Sebuah ojek online menurunkan ku di depan sebuah rumah di kawasan elit. Ku perhatikan rumah itu dengan seksama. Bagus sekali. Rumahnya besar, tapi tidak sebesar rumah-rumah di sampingnya. Namun jika dilihat dari bagus atau tidaknya, rumah itu tidak sekedar bagus, namun sangat estetik dan indah sekali.
Tentu saja, suami dari tanteku yang mendiami rumah ini adalah seorang arsitek terkenal.
Aku menekan bel yang ada di samping gerbang rumah itu. Tak lama terdengar sebuah suara dari interkom yang terpasang di samping gerbang.
"Siapa?" Terdengar suara seorang laki-laki.
"Maaf saya Danisa, keponakannya Tante Manda." Ujarku.
Tidak terdengar sahutan lagi dan tiba-tiba saja gerbang rumah itu terbuka.
Wah, canggih sekali. Begitu pikirku. Katakan saja aku sedikit udik, tapi memang di daerah rumahku yang sebuah komplek rumah sederhana, tidak besar-besar dan mewah seperti perumahan di sini, tidak ada yang menggunakan pagar seperti itu.
Aku pun membawa koperku masuk ke dalam halaman rumah bergaya modern minimalis itu. Begitu memasuki halaman aku lebih tercengang lagi.
Desain eksterior rumah itu beda dari yang lain, artistik, dan sangat unik. Tamannya, lantai carport, juga tata letak pintu, jendela bahkan lampu-lampunya, semuanya menjadi perpaduan yang sangat memanjakan mata. Aku yakin semua itu didesain sendiri oleh suami dari tanteku itu.
Terdengar pintu terbuka. Sontak aku yang sedang asyik mengagumi eksterior rumah itu beralih ke arah pintu utama. Seorang pria berusia 30 tahun dengan pakaian rumahan berdiri di sana. Iya, dia adalah suami tanteku.
Yang aku tahu ia bernama Reyhan Panca Kusuma. Seorang pria yang sangat tampan dan baik hati. Dia juga berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya. Yang aku dengar keluarganya masih memiliki keturunan darah biru dari bangsawan zaman dulu, keluarga Kusuma. Keluarga kami yang merupakan keluarga biasa, tentu merasa sangat terhormat dan beruntung menerima pinangannya.
Keluarga Kusuma memiliki bisnis keluarga di berbagai bidang. Ia adalah satu-satunya anggota keluarga yang tidak melanjutkan bisnis karena ingin mengejar mimpinya menjadi seorang arsitek, yang dimana mimpinya itu sudah bisa dicapainya sekarang. Ia bersih kukuh, ingin mandiri dan hidup dari hasil jerih payahnya sendiri.
Itu sedikit informasi mengenai pria yang aku panggil Om Rey itu, yang aku ketahui saat mengenalnya lima tahun lalu, ketika ia akan menikahi tanteku.
Sesaat ia terdiam. Aku sampai kebingungan dengan tatapannya. Ia menatapku lekat dan dalam. Kemudian aku berdeham, bermaksud menyadarkannya lalu tersenyum ramah padanya.
Ia tersadar dari lamunannya. "Danisa?" Sapanya seakan tidak yakin.
"Iya, Om Rey. Apa kabar?" Sahutku ramah.
Sepertinya Om Rey agak terkejut melihatku, karena terakhir kami bertemu saat aku masih berusia 13 tahun, saat aku masih duduk di bangku SMP. Sekarang aku baru lulus SMA dan akan memulai kehidupanku sebagai mahasiswa.
Lima tahun lalu saat sudah menikah, tanteku dan suaminya itu pindah ke Jepang. Baru beberapa bulan mereka kembali ke Indonesia. Dan selama itu kami tak pernah bertemu lagi.
Beberapa saat ia kembali terdiam menatapku dengan tatapan itu lagi, tatapan lekat dan dalam.
"Tante Mandanya ada, Om?" Tanyaku akhirnya.
Om Rey tersadar. "Manda... masih di kantornya. Silahkan masuk."
Di kantornya? Ternyata tanteku sibuk sekali. Ini sudah pukul 17.00, dan ia masih bekerja.
Kemudian aku sudah berada di ruang tamu rumah itu. Interior rumah ini kembali membuatku takjub. Tanpa sadar aku mengedarkan mataku ke seluruh bagian ruang tamu yang menyatu dengan ruang tengah, dapur, dan juga ruang makan, ala-ala rumah modern masa kini. Rumahnya cukup luas dan sangat nyaman.
"Kamu mau minum apa, Dan?" Tiba-tiba suara Om Rey membuyarkan lamunanku.
"Gak usah, Om. Terimakasih."
Jujur aku merasa tidak enak hanya bersama Om Rey di rumah ini. Aku tidak melihat ada orang lain selain kami.
"Kenapa? Bilang aja, kamu mau teh, kopi, susu?" Tanya Om Rey seperti mencoba membuatku agar tidak perlu sungkan terhadapnya.
"Air putih aja, Om. Makasih." Ujarku akhirnya.
"Ya udah sebentar Om bawain dulu, kamu duduk aja. Anggap aja rumah sendiri." Suara Om Rey menjauh karena ia kini berjalan menuju dapur.
Aku pun duduk di kursi ruang tamu itu. Tak lama Om Rey membawakan segelas air putih, aku pun bangkit dan menerima gelas itu dengan kedua tanganku.
"Di minum ya, Om." Ujarku seraya meneguk air putih itu.
"Iya, silahkan." Om Rey duduk di hadapanku. "Kamu naik apa dari Bandung?" Tanyanya basa-basi.
"Kereta, Om. Tadi dari stasiun pesan ojek online kesini." Jawabku.
"Padahal bilang aja, Om bisa jemput kamu di stasiun."
"Gak apa-apa, Om. Takut ngerepotin, takut Om Rey sedang sibuk atau apa." Ujarku masih merasa segan padanya.
"Om lagi gak sibuk, Kok. Kamu bisa lihat sendiri Om sendirian. Manda kerja lebih lama dari Om. Dia biasanya nyampe rumah sekitar jam delapan atau sembilan, malah lebih sering gak pulang. Jadi Om seneng malah kalau ada yang bisa Om kerjakan."
Tante Manda sering tidak pulang? Namun Om Rey mengatakan seakan itu adalah hal yang biasa.
"Tapi tetep aja, Om. Aku ngerasa gak enak." Ujarku.
Lalu kami berdua terdiam. Suasana menjadi begitu canggung.
"Kamu beneran Danisa yang lima tahun lalu tomboy itu 'kan? Suka karate dan main game bola atau petualangan?"
Wajahku merona merah. Malu sekali jika aku mengingat masa-masa aku masih menjadi bocah SMP. Dulu aku sangat tomboy, lebih menyukai permainan laki-laki daripada perempuan. Baru setelah masuk SMA aku mulai merawat diri.
Aku tertawa kikuk. "Om Rey masih inget aja."
"Iya, soalnya Om pangling banget sama kamu sekarang. Kamu berubah. Kamu cantik sekali sekarang."
Aku tertegun mendengarnya. Rasanya canggung sekali dikatakan cantik oleh pria dewasa seperti dia, terlebih ia suami tanteku sendiri. Namun karena tak enak, aku menyahut. "Terimakasih, Om."
Kami kembali terdiam, canggung.
"Ayo, Om tunjukkan kamar kamu." Ucapnya memecah keheningan seraya bangkit dari sofa.
Aku mengikutinya yang berjalan mendekat ke arah tangga, seraya menarik gagang koperku. Om Rey mendekat dan meraih gagang koper itu.
Tangannya tak sengaja bersentuhan dengan tanganku.
Seketika aku melihat pundaknya naik dan turun, nafasnya menderu, kedua matanya kembali menatapku. Ia melangkah mendekat hingga jaraknya hanya beberapa senti saja dariku. Tangan lainnya mendekat ke wajahku, namun saat akan menyentuh pipiku, ia berhenti.
Segera aku menarik tanganku dan iapun mengalihkan pandangannya.
"Ehm... biar Om aja yang bawa kopernya."
Aku hanya terdiam, mencerna kejadian yang baru saja terjadi.
Sedangkan Om Rey berbalik dan mulai menaiki tangga dengan membawa koperku.
Aku tak langsung mengikutinya dan sesaat menatap punggungnya yang terus menaiki tangga.
'Sikap Om Rey, aneh banget sih?' Pikirku.
"Ini kamar kamu." Om Rey membukakan sebuah pintu kamar di lantai dua. Aku masuk perlahan dan menatap ke sekitar.
Kamar yang sangat indah, kesan estetik tetap terasa di kamar ini. Ada tempat tidur dengan dua nakas di kedua sisinya, lemari dengan tiga pintu, juga meja belajar. Di sudut kamar ada sebuah pintu menuju balkon, sedangkan kamar mandi ada di luar kamar ini, berseberangan dengan ruang kerja Om Rey. Ia sempat memberitahukannya tadi saat akan memasuki kamar ini.
"Kamu santai aja dulu. Nanti kalau udah jam makan malam, Om akan panggil kamu." Ujarnya dengan sebuah senyuman yang memunculkan lesung pipi.
"Makasih, Om." Ujarku dengan agak canggung.
Kemudian Om Rey keluar dan menutup pintu. Terlintas kejadian beberapa menit lalu. Ia menatapku lekat, mengatakanku cantik, dan nyaris menyentuh pipiku.
Om Rey kenapa ya?
Aku sedikit, hanya sedikit, tersipu saat tadi Om Rey mengatakan bahwa aku cantik. Walaupun ia adalah suami dari tanteku, tetap saja ia seorang laki-laki dewasa, ditambah ia juga sangat tampan. Dikatakan cantik oleh laki-laki setampan dia, tentu membuat aku sedikit berbangga hati.
Tapi, jangan salah paham. Aku tidak geer atau bagaimana, aku hanya merasa tersanjung saja dipuji olehnya. Tidak lebih. Bagaimanapun ia adalah suami dari tanteku. Aku sangat menghormatinya. Apalagi melihat latar belakang keluarganya, juga pekerjaannya, membuatku begitu segan terhadapnya.
Aku mulai membuka koperku dan memindahkan semua barang-barang yang ada di dalamnya ke lemari dan juga meja belajar. Aku menatanya dengan riang. Lega dan bersyukur sekali bisa kuliah dengan tenang. Biaya kuliahku ditanggung beasiswa, tempat tinggal juga aku dapatkan secara gratis. Hanya tinggal biaya sehari-hari yang harus aku cari. Ibuku yang hanya berjualan kue-kue basah tentu tidak akan cukup untuk menopang hidupku di ibukota ini.
Lagipula hal ini sudah aku pikirkan. Aku harus mendapatkan pekerjaan saat memutuskan untuk menerima beasiswa ini. Aku sudah berjanji pada ibuku, tak perlu mengkhawatirkan biayaku sehari-hari karena aku akan mencari nafkah untuk kehidupanku sendiri. Besok aku sudah akan melaksanakan masa orientasi. Pulang dari kampus rencananya aku akan segera mencari pekerjaan.
Setelah semua barangku selesai aku tata, aku memutuskan untuk mandi. Ku bawa handuk dan baju ganti juga alat mandi ke kamar mandi di seberang ruang kerja Om Rey. Tubuhku sudah sangat lengket, jadi aku ingin segera membersihkan diri.
Saat aku akan memasuki kamar mandi, tak sengaja aku melihat Om Rey di ruang kerjanya. Kebetulan pintunya terbuka. Ia membelakangiku sedang menelepon seseorang.
"Kamu udah keterlaluan! Aku tutup mata pada semua hal kotor yang kamu lakuin di belakang aku, tapi kali ini, aku udah gak bisa terima. Aku muak, Manda! Aku akan lakukan apa yang selama ini kamu mau!" Teriaknya, kemudian menutup teleponnya, melempar ponselnya ke sofa di ruangan itu, membuat ponsel itu terpental dan untungnya jatuh ke sofa lainnya.
Aku kira ponsel itu selamat dari korban kemarahan pemiliknya. Tak ingin menguping lebih lama akupun masuk ke dalam kamar mandi dan mulai membersihkan diri.
Saat membasuh tubuhku, satu hal terlintas di benakku. Ucapan Om Rey membuatku kepikiran, ternyata Tante Manda dan Om Rey sedang bertengkar. Jujur aku tidak nyaman jika situasi mereka seperti ini.
Tapi resiko tinggal bersama saudara ya seperti ini. Kadang aku harus mengetahui sesuatu yang tidak ingin aku ketahui.
Setelah selesai menggunakan piyamaku, aku membuka pintu kamar mandi. Tepat saat itu Om Rey juga keluar dari ruang kerjanya. Kami sempat bertemu tatap beberapa saat.
Ku palingkan wajahku dan mengangguk pelan, lalu berjalan ke arah kamarku.
"Danisa..." Panggilnya.
Sontak aku menoleh ke arahnya. "Iya, Om?" Sahutku.
Ia terdiam beberapa saat menatap ke arahku. Tatapan yang sama seperti saat ia pertama melihatku tadi.
Lalu ia seperti tersadar. "Makan malam udah siap. Kamu turun ya."
"Iya, Om. Aku simpen dulu handuk, nanti aku ke bawah." Ujarku. Ia tersenyum tipis lalu mulai berjalan menuruni tangga.
Wajah Om Rey terlihat kacau sekali. Ia pasti sedih karena baru saja bertengkar dengan Tante Manda. Jujur aku jadi malas untuk bertemu dengannya karena suasananya pasti akan sangat canggung. Tapi aku tak bisa menolak karena Om Rey sudah memintaku untuk turun.
Akhirnya aku mulai menuruni tangga. Aku melihat Om Rey sedang menyiapkan makan malam yang sepertinya ia beli melalui aplikasi online. Akupun mendekat ke arah meja makan dengan perlahan.
"Duduk, Dan." Ujar Om Rey ketika sudut matanya menangkap keberadaanku. Ia tersenyum, membuat lesung pipinya kembali muncul.
Ya Tuhan, Om Rey ini tampan sekali. Tante Manda pasti bahagia memiliki suami setampan dirinya. Setiap hari ia bisa melihat pemandangan seindah ini.
Tanpa sadar aku mengamati Om Rey yang sedang sibuk menyiapkan piring dan juga peralatan lainnya. Om Rey mungkin memiliki tinggi sekitar 180 cm. Kulitnya sawo matang. Hidungnya mancung dan matanya sangat ramah. Rambutnya hitam lurus. Tubuhnya terlihat ideal, tegap dan bidang, kentara sekali ia sering berolahraga.
"Kamu suka capcay dan ayam teriyaki?" Tanya Om Rey membuyarkan lamunanku.
'Ngapain sih kamu, Nis? Om Rey sadar gak ya aku mengamatinya barusan? Semoga enggak.' Batinku menegur.
"Aku suka apapun kok, Om. Gak ada makanan yang gak aku suka kayaknya." Ujarku diiringi dengan tawa.
"Wah, masa? Bagus deh kalau gitu. Yuk kita mulai makannya." Om Rey mulai bergabung denganku di meja makan.
"Makasih. Dimakan ya, Om." Ujarku.
Kemudian kami mulai melahap makanan itu sambil mengobrol santai. Dari obrolan itu aku jadi tahu bahwa ia sering kali makan dengan cara memesan secara online seperti ini jika sedang berada di rumah. Karena dirinya dan juga Tante Manda sama-sama sibuk, maka mereka tidak ada waktu untuk memasak.
"Kalau boleh, Om. Aku bisa kok masak. Kalau Om Rey dan Tante Manda ngizinin, aku bisa masak setiap hari buat Om dan Tante selama aku tinggal di sini. Itung-itung aku bayar kost gitu, Om." Ku tawarkan jasaku. Setidaknya ini bisa menjadi cara aku berterimakasih kepada mereka.
"Om gak pengen kamu merasa sungkan gitu. Kamu boleh masak, Om sangat berterimakasih malah. Tapi jangan bilang untuk bayar uang kost, Dan. Kesannya kamu jadi dipekerjakan sama Om kalau gitu."
"Iya deh, Om. Aku gak akan bilang gitu. Ya udah kalau gitu mulai besok pagi, aku akan masak buat Om dan Tante ya. Masakan aku enak loh, Om boleh tanya Bundaku." Ujarku percaya diri.
Interaksiku dengan Om Rey memang sedikit mencair sekarang. Setelah mengobrol beberapa saat, aku merasa ternyata ia orang yang cukup asyik.
"Okay, Om jadi gak sabar nyobain masakan kamu, Dan." Ujarnya.
Aku mengangguk sumringah.
Setelah itu aku kembali ke kamarku. Aku menyiapkan tas dan pakaian untuk besok, dan membereskan beberapa barang yang tadi belum sempat aku tata. Setelah itu aku pun bersiap untuk tidur.
Aku berjalan menuju saklar, berniat untuk mematikan lampu. Namun tiba-tiba saja seekor kecoa terbang dan hinggap di lenganku.
Seketika aku berteriak kencang sekali. "KYAAAAAAAAA~!!"
Aku terus mengibas-ngibaskan lenganku mencoba membuat si kecoa itu pergi. Aku berlari menuju pintu dan membukanya. Tepat saat itu Om Rey datang dan saking paniknya aku menabrak tubuhnya, tubuhnya oleng dan kami terjatuh dengan posisi Om Rey terlentang di lantai, dan aku berada di atasnya.
"Om ada kecoa terbang!! Aku gak suka sama kecoa!! Geli banget, Om!!" Pikiranku masih terfokus pada kecoa itu.
Namun beberapa detik kemudian aku tersadar. Aku sedang membenamkan wajahku di pundak Om Rey yang terbaring di lantai. Sebelah lututku bahkan berada di antara kakinya, sedikit menekan ke sel^ngkangannya. Dan seluruh tubuhku menempel di tubuhnya. Aku mengangkat kepalaku dan menatap Om Rey yang wajahnya dekat sekali denganku.
Beberapa saat kami saling menatap.
Sampai akhirnya aku tersadar dan bangkit dari atas tubuhnya. "Maafin aku, Om!" Ku hindari bertemu tatap dengannya dan merutuki diriku sendiri.
Ia perlahan bangkit dari posisinya. "Dimana kecoanya?"
"Di dalam, Om." Cicitku.
Kemudian Om Rey masuk ke kamarku. Dan beberapa saat kemudian ia keluar dengan seekor kecoa di tangannya. Aku bergidik geli melihatnya. "Udah mati kecoanya, kamu bisa tidur sekarang. Maaf ya, mungkin ART kurang bersih bersihinnya."
"Makasih, Om!" Ucapku, bahkan agak berteriak, seraya berlari masuk ke dalam kamarku dan mengunci pintu.
Nafasku tersengal. "Kejadian apaan barusan? Kok bisa aku jatuh dengan posisi kayak gitu? Danis kamu ceroboh banget!" Gumamku dengan kedua tanganku menutup wajahku. Malu sekali rasanya.
Bagaimana aku bisa bertemu dengannya besok?
Aku terbangun dini hari. Setelah mandi aku turun menuju dapur. Tadi malam aku sudah mendapatkan izin dari Om Rey untuk menggunakan dapur ini untuk memasak. Ku buka kulkas dan melihat hanya ada beberapa butir telur, buah-buahan, dan sekotak susu. Tidak ada yang lain. Beras pun tidak ada. Om Rey dan Tante Manda benar-benar tidak pernah memasak atau bagaimana ya ini? Dengan hanya ada telur aku mau buat apa?
Akhirnya aku pergi ke toko depan komplek dan membeli beberapa bahan masakan. Kemudian aku kembali ke rumah dan membuat sesuatu yang mudah dan cepat. Setelah 15 menit sarapan yang aku buat sudah siap. Aku segera ke kamarku dan mengganti bajuku dengan kemeja putih dan rok hitam, seragam yang harus aku gunakan selama masa orientasi.
Aku kembali ke dapur dan menata meja makan.
"Wah. Udah siap makanannya, Dan?" Tiba-tiba Om Rey menghampiriku seraya mengancingkan kancing lengan kemeja kantornya, kemudian duduk di salah satu kursi di meja makan.
Seketika aku begitu canggung mengingat kembali kejadian tadi malam.
"I-iya, Om." Akhirnya aku menyahut.
"Ini lengkap banget makanannya, Dan. Kamu dapet bahan masakannya dari mana?" Tanyanya.
Pandangan Om Rey menyapu meja yang kini penuh dengan berbagai macam makanan seperti roti garlic panggang, wortel dan brokoli rebus, sosis panggang, dan telur mata sapi. Tak lupa aku menyediakan susu untuk menyempurnakan gizi menu sarapan itu.
Ekspresi Om Rey biasa saja. Maksudku, sepertinya kejadian semalam tidak mempengaruhinya sama sekali.
Diam-diam aku bernafas lega, aku kira suasana akan sangat canggung, tapi Om Rey bersikap biasa dan tetap ramah padaku.
"Kamu beli dulu ke toko sayuran depan ya? Uangnya darimana?" Tanya Om Rey.
"Udah gak usah pikirin itu, Om. Silahkan Om dimakan." Akupun duduk berhadapan dengan Om Rey. Aku mulai menyantap makanan yang ada di meja itu.
"Nanti Om ganti ya." Sahut Om Rey mulai melahap makanan yang tersedia.
"Gak apa-apa, Om. Anggap aja aku yang traktir." Ujarku sama sekali tidak keberatan. "Oh iya Om, Tante Manda belum pulang ya?" Tanyaku karena sampai detik ini aku belum juga melihat sosok tanteku itu.
Bahu Om Rey naik dan kemudian turun, menghela nafas panjang. Wajahnya seperti menahan jengkel. "Iya. Tante kamu ada pekerjaan yang mengharuskan dia lembur sampai gak pulang."
Aku mengangguk paham. Sayang sekali makanan yang sudah aku siapkan untuk Tante Manda. Mungkin nanti aku akan bekal saja untuk makan siang di kampus.
"Pulangnya kapan ya, Om? Aku belum ketemu sama Tante Manda sejak kemarin."
"Kamu udah coba chat dia?"
"Udah, Om. Sejak aku sampai kemarin sore, tapi sampai sekarang belum dibaca juga chat dari aku, padahal Tante Manda sempat online. Mungkin sibuk sekali ya, Om."
Om Rey tersenyum getir. "Jangan aneh kalau dia kayak gitu." Ujarnya seperti tak peduli.
Sepertinya memang ada masalah antara Om Rey dengan Tante Manda. Tapi aku tidak ingin mencampuri kehidupan pribadi mereka. Mari tinggal di rumah ini dengan nyaman dan tentram, mengetahui hal yang memang perlu saja, dan tidak melewati batas.
Setelah itu aku membereskan sisa makanan ke dalam sebuah wadah untuk ku bawa ke kampus. Piring kotornya aku biarkan di wastafel cuci piring. Kata Om Rey, nanti akan ada ART yang mencucinya, juga membereskan seluruh rumah. Karena sudah hampir terlambat, aku pun menuruti perkataan Om Rey. Jika sedang tidak terburu-buru maka aku akan mencucinya. Aku paling tidak bisa membiarkan sesuatu tidak rapi dan tidak bersih. Gemas sekali rasanya ingin segera membersihkannya.
Aku sedang menuruni tangga setelah membawa tasku di kamar, saat Om Rey juga baru saja keluar dari kamarnya.
"Kamu berangkat ke kampus sekarang, Dan?" Tanya Om Rey.
"Iya, Om. Aku udah pesen ojek online barusan." Sahutku.
"Batalin aja. Kamu bisa bareng Om. Kampus kamu kelewatan kok sama Om kalau mau pergi ke kantor."
"Tapi..." Tiba-tiba ponselku mendapat chat dari driver bahwa ia memintaku men-cancel pesanan karena ban motornya kempes.
"Ayo, gak apa-apa bareng aja sama Om." Om Rey meyakinkan.
Ya sudah akhirnya aku setuju untuk menumpang pada mobilnya.
Beberapa saat kemudian aku sudah duduk di bangku depan, di sebelah Om Rey. Kejadian semalam terlintas lagi di benaknya, sontak aku kembali merasa canggung padanya.
"Kamu jurusan apa, Dan?" Tanya Om Rey seraya mengemudikan mobilnya.
"Keperawatan Om." Ujarku.
"Hebat banget. Kamu pasti telaten ya orangnya."
"Enggak juga, Om." Ujarku malu.
"Udah sekitar lima tahun gak ketemu kamu berubah banget ya."
"Masa sih, Om?"
"Iya. Dulu kamu masih pendek, kurus, rambut kamu dikucir terus, lari kesana kesini, tomboy banget."
Tanpa sadar aku terbahak mendengar kata-kata Om Rey. Segera aku menghentikan tawaku, kami tak cukup akrab sampai aku terbahak seperti itu di depannya.
Tapi bukannya canggung, ia malah ikut tertawa, membuat suasana menjadi cair.
"Tapi sekarang kamu udah jadi perempuan yang cantik, calon perawat lagi. Siapa yang nyangka, Dan. Om kira kamu akan jadi guru olahraga, atau atlet karate."
"Dulu aku setomboy itu ya, Om?"
"Banget, Dan." Om Rey terkekeh.
Sepertinya kejadian semalam memang bukan masalah bagi Om Rey. Aku pun memutuskan untuk melupakannya.
Begitulah, sepanjang jalan kami terus bercengkrama. Asyik sekali Om Rey ini. Ia senang bercanda, hangat, dan sosok Om yang dewasa. Aku jadi teringat kepada almarhum ayahku, beliau juga memiliki kepribadian yang hangat seperti Om Rey.
Dia juga memberikan beberapa tips mengenai perkuliahan. Aku akan menjalankan tipsnya karena ia memang lulusan terbaik saat itu, ia bahkan berpidato pada saat acara wisudanya. Dia adalah sosok yang tepat jika aku ingin bertanya bagaimana menjadi mahasiswa teladan, walaupun tidak berniat juga aku terlalu berprestasi. Cukup dapat nilai yang selalu bagus demi mempertahankan beasiswaku, itu sudah cukup.
"Nah, berhenti di depan aja, Om." Pintaku, lalu Om Rey menepikan mobilnya.
"Nanti sore kita belanja ya. Om antar kamu." Om Rey mengingatkan.
"Om yakin mau nganter aku belanja buat masak? Om Bisa kasih uangnya aja sama aku, Om. Nanti aku beli sendiri. Takutnya Om repot dan sibuk."
"Gak apa-apa, Dan. Om seneng kok. Lagian kamu 'kan baru disini takutnya nyasar atau gimana 'kan?"
Aku pun setuju akhirnya. "Ya udah kalau gitu. Aku turun ya, Om. Makasih banyak udah bolehin aku numpang. Semangat kerjanya ya Om." Ku kepalkan kedua tanganku seraya tersenyum padanya, tulus memberikan semangat padanya.
Om Rey menatapku beberapa saat, kemudian senyum mengembang tipis di wajah tampannya.
Ia meraih puncak kepalaku, mengusap pelan rambutku. "Makasih ya, Dan. Om pasti semangat kerjanya."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!