Di dalam ruang gelap yang penuh misteri, Alan merenung dalam keheningan. Di tengah hening itu, aroma rokok dan alkohol menguar, menciptakan atmosfer tegang yang hampir terabaikan. Matanya terpaku pada jendela, di mana langit senja berwarna merah dan oranye menandai akhir hari yang panjang.
Terkunci dalam ingatan.
"Kau tahu, Alan," desis suara pelan dari balik bayang-bayang, memecah keheningan yang mencekam. Adik tirinya, anak pertama dari keluarga mafia, berdiri di sampingnya dengan tatapan yang memancarkan rasa sakit dan amarah.
Menjadi bagian dari masa lalu.
"Dia tidak pantas mendapatkan apa yang dia punya," ucap adik tirinya dengan suara yang bergetar, rasa iri tak tertahan dalam kata-kata itu.
Suara yang tak pernah hilang.
Sebelum Alan bisa menanggapi, pintu ruangan terbuka dengan keras, dan pembunuh bayaran berjubah hitam masuk, senjata tersembunyi di balik mantelnya.
Pembunuh bayaran itu menatap dingin pada Alan dan adik tirinya, matanya seperti mata predator yang merayap pada mangsanya. Tidak ada kata-kata yang terucap, tetapi pesan mengerikan sudah tersampaikan.
Gerakan yang cepat dan tak terduga.
Tangan pembunuh bayaran bergerak dalam gerakan yang begitu halus, memotong udara dengan pisau yang melayang-layang seolah menari. Alan merasakan rasa sakit menusuk tubuhnya dengan tajam, dan suara kejutan dan kesakitan keluar dari mulutnya.
"Arrghh!" jeritannya mencabik-cabik ruang, menciptakan dentuman yang meresap dalam udara.
Adik tirinya menyaksikan semuanya.
Dalam serangan yang cepat itu, kehidupan Alan tercabut dengan kejam. Tubuhnya terkulai tak bernyawa, dan pandangannya meredup di tengah kegelapan yang datang.
Namun, seketika, matanya terbuka lagi. Dia terbangun di ruangan yang berbeda, suasana yang jauh dari kenangan pahit yang tadi. Matanya melirik ke sekeliling, bingung dengan keadaan di sekitarnya. Dia merasakan sebaris jarum yang menyusup ke lengannya, menyadarkannya bahwa dia sedang berada di ruang perawatan.
"Dia akhirnya sadar," ujar suara seorang wanita yang masuk ke dalam ruangan. Seorang perawat tua dengan wajah lembut dan senyuman penyambutan.
Alan memandang perawat itu, bibirnya terkatup rapat, dan tatapannya penuh tanya. Keberadaannya di sini tidak masuk akal. Dia mengingat pembunuhan yang telah terjadi, dan adik tirinya yang kejam. Namun, mengapa dia masih hidup?
Di dalam ruangan yang diterangi lampu putih yang lembut, Alan meremas selimut putih yang menutupinya, berusaha meredam perasaan kacau di dalam dirinya. Dia memandangi sekeliling ruangan perawatan yang terang benderang, kontras dengan gelapnya kamar di mana nyawanya hampir terenggut.
"Sudah siuman, ya?" ujar perawat dengan suara lembut, matanya penuh kebaikan saat dia menghampiri Alan.
Alan mengangguk perlahan, bibirnya yang kering mencoba untuk mengeluarkan kata-kata. Namun, dalam benaknya masih terbayang rasa sakit menusuk tajam yang ia rasakan di saat-saat terakhirnya. Dia merasa ragu untuk berbicara tentang kejadian tersebut, karena dalam ingatannya, dia sudah mati.
Apakah ini mungkin?
"Dokter akan segera datang untuk memeriksamu lebih lanjut," lanjut perawat dengan senyuman hangat. "Kau harus tenang."
Alan mengangguk lagi, namun pandangannya jauh, mencoba merenungkan apa yang baru saja terjadi. Apakah semuanya hanya mimpi buruk atau ada sesuatu yang lebih dalam terjadi? Dia merasakan bahwa ada yang berbeda, namun dia belum bisa mengaitkan potongan-potongan ini menjadi satu kesatuan yang masuk akal.
Dalam sekejap, pintu ruangan terbuka, dan seorang dokter muda dengan sorot mata yang cerdas masuk. Dia menyambut Alan dengan senyuman hangat, menciptakan atmosfer yang sedikit lebih ringan di ruangan itu.
"Selamat pagi, Pak Min-jun," kata dokter dengan lembut. "Saya adalah Dokter Lee. Bagaimana perasaan Anda sekarang?"
Alan mengernyitkan kening, kaget mendengar namanya diucapkan oleh dokter. Dia memandang Dokter Lee dengan mata yang penuh tanya. "Min-jun? Mengapa Anda memanggilku Min-jun?"
Dokter Lee tampak sedikit terkejut dengan reaksi Alan. "Ehm, maaf jika saya keliru. Itu adalah nama yang tertera dalam catatan medis Anda."
Alan merasakan kekacauan dalam dirinya semakin memuncak. "Tapi, itu tidak mungkin. Saya adalah... Saya adalah Alan. Alan Kim."
Dokter Lee memandang Alan dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan perhatian. "Saya rasa ada ketidaksesuaian dalam informasi yang kami terima. Saya akan mencari tahu lebih lanjut. Maafkan kebingungan ini."
Namun, di benak Alan, pertanyaan lain menghantui. Jika dia bukan Alan, siapa dia sebenarnya? Semua yang telah terjadi tampak semakin rumit dan aneh. Dia merasa seperti terjebak dalam dunia yang asing, dengan identitas yang berubah begitu saja.
Saat dokter mulai melakukan pemeriksaan, Pertanyaan-pertanyaan memenuhi pikiran Alan saat dia duduk terdiam di tempat tidur rumah sakit. Dia merasakan kebingungan yang semakin dalam, merangkul tubuhnya dengan erat seakan mencoba meredakan keresahan yang melandanya. Apa yang terjadi padanya? Mengapa dia merasa seperti terjebak dalam realitas yang samar-samar?
Dokter Lee selesai melakukan pemeriksaan dan mencatat beberapa catatan di berkas medis. "Pak Min-jun, kami akan melakukan beberapa tes lebih lanjut untuk mengklarifikasi situasi ini. Saat ini, lebih baik Anda istirahat sejenak."
Alan mengangguk tanpa berkata apa pun. Dia merasa sedikit kelelahan, bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Setelah dokter pergi, dia memandangi langit-langit ruangan dengan pandangan kosong. Apa pun yang sedang terjadi, dia merasa terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian.
Perawat kembali masuk dengan secangkir teh hangat di tangannya. "Teh ini mungkin bisa membantu Anda merasa sedikit lebih baik."
Alan menerima cangkir teh dengan senyuman lemah, berterima kasih pada perawat. Dia merasakan hangatnya cairan itu memenuhi tubuhnya, membawanya sedikit kembali ke dalam kenyataan. Namun, pertanyaan-pertanyaan masih melingkari pikirannya seperti burung-burung yang terbang tanpa arah.
Dia menyeruput teh perlahan, membiarkan rasa hangat meresapi tubuhnya. Dia berusaha mengumpulkan ingatannya, mencoba merunut kembali peristiwa sebelumnya. Kematian yang tragis, kegelapan, dan kemudian... kini dia berada di ruangan rumah sakit dengan identitas yang aneh.
Saat dia merenung, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Seorang pria paruh baya dengan sorot mata tajam masuk. Pria itu memandang Alan dengan ekspresi campuran antara kekhawatiran dan kelegaan.
"Min-jun, akhirnya aku menemukanmu," ujar pria itu dengan suara getir. "Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku."
Alan memandang pria itu dengan penuh kebingungan. "Maaf, apakah kita kenal?"
Pria itu terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi campuran antara kesedihan dan keheranan. "Kau benar-benar tidak ingat, ya? Aku ini... ayahmu."
Mata Alan melebar kaget, mencoba mengolah informasi yang baru saja dia dengar. "A-ayahku?"
Pria itu mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Namaku Kim Joon-ho. Dan kau adalah Kim Min-jun, anakku."
Alan merasa dadanya berdesir keras. Dia tidak dapat mempercayai kata-kata pria ini begitu saja. Namun, ada kehadiran yang menggelitik ingatannya, suara-suara yang meresap dari masa lalu yang kabur.
"Namaku Min-jun," gumamnya, mencoba mengingat.
"Kau mungkin masih bingung sekarang," ujar Kim Joon-ho dengan lembut. "Tapi aku akan menjelaskannya padamu. Kita memiliki banyak hal yang harus dibicarakan."
Alan merasa dadanya berdesir keras. Dia tidak dapat mempercayai kata-kata pria ini begitu saja. Namun, ada kehadiran yang menggelitik ingatannya, suara-suara yang meresap dari masa lalu yang kabur.
"Namaku Min-jun," gumamnya, mencoba mengingat.
Joon-ho mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Ya, Min-jun. Kamu mengalami kecelakaan mobil seminggu yang lalu. Kamu tidak sadarkan diri selama seminggu. Kamu membuat Ayah dan Ibu takut setangah mati. Ibumu sedang dalam perjalanan ke sini."
Alan merenung dalam kata-kata Joon-ho. Kecelakaan mobil? Seminggu tidak sadarkan diri? Semua itu seperti potongan-potongan informasi yang datang dari dunia lain. Dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang dari ingatannya, sebuah rentetan peristiwa yang belum bisa dia rekonstruksi sepenuhnya.
"Aku... Aku tidak ingat kecelakaan itu," bisiknya, bibirnya gemetar.
Joon-ho menatap Alan dengan penuh pengertian. "Kamu sedang dalam proses pemulihan, dan ingatanmu mungkin masih kacau. Tapi jangan khawatir, dengan waktu, semuanya akan kembali seperti semula."
Alan merasa seperti dia tenggelam dalam lautan ketidakpastian. Namun, kehadiran Joon-ho memberinya sedikit kedamaian. Ada rasa nyaman dalam kehangatan sorot mata ayahnya.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka lagi. Seorang wanita paruh baya dengan rambut hitam dan sorot mata yang penuh kegelisahan masuk ke dalam ruangan. Dia berjalan cepat mendekati tempat tidur Min-jun.
"Min-jun!" serunya, suara yang penuh campuran antara kelegaan dan kekhawatiran. "Akhirnya kau sadar."
Alan memandang wanita itu, merasa ada sesuatu yang aneh. Dia merasakan ketidaknyamanan, seakan-akan ada semacam perasaan yang terpendam dalam benaknya.
"Ibu?," gumamnya, mencoba merangkul ingatan yang kabur.
Wanita itu duduk di sisi tempat tidur Alan, tangannya meraih tangan Alan dengan penuh kasih sayang. "Kau membuat kami sangat khawatir, Nak."
Alan merasa perasaan aneh itu semakin kuat. Ada yang tidak klop dalam ingatannya. Dia mencoba merasakan hubungan antara dirinya dan wanita ini, tapi rasanya seakan ada jarak yang tak terjangkau.
"Dokter Lee mengatakan bahwa ingatannya mungkin belum kembali sepenuhnya," ujar Joon-ho, memberi penjelasan.
Wanita itu menatap Alan dengan penuh perhatian. "Jika itu masalahnya, maka aku bersedia menunggu. Yang penting, kau kembali ke sini dengan selamat."
Alan merasakan dirinya terombang-ambing di antara kenyataan dan teka-teki yang belum terpecahkan. Meskipun dia merasa hangat dalam kehadiran orang-orang ini, tetapi ada bagian dari dirinya yang belum mengaitkan diri dengan mereka sepenuhnya.
Saat mata Alan bertemu dengan mata wanita itu, tiba-tiba dia merasa seperti ada sesuatu yang menyentuh pikirannya. Kilatan memori muncul, sejenak melihat wajah wanita ini dalam konteks yang berbeda.
"Ibu..." bisiknya, berusaha meraih potongan memori yang muncul begitu singkat.
Wanita itu terkejut, tampaknya merasakan bahwa ada perubahan dalam ekspresi Alan. "Apa yang kau rasakan, Nak?"
Alan menggigit bibirnya, mencoba menggambarkan kata-kata yang hampir saja menyentuh lidahnya. "Aku merasa... seperti kita pernah bertemu sebelumnya. Tapi tidak dalam konteks ini."
Wanita itu menatap Alan dengan mata yang penuh harap. "Apakah itu benar, Min-jun?"
Alan mengangguk perlahan, meskipun dia sendiri tidak sepenuhnya memahami arti dari kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ada benang merah yang menghubungkan dirinya dengan wanita ini, dan dia merasa semakin dekat dengan memori yang belum terungkap.
Joon-ho tersenyum, penuh harapan. "Sepertinya ingatanmu mulai kembali, Alan. Kita akan bersama-sama merangkai potongan-potongan yang hilang ini."
Saat perasaan aneh itu semakin kuat, Alan merasa seperti dia telah memulai perjalanan menuju jejak masa lalu yang tersembunyi. Di dalam kegelapan yang membingungkan, ada cahaya yang merayap pelan-pelan, siap untuk menerangi rahasia yang belum terungkap sepenuhnya.
***
Dalam sebulan berlalu, Alan Kim merasakan suatu perubahan yang perlahan-lahan merayap ke dalam dirinya. Ingatan-ingatan tubuhnya yang asli mulai kembali dengan gemerlap yang redup, seperti bintang-bintang yang muncul satu per satu di langit malam. Dia merasa seperti menemukan bagian dari dirinya yang telah tersembunyi jauh di dalam alam bawah sadarnya.
Saat dia berjalan-jalan di sekitar taman rumah, aroma bunga-bunga dan dedaunan membawa dia pada sensasi yang dulu begitu akrab. Suara burung-burung bernyanyi mengisi udara, dan semuanya terasa seperti kilas balik pada sesuatu yang pernah dia alami. Namun, bagian yang lebih besar masih tersembunyi dalam kegelapan.
Dalam sebuah momen, Alan menemukan dirinya berdiri di depan sebuah lukisan tua yang tergantung di dinding rumah. Lukisan itu menggambarkan pemandangan alam yang indah, dan di sudut bawah lukisan, ada tanda tangan yang tak asing baginya. Dia merasa getaran aneh saat melihat tanda tangan itu, seperti getaran jauh yang datang dari dalam dirinya.
"Dulu, kau selalu menyukai lukisan-lukisan ini," kata Joon-ho, yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
Alan memandang tanda tangan itu, berusaha mengaitkan dirinya dengan lukisan-lukisan itu. Namun, dia masih merasa seperti ada sesuatu yang terlewatkan, potongan-potongan yang belum saling berhubungan.
"Kadang-kadang, ada saat-saat di mana aku merasa seperti ada kenangan yang menghampiri, tapi segera menghilang begitu saja," ucap Alan dengan raut wajah bingung.
Joon-ho tersenyum penuh pengertian. "Ingatan itu bisa datang secara perlahan, seperti bayangan di balik tirai yang sedang terbuka."
Hari demi hari berlalu, dan Alan terus mencoba merangkai ingatan-ingatannya yang kembali secara perlahan. Dia mengunjungi tempat-tempat yang pernah dia kunjungi, melihat foto-foto keluarga yang menghiasi rumah. Dia merasakan semakin dekatnya dirinya dengan masa lalu yang seolah terlupakan.
Saat dia berjalan-jalan di sekitar taman rumah pada suatu sore, kilatan gambaran yang lebih jelas tiba-tiba muncul di pikirannya. Suara tawa anak-anak, gemerlap cahaya matahari terbenam, dan wajah-wajah yang dulu begitu dikenal. Semuanya seperti muncul begitu saja, membawa dia pada nostalgia yang mendalam.
Saat Alan melangkah lebih jauh, dia menemukan gazebo kecil yang tersembunyi di balik semak-semak. Sebuah perasaan hangat menyelubunginya, seolah dia pernah berada di tempat ini dalam momen-momen indah.
Ini adalah tempat di mana aku sering bermain dengan seseorang, pikirnya, semakin mendekati ingatan yang telah lama terkubur.
Dan tiba-tiba, dalam kilatan cahaya yang terpancar dari matahari terbenam, ingatan yang hilang itu datang padanya. Dia melihat gambaran seorang anak kecil perempuan yang tertawa riang, merangkulnya di tempat ini. Senyuman itu begitu akrab, begitu hangat. Dan saat dia meraih tangan anak kecil itu, segalanya menjadi lebih jelas.
Alan berdiri di bawah sinar matahari yang memancar hangat di taman rumahnya. Dia merenung dalam diam, mencerna perasaan yang semakin kompleks di dalam dirinya. Kehidupan yang dia hadapi saat ini seperti menghadapkan dua identitas yang bertentangan, dua kepribadian yang masing-masing memiliki tujuan dan impian yang berbeda.
Sebagai Alan, dia merasakan api dendam yang berkobar dalam dirinya. Ingatannya yang kembali perlahan menghidupkan kembali kenangan pahit. Kematian tragis, pengkhianatan, dan perasaan tak berdaya. Dia merasa dorongan untuk membalaskan dendam atas kematian yang menimpanya di masa lalu. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana dia bisa menghadapi masa lalu yang kelam sambil berjuang untuk memahami identitas barunya?
Di sisi lain, sebagai Kim Min-jun, dia merasakan kerinduan yang mendalam untuk memiliki keluarga harmonis. Ayah dan Ibu yang penuh perhatian, hidup dalam kemewahan, dan cinta yang tulus. Identitas barunya membawa dia pada impian baru, kehidupan yang bebas dari bayang-bayang masa lalu yang kelam.
Namun, Alan Kim juga merasa bahwa dia tidak bisa mengabaikan siapa dia sebenarnya. Ingatan yang kembali membuatnya semakin sulit untuk merangkai potongan-potongan hidupnya yang terpisah. Apakah dia harus memilih menjadi Alan yang ingin membalas dendam, atau Kim Min-jun yang ingin mengejar kebahagiaan keluarga?
Ketidakpastian itu mengganggu pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda. Dan saat dia memandang langit biru yang luas, dia merasa seperti dia adalah seorang penjelajah dalam kehampaan diri sendiri. Dia tidak tahu arah mana yang harus dia pilih, dan itu membuatnya semakin terombang-ambing.
Tiba-tiba, Joon-ho muncul di sampingnya, memecah keheningan. "Min-jun, apa yang sedang kau pikirkan?"
Alan Kim berbalik dan bertatap dengan ayahnya. Dia merasakan kehangatan dalam pandangan mata pria itu, tetapi dia juga merasa bahwa ayahnya masih menyimpan rahasia dari masa lalu. Dia merasa bahwa jawaban-jawaban yang dia cari mungkin ada pada pria ini.
"Aku tidak bisa menggingatnya," ucap Alan, suara lembut ia berbicara. "Aku tidak bisa menggingat ingatanku dan mungkin sifatku akan berbeda dengan di masa lalu."
Joon-ho mengangguk dengan penuh pengertian. "Aku mengerti betapa sulitnya untuk berada dalam situasi ini. Namun, ingatlah bahwa apa pun pilihanmu, aku selalu di sini untukmu."
Alan Kim merasa sentuhan hangat dalam kata-kata ayahnya. Dia merasa bahwa meskipun pilihan-pilihan itu sulit, dia tidak sendirian. Dan dengan berbekal dukungan ayahnya, dia tahu bahwa dia akan menemukan jawaban di tengah kebingungannya.
***
Alan merasa langkah pertamanya dalam kehidupan barunya adalah mencari informasi tentang Kim Min Jun. Meskipun ingatan Min Jun belum sepenuhnya pulih, Alan merasa perlu untuk mengumpulkan lebih banyak informasi tentang identitas barunya tersebut. Dia tahu caranya, dengan mengakses website gelap yang pernah sering dia gunakan di masa lalunya.
Alan mulai mengakses website gelap tersebut. Dengan hati-hati, dia memasukkan alat yang dulu sering dia gunakan untuk melacak informasi dan mengumpulkan data. Dia tahu bahwa informasi tentang Min Jun mungkin tersebar di sana, dan dia harus mencari tahu lebih lanjut.
Saat Alan menjelajahi website gelap tersebut, dia menemukan sejumlah informasi dasar tentang Kim Min Jun. Min Jun adalah anak tunggal dari keluarga kaya di Seoul. Dia lulusan kedokteran dan bekerja sebagai seorang spesialis umum dengan usia 25 tahun. Alan mengambil napas dalam-dalam saat membaca informasi tersebut, merenungkan perbedaan antara dirinya yang dulu dan identitas barunya.
Informasi lebih lanjut Min Jun ternyata sama dengan kehidupan sebelumnya, dengan ayahnya berasal dari warga negara Eropa dan ibunya adalah warga negara Korea.
Alan, yang di kehidupan sebelumnya dibesarkan dalam keluarga Mafia, memiliki karakter yang tegas, percaya diri, dan kejam. Dia telah terbiasa beroperasi dalam dunia gelap yang penuh dengan intrik dan tindakan keras. Pengalaman di masa lalunya telah membentuknya menjadi seorang pemimpin yang dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tanpa rasa belas kasihan.
Keahliannya dalam strategi dan taktik membuatnya menjadi sosok yang ditakuti dan dihormati dalam dunia kriminal. Dia juga sebagai Dokter Genius terkenal di Eropa, mampu memanfaatkan pengetahuan medisnya untuk keuntungan pribadi.
Namun, sebagai Kim Min Jun dalam kehidupan sekarang, karakter Alan mengalami perubahan drastis. Min Jun memiliki kepribadian yang humoris dan canggung, terutama saat berinteraksi dengan wanita. Dia tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam hal hubungan sosial dan sering kali merasa kikuk saat berbicara dengan lawan jenis. Kehidupan barunya sebagai seorang dokter memberinya keberanian untuk menghadapi situasi medis yang kompleks, tetapi dia masih merasa canggung saat harus bersosialisasi dalam konteks pribadi.
Perbandingan antara karakter Alan dan Min Jun seperti dua sisi mata uang yang berlawanan. Alan yang tegas dan kejam dalam dunia kriminal berkontras dengan Min Jun yang penuh humor dan kekurang percayaan diri dalam kehidupan sehari-hari.
Saat Alan mencoba mengintegrasikan karakteristiknya yang dulu dan yang sekarang, dia merasa seperti sedang berada dalam pertarungan batin.
Bagaimana dia bisa memadukan sifat tegas dan kejam dengan sikap humoris dan canggung? Bagaimana dia bisa menjaga keseimbangan antara dua identitas yang begitu berbeda?
Pertarungan ini menjadi semakin rumit karena jejak-jejak masa lalunya sebagai Alan semakin kuat dalam ingatannya. Kenangan pahit tentang kehidupan gelap yang dulu dia jalani semakin terangkat ke permukaan, mengingatkan dia akan tindakan-tindakan kejam dan intrik yang pernah dia lakukan. Namun, di saat yang sama, impian dan harapan Alan tentang kehidupan yang harmonis dan keluarga yang penuh cinta ada di kehidupan kedua sebagai Min Jun.
Saat Alan merenungkan ini semua, dia merasa sebuah panggilan untuk memahami dirinya yang lebih dalam. Mungkin, dengan memahami akar dari sifat-sifatnya yang berlawanan ini, dia bisa menemukan jalan menuju keseimbangan yang baru. Dia tahu bahwa proses ini tidak akan mudah, dan mungkin akan ada saat-saat sulit di mana dia harus menghadapi pilihan-pilihan sulit.
Namun, dalam perjalanan ini, Alan tidak sendirian. Dukungan dan cinta Joon-ho, sang ayah, memberinya kekuatan untuk terus maju. Alan merasa semakin yakin bahwa, meskipun perjalanan ini mungkin penuh dengan rintangan, dia bisa menemukan cara untuk membalas tendam kepada adik tiri di kehidupan sebelumnya dan menemukan makna baru dalam kehidupan kedua Alan.
Dengan tekad yang baru ditemukan, Alan memutuskan untuk menghadapi tantangan ini dengan kepala tegak. Dia merasa bahwa dengan waktu dan usaha, dia akan mampu menjalani perjalanan menuju penyatuan dua kepribadiannya yang berbeda. Alan menghela nafas dalam-dalam dan merasa semangat baru dalam dirinya. Dengan langkah mantap, dia melanjutkan pencariannya untuk memahami dan menghadapi masa lalunya sambil merangkai identitas barunya sebagai Kim Min-jun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!