"My baby Hanny, oh my darling." teriak Alena memanggil Hanna.
Hanna keluar dari rumahnya, ia kesal dengan teriakkan Alena yang bak toa masjid.
"Jangan teriak-teriak, bisa kan?" tegur Hanna sembari membuka pagar rumah, Alena hanya cengengesan tidak jelas langsung masuk ketika pagar dibuka.
Alena pelajar yang baru naik kelas dua bulan yang lalu, tapi ia berniat untuk tidak melanjutkan pendidikan alasannya ia terlalu bodoh untuk belajar. Alena mempunyai sahabat yang tiga tahun lebih tua darinya. Hanna, gadis muda yang melanjutkan ke bangku kuliah dengan mengambil jurusan akuntansi yang kini sudah duduk di kelas semester 2. Mereka berdua dekat sejak Hanna menjadi tetangganya, terkadang Hanna menyesal telah mempunyai teman seperti Alena.
Tapi sekarang Hanna bersyukur atas kehadirannya, karena Hanna terus tertawa ketika bersama Alena. Selain kelakuan Alena yang receh, ia juga suka Alena yang selalu menggangu orang pacaran.
"Bunda kemana, Han?" Alena sudah terbiasa memanggilnya nama.
"Lagi arisan di rumah Bu Devi." jawab Hanna menutup kembali pagarnya.
Alena hanya menganguk-angukan kepala. "Han main keluar yuk, bosan di sini." celetuk Alena.
Astaga padahal ia baru nginjak di terlas rumah Hanna dan apa katanya? Bosan? Hanna menghela napas sabar. Hanna lebih baik kuliah dari pada libur, ia terlalu lelah mengikuti keinginannya.
"Lo kenapa gak sekolah aja sih?" tanya Hanna sedikit menaikkan nada bicara.
Alena cekikikan. "Kan sekarang hari minggu." jawabnya. "Ayo ih, gue tunggu di sini." lanjut Alena duduk di tembok yang tingginya satu meter.
Hanna langsung masuk tanpa ada niatan meliriknya bahkan menjawab. Alena tertawa tanpa dosa, kini gadis itu melihat bunga hias yang sangat menarik perhatian. Matanya menyapu mencari bunga lain, lalu ia pokus kembali pada bunga yang awal. Kelakuan Alena sekarang seperti maling yang sedang waspada akan sekitar, kakinya mengedap-edap menuju bunga yang menarik perhatiannya.
Alena bersiap-siap untuk mencabut bunga tersenyum, namun suara Hanna mengangetkannya.
"Oh jadi Alena pelakunya!" tudung Hanna, Alena langsung menatap wajah Hanna yang tampak marah.
Alena mengeleng cepat. "Bukan, bukan gue sumpah." ucapnya sembari mengerakan tangan, mengibaskan.
"Terus siapa lagi kalo bukan lo? Udah jelas-jelas lo mau cabut bunga itu." Hanna kembali menuduh.
Alena mengacukan dua jari membentuk huruf V. "Bukan gue sumpah, Han." kata Alena sembari nyengir.
Hanna memicingkan mata. "Buruan katanya mau main keluar." Hanna melupakan bunga itu, kini ia ingin melepaskan amarah. Alena selalu mengelak jadi Hanna memakluminya, meskipun begitu Alena selalu menggantikan dengan mawar putih.
Alena menganguk. Alena hanya ingin menggantikan bunga mawar merah menjadi putih, tapi caranya salah. Padahal halaman rumah Hanna tapi kenapa Alena tidak suka dengan bunga mawar pemilik rumah, malah ingin menggantikan dengan bunga kesukaannya.
Alasan Alena tidak suka mawar merah itu karena ia selalu mengingat masa lalu, jadi dia lebih menyukai bunga mawar putih yang melambangkan persahabatan mereka berdua.
"Buruan!" teriak Hanna menyadarkan Alena yang bengong.
"I-iyaa ih bawel!" Alena langsung berlari menghampiri Hanna dan merangkulnya mesra.
"Lepasin, gue mau buka pagar," ucap Hanna yang membuat Alena melepaskan rangkulan. Hanna membuka lagi pagar rumah, kepalanya mengeleng kala melihat Alena ngacir dari hadapannya, lalu menutupnya kembali.
Hanna menyusul Alena yang sudah jauh beberapa langkah, ia penasaran pagi hari seperti ini ingin berjalan-jalan kemana tuh anak.
Langsung saja Hanna menayainnya.
"Emang kita mau kemana sih?" tanya Hanna.
Alena menghentikan langkah, lalu menghadap ke arah Hanna. "Kita?" Hanna menganguk. "Lo aja kali," ucapnya sembari tertawa, ia melanjutkan kembali jalannya.
Gadis itu tersadar kalo sahabatnya berdiri di tempat tadi, langsung saja ia berlari menghampiri tapi Hanna malah membalikkan badannya.
Alena mempercepat larinya. "Ihh sahabat gue mah baperan amat. Ayolah jangan ngambek nanti manisnya ilang," bujuk Alena sembari merangkul dan berjalan lagi.
"Lagian lo gitu sama gue," balas Hanna.
"Engga ih becanda tau! Kita mau ke Taman Bermain," jelas Alena.
"Terus lo ganggu orang pacaran lagi kan?" tebak Hanna yang dianguki Alena.
"Menang karma puas lo," maki Hanna, dia menghentakkan kaki kesal.
"Menang amal kebaikan atuh."
...***...
Kini mereka sudah sampai di taman bermain, banyak anak-anak yang main bersama keluarga kecilnya. Banyak sekali tempat untuk bermain mulai dari perosotan, ayunan, panjat tebing, tempat melukis dan lain sebagainya.
Pantas saja taman bermain sangat ramai karena ini hari minggu, hari di mana orangtua anak mereka libur kerja dan hari ini lah para orangtua mengajak buah hatinya bermain. Alena sangat iri melihat anak-anak bermain dengan orangtuanya, ia juga ingin seperti itu tapi sayang Alena belum membicarakan ini kepada orangtuanya.
Alena tertawa sembari menatap Hanna, mereka sama-sama sibuk kembali. Hanna mencari tempat duduk dan Alena mencari mangsa, lama sudah berjalan-jalan akhirnya menemukan tempat duduk.
"Duduk di sana, Na." Hanna menunjuk bangku yang kosong.
Alena mengikuti arahan Hanna kemudian menganguk. "Tapi jajan dulu, hayuk!" ajak Alena membelokkan arah jalan.
"Nanti tempatnya ada yang nempatin, Alena!" tegas Hanna.
Alena menganguk. "Emangnya lo gak cape sekaligus gak lapar gitu? Kan enak duduk sambil makan." jawab Alena.
Hanna menatap sebal, ada saja jawaban yang dilontarkan padanya. Tapi meskipun begitu, jawaban Alena selalu ada benarnya juga. Sekarang ia juga butuh makanan.
"Mau beli apaan?" tanya Alena, binggung harus membeli apa. Di depannya ada tukang batagor, cilor dan masih banyak lagi.
"Beli batagor aja lah biar kenyang." jawab Hanna melangkah ke arah Mang Batagor. Alena masih binggung dengan jajanan apa yang ia beli, kemudian ia melangkahkan ke tukang dagang yang paling ujung.
"Bang batagornya lima ribu ya, pedas." pesan Hanna yang dianguki Mang batagor. Lama Hanna menunggu karena yang membeli bukan dirinya saja, ia menunggu enam menit tanpa melihat keadaan Alena di mana.
"Lima ribu ya, neng?" tanya ulang Mang Batagor, Hanna menganguk sembari menyimpan uang lima ribu.
"Ini neng." Mang batagor menyodorkan pesanannya.
"E-eeh ini milik gue!" pekik Hanna ketika batagor miliknya diambil cowok yang baru saja datang.
"Apaan sih siapa cepat dia dapat." jawab cowok itu.
Cowok memang seperti itu, selain tidak mau kalah, mereka juga tidak mau mengantri. Sudah lama Hanna menunggu bagiannya, eh cowok itu malah seenak jidat mengambil bagian Hanna. Bukan tak mau mengalah hanya saja Hanna lelah yang berdiri terus sedari tadi, wajar kalo Hanna tidak terima itu.
Cowok itu menatap Hanna tidak suka, mungkin karena ia tidak mau kalah. Padahal dirinya yang tidak mau kalah, sudah tidak mengantri sok ngatur pula. Tapi tidak dengan teman cowok itu ia hanya meringis menahan malu akan kelakuan temannya itu terhadap seorang wanita.
"Lo kalo mau, ya pesan dulu dong gimana sih?" Hanna mulai marah. Enak saja main ngambil, lelah ia menunggu sekian lama.
"Bang ini berapa?" tanya cowok itu pada Mang Batagor.
"Apaan sih ini punya gue!" geram Hanna mengambil batagor dari tangan cowok itu, tapi cowok itu malah menjauhkannya.
"Jang itu punya si eneng," jawab Mang batagor.
"Gak bisa, ini milik gue!" tekan cowok itu gak mau kalah.
"Udah kasih aja lagian kita belum pesan." tegur teman cowok itu. Tapi cowok itu mengeleng keras, menatap wajah Hanna dengan tatapan tidak suka.
Plak!
Cowok itu merintis kesakitan ketika ada yang memukulnya dari belakang. Padahal temannya tidak pernah memukul sekeras ini, kemudian dia menatap wajah temannya tapi temannya malah menatap seseorang yang dibelakang cowok itu sebelah kiri. Ternyata itu ulah Alena, Hanna menatap Alena yang menenteng kresek makanan di tangan kirinya.
"Ini milik temen gue!" sambar Alena sembari mengambil paksa batagor. Membuat cowok itu marah, terlihat dari urat lehernya.
"Lo jadi cewek kasar bener!" maki cowok itu.
"Lo jadi cowok lembek bener, lawak lo?" jawab Alena tidak mau kalah.
...***...
...TBC...
"Lo jadi cowok lembek bener, lawak lo?" jawab Alena tidak mau kalah.
Alena menatap Hanna. "Udah bayar?" tanya Alena yang dianguki Hanna, langsung saja Alena menarik tangan Hanna, menjauh dari lelaki tidak tahu malu.
"Goblok lo!" teriak cowok itu ketika Hanna menginjak kakinya. Hanna mengulurkan lidah, untung Alena datang tepat waktu.
"Na, lo berani bener nabok orang," celetuk Hanna ketika sudah jauh dari orang aneh itu.
"Kalo dia ngelunjak gue bisa apa?" Alena malah menanya kepada Hanna.
Hanna tidak menjawab. "Lo beli apaan?" tanya Hanna sembari melihat plastik yang ditangan Alena.
Alena mengacungkan plastik. "Oh ini?" singkatnya. "Beli otak-otak lima ribu, cilor lima ribu sama kupat tahu delapan ribu terus teh manis deh empat ribu dapet dua." lanjut Alena yang membuat Hanna melonggo.
"Itu bakalan habis?" tanya Hanna yang dianguki Alena.
"Habis dong ya kali begini doang." jawabnya.
Hanna mengelengkan kepala tidak percaya. "Lo mah badan kecil makan kek sapi," ujarnya.
"Yang penting tenaga kuli," kata Alena sembari tertawa.
"Tuh kan tempatnya ada yang ngisi!" kata Hanna menatap Alena. Alena menghentikan tawa, ia langsung menatap dua orang yang sedang berpacaran.
Alena tersenyum miring, akhirnya mangsa sudah di depan mata!
Gadis itu memberikan kresek hitamnya pada Hanna. Hanna yang sudah tau apa yang ada di otak sahabatnya itu, langsung saja menerima kresek tanpa bantahan.
Alena menyarankan untuk menunggunya di sini sebentar, setelah dua orang itu pergi baru bisa duduk dengan enak. Hanna hanya menuruti apa kata Alena saja, dari pada ikut hanya membuatnya malu lebih baik cari aman saja.
Alena berjalan ke arah dua orang itu dengan santai, sesampainya dihadapan dua orang itu Alena menyimpan kedua tangannya dipinggang tidak lupa dengan muka.
Songongnya.
"Kenapa?" tanya cewek itu.
Alena menatap wajah cowok itu dengan perasaan penuh amarah. Jago bener ya ektingnya. Lalu berkata. "Jelasin sama gue cewek sialan ini siapa?" teriak Alena tanpa mengundang perhatian, tangannya menunjuk cewek yang duduk manis.
Cowok itu kebingungan, tidak tahu harus menjawab apa. Kenal saja tidak dengannya, jadi kenapa harus menjelaskan.
"Gue-"
"Halah alesan! Cara selingkuh lo murahan tau gak!" Alena mulai memancing amarah ceweknya itu.
"Lo siapa?" tanya Cewek itu.
Alena menatap tajam cewek itu. "Gue pacarnya! Kenapa panas?" jawab Alena tidak santai.
Cewek itu menutup mulutnya kaget atas ucapan Alena, lalu menatap wajah cowoknya seperti meminta penjelasan.
"Jelasin!" teriak cewek itu. Tanpa belas kasihan, Alena tersenyum miring dan tertawa dalam hati. Putus aja lah putus!
"Sayang aku gak kenal sama dia, sumpah." jawab cowok itu sembari menujuk Alena. Kini Alena menunjukan wajah marah.
"Tapi dia bilang pacar kamu! Kamu tega!" kata cewek itu sembari memukul dada bidang cowoknya.
"Sekarang lo boleh pergi dari sini, gue muak sama lo. Kita putus!" ucap Alena menekankan kata putus.
Cewek itu menangis, lalu pergi dari hadapan Alena, sebelum pergi ia menatap wajah cowoknya dengan tatapan kecewa. Setelah ceweknya pergi, cowok itu menatap tajam Alena, bersiap-siap untuk mengejar tapi ucapan Alena menghentikannya.
"Semoga tidak putus ya." ujar Alena santai.
"Lo– Sial!" geram cowok itu, lalu pergi menyusul pacarnya.
Alena duduk di bangku taman, lalu ia menatap sahabatnya yang sedang berdiri tak jauh dari tempat ia duduk.
"Skuy baby, sini udah kosong." ucap Alena menepuk samping bangku yang kosong, dia terkekeh ketika Hanna melangkah.
Hanna menghela napas, ia kasian dengan cewek tadi yang menangis. Tapi ia juga senang bisa duduk dengan enak, tanpa harus berdebat.
"Na, lo jahat tau gak." tegur Hanna ketika sudah duduk disampingnya.
"Lagian pacaran di sini, norak." jawabnya sibuk mencari otak-otak.
"Lo gak kasian gitu sama tuh cewek, tadi dia nangis loh," lanjut Hanna.
"Gue lebih kasihan sama lo yang makan tanpa duduk." jawab Alena yang membuat hati Hanna mengeleos. Bukannya baper hanya saja ia terkesan dengan jawaban Alena.
Katakan saja Alena tidak punya hati pada oranglain, tapi ia mempunyai hati untuk sahabatnya itu. Hanna sesekali bersyukur memiliki sahabat seperti Alena, ia tidak hanya pandai menghibur tapi ia juga ikhlas dalam pertemanan. Tanpa melihat keadaan, rupa ataupun itu. Tapi terkadang ia sebal dengan sifat Alena, di mana ia selalu memikirkan perasaan dirinya sendiri tanpa memikirkan perasaan oranglain.
"Makan, gak lapar kah?" ucap Alena membuyarkan lamunan Hanna. "Dih, malah bengong." lanjut Alena sembari menyuapkan otak-otak, ia memberikan teh manis pada Hanna.
"Makasih." singkat Hanna.
Alena mengerutkan kening. "Why? Gue gak ngasih cilor ya, gue cuma ngasih teh manis." kata Alena dibarengi tawa. Kalo soal makanan dia tidak bisa berbagi, sekalipun itu Hanna.
"Makasih untuk semuanya." ucapan serius itu membuat Alena menghentikan tawa.
"Kenapa sih? Ada apa?" tanya Alena yang kebingungan dengan sahabatnya itu.
Hanna mengeleng pelan. "Gak papa." ucapnya sembari membuka batagor.
"Kupat tahu makannya berdua ya," tawar Alena.
Hanna mengerutkan alis. Tumben. Dia mengeleng pelan. "Gak ah!" tolaknya halus.
"I-iih kok jahat banget," lirih Alena. "Tapi baguslah kalau begitu, gue senang. Solanya tadi cuma basa-basi doang." lanjut Alena tersenyum menampilkan giginya.
Hanna tertawa. "Lawak bener," sahutnya membuat Alena tertawa lagi.
"Lo kan yang tadi mukul gue?" tanya seseorang cowok yang membuat mereka berdua menatapnya.
Ternyata cowok itu adalah cowok tadi di tukang batagor, Alena menghela napas kenapa harus dipertemukan lagi dengan orang seperti dia.
"Apa? Ada masalah sama lo?" tanya balik Alena.
Plak!
Alena menatap Hanna yang memukulnya pelan. "Apaan sih emang gue salah ya?" tanya Alena kepada Hanna.
"Heh, lo itu harus sopan tau sama orang yang gak dikenal," tegur Hanna pada Alena.
"Dengerin tuh!" seru cowok itu.
"Terus cowok itu harus gue sopanin gitu? Kan dia duluan yang gak sopan." sanggah Alena.
"Lo itu cewek!" cowok itu meninggikan nada bicara.
Alena menyimpan otak-otak, lalu ia berdiri menatap tajam cowok itu. "Terus kalo gue cewek, lo apa? Banci?" tanya Alena tanpa rasa takut. Lagi-lagi Hanna harus melerai perdebatan.
Cowok itu mengangkat tangan berniat untuk memukul Alena, tapi Alena lebih dulu memukul perutnya hal itu membuat Hanna berdiri.
"Anjing banget sih lo!" maki cowok itu, teman cowok itu menahannya agar tidak terpancing amarah.
"Apa lo!" seru Alena, Hanna langsung menahannya. Ia tidak mau Alena menunjukan sisi kelainannya, bisa gawat nanti.
"Udah! Lo bisa kena masalah kalo mukul tuh cewek," tahan temannya.
"Udah ih jangan berantem, malu!" ucap Hanna melihat sekitar, karena mereka sedang ditaman bermain pasti banyak pasang mata menatap mereka berempat.
"Tapi dia duluan, Han!" sahut Alena menunjuk kedua orang itu.
"Kamu, bawa temen kamu pergi!" perintah Hanna yang dianguki teman cowok itu.
Cowok itu terus menolak sepertinya ia ingin memukul wajah Alena yang mengejeknya itu. Alena menjulurkan lidahnya.
"Awas lo!"
"Gue gak takut, setan."
"Mulutnya!" tegur Hanna sembari mencomot bibir Alena.
"I-ih Hanna," rengek Alena.
"Mulutnya sih lemes bener," sahut Hanna kembali duduk.
Alena duduk. "Tapi gak gitu juga kali ih, mana asin lagi tangan lo." jawab Alena membuat Hanna mengeplaknya.
"Enak aja," elak Hanna tidak terima.
"Ih Hanna mah maen geplak-geplak wae, sebeul mama gigit nih. Aww," Alena tertawa setelah berkata itu.
Hanna tertawa. "Apaan sih? Kenapa jadi ke yang di tiktok!" lagi-lagi mengaplok punggung Alena.
"Ihh Hanna mah susah dibilangin!"
"Lagian lo gitu sama orang,"
"Tapi kan dia yang duluan!"
"Tapi kamu yang salah,"
Alena mengeleng. "Gak, Alena gak salah, cowok rese itu yang salah. Titik." sambar Alena.
Hanna menganguk, dia mengalah. "Buruan habisin. Kita pulang, takut Bunda nyariin." dia mengganti topik pembicaraan.
"Ishh, baru juga makan tiga biji otak-otak." ucap manja Alena, dia memasukan otak-otak ke mulutnya.
Hanna tertawa dengan perilaku Alena. "Ya makanya habisin, siapa suruh jajannya banyak banget." sahut Hanna.
"Ya kan biar kenyang, gue belum makan dari tadi tau!" curhat Alena, kini beralih membuka kupat tahu.
"Gue gak nanya!" celetuk Hanna membuat Alena memanyunkan bibir. "Aduh ini bibir!" gemesnya mencomot bibir Alena.
"Ihh, Hannaaa nyebelin banget!" teriak Alena kesal, mengembungkan pipi.
...***...
TBC
...***...
...Terapkan kewaspadaan sebelum kehilangan, karena tidak ada yang bisa dikatakan ketika sudah kehilangan....
...***...
...♥ 🙆♀️...
Alena tidak hanya receh tapi ia juga sangat nakal. Padahal mereka sudah dua kali ketimpa masalah. Di mana ia memukul orang yang tidak dikenal. Bagaimana kalo cowok itu dendam padanya lalu pada suatu saat ingin membalas dendam, ah tidak bisa dibiarkan. Hanna kini tidak lagi sabar, ia ingin segera pulang agar Alena tidak melakukan kesalahan lagi. Ia membayangkan bagaimana kalo Alena membuat masalah lagi, Hanna mengeleng cepat hal itu dilihat oleh Alena.
"Na, lo sakit?" Alena khawatir.
Hanna mengeleng lagi, kemudian berkata. "Na, lo jangan buat lagi masalah ya. Gue capek." pintanya yang dianguki Alena.
"Tapi lo gak papa kan?" tanya Alena lagi.
Hanna mengelengkan kepala, akhirnya Alena kena tipu juga. Hanna terlalu lelah dan juga ia tidak ingin mendapat imbasnya. Walaupun demikian Alena tidak akan pernah membuat Hanna mendapatkan imbas atas kelakukan dirinya.
Dulu saja ketika pulang bermain, Alena melihat anjing tetangga yang di rantai dan Alena berniat ingin melepaskan rantai itu, kesialan datang pada Alena, dia pikir anjing itu baik ternyata sebaliknya. Hanna yang sebal akan perbuatan Alena hanya berlari kencang, tapi siapa sangka sahabatnya mengalihkan perhatian anjing tetangga untuk tidak mengejar Hanna yang ingin memanjat pohon. Ketika Hanna sudah naik pohon dan Alena yang asik berlari dikejar anjing, ia hanya tertawa. Untung saja pemilik anjing itu datang tepat waktu dan membawanya pulang. Sempat melirik Alena dengan tatapan tajam, tapi sayang Alena tetap Alena tidak pernah takut.
"Ya udah ayo, katanya mau pulang." ajak Alena kini ia berdiri, lalu menyodorkan tangan.
Hanna berniat untuk menerimanya tapi Alena malah menepuk telapak tangan. "Bukan tangan lo, tapi itu sampah." ucapan Alena membuat Hanna menatapnya sebal.
"Jangan main lah, panas nih!"
Alena tertawa langsung saja ia membantu Hanna bangun, kini taman bermain tidak seramai tadi pagi di mana banyak anak-anak yang bermain. Sekarang hanya ada sebagian saja, mungkin sudah pada pulang karena hari sudah siang bahkan sudah mau sore. Alena menyapa ibu-ibu yang ada di taman itu, sesekali ia melemparkan senyum.
Kini mereka berjalan santai, tadinya Alena ingin berlari tapi Hanna tidak ingin dengan alasan capek, panas. Tidak jauh dari taman bermain terlihat dua orang bocah kecil sedang bermain kelereng. Langsung saja Alena berlari menghampiri dua bocah itu, tanpa memperdulikan Hanna yang meneriaki agar menunggumya.
"Oy main apaan?" sapa Alena sok akrab ketika sudah sampai dihadapan kedua bocah.
"Main kelereng, Kak." jawab bocil itu.
"Kenapa kak, mau main?" tanya teman bocah itu, Alena menganguk, hal itu membuat bocah itu tersenyum.
"Ada kelerengnya?" tanya lagi teman bocah itu. Kini Alena mengeleng, ia tidak membawa kelereng. Padahal ingin bermain dengan mereka.
"Ya udah jangan main liatin aja," ucapnya sembari melanjutkan mainnya.
Alena menghela napas, kemudian ia berjongkok memainkan tangannya ditanah. Hanna yang melihat itu hanya terkekeh geli, ia tau kalo Alena tidak ada kelereng untuk bermain.
"Kenapa lo?" tanya Hanna pura-pura tidak tahu.
Alena menatap Hanna. "Na, lo duluan ya, jalannya agak cepet." celetuk Alena.
Hanna menatapnya sebal, sudah tau ia lelah malah menyuruhnya jalan cepat. Hanna berpikir keras sembari berjalan meninggalkan Alena sendirian di sana. Hanna masih bergulat dengan pikirannya, beberapa detik kemudian ia tersadar. Pasti Alena mau buat masalah lagi. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan terjadi. Hanna yang tadinya hanya berjalan santai, kini melangkah setengah berlari ia ingin segera jauh dari tempat Alena berada.
Alena yang melihat Hanna berjalan setengah berlari hanya tersenyum manis, kemudian melihat dua orang bocah itu yang sedang bermain kelereng. Alena memikirkan hal apa yang akan membalas perbuatan teman bocah itu, ia menatap sekeliling dan matanya kini pokus pada kelereng yang sekeler astor.
Alena tersenyum miring menampilkan selamat andalannya, ia tahu hal apa yang akan diberikan pada bocah itu. Alena berdiri menghampiri wadah keler itu, tapi bocah itu malah menatap Alena. Takut kelerengnya di curi, langsung saja Alena berteriak mengalihkan tatapan bocil keramat itu.
"Oy bocah, main yang pokus, nanti lo kalah!" teriak Alena mengalihkan pandangan bocah itu.
Bocah itu malah menatap Alena terus, membuat Alena salting. Takut bocah itu tau rencana buruk yang Alena. Bocah itu kembali pokus ketika temannya memanggil, setelah bermain dan giliran temannya ia kembali menatap Alena yang masih dengan posisi tadi. Tatapannya seperti mengartikan 'Awas aja kalo ambil kereleng'.
Alena menatap sebal wajah bocah itu, padahal ia sudah berwaspada untuk tidak ketahuan apa rencananya, tapi bocah itu terus menatapnya hal itu membuat Alena menghela napas panjang.
"Oy buruan giliran lo!" panggil teman bocah itu yang membelakangi Alena.
Kini mereka berdua sibuk dan pokus pada permainannya, bocah itu tidak lagi menatap Alena. Ia pikir mungkin Alena adalah orang baik. Tanpa pikir panjang Alena membungkuk dan mengambil semua kelereng itu.
Alena tersenyum senang ketika sekeler kelereng sudah ada dipelukannya ditambah kedua bocah itu masih sibuk bermain kelereng, dengan panik Alena berlari dan berteriak. "Kakak pulang duluan ya, takut hujan!"
Kedua bocah itu menatap langit, tidak ada tanda akan hujan. Langit yang cerah dan panas, sungguh lelucon kakak yang satu ini.
"Mana ada hujan! Panas gini!" tembal teman bocah itu.
Kedua bocah itu menatap kepergian Alena, kemudian bocah itu berkata. "Bentar mau ganti dulu kelerengnya yang ini jelek, gak enak mainnya." ucapnya langsung berlari ke arah di mana kelerengnya berada.
Sesampainya di sana, kelereng milik bocah itu tidak ada. Bocah itu mencari kelereng miliknya, padahal baru saja ia membeli kereleng tadi pagi.
Sadar akan sesuatu kemudian bocah itu berteriak. "MAMA KAKAK ITU NYURI KELERENG!"
Teriakan bocah itu terdengar oleh Alena, untung saja ia sudah jauh dari tempat itu kalo tidak bisa dikejar. Hanna yang melihat Alena membawa sekeler kelereng melongo tidak percaya, ia panik bagaimana kalo kedua orang tuanya mencari Alena dan melaporkan ke polisi karena mencuri.
Hanna menghalangi langkah Alena. "Why?" tanyanya santai.
"Bagaimana kalo bocah itu lapor sama bapaknya, terus lo di pukul?" kini Hanna yang bertanya.
Alena mempercepat langkah. "Gak bakalan bisa, kan mereka gak ada bukti kalo gue yang bawa ini kelereng." jawaban Alena membuat Hanna gatal ingin mencabuknya.
Hanna tidak habis pikir dengan Alena, bisa-bisanya ia bertindak sebelum berpikir. Bagaimana kalo bapak bocil itu benar-benar mencari Alena? Hanna pastikan tidak akan ikut campur.
Hanna menyuruh Alena untuk berjalan di depan, ia terlalu muak dan lelah dengan semua ini. Tidak bisakah sehari saja tanpa harus membuat masalah? Gadis itu mengeleng-gelengkan kepala, memijit pelipisnya yang pening akibat kelakuan Alena.
Kini mereka sudah hampir sampai dirumah Alena, yang dari luar terlihat sederhana tapi dari dalam sangatlah menarik rasa iri. Tak jauh dari jarak mereka berjalan, ada tetangga yang sedang menyapu halaman dan bertanya pada mereka.
"Dari mana neng?" tanyanya.
"Dari tadi, bu," jawab Alena, membuat Hanna mengeplaknya. Orang yang menanya hanya terkekeh, sudah terbiasa dengan kelakuan Alena.
"Habis dari Taman bermain," jawab Hanna sopan.
Ibu-ibu itu adalah tetangga Alena sekaligus tetangga beberapa meter Hanna. "Bawa apaan neng?" lagi-lagi ibu itu bertanya.
"Si ibu kepo deh, ini kelereng hasil curian." balas Alena tanpa dosa. Hanna yang melihat itu hanya tersenyum masam menahan malu.
"Duluan, Bu. Mari," pamit Hanna langsung menarik paksa Alena. Sungguh sudah putus urat malu Alena, atau bahkan Alena tidak mempunyai urat malu sehingga ia berperilaku seperti tadi.
Alena menatap heran, padahal jawabannya tidak salah, hanya sedikit memalukan. Dia mengangkat bahu acuh, melanjutkan langkahnya yang sebentar lagi sampai. Terlihat rumah Alena beberapa langkah lagi, Hanna langsung mendorong Alena ke dekat pagar rumahnya.
Alena menghela napas, menatap kepergian Hanna mungkin sampai di sini ia bermainnya. Hanna berjalan tanpa melihat kebelakang, ia sudah tidak peduli lagi dengannya. Hanna lelah.
Alena membuka sedikit pagar dan menololkan kepalanya ke dalam rumah, terlihat Mama yang sedang duduk diayunan.
Mama menatapnya, tapi Alena hanya tersenyum lalu menunda sekeler kelereng itu.
Kemudian ia berkata. "MAMA ALENA MAIN DULU KE RUMAH HANNA YA," teriak Alena.
Hanna yang mendengar itu langsung membalikan badan dan menyimpan tangannya di pinggang. Hal itu membuat Alena berhenti mendadak karena melihat ekspresi wajah Hanna yang sedang menahan marah. Sangat tidak bersahabat.
Alena paham apa yang dipikirkan sahabatnya, Hanna tidak ingin bermain dengan Alena. Mungkin sudah lelah, gadis itu terkekeh lalu mendekat pada Hanna.
"Hanna, kalo ada tamu yang mau main itu harus disambut dengan baik, jangan digituin gak sopan." pesan Alena tidak digubris sama sekali.
Hanna langsung membalikan badan dan melanjutkan langkah, yang di susul oleh Alena dibelakang mengekornya. Setelah sampai di depan rumahnya, Hanna membuka pagar dan tanpa tau diri Alena masuk duluan.
...***...
...TBC ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!