Bab 1 Circle 7
Mina duduk di pinggir ranjang. Tubuhnya masih terbalut dengan pakaian pengantin dilengkapi dengan perhiasan yang mempertegas kecantikan dirinya. Riasan yang meskipun sederhana terlihat begitu pas dan sesuai sehingga wajahnya terlihat sangat manis dan mempesona.
Ia menghela napas panjang, merasa lega karena resepsi pernikahannya sudah selesai beberapa jam lalu. Ia menunduk sehingga secara otomatis pandangan matanya menangkap pemandangan cincin yang melingkar pada jari manis tangan kanannya.
Meskipun agak longgar, cincin berlian itu terlihat sangat cocok di jemarinya yang lentik. Ia tersenyum, menertawakan takdir kehidupannya yang berada di luar kuasanya. Tadi pagi ia hanyalah salah satu panitia pernikahan Yungi dan Soraya. Ia bahkan menemani anak bungsu Yungi, Yuna yang hampir akan berusia lima tahun, menyiapkannya menjadi pengantar pengantin perempuan. Itu pernikahan kedua Yungi, salah satu sahabat Mina sejak mereka masih di SMP.
***
Mina, Yungi, Jay, Justin, Vee, Jini, dan Jun adalah teman sejak SMP. Mereka bukan hanya teman sekolah, melainkan nongkrong dan hidup juga. Mulai dari mereka sedang culun-culun sampai menjadi seperti sekarang, dewasa dan bisa saling mengandalkan. Kurang lebih itu lah pula yang menjadikan mereka temann hidup, jenis teman yang terus dipertahankan hampir selama 20 tahun mereka berkenalan.
Perjalanan hidup mereka berbeda-beda dan mereka selalu punya hal menarik untuk diperbincangkan. Karena hampir semua dari mereka selalu bersama dan selalu nongkrong di beberapa tempat yang sama, salah satu pemilik kafe tempat mereka kumpul menyebut mereka dengan “Circle 7”. Dari sanalah pula, mereka ikut menyebut grup pertemanan mereka seperti itu. Mereka pikir nama itu cukup bagus dan nyentrik. Itu selalu menjadi judul atau label mereka ketika mengadakan acara apa saja.
Di dalam circle itu, ada tiga perempuan, Vee, Jini, dan Mina, dan sisanya laki-laki semua. Sewaktu di SMP mereka tidak satu kelas, tapi karena mereka sering tergabung dalam beberapa acara dan obrolan mereka nyambung satu sama lain, akhirnya mereka jadi sering jalan dan nongkrong bersama. Bahkan, sewaktu kuliah, meskipun jurusan dan universitas mereka berbeda, mereka masih tetap bersama.
Dalam perjalanan kebersamaan mereka, rupanya ada dua pasangan yang cinta lokasi. Mereka Vee dan Justin dan Jini dan Jun. Vee dan Justin menikah seusai mereka kuliah dan pindah ke Finlandia karena mereka akan melanjutkan S2. Namun, setelah selesai, mereka tidak tinggal di sana. Mereka tinggal di Hawaii dan membuka bisnis makanan termasuk membuka restoran dan kafe di sana.
Setelah Vee dan Justin melepas masa lajang mereka, Jini dan Jun menyusul menikah dan mereka pindah ke Jepang untuk sekolah kemudian memutuskan untuk tinggal di sana. Di sana Jun bekerja pada sebuah perusahaan ekspor impor sementara Jini mengajar bahasa Indonesia di sebuah universitas di kota tempat mereka tinggal.
Jay memutuskan untuk tidak menikah. Orang tuanya sudah terlalu sering menjodohkannya dengan banyak perempuan, tetapi dia menolaknya. Ia pergi ke Amerika melanjutkan sekolahnya di Harvard dan selesai menggondol gelar S3. Setelah itu, dia tinggal di Singapura dan bekerja di sebuah firma hukum besar yang dimiliki negara itu. Di antara semuanya, Jay memang memiliki prestasi yang paling baik. Ia bahkan melompati S2, alias langsung mengikuti program S1 lalu ke S3.
Yungi juga sama. Ia pergi ke Amerika melanjutkan sekolahnya di bidang arsitektur dan ketika kembali ke Indonesia, dia memperkenalkan seorang perempuan yang sedang dikencaninya bernama Erika. Mereka bertemu di kampus di Amerika di sebuah klub musik yang mereka sama-sama ikuti untuk mengembangkan minat mereka.
Erika sudah bertemu dengan anggota Circle 7 dan tentu saja mereka cukup akur dalam banyak hal. Yungi melepas masa lajangnya setelah selesai S2. Mereka kembali ke Indonesia setelah Erika melahirkan anak pertama, Arjuna. Saat mereka kembali ke Indonesia, mereka tinggal di sebuah perumahan yang cukup elit dan tidak menyangka bahwa rumah mereka akan berseberangan dengan rumah Mina dan mereka menjadi tetangga.
Yungi tentu saja senang karena dengan begitu Erika mempunyai teman. Pekerjaan Yungi sebagai konsultan arsitektur mengharuskannya selalu pergi-pergian ke berbagai kota di Indonesia. Ia terikat kontrak dengan pemerintah dan mau tidak mau ia harus melakukan itu. Toh gajinya sangat tinggi dan kesejahteraannya pun sangat bagus.
Meskipun demikian, perasaan dia tidak sama dengan perasaan Erika, istrinya. Dia selalu merasa kesepian. Kehadiran Arjuna dan Mina yang menjadi temannya sama sekali tidak mengobati keadaannya. Terlebih kemesraan Mina dan suaminya, Awan, yang sering tidak sengaja ia pergoki membuatnya semakin iri. Erika tidak tahan dengan kehidupan seperti itu. Setelah ia melahirkan anak keduanya, Yuna, ia menggugat cerai Yungi dan kemudian pergi entah ke mana. Yungi tentu saja merasa kecewa dan ia sempat mengurung diri dan setelah satu tahun berkabung dengan keadaannya, akhirnya dengan bantuan dan dukungan teman-temannya, ia bangkit kembali. Ia melanjutkan kehidupan dan pekerjannya.
Sementara itu, anak-anaknya sering dijaga Mina. Ini sama seperti ketika ia tengah berada di titik paling bawah, Mina lah yang menjaga Arjuna dan Yuna. Orang tua Yungi tinggal di Australia dan Yungi tidak mau merepotkan mereka. Jadi, ia minta bantuan Mina untuk merawat kedua anaknya. Lagipula, Arjuna dan Zen, anak satu-satunya Mina sangat dekat. Umur mereka sebaya. Mereka sekolah di sekolah yang sama dan di kelas yang sama dan tampaknya mereka memiliki hobi yang sama.
Di antara semua teman-teman di dalam Circle 7, kehidupan Mina dianggap paling klasik. Ia menerima perjodohan dari orang tuanya setelah ia selesai sekolah di beberapa negara; Italia, Prancis, dan Belgia di bidang kuliner dengan konsentrasi patiseri. Suaminya, Awan, adalah anak pemilik perusahaan perhotelan dan rekan bisnis orang tua Mina yang memiliki perusahaan katering. Mereka menikah dan melanjutkan bisnis orang tua mereka dengan juga menambah bisnis patiseri.
Ketika Zen berusia 5 tahun, Awan meninggal dunia. Ia merupakan salah satu korban kecelakaan pesawat meninggalkan Mina tanpa suami dan Zen tanpa ayah. Saat itu terjadi, semua teman-temannya datang ke Bandung dan mereka menguatkan Mina. Yungi yang jarang pulang saja ada di antara mereka. Tidak perlu waktu yang lama bagi Mina untuk kembali pada pijakannya dengan satu motivasi dalam hidupnya, bahwa ia punya Zen yang bergantung kepadanya.
Begitulah kehidupan terus berjalan. Suatu hari pada saat kumpul secara daring dengan anggota Circle 7, Yungi memperkenalkan seorang perempuan bernama Soraya. Semuanya menyambut perempuan ini dengan tangan terbuka. Mereka turut senang karena Yungi akhirnya mau membuka lagi hatinya untuk perempuan.
Meskipun begitu, di belakang layar, ada banyak chat-chatan dan sekali temu daring antara anggota Circle 7, kecuali Yungi tentunya. Mereka semua menginterogasi Mina sebagai teman yang posisi rumahnya paling dekat dengan rumah Yungi.
Mina sendiri tidak bisa menjawab. Itu juga hal baru baginya. Meskipun rumah mereka berdekatan, mereka punya kehidupan masing-masing. Yungi jarang ada di rumah karena pekerjaannya dan Mina secara praktis hanya dekat dengan kedua anak Yungi karena menjaga dan merawat mereka. Orang-orang di luar, seperti di sekolah atau ketika mereka nongkrong di restoran berempat, misalnya selalu berpikir bahwa Arjuna atau yang lebih akrab disebut Juna dan Yuna adalah anak Mina selain Zen tentunya.
Selain itu juga, sebenarnya kehidupan ini aneh karena sejujurnya Yungi dan Mina itu lebih seperti anjing dan kucing daripada teman. Mereka sering beradu mulut untuk urusan kecil sejak mereka di SMP. Yungi menganggap Mina itu perempuan paling membosankan di muka bumi.
Tidak seperti Vee dan Jini, penampilan Mina sangat biasa dan sederhana. Baju-bajunya selalu tertutup sehingga kadang-kadang Yungi mengejeknya dengan wanita kolot. Ketika ejekan seperti itu terlontar dari mulut Yungi, Mina sih manyun saja, tidak menanggapi. Ini juga sama ketika Mina mengejek Yungi dengan sebutan Playboy cap kadal karena Yungi paling sering gonta-ganti pacar, hampir, setiap tiga bulan macam pindah-pindah kontrakan atau percobaan karyawan.
Lalu mereka malah tetanggaan dan sekarang mereka menjadi pasangan. Bagaimana bisa ceritanya seperti itu. Salahkan saja takdir atau keadaan. Yang penting jangan salahkan Tuhan. Sebenarnya, tidak lucu kalau Mina mengatakan bahwa ia mau nikah dengan Yungi gara-gara Arjuna yang memohon kepadanya. Meskipun memang sebenarnya itulah yang terjadi.
Bersambung
Suasana di sebuah aula pernikahan di dalam sebuah hotel bintang lima cukup tenang. Semua tamu sudah menduduki tempatnya. Di antara mereka adalah anggota Circle 7, kecuali Yungi dan Mina.
Hari itu, Yungi akan menikahi Soraya setelah tiga tahun mereka menjalin hubungan. Yungi masih berada di ruang ganti, bersiap menjadi mempelai pria.
Sementara itu, Mina berada di ruang lain, mempersiapkan Yuna yang nantinya akan menjadi pengantar pengantin bersama dengan Zen dan Juna.
Yungi berdiri di depan kaca seukuran tubuhnya. Ia merapikan dasi dan buket bunga kecil yang menempel pada bagian saku dadanya. Wajahnya terlihat agak tegang, tapi ia berusaha menenangkan dirinya. Sebuah ketukan di pintu membuatnya menoleh dan tak lama kemudian tiga orang lelaki yang sama gagahnya dengan dirinya berdiri di sana.
“Bro, kali ini ga boleh gagal, oke?” Jay menepuk bahu Yungi pelan.
“Aduh, jangan sampai! Siapa yang mau gagal, Jay?” Yungi menjawab sambil tersenyum.
“Selamat, Bro! Mudah-mudahan ini terakhir ya!” celoteh Jun sambil menyimpan kedua tangannya di bahu Yungi.
“Iya, aku juga berharap begitu. Sekarang aku kan sudah settle juga di Bandung, Mudah-mudahan, aku bisa jadi suami yang lebih baik!” sahut Yungi. Ia menghela napas sambil menganggukkan kepala.
“Amin.” Justin mengangkat kedua tangan sambil tersenyum.
“Anak-anak udah oke kan sama yang ini?” Justin menatap Yungi.
“Keliatannya sih hubungan mereka baik-baik aja. Ya, ga sedekat sama Mina sih, tapi lumayan lah untuk permulaan!” Yungi menjelaskan.
“Oke, good! Itu penting!” ujar Justin.
Mereka tengah asyik berbicara ketika sebuah kepala muncul dari balik pintu.
“Aku ganggu, gak?” Vee tersenyum.
“Masuk sini! Gimana nih Bumil? Ga kecapean, kan?” Yungi menunjuk perut Vee yang besar.
“Ini kan yang ketiga, Yun! Biasa aja kali!” sahut Vee.
“Wow! Anda sangat produktif ya!” Yungi mencandai Justin kemudian menatap Vee.
Justin hanya menggaruk kepala bagian belakangnya pelan dan ia hanya menyunggingkan sebuah senyuman tengil di bibirnya.
“BTW, selamat ya Yun, aku ikut senang!” ujar Vee dan menoleh ke arah pintu sebab gagangnya tengah dibuka seseorang. Giliran Jini yang masuk.
“Kalian pada ngumpul di sini rupanya!” Jini berjalan mendekati Yungi.
“Di mana Mina?” Jini melihat semuanya.
“Di ruangan pengantar pengantin. Dia mengurus anak-anak,” ujar Yungi.
“Oh!” Jawaban Jini pendek.
“Aku mau ke kamar pengantin perempuan tadi, tapi dikunci!” sahut Jini lagi.
“Wah masa?” Jawab Yungi.
“Iya, tadi aku juga ke situ, dikunci dan sepi loh!” Vee menimpali.
Yungi menelan ludah.
“Jangan panik dulu! Kali Soraya lagi di toilet atau pengen sendiri gitu. Pernikahan itu hal yang besar loh!” Jay menatap Yungi, mencoba untuk menghiburnya.
“Iya! Aku juga mikirnya kayak gitu!” ujar Jini. Vee mengangguk menguatkan.
Suasana hening sejenak dan buyar setelah seseorang mengetuk di depan pintu.
“Yun, boleh aku masuk?” suara Mina terdengar jelas dari luar.
“Iya!” Yungi menjawab dan Mina membuka pintu.
“Yun, Soraya ga di sini ya?” Tatapan Mina menelusuri setiap bagian ruangan.
“Eh! kalian semua ada di sini rupanya?” Mina tersenyum saat melihat teman-temannya di sini.
Semuanya mengangguk.
“Soraya ga ada di ruangannya?” Yungi kembali pada persoalan.
Mina menganggukkan kepala dengan wajahnya terlihat bingung.
Semuanya saling menatap. Jelas ada masalah. Kecuali Vee, yang lainnya dengan cepat mencari calon istri Yungi ke semua ruangan termasuk kamar hotel yang mereka sudah sewa selama tiga hari empat malam.
Setelah hampir satu jam mencari mereka akhirnya menyerah. Berita tentang hilangnya pengantin perempuan sudah terdengar ke aula dan membuat orang tua Yungi mendatangi kamar Yungi. Mereka juga membawa serta orang tua Soraya untuk meminta penjelasan.
Dari mereka semua terkuak kebenarannya. Sebenarnya mereka hanya orang sewaan yang dibayar Soraya untukberpura-pura menjadi orang tua.
Soraya sudah mendapatkan keinginannya.
Sebenarnya, dia mendekati Yungi karena tahu bahwa Yungi mempunyai banyak uang. Dia hanya ingin mengambil semua uang Yungi dan menikmati kekayaannya tanpa susah payah. Dia sudah mendapatkannya. Dia membuat Yungi menandatangani banyak dokumen saat ia mabuk dan kemudian mengalihkan semuanya atas namanya.
Sekarang, ia hanya punya rumah yang ia tinggali dan beberapa ratus ribu di rekeningnya. Ia sudah mengecek semuanya dan itu benar-benar kacau. Soraya bahkan mengambil uang tabungan untuk masa depan anak-anaknya.
Yungi menangis. Ia benar-benar terpuruk. Semua temannya ada di sana, kecuali Mina yang tengah menenangkan Yuna karena terlalu shok melihat ayahnya mengamuk di kamar pengantin.
Sekali lagi Yungi harus menelan pil pahit gara-gara seorang wanita dan ia sepertinya akan memasuki klub yang sama dengan Jay selama sisa hidupnya. Sebuah ketukan lembut membuat semua kepala menoleh ke arah pintu. Mina masuk dari balik pintu.
“Yuna sudah tidur di kamarku. Di mana Juna?” tanya Mina melihat ke semuanya.
“Dia di ruang sebelah dengan Tante dan Om!” sahut Vee. Om dan tante yang ia maksud adalah orang tua Yungi.
“Oke!” Mina menjawab lalu menatap Yungi.
“Aku ke sana dulu ya!” sahut Mina sambil menatap Yungi.
Yungi menatap Mina sejenak lalu mengangguk seolah mengucapkan terima kasih. Namun, wajahnya masih dipenuhi dengan raut sedih dan luka yang amat dalam.
Mina meninggalkan mereka. Ia bergegas menuju ruang sebelah. Ia masuk setelah mengetuk dan mendapati Arjuna duduk di pojok ruangan ditemani dengan Zen di sebelahnya. Tidak jauh dari sana kakek dan neneknya duduk menungguinya dengan perasaan khawatir. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan anak kecil itu yang sudah dua kali gagal mendapatkan seseorang untuk menjadi ibunya.
Mina menganggukkan kepalanya kepada orang tua Yungi sambil tersenyum saat ia memasuki ruangan dan orang tuanya membalas anggukannya dan tersenyum.
“Tante!” Arjuna berlari ke arahnya dan langsung menangis di pelukannya.
Mina mengelus punggungnya pelan. Matanya berkaca-kaca. Ia sangat paham bagaimana perasaan Juna saat itu. Zen berjalan menuju mereka dan duduk di sebelah mereka. Tangan Mina yang lainnya meraih Zen dan memeluknya juga. Ia mencium pucuk kepala Zen dengan penuh kasih sayang dan sekarang Zen ikut menangis juga. Rupanya sejak tadi, anak itu menahan rasa ingin menangisnya karena tidak ingin membuat sahabatnya semakin sedih.
Mereka masih pada posisinya. Mina hanya diam dan mengusap kedua anak lelaki yang ada di dalam pelukannya itu. Tak lama, Juna menghentikan tangisannya. Ia menatap Zen dan keduanya saling menganggukan kepala seolah-olah mereka telah berbicara tentang sesuatu dan mereka akan mengatakannya kepada Mina.
Mereka berdiri bersebelahan di depan Mina dan Mina menatap mereka bergantian sambil menyunggingkan senyuman hangat.
“Ada apa?” tanya Mina.
“Mau beli es krim?” Mina melanjutkan.
“Ibu! jangan bercanda! Juna lagi ngumpulin keberanian nih!” sahut Zen.
“Wow! Oke! Maaf... Maaf!” Mina langsung tertawa kecil sambil menutup mulutnya. Begitu pula orang tua Yungi, ikut tertawa dan juga heran tentang apa yang akan dilakukan kedua anak yang sekarang berusia sepuluh tahun itu.
“Tante,” ujar Juna sambil menatap Mina.
“Ada apa? ...sini! Duduk sebelah tante!” Mina menarik lengan Juna pelan. Namun, Juna menahannya.
“Nggak, Tante! Aku mau bilang sesuatu yang serius!” sahut anak kecil itu.
Sebenarnya Mina ingin tertawa mendengar celoteh anak itu. Tapi karena wajah anak itu serius, ia menahannya.
“Oke. Ada apa? Kalian mau ngakuin sesuatu? Kalian ga bikin ulah, kan?” Mina menatap lagi mereka bergantian. Kali ini wajahnya terlihat khawatir.
“Nggak, Tante. Kami ga gitu kok! Dan tolong jangan ngomong dulu. Ini aku mau ngomong!” ujar Juna.
Dia terlihat agak gugup dan itu membuat Mina tersenyum.
Juna malah terlihat lucu saat gugup.
“Apa?” tanya Mina sambil tersenyum.
“Tante, kalau aku minta tolong, Tante mau nolongin aku nggak?” Juna menatap Mina dan ia terlihat sangat gugup.
“Boleh. Minta tolong apa?” tanya Mina. Ia memengang satu tangan Juna sambil tersenyum.
Juna meneguk ludah sebelum mulai bicara lagi.
“Tolong nikah sama Papah aku, Tante!” sahut Juna dengan lancar.
“Eh???” Mina membelalakkan matanya.
Wajahnya terlihat sangat kaget. Orang tua Yungi yang berada di belakang kedua anak itu juga terlihat kaget.
Ia diam, terlalu terpukau dengan apa yang dikatakan anak kecil di hadapannya itu.
“Tolong, Tante!” Sekarang Juna berlutut disusul Zen yang berada di sampingnya. Ikut berlutut seolah ia juga memohon kepadanya.
“Kalian jangan begini!” Mina mengangkat kedua anak itu, tapi keduanya cukup kuat mempertahankan posisinya.
“Tolong jangan begini!” suara Mina agak tercekat, menahan diri untuk tidak menangis.
Bagaimana tidak? Anak kecil di hadapannya itu terlalu putus asa dan mungkin kasihan kepada ayahnya sampai-sampai memintanya untuk menikahi ayahnya.
“Ayo duduk dan kita bicara ya, Nak, ya!” sahut Mina dengan lembut.
Ia bahkan tidak menyadari saat Ibu Yungi perlahan berjalan meninggalkan ruangan.
Mereka masih pada posisinya saat tetiba Yungi dan yang lainnya membuka pintu dan melihat pemandangan mengibakan itu.
Yungi dengan kasar menarik lengan Juna memintanya berdiri.
“Apa kau sudah gila! Jangan seperti ini! Tante Mina sudah banyak membantumu! Jangan membuatnya lebih repot lagi!”
“Yun!” Mina berteriak sambil melepaskan tarikan tangan Yungi pada lengan Juna.
“Lepasin! Jangan kasar! Gimana sih kamu!” Mina memarahi Yungi.
“Sini sayang! Kamu ga apa-apa, hmm? Lengan kamu ga sakit?” tanya Mina sambil mengelus lengan Juna lembut.
“Om, tolong nikah sama Ibu ya, Please!” Giliran Zen yang berlutut memohon di hadapan Yungi.
Giliran Yungi yang melotot.
“Astaga!” Mina meraba-raba pelipisnya. Kepalanya mendadak pusing. Pertama, ia kurang tidur dan sekarang masalah ini.
Semua orang di sana hanya bisa tertegun menyaksikan pemandangan itu.
“Pah!” Juna berbalik ke ayahnya.
Sekarang dua anak kecil itu tengah memohon kepadanya.
“Hei! kalian jangan begini!” sahut Yungi.
“Iya, jangan begini, Nak. Ayo kita duduk dan kita bicara, ya Nak ya!” Mina berdiri di samping Yungi.
Tapi keduanya masih dengan kuat mempertahankan posisinya.
Mina menatap Yungi.
“Ayo kita bicara sebentar!” Sahut Mina sambil menarik tangan Yungi keluar dari ruangan.
“Kamu mau nurutin permintaan mereka?” Yungi melipat kedua tangannya di dada. Mina menatap Yungi sambil menggelengkan kepala.
“Aku tahu kamu ga suka sama aku dan aku tahu aku bukan tipe kamu, tapi aku ga mau liat anak-anak kayak gini lagi. Dulu Erika ninggalin kamu, Juna stres, sekarang juga kayak gini. Yuna juga sekarang jadi ngalamin ini! Kamu nyadar ga sih gimana terpukulnya mereka gara-gara ayahnya ditinggalin orang-orang yang mereka pikir sayang sama kamu!” Mina menjeda sebentar.
“Aku tahu pernikahan ini hal besar. Kamu juga buka tipe aku dan aku udah anggap kamu temen dan ga akan bisa lebih dari itu. Intinya sih, aku mau nikah sama kamu buat mereka. Turunin ego kamu dikit. Kamu udah dua kali nikah sama orang yang kamu cinta dan gagal. Sekarang kamu nikah bukan buat kamu, tapi buat anak-anak kamu. Paham ga? Kita tetep aja kayak temen, Yun, ga usah ada adegan-adegan ranjang segala, bisa kan?” Mina menjelaskan panjang lebar.
“Lah terus kebutuhan biologis aku gimana?” Yungi bertanya heran.
“Sia! Boloho ih! Aing keuheul! (bahasa Sunda: Kamu bodoh sekali! Aku kesel)!” Mina melengos pergi.
“Eh, maksud kamu apa? Aku ga bodoh Min, aku mikirin realnya, tau!” Yungi menarik lengan Mina.
“Iya, habisnya kamu egois, ih! Mikirin diri kamu sendiri!” jawab Mina kesal.
“Egois?” Yungi berkacak pinggang.
Mina baru akan membuka mulutnya lagi saat Jay tetiba berada tak jauh dari mereka.
“Kalian debatnya lain kali aja. Itu penghulunya udah marah-marah nanyain pengantinnya. Waktu dia terbatas tuh! Orderannya kan banyak!” ujar Jay sambil tersenyum. Ia menyender ke pinggir pintu sambil melipat kedua tangannya di dada.
“Tsk!” Yungi berdecak kesal.
“Ga usah kayak gitu! Kalau ga mau juga, bukan aku yang malu, tapi kamu! Nyebelin nih orang. Dibantu malah ngeyel!” ujar Mina. Dia hampir berlalu, tapi Yungi menarik lengannya lagi.
“Tunggu! Oke... oke! Aku minta maaf! Aku sekarang bangkrut! ga punya duit! Gimana mau ngidupin anak orang?” Yungi menatap Mina.
“Aku punya. Aku ga bilang biayain kamu. Kamu juga pasti punya pride, kan! Kamu pinjem sama aku. Ntar, kalau kamu udah stabil, kamu bisa balikin sama aku.” Mina menjawab tenang.
Yungi membelalakkan matanya.
“Kamu serius?” Yungi mengernyitkan alisnya.
“Kita teman. Ga nikah juga, kalau kamu perlu bantuan aku, kamu bisa ngandelin aku. Kalau aku bisa, aku pasti bantu!” sahut Mina.
Yungi diam sejenak.
“Ayo! penghulunya nunggu!” sahut Mina lagi sambil menatap Yungi.
Yungi menganggukkan kepalanya.
“Lakukan saja demi anak-anak kamu, Yun!” ujar Mina lagi sambil memberikan tangannya.
Yungi membalas senyumnya. Ia menerima tangan Mina dan mereka berdua keluar dari ruangan sambil menyunggingkan senyuman.
Begitulah, akhirnya terjadilah pernikahan di antara keduanya. Untungnya, orang tua Mina juga hadir di sana karena memang salah satu undangan juga, sehingga tidak sulit untuk meminta restu mereka untuk pernikahan itu.
Bersambung
Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunan Mina. Ia mempersilakan sang pemilik suara yang jelas ia kenal untuk masuk.
"Hai! Boleh kami masuk?" Jini dan Vee berdiri di depan pintu.
"Pake minta izin segala! Masuuk!" Mina membuka kedua tangannya lebar-lebar meminta pelukan.
Kedua perempuan itu menghampiri dengan cepat ke arah Mina dan meski mereka sangat ingin berpelukan sangat erat, mereka tak bisa melakukannya karena Vee berbadan dua.
"Gila, kamu, Min! Aku ga percaya kamu ngelakuin ini! Kamu sama Yungi! Astagaaa!" Vee berbicara dengan nada tak percaya.
Well, siapa yang akan menyangka juga Mina, si Wanita Kolot dan Yungi, Sang Playboy Cap Kadal?
"Iya, Min! Kamu yakin? Maksudku ini emang udah bukan waktunya nanya kali ya! Terlambat juga. Tapi, wow! Kamu dan Yungi hahahaha!" Jini tertawa.
"Sebenarnya sih, aku sendiri juga ga percaya! Tapi aku kasihan sama anak-anaknya! Mereka butuh sosok ayah dan ibu." Mina berbicara datar. Pandangannya agak kabur, sekabur ucapannya.
Sebenarnya ia juga merasa itu seperti mimpi, tapi kalau dia bisa mengulang waktu, dia juga tidak punya pilihan jika skenarionya sama.
"Ini bukan akting, kan? Kamu ga ada kontrak-kontrakan sama dia, kan?" Vee memastikan.
"Kontrak apaan? Kamu pikir ini proyekan! Jangan ngaco, Vee!" sahut Mina.
"Terus gimana? Ga kebayang kamu sama dia satu kamar! Hiii!" Jini bergidik tapi dia juga tertawa mengejek.
"Iya bukan adegan ranjang ya kan? yang ada malah perang!" Vee ikut tertawa.
"Duh, amit-amit ngebayangin aku sama dia gituan!" Mina ngelus-ngelus perutnya sambil geleng-geleng kepala.
"Jangan bilang amit-amit, nanti kejadian loh!" Jini mengingatkan.
"Pengalaman ya Jin?" ejek Vee.
"Heeh!" Jini nyengir.
Semuanya tertawa.
"Aku ganggu ga?" Tetiba Yungi berdiri di depan pintu.
"Wah! Nggak lah!" Jini langsung berdiri dari duduknya sambil senyum-senyum. Ia lalu berjalan ke arah Yungi.
"Buru-buru amat, Yun! Malam masih awal loh!" goda Vee yang menyusul Jini.
Sementara itu wajah Mina memerah malu.
"Apaan sih kalian? Orang tua aku pengen ngobrol sama aku dan Mina. Ga ada yang aneh kok!" Yungi menjawab tenang.
"Aneh-aneh juga ga pa pa kok, Yun! Kan udah sah!" lanjut Vee sambil menepuk bahu Yungi pelan.
"Apaan sih kalian?" Yungi dan Mina kompak menjawab. Mereka saling tatap dan tetiba wajah mereka terlihat malu.
"Wow, kompak nih! Padahal ga janjian hihi!" celetuk Jini dan langsung kabur. Vee menyusul di belakangnya sambil senyum-senyum.
Tersisa hanya mereka berdua. Mereka saling menatap.
"Ga ganti baju?" tanya Yungi dengan nada bicara agak canggung.
"Iya, mau." Mina berdiri dengan cepat dari duduknya melangkah menuju Yungi dan mendorongnya keluar.
"Kok didorong?" Yungi coba bercanda. Padahal tampak jelas nada bicaranya gugup.
"Biasa aja Yun. Jangan kayak gini ah! Awkward nih! ga enak! keluar! Mau ganti dulu!" nada Mina juga gugup.
"Tapi nanti aku tidur sini kan?" Yungi menoleh sebelum ia keluar.
"Iya. Di sini. Lagian ada banyak hal yang perlu kita omongin. Tapi, nanti aja kalau urusan sama mamah dan papah kamu kelar ya!" sahut Mina sambil menutup pintu pelan.
Yungi hanya mengangguk dan berlalu. Ia sendiri belum ganti pakaian, tapi sudah melepas jas dan dasi pernikahannya sehingga tidak seformal dan seribet Mina.
Tak lama mereka sudah berada di ruang tengah. Ayah dan Ibu Yungi duduk berhadapan dengan Yungi dan Mina yang juga duduk bersebelahan.
Suasana hening dan terlihat agak tegang. Bagaimanapun pernikahan mereka tidaklah direncanakan.
"Mina," sahut Ibunya Yungi lembut.
"Iya, Tante," jawab Mina dengan suara yang lembut juga.
"Kok tante sih? Sekarang kami kan orang tua kamu juga. Panggil Tante... Mama dong," pinta ibunya Yungi sambil tersenyum ramah.
Mina terkejut. Itu benar, tapi ia sama sekali tak berpikir ke arah sana.
"I, ... Iya Ma," jawab Mina gugup.
Ia berusaha menyunggingkan sebuah senyuman agar tak terlihat tegang dan kaku.
"Mama berterima kasih banyak sama kamu untuk semuanya." Mama Yungi berkata tulus.
"Ga apa-apa, Ma," sahut Mina. Ada nada bingung di sana, khususnya saat Mama Yungi menekankan kata 'semuanya'.
"Sebenarnya, Mama ingin bilang ini dari dulu. Mama dengar dulu dari Erika, kamu banyak bantu dia selama Yungi ga ada. Kamu juga jagain Juna dan Yuna seperti anak kamu sendiri. Dan kamu tuh ga sekadar jagain, tapi beneran ngemong, ngerawat, beneran ngurus mereka kayak anak kamu sendiri. Kami sangat bersyukur. Ga ada yang lebih berhak atas mereka kecuali kamu. Makanya Mama sangat setuju kalau kalian bersama." Mama Yungi menjeda.
Sementara menunggunya melanjutkan pembicaraan, Mina mencoba mencerna apa yang ingin mertua perempuannya itu bilang. Sekarang, dalam hitungan jeda detik itu, dia dengan cepat tercerahkan dengan definisi kata 'semuanya'.
Dan itu belum selesai. Kenyataannya setelah itu Mama Yungi melanjutkan lagi pembicaraan dan kali itu lebih menekankan pada hubungan keduanya.
"Ini pernikahannya kan mendadak, ya! Jadi, sebenarnya kalian ini saling cinta atau ada perasaan gimana gitu?" Mama Yungi menatap Yungi dan Mina bergantian.
Kedua wajah langsung memerah.
"Apaan sih Ma! Kita temenan aja ga lebih ga kurang!" sahut Yungi sambil menggaruk kepalanya, tapi sebenarnya tak gatal.
"Iya, Ma. Nanti kalau Yungi sudah menemukan perempuan yang cocok, khususnya yang anak-anak pikir sesuai juga dengan mereka, saya ga keberatan untuk bercerai, Ma," ujar Mina.
"Hus! Ga boleh bilang gitu. Pamali. Nanti Malaikat catat. Jangan bilang gitu!" Mamanya langsung menimpali.
Mina terkejut. Tapi, itu yang sebenarnya ada di pikirannya. Pernikahan tanpa cinta jarang bertahan dan dia tahu persis Yungi bukan orang yang akan memperjuangkan orang macam dirinya atau sesuatu yang tidak ada artinya untuk dia.
"Iya, jangan bilang gitu. Papa sama Mama juga dulu gitu. Dijodohkan, ga saling kenal. Jadi, setelah nikah ada banyak hal yang kami pelajari bersama. Dan kami masih bisa bersama dan bahagia. Tidak apa-apa. Kan cinta bisa menyusul, ya, Ma!" Papa Yungi menatap Mama Yungi sambil tersenyum. Ia meraih tangannya sambil menciumnya lembut dan tersenyum. Mama Yungi tersenyum sambil mengangguk.
Pemandangan itu membuat kedua orang di hadapannya tersipu malu. Keduanya berada pada pemikirannya masing-masing sejenak, merasa tidak mungkin mereka bisa melakukan hal seperti itu. Membayangkannya saja sudah membuat keduanya bergidik.
"Papa sih berharap kalian kayak kami juga, berjuang bersama. Apalagi sekarang kalian ada anak yang harus dipertahankan juga, kan?" Papa Yungi melanjutkan.
"Iya, Pah! Kami paham. Doakan kami ya Pah, biar kami seperti Mama dan Papa." Yungi tersenyum.
Ia lalu meraih tangan Mina dan menggenggamnya erat, membuat Mina agak kaget dan menoleh ke arahnya sambil melotot. Raut wajahnya terlihat kesal. Sementara Yungi membalas tatapannya sambil tersenyum tengil.
"Syukurlah kalau begitu. Mama dan Papa tenang meninggalkan kalian. O, iya, Yun, ga usah pikirin soal uang. Mama dan Papa sudah berniat memberikan hadiah pernikahan untuk kamu dan Mina. Ini!" sahut Mama Yungi menyerahkan selembar cek dengan jumlah nominal yang fantastis.
"Ma, ini sangat besar!" Yungi melotot.
"Kamu tuh anak Mama sama Papa satu-satunya. Dan keras kepala juga! ga pernah mau menerima pemberian kami. Udah ga usah sok-sokan ga butuh ah. Sekarang waktunya kamu menerima uluran tangan kami. Mama sama Papa bangga dengan gaya pikir dan prinsip kamu. Tapi ada kalanya kamu juga harus berlari kepada kami. Kamu tahu kami selalu ada buat kamu, paham!" Mama Yungi menatap Yungi sambil tersenyum.
"Ma!" Suara Yungi tercekat. Matanya berkaca-kaca.
Ia menatap Mina sejenak sambil tersenyum dan kemudian menunduk. Ia agak terkejut saat tangan Mina mengelus lembut punggungnya.
Sekali lagi Yungi menoleh ke arah Mina yang menatapnya lembut dan hangat sambil tersenyum. Selama lebih dua puluh tahun mereka berteman, itu baru kali pertama untuk Yungi melihat sisi Mina yang menurutnya berbeda dan ia suka.
Yungi membalas senyumannya sambil menganggukkan kepala.
Pembicaraan bergulir ngalor ngidul selama beberapa waktu dan kebanyakan lebih berbicara tentang bagaimana ayah dan ibu Yungi menghadapi situasi setelah mereka baru saja menikah.
"Pokoknya semuanya ada waktunya. Karena kalian adalah keluarga sekarang, jadi sebaiknya kalian bekerja sama dan berkomunikasi lebih baik. Saat ini itu yang paling dibutuhkan," sahut Papa Yungi.
"Iya, itu benar. Kalian ada rencana bulan madu ke mana?" Mama Yungi menegaskan pertanyaan Papa Yungi lalu bertanya hal lain.
Deg. Yungi agak tersentak. Mau bilang apa soal ini. Bulan madu yang ia rencanakan ke Eropa dengan Soraya sudah tidak mungkin dilakukan.
"Kami mau pergi ke Jepang, Ma. Sebenarnya, saya dan anak-anak sudah membuat rencananya sejak lama. Kalau Yungi dan Soraya bulan madu, kami akan pergi ke Jepang. Kebetulan kan waktu liburan sekolah juga." Mina menjelaskan.
"What??? Kok aku ga tahu soal ini sih?" Yungi menatap Mina kaget. Ekspresi di wajahnya jelas marah.
"Kan aku udah bilang, Yun. Udah lama banget ini! Inget ga waktu aku telfon kamu waktu kamu lagi di Jakarta. Terus waktu itu aku minta izin buat bawa anak-anak kamu buat liburan ke Jepang. Terus kamu bilang oke dan bahkan kamu minta tolong aku urusin paspor dan visa mereka juga. Nah dah gitu kamu tutup soalnya kamu lagi nanggung. kayaknya sih lagi mantap-mantap tuh sama cewek kamu. Orang jelas banget aku denger suara Soraya cekikikan di belakang kamu macam kuntilanak hahahaha!" Mina skakmat Yungi dengan santainya.
"Ah oke... oke, paham!" Yungi langsung menutup mulut Mina karena terlihat ia akan buka mulut lagi.
Semua tertawa.
"Oke deh! Enjoy aja semuanya ya! Mama sama Papa ga khawatir kalau gitu. Semangat dengan keluarga baru kalian ya! Besok kami balik ke Ausi. Jadi ga akan ganggu kalian kalau mau have fun! ujar Papa sambil senyum-senyum.
"Apaan sih Pah! Kami ga ada rencana buat ke arah sana. Ini murni teman tapi nikah aja!" ujar Yungi. Dan Mina langsung mengamini.
"Ga bisa gitu. Dosa itu. Ya udah. Sekarang kami mau balik ke hotel ya, mumpung masih ga terlalu malam," ujar Papa. Mereka berdiri dan berpelukan. Setelah itu pamit seusai melihat anak-anak yang sudah nyenyak di kamar mereka karena kelelahan.
Orang tua Yungi adalah pasangan terakhir yang pamit dari rumah. Ketika mereka berbicara, teman-teman anggota Circle 7 sudah pulang ke hotel. Mereka memang tidak akan langsung pulang ke negara masing-masing karena ambil cuti seminggu untuk menikmati Bandung dan sekitarnya.
Mina berjalan menuju kamarnya disusul Yungi dari belakangnya.
"Aku tidur sama kamu kan?" Yungi tersenyum tengil.
"Iya, tapi pisah ranjang. Ingat waktu kita dulu kuliah dan pergi sewa Vila di Ciwalini kan? Kita satu kamar juga dan pisah ranjang juga. Nah, mirip lah kayak gitu," jelas Mina.
"Hah! Tapi kita kan suami istri sekarang. Seranjang juga, aku ga bakalan kesetrum sama kamu," nada Yungi merendahkan.
Mereka sudah duduk di bibir ranjang sekarang berdampingan.
"Iya, aku juga yakin itu. Cuma aku khawatir khilaf." Mina memainkan alisnya sambil senyum-senyum.
"Tsk! bilang aja pengen ranjang luas biar enak gelipakan! Kamu kan kalau tidur motah jiga lauk( banyak gerak seperti ikan)!" Yungi mengerling. Ia membawa satu bantal dan selimut.
"Aku tidur di mana?" tanya Yungi lagi.
"Sofa bed. Ntar aku gelarin buat kamu deh. Mendingan sekarang ganti baju sana." Mina memerintah.
"Ih, aku ga bawa baju Min. Semuanya kan di rumah sana!" Yungi nunjuk rumah seberang. Rumahnya.
"Iya, makanya sana ambil dulu!" sahut Mina.
"Ih ga mau ah! Males juga... cape ah!" Yungi langsung bawa bantal yang barusan ia simpan di ranjang, siap menaiki sofa.
"Tsk! Kamu nyebelin ah! Ya udah kamu ganti pakai baju Awan! Mau tidur bau kayak gitu. Mandi dulu. Tunggu sini!" Mina menggerutu sambil berjalan menuju kloset dan tak lama. kemudian dia keluar membawa sebuah piyama dan handuk.
"Nih! Mandi sana!" ujar Mina.
Yungi agak tercengang.
"Ini piyamanya Awan loh, Min! Kamu yakin?" Yungi menatap Mina.
"Iya, ga apa-apa. Awan juga pasti seneng kalau barangnya bermanfaat buat orang lain. cepetan sana!" Mina menarik lengan Yungi dan membawanya ke arah kamar mandi.
Yungi diam sejenak di balik pintu kamar mandi. Itu pertama kali untuknya berada di kamar Mina, terlebih sekarang kamar mandinya.
Ia menghela napas panjang. Ada begitu banyak pikiran di dalam otaknya dan beberapa di antaranya adalah pertanyaan- pertanyaan yang berkaitan dengan hubungan dirinya dan Mina.
Shower yang mengucur deras membasahi kepala dan tubuhnya lumayan membuatnya agak dingin dan tenang dan akhirnya sambil ia memakai pakaian ia menarik sebuah kesimpulan bahwa ia harus berbicara dengan Mina tentang hubungan mereka.
Yungi keluar dari kamar mandi dan dengan rambut yang masih basah dan handuknya menumpanh singgah di salah satu pundaknya.
"Wow!" Yungi tercengang sebab saat ia keluar dari kamar mandi, ia mendapati pemandangan yang membuatnya terpukau. Yang pertama sofa bednya yang sudah tertata rapi, siap ia tiduri. Yang kedua, Mina dengan pakaian piyama yang meskipun tertutup menurutnya terlihat sangat manis.
"Sudah selesai?" Mina, duduk di atas ranjangnya berselimut tengah menulis sesuatu di atas buku beralaskan bantal menurunkan kacamatanya.
Yungi mengangguk sambil tersenyum dan berjalan melangkah ke arah sofa bed.
"Kenapa rambutnya masih basah?" Alis mata Mina mengernyit.
"Ga pa pa. Nanti juga kering." Ujar Yungi.
"Kebiasaan buruk itu! Ga boleh itu!" Nada Mina terdengar kesal. Ia turun dari ranjangnya mendekati Yungi dan menghadapkan ke arahnya.
"Ini handuk dekorasi pundak ya, Yun?" Mina mengerling. Ia mengambil handuk dari pundak Yungi dan menyimpannya ke rambut Yungi lalu mengeringkan dengan kedua tangan Mina.
"Sekarang aku tahu dari mana kebiasaan Arjuna kayak gini! Kamu rupanya gurunya! Guru badung ini mah! ngajarin anak ga bener!" Mina menggerutu tapi masih mengeringkan rambut Yungi.
Ia bahkan tak sadar Yungi tengah asyik menatap dirinya yang tengah mengomel itu. Mina tak tahu bahwa Yungi tengah asyik mencium bau tubuhnya yang jelas bukan dari parfum yang ia semprotkan ke tubuhnya. Toh yang Yungi tahu Mina hampir tak pernah pakai parfum.
Bagi Yungi momen itu adalah pertama kalinya ia benar-benar berhadapan dengan Mina secara dekat. Selama mereka berteman, interaksi mereka tidak pernah mengharuskan mereka sedekat itu.
"Sini duduk!" ujar Mina sambil menarik tangan Yungi membawanya ke meja rias. Ia menyalakan mesin pengering rambut dan menyemprotkan sprayer ke rambut Yungi beberapa kali lalu mulai mengeringkan dengan mesinnya.
"Apa?" Tatapan mereka beradu melalui cermin.
"Pasti kamu mau nanya kamu ke Awan sering kayak gini, Min?" Mina bersuara.
"Wah, itu dia pertanyaanku. Tepat sasaran!" sahut Yungi sambil mengangguk.
"Oh. Kadang-kadang aja. Tapi kalau ke anak-anak sering banget. Mereka tuh kalau aku belum ngomel kayaknya gimana gitu!" Nada Mina terdengar seperti keluhan.
Yungi mengangguk.
"Tapi ya udahlah! Mau gimana lagi Namanya juga anak-anak!" sambungnya.
"Udah selesai. Sekarang kamu bisa tidur." Mina mematikan mesin pengering.
"Makasih!" ujar Yungi.
"Sip!" jawab Mina santai.
"O, ya, Yun, kamu ikut kami ke Jepang atau nggak ya?" tanya Mina saat keduanya baru menarik selimut.
"O, iya. Pasti. Masa iya aku sendiri di sini. Aku ga mau ditinggalin sendirian."
"Oke. Kalau gitu kita omongin lagi besok ya gimana gimananya. Sekarang istirahat aja," ujar Mina sambil menarik lampu di atas nakas dan mematikannya.
"Hmm!" Yungi mengumam sambil merebah.
Keduanya menutup mata. Mereka harus membuat energi untuk menghadapi besok.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!