NovelToon NovelToon

Dikejar Cinta Si Model Cantik

Bab 1 - Berita Gosip Pagi Lagi

Seorang gadis cantik mendekap erat Hanan dengan wajah penuh kepanikan dan ketakutan. "Jangan tinggalkan saya, Tuan!"

"Tenanglah, ini takkan lama!"

"Tapi, saya benar-benar takut!" ucapnya dengan bibir bergetar.

Hanan berusaha menenangkan gadis cantik yang berada dalam pelukannya itu. Tak menunggu lama, lampu di lift menyala.

Dengan cepat, Nadine melepaskan pelukannya. Mundur selangkah ke samping menjaga jarak diantara mereka. Pipinya tampak memerah dan ia membuang wajahnya.

"Kamu tidak ingin mengucapkan terima kasih kepada saya?" Hanan membuka percakapan pasca padamnya listrik di dalam lift.

Dengan ragu dan gugup Nadine mengucapkan terima kasih.

Hanan mengangguk mengiyakan.

Pintu lift terbuka, keduanya melangkah bersama keluar dari tempat itu.

Nadine terus mengikuti Hanan ke parkiran hotel.

"Kenapa kamu mengikuti saya?" tanya Hanan menoleh.

"Bukankah Tuan yang menawarkan diri untuk mengantarkan saya pulang?" Nadine balik bertanya.

"Astaga, aku lupa!" Hanan menepuk jidatnya.

"Ayo naik!" ajak Hanan.

Nadine tersenyum senang dengan cepat memasuki mobil atasannya itu.

Hanan mengendarai kendaraannya menuju apartemen Nadine. Tak ada pembicaraan di antara keduanya hanya keheningan yang tercipta.

Sesampainya, sebelum turun Nadine mengucapkan terima kasih.

Hanan menggerakkan dagunya pelan.

Nadine dengan wajah tersenyum melangkah riang menuju lantai kamarnya. Hanan belum beranjak dari parkiran apartemen karena sedang berbicara di telepon dengan seseorang.

Tak lama kemudian, pintu mobil Hanan digedor. Sontak, sang pemiliknya menoleh lalu membuka jendela.

"Tuan, cepat buka pintunya!" desak Nadine.

Hanan gegas membuka pintu dan Nadine kembali masuk tak lupa memasang safety belt.

"Hei, mau ke mana? Ini apartemen kamu!"

"Kita ke hotel sekarang, Tuan!" titah Nadine.

"Apa? Hotel? Kamu mengajak aku ke tempat itu," ucap Hanan tak percaya.

"Tuan, kenapa kamu cerewet sekali sih'? Sekarang antarkan saja saya ke hotel, nanti di jalan saya jelaskan!"

Hanan menyalakan mesin mobil seraya menggerutu, "Saya ini sebenarnya sopir kamu atau pimpinan perusahaan, sih!"

"Cepat dikit, Tuan!" Nadine menoleh ke kanan dan kirinya.

"Kamu ini kenapa? Seperti di kejar-kejar orang?" tanya Hanan.

"Memang saya lagi di kejar, Tuan. Tadi, para wartawan berkumpul di lobby," jawab Nadine.

"Kamu terlibat masalah, makanya ketakutan melihat wartawan," tukas Hanan.

"Tidak, Tuan. Hanya salah paham saja."

"Kenapa kamu tidak jelaskan pada mereka?"

"Ya ampun, Tuan. Meladeni mereka takkan pernah ada habisnya. Sekarang antarkan saya ke hotel, saya benar-benar ngantuk!"

"Jika memang mau tidur di hotel lebih baik tadi kamu tak usah aku antar pulang," ujar Hanan.

"Saya tidak tahu kejadiannya seperti ini, Tuan."

"Dasar merepotkan!" umpatnya.

"Maaf, Tuan."

Mobil kini memasuki parkiran hotel, jarak antara tempat itu dengan apartemennya Nadine tak terlalu jauh.

"Saya sudah memenuhi permintaan kamu. Silahkan turun!"

"Tuan, tolong pesankan kamar hotel buat saya!" Nadine menangkup kedua tangannya.

"What's!"

"Tuan, please!" Nadine menunjukkan wajah mengiba.

"Oh, sial!" umpatnya.

Hanan membuka safety belt lalu turun dari mobil, berjalan ke meja resepsionis memesan kamar buat model perusahaannya.

Hanan kembali ke kamar lalu memberikan kartu kunci kepada Nadine. "Biaya penginapan malam ini akan aku potong dari gajimu!"

"Iya, Tuan. Tidak masalah yang penting saya malam ini tidur nyenyak!" Nadine meraih kartu tersebut.

"Sudah cepat sana turun!"

Nadine memperhatikan seluruh tubuh Hanan.

"Apa lagi?" tanya Hanan tak suka dipandang.

"Boleh pinjam jas Tuan?"

Hanan memijit pelipisnya. "Kamu ini benar-benar merepotkan, ya!"

"Maafkan saya, Tuan!"

"Buat apa jas untukmu?"

"Saya tidak mau orang-orang melihat keberadaan saya di tempat ini."

Hanan dengan terpaksa melepas jas lalu diberikannya kepada Nadine. Dengan cepat gadis itu memakainya, mengambil kacamata hitam dari tasnya kemudian dipakainya.

Nadine lantas turun sembari melirik ke kanan dan kiri. Dirasakannya aman, gegas mempercepat langkahnya menuju kamarnya.

"Huh, ternyata sangat repot menjadi artis!" Hanan menggerutu.

****

Pagi harinya, Hanan menikmati sarapan bersama keluarga besarnya. Menyesap segelas susu hangat dan mengunyah roti isi selai kacang dengan lahap.

"Bagaimana acaranya kemarin malam?" tanya Anaya.

"Ya, begitulah, Bu."

"Apa Nadine juga datang?" tanya Hana.

Hanan mengangguk mengiyakan.

"Hanan, semalam kamu pulang dengan Nadine?" tanya Harsya.

"Iya, Yah."

"Kalian menginap di hotel?" tanya Harsya lagi.

Hanan mendelikkan matanya lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat.

Anaya, Hana dan Dennis mengarahkan pandangannya kepadanya.

"Kenapa berita pagi ini mengatakan jika kamu memesan kamar buat Nadine?" Harsya menunjukkan berita online di tabletnya.

"Ini tidak benar, Yah. Aku memang mengantarkan dia ke hotel karena permintaannya. Tapi, tidak tidur sekamar. Setelah itu aku pulang ke rumah," jelas Hanan.

"Lalu foto ini?" Harsya menunjukkan jas yang dikenakan Nadine. Tampak gadis itu masuk ke hotel dengan menundukkan pandangannya.

"Dia hanya meminjamnya," jelas Hanan lagi.

"Beberapa hari ini beritanya selalu tentang kamu dan dia. Sebenarnya kalian ada hubungan apa?" tanya Harsya menatap putranya.

"Aku dan dia tidak memiliki hubungan apa-apa. Kami hanya rekan bisnis saja, Nadine model perusahaan kita," jawab Hanan.

"Ayah tak suka berita murahan seperti ini selalu muncul. Kamu ingin keluarga kita dikejar-kejar wartawan lalu kehidupan pribadi dijadikan konsumsi publik?" tanya Harsya.

"Maaf, Yah. Aku janji akan menyelesaikan kekisruhan ini!"

Harsya manggut-manggut.

-

Nadine dengan hati was-was memasuki ruangan kerja pimpinan Cantika Fashion. Wajahnya selalu di tundukkannya, dia menebak jika dirinya akan mendapatkan omelan.

"Kenapa jika saya berada di dekatmu selalu saja ada berita aneh yang muncul setiap pagi?" Hanan berdiri di depan Nadine dengan tangan di silang.

"Saya juga tidak tahu, Tuan."

"Apa tidak ada artis lain yang di beritakan mereka? Kenapa selalu kamu dan saya, hah?"

"Entahlah, Tuan."

Hanan mencengkram kedua lengan tangan Nadine. "Kamu sebenarnya artis yang memiliki prestasi atau hanya sensasi saja, hah!"

Nadine menahan sakit di tangannya seraya memejamkan matanya.

"Aku mau kamu menjelaskan kepada mereka kalau diantara kita tidak ada hubungan apa-apa!" ucap Hanan tegas.

"Iya, Tuan."

Hanan melepaskan genggamannya secara kasar.

"Pergilah dan bereskan kekacauan ini segera!" titahnya.

"Tuan, bagaimana dengan jas anda?"

"Aku tidak membutuhkan jas itu lagi, karena kamu yang memakainya pagi ini aku harus di cecar beberapa pertanyaan oleh ayahku."

Nadine mengangguk paham.

"Satu hal lagi, jangan dekat-dekat denganku. Karena aku tak mau berurusan dengan selebriti. Sungguh membuatku repot!"

"Maaf jika kemarin malam saya membuat repot Tuan!"

"Bukan hanya repot, tapi kamu itu sangat menyebalkan!"

Nadine memilih diam daripada memotong ucapan atasannya.

Hanan menggerakkan tangannya, memberikan isyarat agar Nadine keluar dari ruangannya.

Nadine keluar dari ruangan mendengus kesal. "Kenapa dia selalu menyalahkan aku? Ku doakan suatu hari nanti dirinya mendapatkan jodoh seorang artis biar tahu rasanya sulitnya menjadi aku!" batinnya.

Bab 2 - Pingsan Di Pelukan Nadine

Hanan mendapatkan kabar jika kakaknya telah melahirkan. Perasaan senang dan bahagia menjadi satu, dirinya kini menjadi seorang paman.

Hanan menatap arlojinya yang kini telah menunjukkan pukul 12 siang. "Kebetulan sekali, aku bisa ke rumah sakit sekaligus makan siang di sana!"

Hanan meraih kunci mobil di atas meja dan keluar dari ruangan tak lupa memberikan pesan kepada Inka kalau dirinya tidak akan kembali ke kantor.

Inka mengiyakan perkataan atasannya, tak lupa dirinya menitipkan salam kepada Hana. Dia juga berjanji akan datang menjenguk bersama suaminya.

Hanan berjalan melalui pintu masuk depan gedung. Beberapa wartawan telah berkumpul di sana, Hanan tanpa rasa curiga melewatinya.

Salah satu wartawan berkata dengan lantang dan mengarahkan jari telunjuknya kepada Hanan, "Dia pria yang bersama Nadine kemarin malam!"

Hanan yang diteriaki tampak bingung, apalagi mereka berlari mendekatinya.

"Tuan, apa benar kalian memiliki hubungan?"

"Sejak kapan kalian menjalin hubungan?"

"Apa benar Tuan yang menemani Nadine di sebuah hotel?"

Hanan yang tak biasa berhadapan dengan sorot kamera berkali-kali telapak tangannya diangkatnya menutupi matanya.

Beberapa penjaga keamanan dan pengawal gegas mendekati Hanan serta melindungi pemuda itu dari para wartawan. Mereka sangat yakin, jika putra atasannya tak nyaman dengan kehadiran para pencari berita.

Hanan dengan cepat masuk dan mobil meninggalkan gedung.

Hanan yang duduk di bangku belakang penumpang mengucek matanya. Lampu sorot kamera membuat pandangannya tak seperti biasanya.

Hanan merasa pusing karena kejadian tadi sehingga memilih menyandarkan kepalanya di bangku.

"Apa Tuan baik-baik saja?" tanya sopir pribadinya.

Hanan menjawabnya dengan anggukan.

Sesampainya di rumah sakit, Hanan turun meskipun sedikit pusing. Hanan berjalan dengan cepat menuju kamar inap kakak kandungnya.

Baru saja naik ke lift, seorang gadis mendekatinya dan melemparkan senyumnya. "Tuan, di sini juga!"

Hanan melihat dalang penyebab dirinya pusing ada di depannya lantas mencengkram tangan Nadine dan menariknya ke dalam lift.

Hanan membenturkan Nadine ke dinding lift, "Ini semua gara-gara kamu!" mendekatkan wajahnya.

Nadine mengernyitkan dahinya.

Hanan merasa pandangannya semakin gelap tiba-tiba jatuh ke pelukan gadis di depannya.

"Tuan!" Nadine menahan tubuh Hanan yang terkulai tak berdaya dalam dekapannya.

Pintu lift terbuka.

Nadine segera berteriak meminta tolong.

Beberapa perawat membantu membopong tubuh Hanan ke brankar.

Biom yang kebetulan sedang melintas bersama putranya lantas bertanya, "Apa yang terjadi dengan Tuan Hanan, Nona?"

"Saya tidak tahu, Paman. Tiba-tiba dia saja pingsan di dalam lift?" jawab Nadine gemetaran.

Hanan segera mendapatkan perawatan di ruang kamar inap khusus VVIP.

Nadine beranjak dari tempat duduknya ketika melihat manajer dan asistennya menghampirinya.

"Kami mencarimu ternyata di sini, kenapa tidak menjawab telepon dari aku?" tanya manajer Nadine.

"Aku tidak mendengarnya," jawab Nadine.

Kedua wanita itu melihat Nadine bersama orang-orang penting di perusahaan Abraham, lantas menarik tangan Nadine menjauh dari kursinya.

"Kenapa kamu berada bersama mereka? Memangnya siapa yang sakit?" tanya asisten Nadine.

"Tuan Hanan yang sedang di rawat."

"Sakit apa?" tanya manajer.

"Nanti aku jelasin, sekarang ku mau pamit dengan salah satu keluarganya."

Kedua wanita itu mengangguk.

Nadine mendekati Bryan.

Pemuda tampan itu mendongakkan kepalanya.

"Tuan, saya pamit mau pulang."

"Iya, Nona Nadine. Terima kasih, ya!" kata Bryan.

Nadine tersenyum mengiyakan.

Setelah mendapatkan izin pulang, Nadine dengan cepat pergi dari lantai ruangan yang merawat Hanan.

Di dalam lift, Nadine menceritakan semuanya kenapa Hanan harus di rawat.

Hanan membuka matanya lalu mencari keberadaan Nadine dan berkata, "Di mana dia?"

"Dia siapa, Nan?" tanya Anaya.

"Ibu!" Hanan lantas bangkit dari tidurnya.

"Kamu lagi cari siapa?" tanya Anaya.

"Kenapa aku di sini, Bu, Yah?" tanya Hanan kepada kedua orang tuanya.

"Justru, kami yang mau bertanya padamu. Kenapa kamu pingsan?" Harsya balik bertanya.

"Aku pingsan, Yah?"

"Iya, Nadine yang membantumu. Katanya kamu pingsan di dalam lift," jelas Harsya.

Hanan ingat jika dirinya satu lift dengan gadis itu.

"Tak biasanya kamu pingsan. Apa pekerjaan kantor terlalu berat sehingga membuatmu lelah begini?" tanya Harsya.

"Ayah boleh tidak aku dipindahkan ke perusahaan lain. Aku tak mau di Cantika Fashion," jawab Hanan.

"Sayang, itu perusahaan milik Oma Madya. Kamu harus meneruskannya," ujar Anaya.

"Biarkan Kak Hana saja yang mengurusnya. Aku benar-benar tidak sanggup, Bu, Yah." Rengek Hanan.

"Makanya kamu harus mencintai pekerjaanmu biar tidak pusing dan menjadi beban," kata Harsya.

"Ini semua karena dia, Yah!" gumamnya.

"Dia siapa?" tanya Anaya yang sungguh penasaran putranya selalu menyebut kata 'dia'.

"Aku tidak mau bertemu dengan Nadine, Yah, Bu." Kata Hanan.

"Memangnya salah Nadine apa?" tanya Harsya.

"Karena dia, aku jadi begini. Ayah tahu jika para wartawan mengejarku dari pintu masuk gedung kantor," jawab Hanan.

"Jadi kamu pingsan karena begitu terkejut dikerumuni wartawan?" Dayna tiba-tiba muncul.

Hanan mengangguk pelan.

Dayna tertawa mengetahuinya.

"Bagaimana jika kamu memiliki kekasih seorang artis kalau bertemu wartawan saja pingsan?" sindir Anaya.

"Hanan tidak boleh memiliki kekasih atau istri dari kalangan artis," kata Harsya tegas.

Anaya, Hanan dan Dayna mengarahkan pandangannya kepada Harsya.

"Kenapa memangnya suamiku?" tanya Anaya.

"Kamu lihat saja, Hanan pingsan karena diserbu wartawan. Bagaimana jika para penggemarnya yang ikutan mengejar dia? Pasti takkan fokus mengurus perusahaan karena sibuk berhadapan dengan mereka," jawab Harsya.

"Aku juga tidak mau memiliki kekasih seorang artis, Yah. Menurutku sangat repot, kemana-mana seperti orang ketakutan dan harus di kawal bodyguard," Hanan menyetujui ucapan ayahnya.

"Ibu setuju saja kamu dengan siapapun yang penting dia menyayangimu dan mencintaimu tulus," sahut Anaya.

"Bagaimana jika itu terjadi Paman?" tanya Dayna.

"Dia harus segera mengakhiri hubungannya!" jawab Harsya.

"Aku tidak akan memiliki kekasih seorang artis, Day. Jadi, jangan berharap berlebih," ucap Hanan.

"Jangan bilang kalau kamu belum dapat melupakan Aira, 'kan!" celetuk Dayna membuat Hanan menyipitkan matanya.

Dayna tersenyum nyengir.

"Kamu menyukai istri orang, Nan?" tanya Anaya.

"Tidak, Bu. Mulut Dayna saja yang asal!" jawab Hanan.

-

Kini Hanan telah sehat, ia berjalan menuju kamar Hana dan bayinya. Di ruangan itu lagi-lagi dia mendapatkan bulan-bulanan dari sang kakak.

"Harusnya kamu ke sini menjenguk Kakak, bukan malah di rawat. Apalagi pingsan karena bertemu wartawan!" ledek Hana.

"Kakak tidak pernah tahu 'kan jika dikejar-kejar begitu," Hanan tampak sewot.

"Kamu harus terbiasa, apalagi berita kamu dan Nadine sudah di mana-mana!" celetuk Hana.

"Aku dan dia tidak memiliki hubungan apa-apa. Wartawan saja yang suka menulis berita bukan faktanya," ujar Hanan.

"Sayang, sudahlah. Jangan memojokkan Hanan begitu, lagian dia mungkin pingsan karena kelelahan. Kamu tahu 'kan akhir-akhir ini pekerjaan di Cantika Fashion sangat padat," jelas Dennis.

"Nah, Kak Dennis saja mengerti dan paham mengenai aku. Ini Kakak sendiri bukannya pengertian malah sebaliknya."

"Iya, ya, Kakak minta maaf. Sini peluk aku!" Hana merentangkan tangannya meskipun terduduk di atas ranjang.

Hanan lantas memeluk kakaknya dan mengucapkan selamat atas kelahiran putra pertamanya.

Dennis tersenyum haru melihat istri dan adik iparnya begitu akrab.

"Sepertinya aku harus berterima kasih kepada Kak Dennis karena berhasil menjinakkan Kak Hana," ucap Hanan.

Hana mendengus mendengarnya.

"Aku ingin menyapa keponakanku. Apakah dia lebih tampan dariku atau tidak," Hanan lantas berdiri dan melangkah ke boks bayi.

"Pastinya dia sangat tampan seperti ayahnya," Hana melirik suaminya sembari tersenyum.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semoga Kalian Suka Dengan Cerita Kali Ini, Ya.

Semoga Tidak Bosan Membacanya.

Selamat Berakhir Pekan.

Bab 3 - Hanan Menghindar

Dua hari berlalu....

Nadine tampak mondar-mandir di depan meja sekretarisnya Hanan. Dia ingin bertemu dengan pimpinan perusahaan itu sekedar menjelaskan semua tentang berita yang beredar sepekan ini.

"Nona Nadine, ada yang bisa saya bantu?"

"Hemm, begini Nona Inka. Saya mau bertemu dengan Tuan Hanan. Apakah hari ini beliau ke kantor?"

"Tuan Hanan belum dapat ke kantor, kemungkinan hari Senin beliau kembali bekerja."

"Apa saya boleh tahu alamat rumahnya? Saya ingin sekali berbicara dengannya, ini sangat penting," ujar Nadine.

"Maaf, Nona. Kami tidak dapat memberikan alamat rumahnya keluarga besar Tuan Harsya Abraham Syahbana kepada orang-orang yang sebelumnya memiliki janji dengan mereka."

"Bisa buatkan janji dengan Tuan Hanan?" pinta Nadine.

"Tunggu sebentar, Nona."

Nadine mengangguk.

Tak sampai 2 menit, Inka mengatakan jika Tuan Hanan bersedia bertemu dengannya. Senyum Nadine kembali cerah.

Inka menuliskan alamat lengkap kediaman orang tuanya Hanan di secarik kertas lalu diserahkannya kepada Nadine.

Setelah mengucapkan terima kasih, Nadine gegas menuju rumahnya Hanan.

Nadine pergi tanpa ditemani manajer dan asistennya maupun sopir, mengendarai mobilnya seorang diri.

Nadine mengenakan topi, kacamata hitam dan penutup mulut agar tak ada yang mengenalnya.

Mobil yang digunakannya berbeda dari biasanya, Nadine sengaja menyewanya agar mengecoh para wartawan. Tentunya, untuk menjaga privasi keluarga besar Hanan.

Setibanya di sana Nadine melepaskan semua yang menutupi bagian kepala lalu menunjukkan wajahnya. Karena memang begitu prosedur keamanan rumah mewah tersebut yang mewajibkan para tamunya.

Nadine lalu di persilahkan masuk kemudian diarahkan ke sebuah taman tepat di belakangnya.

Nadine di suruh menunggu karena Hanan sedang berpakaian.

Nadine menatap ponselnya dengan perasaan bosan, sudah 20 menit dirinya menunggu. Dua gelas es jeruk pun juga telah kandas.

"Lama sekali sih' dia, padahal cuma berpakaian saja. Apa perlu berias lagi?" batinnya.

Nadine berkali-kali menoleh ke arah rumah mewah di belakangnya. Memastikan jika Hanan benar-benar menemuinya.

Nadine beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan mondar-mandir dengan terus meremas kedua tangannya.

Hanan dengan santai berdiri di balkon melihat Nadine menunggunya di taman. "Aku takkan mau menemuimu, karena hanya akan membuatku dalam masalah," gumamnya.

Hanan tersenyum menyeringai, memperhatikan Nadine dengan wajah gelisahnya.

Kedatangan Nadine ingin menjelaskan bahwa dia telah berbicara kepada media tentang berita selama ini beredar. Dia juga tidak mau Hanan mengakhiri kontrak kerja sama secepatnya.

Awalnya Nadine memang ingin mempersingkat kontrak karena kesal selalu di tuding menjual sensasi. Namun, ia memperbaiki ucapannya.

Nadine sangat menginginkan pekerjaan ini karena upah yang ditawarkan perusahaan Hanan sangat tinggi. Apalagi ibunya Nadine sedang sakit, jadi dirinya benar-benar membutuhkannya. Segala cara akan dilakukannya supaya Hanan tak memutuskan kontrak.

Nadine membalikkan tubuhnya ke arah timur, dapat terlihat jelas olehnya Hanan berdiri seraya melemparkan senyum menghina kepadanya. Tangan kanan Hanan memegang gelas dan tangan kirinya dimasukkannya ke dalam saku celananya.

"Jadi dia dari tadi di sana? Kenapa tidak menemui aku? Dia ingin main-main denganku," batin Nadine geram.

Nadine yang kesal memilih kembali duduk dan melipat kedua tangannya. "Jika bukan karena Ibu, aku tidak akan biarkan dia menginjak-injak harga diriku," gumamnya.

Harsya dan Anaya yang baru saja pulang menghampiri Nadine.

Anaya tersenyum hangat menyapa gadis cantik dihadapannya.

Nadine sedikit menundukkan kepalanya memberi hormat kepada kedua orang tuanya Hanan.

"Kamu di sini sedang menunggu siapa?" tanya Harsya.

"Saya ingin bertemu Tuan Hanan, Tuan Besar." Jawab Nadine dengan lembut dan sopan.

"Sudah lama kamu di sini?" tanya Anaya.

"Belum, Nyonya Besar. Baru setengah jam," jawab Nadine lagi dengan senyuman.

"Setengah jam itu sangat lama. Memangnya kemana Hanan? Bukankah dia di rumah?" ucap Anaya mengarahkan pandangannya kepada pelayan yang sedari tadi mengikutinya.

"Tuan Hanan sedang berada di balkon, Nyonya."

"Kenapa dia tidak menemui tamunya?" tanya Anaya lagi.

"Jangan dijawab!" larang Harsya. "Tinggalkan kami, lanjutkan pekerjaan kalian!" titahnya.

Dua pelayan wanita itu pun berlalu.

"Ada keperluan apa kamu kemari?" tanya Harsya menatap gadis yang ada dihadapannya.

"Saya ingin membicarakan masalah pekerjaan, Tuan Besar."

"Kenapa tidak membahasnya di kantor?" tanya Harsya lagi.

"Karena Tuan Hanan tidak berada di kantor dan saya sudah membuat janji dengannya," jelas Nadine.

"Kamu artis yang menangani produk terbaru perusahaan kami, 'kan?" tanya Anaya.

Nadine mengangguk.

"Saya harap kamu dapat bekerja dengan profesional. Saya tidak suka produk yang kamu iklankan sukses karena berita kontroversi yang kamu buat," ucap Harsya.

"Saya janji takkan ada berita buruk atau sensasi lagi yang menyeret anggota keluarga ini," kata Nadine.

"Saya pegang janjimu. Gara-gara berita kalian itu, putra saya harus di rawat di rumah sakit. Jika hal ini terjadi, maka saya takkan segan mendepak kamu dari produk ini!" ancam Harsya.

"Sekali lagi saya minta maaf, Tuan Besar. Itu semua diluar kendali saya. Masalah berita yang beredar, saya sudah menjelaskan di akun media sosial pribadi dan melakukan wawancara eksklusif," jelas Nadine.

"Syukurlah kalau memang begitu," Anaya menyahut.

"Kami bukan dari kalangan pesohor yang tampak biasa berhadapan dengan kamera," lanjut Anaya lagi.

"Sekali lagi saya benar-benar minta maaf. Karena berita yang menyebut nama putra Tuan dan Nyonya membuat seluruh keluarga besar tidak nyaman," ucap Nadine, kembali sedikit menundukkan kepalanya.

"Sekarang kamu boleh pulang," ujar Harsya.

"Terima kasih sudah mendengarkan penjelasan saya. Permisi!" Nadine kemudian pamit.

Selepas Nadine pergi, Hanan menghampiri kedua orang tuanya.

"Kamu ini bukannya cepat menemuinya, malah sengaja menghindar!" omel Anaya.

"Aku malas bertemu dengannya," ucap Hanan santai.

"Sayang, lagian masalahnya juga sudah selesai. Tak perlu dibahas," ujar Harsya kemudian berlalu menuju kamarnya.

Anaya menyusul suaminya.

Hanan akhirnya dapat tersenyum lega,tak perlu capek bertemu dengannya. Apalagi Nadine pasti akan lebih patuh mendengar petuah dari Harsya daripada dirinya.

***

Keesokan harinya, Hanan menikmati makan siang bersama teman-temannya. Beberapa hari ini, ia melewati waktu dengan mereka karena kesibukan pekerjaan.

"Akhirnya setelah acara ulang tahun Bryan kita kembali kumpul," ucap Dayna.

"Sebenarnya hampir seminggu sekali kita bertemu seperti ini. Tapi, si Tuan Muda Hanan sangat sibuk mengurusi proyek iklannya," kata Bryan melirik sepupunya itu.

"Aku sangat malas jika menyangkut perusahaan ini. Semoga saja Kak Hana mau kembali," ujar Hanan.

"Bukankah enak jika di perusahaan fashion? Setiap hari ketemu artis cantik," celetuk Alvan.

Dayna melirik tajam suaminya, Alvan tersenyum nyengir.

"Jika aku ingin bertemu dengan wanita yang lebih cantik dari mereka pun, ku sanggup membayarnya," ucap Hanan.

"Iya, ya, si pewaris HS Group. Apa yang kamu inginkan pasti terkabulkan?" singgung Dayna.

"Tapi, Kak Hana yang selalu dimanja," sambung Hanan lesu.

"Jangan iri dengan Kak Hana, kamu juga disayang oleh Bibi Anaya dan Paman Harsya hanya saja menolak fasilitas yang mereka berikan seperti pengawal dan pelayan pribadi," ujar Ryder.

"Karena menurutku sangat menggangu aku yang ingin bebas," kata Hanan.

"Sekarang kita bukan remaja lagi, semuanya telah dewasa. Aku sudah menikah dengan Dayna, waktunya memikirkan masa depan," ucap Alvan.

"Iya, tapi aku harus menunggu beberapa tahun lagi untuk melamar Alana," tukas Bryan.

"Karena dia masih terlalu kecil. Sabar jika ingin melamarnya," sahut Dayna.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!