NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Suami Dingin

Pernikahan Dingin

Hembusan angin menyibakkan tirai jendela di sebuah kamar milik seorang pria. Sinar keemasan yang menyelinap masuk dari celah yang terbuka, membuat sosok pria yang masih terbaring di atas ranjang, mengerjap. Sepasang matanya terasa berat untuk terbuka namun alam bawah sadar mendorongnya untuk secepatnya bangun.

"Morning, honey."

Suara perempuan yang menyapa indra pendengar membuat kedua kelopak mata sang pria terbuka lebar. Tatapannya pun tertuju pada sosok perempuan berpakaian cukup terbuka yang kini sedang setengah terbaring di ranjang yang sama dengannya. Sang perempuan yang memasang senyum menggoda membuat sang pria lekas membuang wajah.

"Siall." Pria bernama Alan itu membuang pandangan, tak sudi menatap pada perempuan yang sejatinya sudah berstatus istrinya sejak semalam.

Pening, Alan merasa kepalanya terasa berat. Sebisa mungkin ia bangkit dan menjauh dari pandangan sang perempuan

"Honey, kau mau kemana?." Perempuan bernama Lara itu bertanya. Iapun ikut bangkit, dan berjalan mendekati sang suami. Perempuan bertubuh sintal itu berniat membantu namun belum lagi kulit mereka bersentuhan, Alan sudah dulu memberi peringatan.

"Pergi, menjauhlah dariku!." Hardik Alan, ia tak sudi jika kulitnya disentuh oleh Lara, istrinya sendiri.

"Tapi honey, tubuhmu lemas, kau bisa terjatuh jika dipaksa berjalan." Ada sorot kekhawatiran yang tergambar di wajah ayu Lara.

"Apa perdulimu, biar saja aku jatuh atau mati sekalipun. Aku justru senang, sebab dengan mati aku akan terbebas dari pernikahan terkutuk ini!." Tertatih Alan menjauhkan diri. Ia memasuki kamar mandi dan menutup pintunya rapat.

Lara menghela nafas dalam kemudian tersenyum samar. Pandangannya kini tertuju pada sebuah cermin, di mana pantulan sekujur tubuhnya terlihat. Rambut panjang nan indah miliknya dibiarkan terburai, jatuh menutupi bahu sampai ke pinggang. Tubuhnya yang hanya dibalut lingerie tipis berwarna hitam, membentuk sempurna lekuk tubuh bagian atasnya sampai pangkal paha. Lara tersenyum miris, penampilannya lebih mirip seperti jaalang, namun suaminya sendiri justru engan untuk menyentuhnya.

"Tak masalah, ini baru hari ke dua." Mengangkat dagu, Lara tersenyum miring sebelum memasuki ruang pakaian untuk berganti baju. Tak ingin kalah pada keadaan, Dilara tak pernah menyerah sampai ia menyerah kalah.

Dilara Agnesia, tak ada yang menarik dari kisah hidupnya. Hadir dan masuk kekehidupan Alan pun bukanlah atas inginnya. Usianya baru 18 tahun, berbeda jauh dengan Alan yang memasuki usia 35 tahun. Pernikahan mereka terjadi atas campur tangan Hary Wirdo Hutomo yang tak lain adalah Kakek dari Alan. Alan yang berprofesi sebagai Dokter spesialis bedah itu sejak kecil memang diasuh dan dibesarkan oleh sang Kakek. Kisah hidupnya pun tak ada yang menarik, hanya ada kekecewaan di dalamnya. Setelah ditinggalkan sang Ayah akibat pengkhianatan sang Ibu serta dikhianati kekasihnya sendiri, Alan menjadi sosok pria yang tertutup. Hidupnya hanya untuk bekerja, dan tak ada tujuan hidupnya selain pekerjaan.

Hary Wirdo Hutomo yang tak pernah berhasil membuat sang cucu melepas masa lajang, berbuat nekat. Membuat keputusan penting tanpa meminta persetujuan sang cucu.

"Ikuti permintaan Kakek atau kau ingin melihat Kakek meregang nyawa secara perlahan." Ancaman Hary membuat Alan tak bisa menolak. Ia merutuk diri dan mengucap sumpah serapah saat melihat calon istrinya duduk di sampingnya. Masih bocah dan Alan semakin gila dibuatnya. Seorang gadis yang nyatanya jauh dari ekspektasi Alan untuk dijadikan istri. Kasta dan status sosial Dilara, Alan sama sekali tak tertarik untuk mengetahuinya.

"Siall." Maki Alan lagi dan lagi. Meski sudah berendam di air dingin namun hawa panas disekujur tubuh tak jua hilang. Rasanya ia ingin berlama-lama berada di kamar mandi. Selain untuk berendam ia pun ingin menghindari Lara yang sudah seperti iblis menyeramkan untuknya. Hadirnya membuat Alan muak, apalagi harus tidur di atas ranjang yang sama. Pria itu tak akan sudi.

"Aku tidak boleh terus menerus berada di tempat ini." Mentari yang kian meninggi membuat Alan mau tak mau untuk segera beranjak, menyudahi ritual mandinya untuk segera menuju rumah sakit tempatnya bekerja.

Pria bertubuh tegap itu menarik jubah untuk menutupi sebagian tubuh. Ia hanya tak ingin jika keluar nanti dan sang istri mendapatinya tanpa pakaian.

"Siall, kenapa aku harus terkubang dalam pernikahan rumit seperti ini." Alan tak henti menggerutu. Berulang kali ia mengacak kasar rambutnya yang masih basah dengan posisi sudah berada di depan pintu kamar mandi namun ragu untuk membuka. Ia hanya tak ingin jika keluar dan menemukan sosok Lara sedang menunggunya. Alan tak sudi melihat wajah istrinya sendiri.

Memantapkan hati, Alan coba membuka pintu sepelan mungkin. Ia tatap kesekeliling. Sepi, tak ada siapa pun. Tak mau buang waktu pria itu lekas menuju tempat pakaian dan lekas bersiap.

💗💗💗💗💗

"Honey, aku sudah buatkan sarapan spesial untukmu. Makanlah, kau pasti ketagihan setelah mencicipinya." Suara lembut nan mendayu milik Dilara, seketika menyapa indra pendengar Alan begitu sampai di meja makan, dan demi apa pun itu Alan sama sekali tak tertarik atau pun tergoda tetapi ingin mual walau hanya mendengar suara istrinya.

Posisi keduanya kini duduk berhadapan namun Alan lekas membuang pandangan. Malas bersitatap dengan perempuan yang pagi ini tampak menggoda dengan dres mini berwarna kunyit serta mengekspos jelas bagian dadanya yang padat dan kencang. Alan sang membenci itu. Dilara sangat mirip seperti perempuan murahan.

Dilara memasang senyum simpul. Bibirnya ia biarkan sedikit terbuka untuk menggoda Alan saat ingin menyajikan masakan hasil buatanya ke piring pria tersebut.

"Pelayan," teriak Alan yang sontak mengejutkan dua pelayan yang memang dipekerjan untuk mengurus keperluan dirinya. Kedua pelayan itu tergopoh, takut-takut menghadap sang Tuan.

"Mana sarapanku?." Alan menatap nyalang kedua pelayan yang saling pandang dan ketakutan. "Mana?." Tanya Alan sekali lagi saat kedua paruh baya itu hanya diam.

"Ma-maaf, Tu-tuan. Pagi ini semua sarapan untuk Tuan sudah dipersiapkan oleh Nyonya." Satu pelayan menjawab dengan suara terbata. Ia terkejut begitu mendapati kemurkaan sang Tuan yang sejatinya ditujukan untuk istrinya.

"Tapi aku tidak mau memakan apa pun yang dia masak!." Suara Alan tajam nan tegas. Membuat siapa pun yang mendengar ketakutan tetapi tidak dengan Dilara, gadis itu hanya tersenyum dan sama sekali tak takut dengan ucapan sarkas sang suami yang secara terang-terangan sudah merendahkannya di hadapan kedua pelayan Alan.

"Ma-maaf, Tuan."

"Jadi kalian tidak memasak apa pun yang bisa aku makan?."

Kedua pelayan serempak menggelengkan kepala.

"Bedeebah siialan." Alan menggebrak meja makan. Kedua pelayan saling menggengam tangan dan ketakutan. Lagi-lagi, Dilara hanya bergeming di tempat. "Di rumah ini hanya aku yang berhak membuat peraturan atau menentukan kesepakan. Siapa pun tak boleh mengganggu gugat meski itu kakek atau hanya perempuan asing yang hanya menumpang hidup di rumah ini." Alan melirik sinis pada Lara yang justru dengan santai menyuapkan makanan ke dalam mulut. Sungguh tak tau malu.

"Jadi tetap kerjakan tugas kalian seperti saat perempuan benalu itu belum masuk ke rumah ini. Makanku, pakaianku dan semua kebutuhanku, kalianlah yang mengurusnya, dan bukan dia," tunjuk Alan pada Lara. Tak lagi minat untuk mengisi perut, Alan lekas menghilang dari meja makan. Muak dan jengah jika harus berhadapan dengan perempuan tak tau diri seperti istrinya.

Sementara Dilara, gadis berlesung pipi itu menatap nanar kepergian Alan dengan perasaan yang, entahlah. Dalamnya hati siapa yang tau. Senyuman yang sejatinya tak luntur di bibir, mungkin hanya alat untuk menutupi luka hati yang sejatinya hanya ia yang bisa rasa

Tbc.

Muak

Wirdo Hutomo Hospital merupakan sebuah rumah sakit tempat Alan bekerja. Rumah sakit swasta tersebut pun masih tergolong milik keluarganya. Butuh bertahun-tahun lamanya bagi pria muda tersebut dalam mengenyam pendidikan hingga sampai pada akhirnya menyandar gelar Dokter Spesialis Bedah yang sejatinya bukanlah murni atas keinginannya.

Alan tak suka mencium aroma obat-obatan, Alan pun mempunyai ketakutan tersendiri saat melihat luka atau segala macam apa pun yang berhubungan dengan daarah. Akan tetapi karna ambisi sang Kakek yang butuh seorang penerus sekaligus cucu yang dapat dibanggakan, membuat rasa tidak suka dan ketakutan dalam diri Alan binasa dengan sendirinya akibat campur tangan dan didikan keras sang Kakek.

Kehidupan Alan sangatlah keras. Terlahir dari keluarga berada tak serta membuatnya hanya duduk santai dan berpangku tangan. Terlebih dengan kondisi pernikahan orang tuanya yang carut marut.

Begitu memasuki pintu utama Rumah sakit. Beberapa jadwal oprasi sudah tersusun rapi dalam ingatan.

Beberapa rekan seprofesi menyapa. Alan hanya tersenyum tipis tanpa membalas sapaan. Seluruh rekan tak terkejut dengan ekspresi yang ditujukan pewaris Wirdo Hutomo Hospital tersebut sebab sudah begitu hafal akan sifat Alan yang cuek dan terkesan tak bersahabat dengan orang lain di sekeliling.

Tak sempat sarapan akibat bersitegang dengan Lara membuat Alan terpaksa menikmati sarapan di ruang kerja dengan makanan yang sempat ia beli diperjalanan.

Salah seorang pria yang tak lain Asisten Alan memberitahukan jika jadwal oprasi dimulai sepuluh menit lagi. Alah hanya mengangguk samar. Ia mempersilahkan pada Asisten tersebut untuk pergi lantas pria itu menghabiskan makanannya sendiri.

Jika bukan teman sesama profesi, nyaris tak ada yang mengenali saat tubuh seorang Alan terbungkus pakaian khusus saat memasuki ruang oprasi. Wajah tampan itu sebagian tertutup oleh masker. Begitu pun bagian tubuh lain. Akan tetapi postur tubuh Alan yang tinggi tegap, membuat pesonanya tetap terlihat meski sebagian tubuh serta wajahnya tertutupi.

Ruangan dingin menyambutnya. Beberapa rekan medis lain sudah menggelilingi seorang perempuan yang terbaring di atas brankar dengan perut yang membesar.

Alan menghela nafas dalam. Saat seperti inilah yang paling tak ia suka. Membantu proses persalinan dengan pasien yang ditemani oleh pasangannya.

Alunan musik terdengar samar mengisi ruang oprasi yang terasa dingin sampai menusuk tulang. Alan bisa merasakan ketegangan dalam diri pasien serta pasangan yang kini saling mengengam tangan dan menguatkan. Seorang rekan tampak memimpin doa sebelum proses persalinan dilangsungkan. Alan sempat melirik pada sepasang calon Ibu dan Ayah itu sebelum menyentuh bagian perut sang pasien untuk memulai proses.

Spontan Alan memalingkan wajah. Setiap membantu proses kelahiran, naluri dalam diri Alan seolah berontak. Ucapan saling menguatkan, serta tangis haru pasangan saat bayi mereka terlahir ke dunia, nyatanya mengoreskan luka yang teramat sangat bagi seorang Alan Wirya Hutomo yang terlahir dari keluarga kurang harmonis.

Tangisan melengking dari bayi yang baru saja dilahirkan, memenuhi ruangan. Tangan Alan yang terbungkus , menyentuh insan kecil yang masih berlumuran darah untuk diperlihatkan sejenak pada orang tuanya sebelum proses pembersihan serta perawatan. Wajah bahagia bercampur sedih terpancar jelas dari wajah kedua orang tua kala melihat wajah buah cinta pertama mereka untuk pertama kali.

Tugas Alan selesai dan digantikan oleh staf medis lain. Pria itu pun keluar, menuju ruang oprasi lain yang hanya berjarak beberapa langkah dari ruang sebelumnya. Begitu kiranya rutinitas Alan dalam setiap harinya. Lelah tak lagi dirasa. Profesi yang sejatinya dulu tak pernah ia suka, nyatanya kini mampu menyita banyak waktunya.

Hidup Alan hanya untuk bekerja. Menjadi Dokter bedah terbaik sesuai atas keinginan sang Kakek. Untuk urusan asmara, Alan nyaris tak punya impin. Baik sakadar menikah dan memiliki beberapa anak di masa depan. Pria tampan itu bahkan pernah berujar untuk tak akan pernah menikah selama hidupnya yang sontak mendapatkan satu bogem mentah dari sang Kakek yang tanpa sengaja mendengar ucapannya. Akan tetapi hal tersebut terjadi sebelum Dilara hadir dalam kehidupan Alan. Dilara, sosok gadis tanpa asal usul yang dibawa oleh sang Kakek untuk dijadikan cucu menantu.

💗💗💗💗💗

Jika beberapa hari lalu rumah seakan menjadi tempat peristirahatan yang paling nyaman untuk Alan namun rupanya tidak untuk sekarang. Rasa lelah yang menjalar di tubuh serta kantuk yang mulai mendera, membawa langkah kaki Alan untuk kembali pulang. Ia ingin mandi dan beristirahat sebelum berperang dengan peralatan medis esok hari. Akan tetapi pria itu harus menghela nafas lelah saat pintu rumah utama yang ia ketuk terbuka dan menampilkan sesosok tubuh gadis yang sepertinya sudah menunggunya.

"Honey, kau datang?." Suara riang sang gadis yang menyapa indra pendengaran Alan, begitu risih untuk pria itu dengarkan. Terlebih penampilan sang gadis yang sudah seperti..

"Benar-benar murahan," cibir Alan. Ia melengos dan melenggang pergi. Mengabaikan tangan Dilara yang sudah terangkat diudara, ingin menyentuh tangan sang suami sepulang bekerja.

Sepeninggal Alan, Dilara menghela nafas. Tangan yang masih mengambang diudara ia turunkan. Tak ada raut kecewa. Gadis itu hanya mengulas senyum, sebelum menyusul langkah Alan ke kamar.

💗💗💗💗💗

"Honey, pakaianmu sudah aku persiapkan. Kau hanya perlu memakainya em atau kau mau aku yang memakaikan?."

Alan yang baru saja keluar dari kamar mandi, membanting pintu begitu mendengar ucapan Dilara yang baginya tidak pantas. Alan memasang wajah garang. Dengan hanya berbalut kain handuk yang menutupi daerah perut hingga lutut, Alan mendekat pada sang istri.

Dilara terkesiap saat Alan tiba-tiba mencengkeram kedua bahunya cukup kencang. Sakit. Sepasang tangan besar itu seakan ingin meeremas dan menghancurkan kedua bahu kecilnya.

"Kenapa kau masuk kamarku tanpa izin?." Alan bertanya dengan sepasang mata melotot tajam, mengarah pada sang lawan bicara.

Dilara yang kesakitan, sebisa mungkin terlihat biasa-biasa saja. Gadis itu bahkan tersenyum. Seolah reemasan tangan besar Alan dibahunya tidak menimbulkan rasa.

"Bukan hanya kamarmu, sejak kemarin kamar ini sudah menjadi milik kita, Honey." Dilara menggedipkan mata. Bola mata lebar itu mengerjap indah namun sama sekali tidak menarik untuk Alan. "Dan lepaskan dulu tanganmu dari bahuku. Kita pasangan suami istri, Honey. Bukankah tidak boleh jika saling menyakiti?."

Alan meringis.

"Suami istri?." Alan bahkan melludah di setelah bicara.

"Oh, kau lupa apa pura-pura. Em atau perlu aku ingatkan lagi jika kemarin kita sudah menikah?. Ah, seharusnya aku menghubungi Kakek saja." Dilara menyentuh kantung pakaian untuk mengambil ponsel yang tersimpan akan tetapi dengan cepat Alan merebutnya.

"Daasar ibliss, Kau," maki Alan seolah ingin menelan Dilara hidup-hidup. Dilara tersenyum penuh kemenangan sedangkan Alan geram tiada kira. Menyisakan emosi yang membara, Alan lekas meraih sepasang pakaian yang sudah Dilara persiapkan sebelum keluar dari kamar pribadinya untuk menempati kamar tamu yang baginya lebih aman dari ruangan mana pun di rumahnya.

Tbc.

Tuduhan Tak Beralasan

Pernikahan tanpa cinta, disepanjang hidup Alan tak pernah berfikir jika takdir akan membawanya pada satu situasi dimana kehidupannya seakan terikat pada satu hubungan yang sejatinya tak ia ingini. Dipaksa bekerja dibidang yang tak ia suka kemudian dinikahkan dengan gadis yang tak ia cinta. Sungguh, seakan takdir tak pernah berpihak padanya.

Dilara cantik, dan Alan akui akan hal itu. Akan tetapi kecantikan paras tak menjamin kecantikan hati serta prilaku. Tubuh sintal serta gaya berpakaian Lara yang cukup terbuka, rupanya membuat pria itu merasa jijik. Bahkan Alan pun sanksi jika gadis yang ia nikahi beberapa hari lalu itu masih dalam keadaan suci dan belum pernah terjamah oleh pria mana pun.

Dalam diam Alan tersenyum miring.

"Kau datang saja karna Kakek yang membawamu, jadi aku rasa sepak terjangmu pun tak berbeda jauh dari Kakekku."

Hary Wirdo Hutomo, pria senja yang juga merupakan Kakek dari Alan tersebut rupanya termasuk dalam golongan pria yang gemar bergonta ganti pasangan. Sejak muda, Hary sudah mengenal dunia malam dan pesta minuman bahkan saat pria tersebut sudah memiliki seorang istri.

Karmila, perempuan biasa yang dinikahi Hary karna cinta. Sosok perempuan lembut yang sudah memberikan Hary seorang putra tampan. Mila, begitulah perempuan itu kerap disapa. Kesabaran dan ketenangannya saat mendampingi serta menghadapi sikap Hary yang semaunya sendiri, cukup diacungi jempol. Akan tetapi, Mila angkat tangan dan memilih mundur saat Hary berulang kali tertangkap basah tengah berselingkuh. Mila memilih berpisah namun sayangnya tak mampu merebut hak asuh anak dari sang mantan suami, Hary.

Herlan Wirdo Hutomo, putra semata wayang Hary, dan Karmila yang juga merupakan Ayah kandung dari Alan Wirdo Hutomo.

Kehidupan pernikahan sang Ayah pun tak berbeda jauh dari sang Kakek, bahkan berakhir lebih tragis saat sang Ibu memilih kabur bersama pria lain yang merupakan kolega bisnis Ayahnya sendiri.

Dunia memang kejam. Sejak pengkhianatan sang Istri, akal fikiran Herlan terguncang. Pria itu depresi dan sampai saat ini masih menjalani perawatan disebuah rumah sakit jiwa.

Kehidupan pernikahan dari keluarganya, cukup membuat Alan trauma, dan memilih untuk tak ingin memiliki pasangan hidup. Akan tetapi, Hary bergerak lebih cepat dari yang Alan kira. Mencari seorang gadis untuk dijadikan pencetak para penerus Alan Wirdo Hutomo junior.

Alan tak habis pikir, bagaimana juga Dilara mau dinikahkan dengan dirinya. Bisa saja karna uang, mengingat Zaman sekarang cinta bukanlah modal utama dalam membangun rumah tangga. Perbanyak saja harta, maka perempuan macam apa pun dalam sekejab mata dapat kau dapatkan.

Bukan, tetapi yang jadi ganjalan terberat Alan saat ini, akan bermuara kemana rumah tangga yang ia bangun bersama Lara nanti. Jika dirinya, kemungkinan besar sampai mati pun tak akan pernah bisa merasakan getaran cinta pada Lara. Sedangkan untuk lara yang kemungkinan besar mau menikah dengannya karna harta, lalu bagaimana andaikata suatu saat nanti bisnis keluarganya bangkrut sampai tak memiliki apa-apa, akankah Lara sudi untuk tetap menyandang status sebagai istrinya.

Serasa dilema setiap Alan memikirkan tentang hidupnya. Ingin lari namu Alan bukanlah pencundang yang begitu saja meninggalkan seseorang gadis yang sudah ia nikahi. Biarlah, untuk sejenak kiranya ia bisa menyesuaikan diri. Akan tetapi ia pun tak ingin memaksa hati, sebab gadis yang sudah ia halali sama sekali tak ia cintai.

💗💗💗💗💗

Hari demi hari berlalu. Kehidupan pernikahan Alan dan Lara sama sekali tak mengalami kemajuan. Alan tetap kukuh pada pendirian, acuh dan selalu menghindari sang Istri mesku pun keduanya tinggal di rumah yang sama. Sedangkan Lara, perempuan Ayu dan bertubuh sintal itu terbilang tak lelah dalam mengerjar cinta suaminya. Makian serta umpan yang Alan tujukan untuknya, sama sekali tak diambil hati. Penolakan bahkan pengusiran Alan pun tak ditanggapi, sampai pria itu geram sendiri. Sebenarnya terbuat dari apa hati Lara sampai mentalnya begitu kuat menerima gempuran penolakan bertubi-tubi darinya.

Malam ini, sama seperti malam-malam biasanya, Dilara terlihat mengenakan gaun tipis kebesarannya. Sepulang bertugas, Alan yang disambut penampilan paripurna sang istri sontak membuang wajah. Entahlah, sampai detik ini Alan masih merasa jijik pada sang istri terlebih ketika berpakaian seperti ini.

"Sudah kubilang, buang semua pakaian menjijikanmu itu tetapi kenapa kau masih saja memakainya?." Tanya Alan dengan suara dingin. Sementara Dilara, perempuan itu bukannya takut namun tetap memasang wajah santai. Ia bahkan memainkan rambutnya, menggulungnya dengan tangan berniat untuk menggoda Alan.

"Malam ini begitu panas, jadi aku rasa memakai pakaian seperti ini adalah tidakan yang tepat." Dilara menjawab santai. Suaranya yang merdu terdengar mendayu. Lembut nan tenang dan membuat siapa pun yang mendengar akan terhanyut di dalamnya, hanya saja hal tersebut tak berlaku bagi Alan.

"Kau istriku, jadi aku berhak mengaturmu. Jika aku tak suka melihat apa pun yang kau pakai, maka aku wajib menegurmu. Seperti saat ini, aku tak suka melihatmu berkeliaran di rumahku dengan pakaian semacam ini, jadi aku berhak melarangmu untuk tak lagi memakainya."

"Loh, memangnya kenapa," jawab Lara cepat dengan memasang wajah cemberut. Perempuan kini bergerak mendekati tubuh sang suami, mulai mengerakkan tanggan untuk menyentuh dada bidang yang masih berbalut kemeja itu dengan bola mata sesekali mengerjap indah. Berusaha membuah Alan tergoda dan terlena dalam buainya. "Aku sudah nyaman berpakaian seperti ini. Lagi pula, bukankah kaum pria menyukai saat istrinya berpakaian seperti ini. Seksi dan menggoda." Lara berbisik ditelinga Alan sementara kedua tangannya berusaha memeluk tubuh prianya dari belakang.

"Stop, Lara!." Alan berontak. Melepaskan tangan sang istri yang melingkar di pinggangnya. "Berhentilah untuk terus menggodaku. Sudah kubilang, aku tak mencintaimu dan sampai kapan tak ada yang bisa merubah pendirianku."

"Tapi kita sudah menikah, Honey. Kita sudah sah menjadi suami istri. Tidak ada salahnya bila bermesraan. Kau pasti tak lupa jika sampai saat ini kita masih belum melakukan ritual malam pertama." Lara tak terima saat Alan melepas paksa pelukannya. Perempuan itu bahkan bergerak lebih lebih liar. Menyentuh kedua pipi Alan dan bersiap untuk mencium bibirnya.

"Siial, apa yang kau lakukan?." Akibat terkejut dengan aksi spontanitas Lara, Alan sampai mendorong tubuh Lara menjauh dan hampir membentur meja. Lara yang juga tak kalah terkejut, sempat meringis akibat rasa sakit saat tubuhnya terjatuh di lantai. "Aku bilang menjauhlah. Apa kau bilang tadi, ritual malam pertama?." Alan tergelak. "Cuih, aku bahkan tak yakin jika kondisimu masih per*wan saat ini."

"Alan!." Suara seseorang dari arah belakang mengejutkan pasangan suami istri yang tengah terlibat perang dingin.

Alan, yang masih berusaha menetralkan deru nafas itu menatap ke arah sumber suara sampai menemukan sesosok pria senja yang sedang menatapnya penuh amarah.

"Apa karna kau suaminya jadi berhak memperlakukan Dilara sesukanya!." Suara Hary terdengar tajam. Alan sampai melengos dan berani menatap wajah kakeknya. "Aku menikahkan Lara denganmu bukan untuk menjadikannya sebagai pelampiasan amarahmu." Hary berniat untuk membimbing Lara untuk bangkit namun perempuan itu dengan tegas menolak.

"Ingat, kalian adalah suami istri yang sepatutnya saling menyayangi. Aku tau jika kalian menikah karna permintaanku tetapi pernikahan ini pun bukan untuk bahan lelucon yang bebas untuk kalian tertawakan. Setidaknya hargailah akad suci ini, dan terutama untukmu, Alan. Berhenti melemparkan tuduhan pada seseorang tanpa barang bukti, terlebih pada istrimu sendiri."

Baik Lara atau pun Alan, tak menanggapi. Keduanya diam, membiarkan Hary mengeluarkan segala bentuk protes lewat kata-kata. Setidaknya, mungkin dengan berbicara panjang lebar, sedikit banyak dapat mengeluarkan beben yang selama memenuhi pikir.

Tbc.

Yuk merapat yuk. Jangan pernah skip bacaan ya. Hayati kata perkata agar tetap masuk dalam bab terbaca. Terimakasih

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!