan tetap bekerja di sana.
“Pengalaman berharga, pernah menjadi juara satu ajang pencarian bakat menyanyi?” Keningnya kembali bertaut, dia bahkan mengulangi kalimat tersebut sampai dua kali, kemudian menatapku. “Kamu gila?”
“Loh.” Aku kembali duduk dengan tegak. “Gila gimana? Saya juara satu ajang pencarian bakat menyanyi yang ditayangkan di salah satu televisi nasional. Padahal waktu itu umur saya baru delapan tahun. Cuma kamu yang menganggap saya gila dengan pencapaian saya,” kataku sombong.
Pria sombong memang harus disombongin lagi, iya, ‘kan?
Tiba-tiba dia menjatuhkan berkasku dan memukulkannya ke meja. Jujur aku terkejut, bahkan aku sampai terkesiap dibuatnya.
“Kami mencari desainer interior, bukan penyanyi kelas teri, kamu pikir ini studio rekaman?” tanyanya tak berperasaan. “Perlu kamu tahu, yang ditulis di dalam surat lamaran kerja itu ya seharusnya pengalaman kerja, bukan pengalaman berharga!” Dia kemudian bangkit. “Keluar kamu!” titahnya sembari menunjuk pintu.
Aku hanya bisa mematung dan merasakan debaran yang bergemuruh di balik dadaku.
Seolah belum puas, dia kembali memaki dan menghinaku dengan keras. “Kalau memang kamu jago nyanyi, kenapa nggak jadi penyanyi, kurang laku kamu dipasaran?” cemooh pria bermulut pahit itu.
Aku tidak menyangka akan mendapat hinaan seperti ini. Dengan tetap berada di sana, aku seperti manusia tak punya harga diri. Namun, entah kenapa tubuhku malah tertahan di ruangan terkutuk itu. Seolah aku tengah memberi pria bangsat itu kesempatan untuk mencelaku lagi.
Mata elangnya terus terbeliak menatapku tajam. “Membuat surat lamaran kerja saja tidak becus! Bagaimana kamu bisa kerja di perusahaan ini?” Dia melempar berkas ke wajahku.
Aku terkesiap dan lagi-lagi hanya bisa diam membiarkan dia merobek-robek dan menguliti harga diriku.
“Saya tahu kamu tidak serius untuk pekerjaan ini, jadi, lebih baik kamu keluar dan jangan pernah menampakkan wajah kamu di depan saya!”
Cukup! Kesabaranku sudah habis menghadapi pria terkutuk itu. “Kalau memang ini karena kopi yang saya tumpahkan malam itu, saya sudah meminta maaf, ‘kan? Kenapa masih diperpanjang?”
Dia mendecih. “Begini cara kamu meminta maaf?”
Seperti ada energi yang masuk ke dalam tubuhku kali ini, sehingga aku bisa berdiri dengan tegak dan membuat pembelaan untuk diriku sendiri.
“Coba kamu ingat baik-baik. Saya sudah minta maaf dan saya tidak akan mengulanginya lagi. Kalau memang itu karena jas mahal kamu yang terkena tumpahan air kopi, kamu tinggal laundry saja, masa beli jas mahal mampu, tapi bayar laundry nggak?” cibirku.
“Ssstttt!” Dia mendekat dan menyeret tubuhku ke dinding. Aku akui ada sisi dalam diriku yang berhasil terintimidasi oleh sikap angkuh dan tatapan elangnya, apalagi saat dia mencengkram rahangku dengan satu tangan. “Perusahaan tidak membutuhkan manusia yang memiliki attitude buruk seperti kamu,” desisnya.
“Jangan merasa paling pintar.” Aku mencoba melepaskan cengkramannya. “Kamu tidak tahu siapa saya?” teriakku tak terima. “Keluarga saya cukup dekat dengan pemilik perusahaan ini, jadi, jangan mentang-mentang Om Hasa nunjuk kamu sebagai orang kepercayaannya terus kamu bisa seenak perut menghina saya.”
“Saya nggak peduli apapun hubungan kamu dengan pemilik perusahaan ini.” Dia menghempas rahangku kasar. “Sekarang lebih baik kamu pergi.” Dia lalu mencengkram dan menarik tanganku keluar dari ruangan tersebut.
Di depan pintu dan di depan semua orang dia mengusirku dengan kasar. Aku seperti manusia yang hina yang sudah tak memiliki harga diri.
“Begini cara kamu mewawancarai karyawan baru?” teriakku padanya.
“Nggak ada urusan. Terserah saya mau apa.”
Jantungku semakin bergemuruh penuh amarah. “Aku akan bilang perbuatan kamu sama Om Hasa.”
“Bilang saja, saya tidak takut,” tantang pria itu.
“Kamu akan menyesal. Selain surat peringatan kamu juga akan dipecat dengan tidak hormat, seperti yang sudah kamu lakukan pada saya.”
Bibir pria itu malah tersungging sinis. “Coba saja kalau bisa. Punya kuasa apa kamu di sini, hm?”
“Ingat ya, di atas langit masih ada langit. Jadi, kamu nggak usah sombong.”
“Sissy!” teriak pria itu lantang. “Sissy, kemari kamu!”
Aku terperangah. Ternyata bukan cuma padaku dia bersikap semena-mena, tapi juga pada karyawan lain. Kenapa Om Hasa masih mempertahankan karyawan seperti ini?
“Iya, Pak?” seru wanita yang berdiri di belakangku.
“Kamu buka lowongan kerja yang baru, kalau bisa ajukan persyaratan khusus.”
“Maaf, Pak, sebenarnya semua pelamar diminta untuk mengisi beberapa pertanyaan dan Bapak bisa cek, siapa yang paling bagus jawabannya.”
“Nggak ada yang bagus,” jawab pria itu tegas.
“Jadi, sekarang buka lowongan pekerjaan lagi, Pak?”
“Terserah kamu.” Pria itu hendak menutup pintu ruangannya, namun matanya tertahan padaku.
“Panggil security dan bawa dia keluar.”
“Hah?” Jantungku mencelus dan gemuruh di dada semakin kencang menggema.
Sissy menatapku.
Dongkol, kesal dan marah mengkal di dalam hati. Sial! Kenapa aku harus bertemu dengan pria itu lagi? Apa belum cukup pertemuanku dengannya di pernikahan Ashilla dan Angkasa? Kenapa Tuhan harus mengujiku lagi dengan kejadian ini?
Setelah dari kantor Om Hasa aku pulang, sesampainya di rumah aku disambut dengan ucapan selamat dari Mama. Kerut senyum di wajahnya membuatku merasa sedih. Kalau saja Mama tahu apa yang terjadi pagi tadi, mungkin aku tak akan melihat senyum bahagianya siang ini.
“Gimana tadi? Cerita dong,” kata Mama antusias.
Aku mematung di depannya.
“Kok wajahnya gitu, kamu mau ngerjain Mama?” tuduhnya.
Perlahan kucoba untuk menyunggingkan bibir.
“Besok Mama mau masak yang banyak dan membagikannya ke tetangga, ah.”
Keningku mengernyit. “Dalam rangka apa?” tanyaku heran.
“Syukuran, ‘kan kamu udah dapat kerja.” Mama merangkul bahuku.
“Icha nggak diterima kerja di sana, Ma.”
Seketika kulihat senyum di wajah Mama memudar.
“Maksudnya gimana?”
“Ma, Om Hasa nggak ada, digantiin sama karyawannya dan Icha ditolak,” aduku kesal.
“Kenapa bisa?” Mama mulai panik. “Hasa udah janji sama Mama.”
“Orang itu kayaknya dendam banget sama Icha, Ma.” Aku masuk ke dalam dan duduk di sofa.
“Kok bisa?” Mama duduk di sebelahku.
Aku mengedikkan bahu.
“Nggak-nggak. Mama harus bilang sama Hasa soal ini.”
“Udah nggak apa-apa, Icha bisa cari kerja ditempat lain,” kataku yakin. Kali ini aku tidak akan main-main. Aku akan membuat surat lamaranku dengan baik sampai perusahaan manapun tak ada yang berani menolakku.
Mama terdiam dan menatap ke arah lain. “Kamu mau kerja di mana? Memang cari kerja mudah?”
“Icha baru lulus kuliah, wajar kalau harus sedikit berjuang untuk mendapat pekerjaan.”
“Terus kenapa kemarin main-main? Bikin surat lamaran kok asal-asalan?”
“‘Kan Om Hasa yang bilang, itu cuma untuk formalitas karena sebenarnya tanpa surat lamaran pun Icha tetap bisa kerja di sana.”
“Walaupun cuma formalitas, harusnya kamu kerjakan dengan baik.”
Aku termenung menatap kerut kesal di wajah Mama. “Ma, sambil Icha cari kerjaan, Icha bisa bantuin Mama jualan kok.” Aku menyandarkan kepala di bahunya.
“Nggak-nggak usah, udah ada Utami yang bantu Mama.”
“Mama mah gitu. Padahal Mama nggak perlu bayar Icha. Kalau Utami, ‘kan harus dibayar.”
Mama terdiam beberapa detik. “Mama mau kamu punya penghasilan sendiri.”
“Iya, tapi bisa dari tempat lain, nggak harus di tempat Om Hasa juga, ‘kan?”
“Mama sudah wanti-wanti agar kamu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.”
“Mama kenapa sih, perusahaan, ‘kan banyak.”
“Ih, kamu ini, Mama tahu kamu bisa kerja dimanapun, bahkan di perusahaan yang lebih besar dari perusahaan milik Om Hasa. Tapi, masalahnya bukan cuma itu, Cha. Harusnya kamu bilang aja sama karyawan itu kalau dulu Papa kamu kerja di sana sampai bertaruh nyawa, sampai akhirnya Papa meninggal di proyek karena kelalaian mereka.”
Aku termenung menatap wajah lembut Mama. Meski, berwajah lembut seperti itu, sikap Mama bisa lebih keras dari almarhum Papa dan kadang lebih cerewet dari biasanya.
Waktu Papa meninggal aku baru kelas dua SMP. Papa adalah arsitek di perusahaan Om Hasa. Setelah Papa meninggal, pekerjaan Papa ditangani oleh anaknya Om Hasa. Meski cukup dekat dengan keluarga Om Hasa dan Tante Ira, tapi aku belum pernah bertemu dengan anaknya yang konon kuliah di Valencia Spanyol dan menjadi lulusan terbaik di sana.
Sejak kepergian Papa, Om Hasa mengambil alih tanggung jawab Papa untuk membiayai sekolahku sampai lulus.
“Mama pikir ini jalan yang paling benar.” Mama menepuk lututku. “Jangan kecewakan Om Hasa. Papa juga pasti bangga dan akan berterima kasih pada Om Hasa jika tahu kalau selama ini Om Hasa sudah menepati janjinya. Dulu sebelum meninggal Papa sudah menitipkan Icha sama Om Hasa dan Tante Ira. Kamu sudah seperti anak perempuan mereka.”
“Ini semua yang terbaik buat kamu. Mungkin menjadi penyanyi mungkin bukan takdir kamu, Cha.”
“Nggak usah dibahas, Ma.”
Jujur aku paling malas kalau Mama sudah membahas ini. Setiap Mama mengungkit hal itu aku jadi ingat Papa. Papa tidak ingin aku menjadi penyanyi, meski sewaktu SD aku pernah mengikuti ajang bernyanyi, tapi itu hanya sebagai tantangan dari Papa untuk Mama, Mama ingin membuktikan kalau aku bisa. Namun, Papa sudah bersumpah tidak akan mengakuiku sebagai anaknya kalau aku menjadi artis. Papa cuma takut aku terlibat pergaulan bebas, Papa bilang dunia keartisan tak seperti yang ditampilkan di depan layar televisi.
“Mama nggak mau kamu susah-susah cari kerja. Mama sudah tua, Cha, Mama takut nggak bisa bantuin Icha lagi.”
Aku menghela napas panjang. “Tapi, harga diri Icha diinjak-injak, Ma.”
“Apalagi di perusahaan lain. Mama sering dengar karyawan yang diajak staycation sama atasannya. Mama nggak mau itu terjadi sama kamu,” tutur Mama lembut.
Jantungku mencelus.
“Mama nggak mau kejadian Kak Nana terulang sama kamu. Sekarang yang Mama punya cuma kamu, Cha. Kalau Kak Nana ada mungkin–”
Aku menghentikan ucapan Mama dengan memeluknya erat. Aku tak sanggup mendengar itu lagi.
Kak Nana adalah anak pertama Mama dan Papa, tapi ada satu kejadian yang membuat Kak Nana pergi dari hidup kami. Aku hanya bisa mendengar ceritanya saja dan membayangkan seperti apa wajahnya, apakah mirip Mama atau Papa. Ketika aku lahir Kak Nana sudah tidak ada.
“Mama akan menelepon Ira,” kata Mama seraya melepas pelukannya dariku.
“Nggak usah, Ma. Icha nggak enak,” tahanku pelan.
“Kenapa harus nggak enak. Biasa aja, ini sebagai bentuk tanggung jawab Om Hasa.”
“Selama ini Icha rasa sudah cukup. Waktunya kita berhenti bergantung pada Om Hasa.”
“Nggak bisa.” Mama bangkit dan menunggu panggilannya di terima.
“Ma.”
Mama berbalik dan menatapku. “Apa?”
“Waktu di nikahan Ashilla aku ketemu sama karyawan Om Hasa.”
Mama mengurungkan niatnya untuk melakukan panggilan pada Tante Ira, sepertinya dia mulai tertarik dengan ceritaku.
“Terus gimana?” tanya Mama seraya duduk kembali di sebelahku. “Maksud kamu Ashilla ponakan Om Ben?”
Aku mengangguk.
“Hmmm, Mama sering dengar tentang dia dari Tante Mila.”
“Jadi, waktu itu aku tabrakan sama dia terus nggak sengaja numpahin kopi ke bajunya.”
“Aduuh, kok bisa?”
“Iya, kayaknya dia jadi dendam, makanya sekarang aku nggak diterima di kantor Om Hasa.”
“Dia siapa sih, Mama jadi penasaran?”
“Nggak tahu.”
“Ganteng nggak?”
“Ahhhh.” Aku segera bangkit. “Malah nanyain itu,” dengkusku seraya pergi meninggalkan kursi.
Aku mendengar kekehan Mama sebelum aku pergi ke kamar.
Susah payah aku mencari cara agar Kak Edgar mau pergi denganku. Akhirnya sore tadi dia datang ke rumah memakai kaos abu misty dibalut jaket dan celana jeans warna biru. Kulihat senyumnya sore itu begitu manis. Semoga aku tidak mengecewakannya. Aku sudah berjanji akan mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin saja bisa menjadi inspirasi untuk buku dia selanjutnya.
Cita-citaku untuk bisa dekat dengan penulis buku yang kubaca adalah suatu hal yang membanggakan. Kalau saja Kak Edgar bukan keponakan suami kakaknya Mama, mungkin aku tidak akan akan bisa dekat dengannya seperti ini.
Dia menyapa Mama dengan sangat ramah. Kuharap Mama terkesan dengan sikap baiknya.
“Tante, saya mau pinjam Marissa sebentar, dia sudah janji akan menunjukkan tempat yang bagus.”
Kulihat kening Mama mengernyit. Kurasa dia tidak suka dengan cara penyampaian Kak Edgar. “Icha bukan barang.”
Kak Edgar tersenyum.
“Intinya Kak Edgar minta izin, Ma,” tukasku.
“Mama tahu.”
Kak Edgar kembali tersenyum, dia kemudian menatapku. Setiap dia tersenyum, aku merasa seperti ada cupid yang menembakkan anak panahnya tepat di dadaku.
“Cha, kamu mau ajak Edgar kemana?” tanya Mama.
“Ke SMA ku.” Seketika kulihat keduanya terdiam. “Oops, kejutan.”
“Cha.” Mama mengernyit.
Aku hanya bisa tersenyum kering. “Pokoknya ke tempat yang bagus, Ma.”
“Jauh nggak?”
Aku tahu Mama khawatir karena sebelumnya aku belum pernah pergi dengan pria manapun. Bisa dibilang Kak Edgar adalah pria pertama yang kuajak pergi. Catat, yang kuajak, bukan yang mengajak. Intinya, pria yang mengajakku banyak, tapi aku tidak pernah seminat ini pada laki-laki. Mungkin aku baru saja menyukai pria yang sepuluh tahun lebih tua dariku, meski Kak Edgar sudah berusia tiga puluh dua tahun, tapi, dia seperti terlihat tujuh tahun lebih muda dari usianya. Saat ibunya menyebutkan usia Kak Edgar, aku justru tidak percaya sama sekali. Namun, setelah aku melihat pria itu, aku baru percaya kalau umur hanyalah angka.
“Ya udah, Icha berangkat, Ma. Icha janji jam delapan udah pulang.”
“Malam banget. Jam tujuh.”
Aku dan Kak Edgar bersitatap sampai beberapa detik. Duniaku teralihkan sampai aku lupa harus menyangkal perintah Mama.
“Mama nggak mau tahu, pokoknya jam tujuh kamu harus sudah ada di rumah.”
Aku mengerjap dan lekas menatap Mama. “Nggak bisa, Ma, jam delapan aja udah aku usahain. Sekarang berangkat pun pasti kena macet.”
“Ya udah nggak usah berangkat. Kalau cuma mau ngabisin waktu di jalan. Apa serunya kejebak macet.”
“Mama. Aku udah janji sama Kak Edgar.”
“Kenapa harus janji-janji segala?”
Aku lekas menatap pria yang masih berdiri di depan pintu. Bahkan Mama tak mengizinkannya masuk. “Ini buat buku baru Kak Edgar, Ma. Aku akan merasa berjasa banget karena bisa terlibat dengan buku barunya.”
Cupid itu kembali menancapkan panah cintanya di dadaku. Senyumnya kali ini membuat jantungku menggelepar.
Mama menatapku lama. “Ya sudah cepat pulang.”
Aku malah ingin tertawa. “Berangkat juga belum, Ma,” kataku sembari meraih tangan dan mengecupnya. “Ayo, Ka,” ajakku pada Kak Edgar.
“Berangkat dulu, Tante.” Kak Edgar mengecup punggung tangan Mama. Dia kemudian mengucap salam.
Aku hanya bisa tersenyum seraya bergumam dalam hati, seharusnya Mama tahu kalau pria itu adalah calon menantu idamannya.
Tak berapa lama setelah Kak Edgar mengucap salam, dia memintaku masuk ke dalam mobilnya. Jujur mobil sedan tahun sembilan puluhan itu membuatku merasa seperti dibawa ke tahun itu. Mungkin waktu itu inilah mobil yang paling mewah.
Kak Edgar masuk dan duduk di depan kemudi. “Ini mobil kesayangan Opa,” katanya seraya menoleh padaku. “Diam-diam aku coba mobilnya, sayang kalau hanya didiemin di garasi.”
“Tapi, sudah dapat izin, ‘kan?”
“Iya dong.”
“Syukurlah.”
“Kenapa?”
“Takutnya aku ikut jadi tersangka perampokan mobil antik,” kekehku.
Kak Edgar tergelak. Itu membuatku terdiam dan hanya ingin mendengar tawanya lebih lama.
Perlahan mobil pergi meninggalkan perumahan tempatku tinggal. Rumahku ada di perumahan rakyat bersubsidi. Lima tahun lalu aku dan Mama pindah dari rumah peninggalan Papa karena satu dan lain hal. Kami sepakat untuk menjual rumah tersebut dan pindah ke rumah yang lebih kecil, sisanya Mama membelikan aku motor agar bisa pulang pergi dengan mudah dari kampus. Sejak Papa meninggal kami terbiasa hidup sederhana.
“Kak?”
Kak Edgar menoleh. “Iya?”
“Apa aku orang pertama yang Kak Edgar ajak naik mobil ini?”
“Kenapa, kamu takut mobil ini mogok?”
Aku tersenyum kikuk.
“Tenang, ini nggak akan mogok. Kata Opa walaupun ini mobil tua, tapi sering dirawat kok.”
“Kenapa Opa masih simpan mobilnya?”
“Kenangan. Bagi Opa setiap barang ada kenangannya, termasuk rumah. Isi rumah itu barang vintage semua, bahkan nggak ada satupun yang boleh mengganti dekorasinya.”
“Oh.”
“Kalau aku sama Mama menjauhkan setiap kenangan yang bisa mengingatkan kami pada Almarhum Papa dan Kak Nana.”
Kak Edgar seketika menoleh.
“Bukan apa-apa. Bagi kami kalau barang itu bisa bermanfaat bagi orang lain, akan kami berikan, setidaknya ada pahala yang mengalir untuk si pemilik barang tersebut,” tambahku.
“Termasuk foto?”
“Ya nggaklah. Kalau itu masih kami simpan sampai sekarang. Buat apa orang menyimpan foto yang nggak mereka kenal.”
“Iya, ya, bahkan buat nakutin tikus juga nggak ada gunanya.”
Kami tergelak bersama.
“Yuri jadi ikut?” tanyanya.
“Oh, aku lupa bilang, dia nggak jadi ikut, katanya sejak pagi perutnya sakit,” bohongku. Yuri tidak tahu aku pergi dengan Kak Edgar. Dia hanya kujadikan alat agar bisa mengajak Kak Edgar jalan. Hahaha!
“Hmm.”
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Nggak apa-apa. Jadi, kita bisa langsung ke tempat itu, kan?”
Kupikir dia akan berkata kalau kita bisa berduaan. Aliran darahku seperti berhenti setiap memikirkan dirinya.
“Cha?” panggil Kak Edgar.
Aku mengerjap dan lekas menegakkan tubuh. “Iya, Kak?”
“Nggak, cuma mau mastiin kamu nggak tidur.”
Aku merengut, tapi bibirku ingin tersungging. Hatiku girang dan bahkan ingin bergelayut manja di dada bidangnya. Tuhan, maafkan aku sepertinya aku jatuh cinta pada makhluk ciptaanMu ini.
“Jangan banyak melamun, aku jadi bingung ngajak ngobrolnya.”
“Nggak, aku cuma lagi mikir aja kalau gajah bisa terbang kira-kira yang kelihatan apanya ya, Kak?”
Kak Edgar tergelak. Dan itu membuat ribuan cupid kembali menggelitik dada ini sampai tak mampu berkutik, bahkan waktu pun rasanya berhenti karena ikut menyaksikan tawa renyah pria tampan itu.
Kak Edgar menepikan mobilnya. “Memangnya kalau gajah terbang kelihatan apanya?” kekeh Kak Edgar seraya menghadap padaku.
Aku tersenyum. “Kelihatan bohongnya lah, Kak.”
Kak Edgar kembali tergelak, bahkan kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Sumpah demi apapun, aku hanya ingin melihat senyum dan tawanya setiap hari.
“Aku nggak nyangka kamu selucu ini.” Dia mengacak puncak kepalaku.
Kulihat seluruh wajahnya tersenyum. Kerut senyumnya bahkan tak hanya ada diantara sisi kiri dan kanan hidungnya, tapi juga di kedua sudut mata dan juga garis pipinya.
Aku tersenyum kikuk, bahkan mungkin wajahku memerah dibuatnya.
“Aku tak perlu mencari tempat indah di belahan bumi manapun, karena aku sudah menemukan keindahan itu tepat di depan mataku.” Aku membacakan salah satu dialog dalam buku Kak Edgar.
“Dan itu kamu,” sambung Kak Edgar usai menghentikan gelak tawanya.
Aku lekas menatap ke arah lain untuk menyembunyikan binar di kedua mataku. Sementara dada ini tak hentinya berdegup.
“Makasih,” kata Kak Edgar seraya kembali mengemudi.
Seketika aku menatapnya. “Untuk?”
“Karena hari ini aku bisa tertawa.”
Dari setiap kata yang tertoreh di bukunya kupikir dia seorang penyendiri. Dan mungkin itu memang benar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!