NovelToon NovelToon

CARAMIA I Love You

Marcellio Ferdinand Alexander

Suara kamera sejak tadi sesekali terdengar terbawa angin pantai. Di senja itu seorang pria dewasa masih asyik bermain dengan kameranya. Pantai, adalah tempat yang indah untuk dia mengeksplorasi kemampuan memotret yang selama ini terpendam.

Sesekali bibirnya tampak tersenyum lembut saat melihat hasil gambar yang berhasil dia dapatkan. Memotret adalah hobinya, tapi sayang semua itu harus dia pendam dan hanya bisa dia lakukan di waktu tertentu. Karena sebagai pewaris perusahaan besar dia harus tahu aturan yang berlaku.

Marcellio Ferdinand Alexander, pria dewasa yang sudah berusia 31 tahun. Putra pertama dari seorang pengusaha perhiasan yang terbesar di Indonesia. Menjadi seorang anak konglomerat tidak membuat hidupnya bahagia, bahkan hanya untuk sekedar menekuni hobi pun tidak bisa dia lakukan.

Hanya disaat-saat seperti ini Ferdinand menyempatkan diri. Dan pantai, adalah tujuannya.

"Cukup menarik, ini bisa jadi tambahan koleksi," gumamnya seorang diri.

Ferdinand kembali berjalan menyusuri bibir pantai, dimana semakin senja pemandangan dipantai itu semakin indah. Dia membidik kameranya ke berbagai spot yang dia rasa menarik. Hingga tanpa sengaja, lensa kamera itu menangkap sebuah pemandangan yang cukup indah. Seorang gadis dengan pandangan yang melamun jauh ke arah lautan lepas di depan sana.

Ferdinand menurunkan kameranya sejenak dan melirik ke arah gadis itu. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiran Ferdinand disana.

Cekrek

Satu gambar langsung tertangkap kamera Ferdinand, membuat pria itu tersenyum tipis. Sangat estetik dengan background matahari senja dan lautan lepas. Apalagi dengan wajah gadis itu yang terlihat sendu.

Namun, ketika akan mengambil gambar untuk yang kedua kali. Ferdinand dibuat terkesiap karena tiba-tiba gadis itu menoleh ke arahnya.

"Hai, sendirian?" sapa Ferdinand sembari mendekat ke arah gadis itu.

Gadis cantik dengan rambut panjang yang terurai dan sedikit berantakan karena angin pantai. Dia beranjak, berdiri dan memandang Ferdinand dengan ragu.

"Aku gak sengaja lewat disini, lagi ambil foto," Ferdinand berucap sembari menunjukkan kameranya.

Gadis itu terlihat menghela nafas lega dan mengangguk. Mungkin dia berpikir jika Ferdinand adalah orang jahat atau seorang preman. Tapi melihat penampilannya dan juga kamera yang Ferdinand bawa, membuat gadis itu bisa sedikit tenang.

"Gak apa-apa, duduk aja. Aku cuma numpang ambil gambar disini," ujar Ferdinand kembali.

Gadis itu tersenyum tipis dan menggeleng pelan.

"Nggak ganggu?" tanya gadis itu. Suaranya cukup lembut, dan … Ferdinand suka.

"Nggak kok. Malah udah dapat satu gambar kamu, lihat." Ferdinand langsung menunjukkan foto yang berhasil dia tangkap tadi. Membuat gadis itu langsung tersenyum malu.

"Cantik kan, pas banget sama background nya," ucap Ferdinand.

"Hapus aja deh, malu kalau disimpan," ujar gadis itu. Namun, Ferdinand malah tertawa kecil dan menggeleng pelan.

"Janganlah, sayang tahu. Bahkan aku mau minta kamu jadi model kalau kamu mau," tawar Ferdinand.

Gadis itu menggeleng pelan, "gak bakat jadi model."

"Siapa bilang, kamu diam dan melamun aja udah terlihat cantik. Mau ya, daripada galau sendiri. Entar aku kasih uang capek kok." Ferdinand kembali menawar dan mencoba merayu. Padahal ini bukan gayanya, tapi entah kenapa gadis dibalik senja ini terlihat menarik perhatian.

"Beberapa gambar aja," ujar Ferdinand.

Gadir itu tampak terdiam sesaat, menimang-nimang permintaan Ferdinand hingga akhirnya dia mengangguk pasrah.

"Tapi jangan diketawain," pintanya.

Ferdinand tersenyum dan mengangguk. Dia langsung menjulurkan tangannya pada gadis itu, "Aku Ferdinand, kamu bisa memanggilku, Ferdi."

"Caramia," jawab gadis itu sembari menjabat tangan Ferdi.

"Nama yang cantik," pujinya.

Caramia hanya tersenyum simpul dan langsung melepaskan genggaman tangan itu. Dia memalingkan wajahnya saat Ferdinand mulai mengotak atik kembali kameranya.

"Kita mulai," ajak Ferdinand.

Caramia mengangguk, "disini aja?" Tanyanya.

"Iya, kamu agak menghadap kesana ya," ujar Ferdinand sembari mengarahkan tubuh Mia menghadap ke laut.

"Oke, angkat sedikit kepala dan pejamkan mata kamu!" Ferdinand berseru sembari mulai membidik kameranya. Dan, berhasil satu gambar dia dapatkan, dan hasilnya sangat menarik.

Bukan hanya satu, tapi beberapa foto sudah tersimpan di memori kameranya. Foto dari seorang gadis asing yang sama sekali tidak dia kenal. Hingga tidak berapa lama, ponsel Ferdinand terdengar berdering. Bukan sekali dua kali, melainkan sudah beberapa kali.

Dengan malas dia merogoh ponsel dalam sakunya, tertera nama ayahnya disana. Dan panggilan itu sudah ada sekitar lima kali.

Ferdinand menghela nafas, lagi-lagi kesenangannya di ganggu.

Caramia yang melihat itu sedikit heran, "ada apa, bang?" Tanyanya.

"Aku sudah harus pergi, terima kasih untuk waktunya, ya. Semoga kita bertemu lagi. Ini imbalan kamu." Ferdinand menyerahkan beberapa lembar uang merah pada Mia. Membuat gadis terperangah dan langsung menggeleng kuat.

"Bang, ini banyak sekali!" Mia berseru memandang Ferdinand. Namun, pria itu sudah pergi dari sana.

"Gak apa-apa, sesuai dengan hasil yang aku mau. Sampai jumpa!" Seru Ferdinand. Bahkan dia sedikit berlari meninggalkan Caramia seorang diri.

Mia mematung dengan uang yang ada di tangannya. Memandang Ferdinand yang sudah menghilang di balik tumbuhan bakau.

Beberapa saat kemudian, di rumah utama keluarga Alexander. Ferdinand berdiri di hadapan Tuan Alex yang nampak marah. Pria tua itu memandang Ferdinand dengan tatapan tajam.

"Sudah berapa kali aku bilang untuk tidak bermain-main lagi, Marcel!" Bentaknya begitu kuat. Namun Ferdinand tetap diam.

"Beberapa klien kita dan petinggi perusahaan sudah sering mengeluh dengan kinerja mu disana. Kau sudah sering mangkir dari rapat penting dan malah melimpahkan semuanya pada Michael. Sebenarnya apa maumu ha!" Tuan Alex bertanya dengan nada marah.

"Bukannya Michael memang lebih baik dariku, jadi sudah tugasnya untuk mengambil alih itu kan," sahut Ferdinand.

Tuan Alex meradang, dia langsung menampar wajah Ferdinand dengan kuat. "Kau benar-benar tidak bisa diatur. Kau itu anak pertama dikeluarga ini, tapi sama sekali tidak becus!" Bentaknya begitu menggebu.

Ferdinand mengusap wajahnya yang memanas, sepanas hatinya mendengar ucapan Tuan Alex.

"Jika kau tidak bisa mengurus perusahaan dengan baik, maka kau harus segera melanjutkan pertunangan dengan Amira bulan depan," ujar Tuan Alex.

"Aku tidak mau, papa!" sahut Ferdinand.

"Tidak ada bantahan, setidaknya kau bisa berguna untuk perusahaan. Pernikahan bisnis bisa memajukan perusahaan Jewelry." Tuan Alex berkata dengan tegas tanpa ingin dibantah.

"Tidak akan, jika papa mau papa bisa meminta Michael melakukan itu," sahut Ferdinand.

"Kau!" Tuan Alex kembali meradang, dia menarik kamera yang tergantung di leher Ferdinand dengan kuat. "Gara-gara benda sialan ini kau selalu membangkang Marcel! Sudah aku bilang aku membencinya!"

Prak

Mata Ferdinand langsung membesar saat kamera kesayangannya dibanting dengan kuat oleh tuan Alex.

"Papa!" Ferdinand berseru tidak habis pikir. Itu adalah kamera kesayangan Ferdinand, peninggalan dari almarhumah ibunya. Tapi dengan teganya Tuan Alex menghancurkannya?

"Sudah cukup!" seru Ferdinand. "Sudah cukup selama ini aku bersabar dan menuruti semua keinginan papa. Tapi sedikitpun papa tidak pernah mau menghargai apa yang aku mau. Dimata papa hanya Michael dan Michael. Maka sekarang terserah, aku sudah muak berada disini!" Ferdinand berkata dengan segenap perasaannya. Dia berlutut, memunguti kamera yang sudah pecah itu dan langsung pergi dari sana.

"Marcellio!" Teriak Tuan Alex. Namun Ferdinand tidak lagi menghiraukannya. Dia sudah kecewa dan lebih memilih untuk keluar dan pergi dari rumah itu.

Bertemu Kembali

Ferdi memandangi kamera yang sudah tergores di beberapa sisi. Kamera yang sudah pernah rusak karena dibanting dengan kuat oleh Ayahnya beberapa waktu lalu. Kamera kesayangan peninggalan Ibu Ferdinand. Beruntungnya kamera ini masih bisa diperbaiki walau kualitas gambar sudah tidak lagi sebagus dulu. Didalam sini, banyak sekali memori dan kenangan yang tersimpan, terutama tentang semua keindahan yang berhasil Ferdinand dapatkan.

Ferdinand tersenyum tipis ketika melihat-lihat beberapa koleksi foto yang masih tersimpan di kamera itu, dan ketika dia memandang beberapa gambar asing, senyumnya semakin mengembang sempurna. Foto-foto seorang gadis asing yang entah dimana dia sekarang.

"Bang, Ferdi!" Seruan seseorang membuat Ferdinand terkesiap. Dia yang sedang bersantai di dalam mobil langsung keluar saat mendengar Pelangi memanggilnya.

"Iya, nona. Sudah siap ya," Ferdinand menyapa sembari membukakan pintu mobil untuk Pelangi. Nona muda tempat dia bekerja sekarang. Ya, tidak terasa sudah hampir tiga bulan Ferdinand keluar dari rumah keluarga Alexander. Dia memilih untuk hidup sendiri dan bekerja sebagai supir salah seorang pengusaha sukses di negeri itu.

"Kita perusahaan ya, bang. Pelangi mau ajak Mas Arya jalan," ujar Pelangi.

"Siap, Nona," jawab Ferdinand. Dia langsung masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil itu menuju perusahaan Polie. Perusahaan milik pak Arya, bos Ferdinand. Seorang pewaris perusahaan besar bekerja menjadi supir. Mungkin terdengar aneh, tapi ini lebih baik daripada harus bertahan dibawah kaki Tuan Alex.

Tidak lama, hampir satu jam kemudian mereka sudah tiba di perusahaan Polie. Hari sudah mulai sore saat mereka tiba di sana. Dengan sigap Ferdinand langsung membukakan pintu mobil untuk Pelangi. Dia tersenyum dan berjalan bersama Pelangi ke dalam lobi.

"Bang Ferdi ganteng-ganteng kok mau sih jadi supir? Padahal bisa ngelamar jadi karyawan disini," ujar Pelangi sembari melangkah perlahan menaiki beberapa anak tangga. Perutnya yang besar membuat dia kesulitan untuk berjalan.

"Enak jadi supir, Non. Bisa jalan-jalan. Saya suka bosan kalau di ruangan terus," jawab Ferdinand.

"Iya, tapi tampang Abang itu gak cocok jadi supir," sahut Pelangi lagi.

Mendengar perkataan Pelangi, Ferdinand langsung tertawa. Terkadang, dia saja lucu melihat nasibnya sekarang. Punya harta berlimpah tapi malah memilih menjadi supir.

Ferdinand berjalan tanpa memandang kedepan, dia masih fokus pada Pelangi yang mengajaknya berbicara hingga seorang gadis yang nampak terburu-buru tidak sengaja malah menabrak tubuhnya. Tentu saja itu membuat mereka terkejut. Gadis itu hampir oleng karena menabrak tubuh Ferdinand yang besar, namun dengan sigap Ferdinand menangkap tubuhnya hingga gadis itu jatuh kedalam rangkulan Ferdinand. Hanya berkas-berkas yang dibawa gadis itu yang jatuh berserakan keatas lantai.

Mereka saling pandang dan begitu terkejut saat melihat satu sama lain.

"Kamu," ucap mereka bersamaan. Posisi yang terlalu dekat dan begitu intim seperti ini membuat jantung mereka saling berdetak kencang apalagi mereka memang saling mengenal sebelumnya.

"Caramia, kan?" Ferdinand berucap sembari melepaskan tubuh Mia. Ya, gadis yang menjadi foto model dadakan Ferdinand beberapa bulan lalu. Dan tidak sengaja malah bertemu disini.

"Bang Ferdi," gumam Mia pula. Dia juga terkejut melihat Ferdi disini.

"Kalian saling kenal?" Tanya Pelangi, dia memandang Ferdinand dan Mia bergantian. Membuat mereka berdua langsung terlihat canggung.

Namun belum lagi sempat menjawab, kedatangan Arya bersama karyawannya membuat perhatian mereka teralihkan. "Sayang, kamu sudah datang!" Sapa Arya pada istrinya.

"Udah, Mas. Baru aja sampai." Jawab Pelangi.

"Ini kenapa, Mia? Kok berserakan?" Tanya Rangga memandang Mia dengan heran. Dia langsung berlutut untuk memunguti lembaran berkas itu, namun sayang sudah lebih dulu Ferdinand.

Dan karena merasa tidak enak, Mia pun ikut berlutut disana.

"Tadi gak sengaja ketabrak, jadi berserakan." Jawab Mia sembari memunguti berkas-berkas itu. Meski rasanya dia benar-benar canggung sekarang. Semua orang memperhatikan mereka.

Sisa satu lembar, tangan Mia terjulur untuk mengambil berkas itu, namun tiba tiba dia tertegun saat bukan berkas yang dia raih, melainkan tangan Ferdinand yang lebih dulu mengambilnya. Alhasil, Mia dan Ferdinand langsung saling pandang dan tersenyum getir. Mereka berdua terlihat salah tingkah, membuat Pelangi dan Arya tersenyum simpul memandang mereka.

"Ehem… sudah seperti adegan di sinetron saja ya," goda Arya.

Ferdinand dan Mia langsung berdiri dan tersenyum canggung. Mereka hanya bisa saling memandang tanpa ingin berbicara lebih.

"Yaudah, Mas. Udah mau senja, hari juga mendung. Kita pergi sekarang ya. Pelangi kepengen makan bakso," ajak Pelangi.

"Iya, yasudah. Yuk, Fer!" ajak Arya. Namun Pelangi langsung menggeleng cepat.

"Janganlah, kita berdua aja. Pelangi kan pengen kencan. Bang Ferdi anterin Mia aja ya," ujar Pelangi. Dan tentu saja ucapan Pelangi itu membuat Mia dan Ferdinand sedikit terkejut.

"Eh, jangan dong. Gak enak ngerepotin bang Ferdi. Aku … sama kak Rangga aja," jawab Mia.

Rangga langsung mengangguk setuju. Namun Pelangi malah menggeleng kembali.

"Hari udah mau hujan, nanti kamu kehujanan. Kamu gak bisa kena hujan kan. Jadi mending di anter bang Ferdi. Kak Rangga naik motor," ujar Pelangi kembali.

"Nah, bener juga sih. Yauda, gak apa-apa. Memang lebih baik kamu sama bang Ferdi aja, Mia. Aku juga buru-buru nih. Gak papa ya," sahut Rangga pula.

Sungguh demi apapun Mia tidak enak sekarang. Apalagi disaat mereka bertiga meninggalkan Mia begitu saja. Apa mereka tidak tahu jika Mia dan Ferdi sedikit canggung sekarang. Astaga.

Ferdi menoleh kearah Mia, begitu pula dengan Mia. Mereka tersenyum getir satu sama lain. Bahkan Ferdinand sampai menggaruk kepalanya menahan rasa gugup ini. Entah kenapa jadi secanggung ini padahal hampir setiap hari Ferdinand selalu bertanya-tanya keberadaan Mia. Tapi setelah bertemu, ada rasa aneh yang dia rasakan.

"Kita … pergi sekarang?" ajak Ferdinand.

Mia mengangguk pelan, bahkan sampai berada di dalam mobilpun mereka masih sama-sama terdiam.

"Aku gak nyangka kita ketemu disini, kamu kerja di perusahaan pak Arya ya?" Tanya Ferdinand mencoba basa-basi.

Mia mengangguk pelan, "iya bang, Mia magang disana. Abang gimana?" Tanya Mia pula.

"Oh, kebetulan aku supir yang ditugasin pak Arya untuk nganterin Nona Pelangi," jawab Ferdinand.

Mia terdiam, dia tidak menyangka jika Ferdinand adalah seorang supir. Apalagi ketika melihat perawakan Ferdinand. Bahkan waktu pertama kali mereka bertemu, Ferdinand terlihat seperti orang kantoran.

"Mia pikir Abang kerja kantoran atau fotografer," ucap Mia.

Ferdinand langsung tertawa kecil mendengar itu. "Memotret cuma hobi," jawabnya.

Ferdinand menoleh ke arah Mia sejenak, masih sama seperti beberapa waktu lalu. Wajah gadis ini selalu terlihat sendu. Seperti sedang menyimpan beban masalah saja. "Kita makan dulu mau gak?" tawar Ferdinand.

"Gak usah deh bang, pulang aja." jawab Mia.

"Kamu gak lapar emangnya?" Tanya Ferdinand kembali.

Mia menggeleng pelan, namun beberapa detik kemudian, perutnya malah berbunyi. Tentu saja itu membuat Ferdinand terkekeh kecil. "Tuh kan, perut kamu gak bisa bohong," ucap Ferdinand.

Mia tertunduk malu sambil memegangi perutnya. Keterlaluan memang. Padahal dia sudah menahan sebisa mungkin. Benar-benar malu, bahkan Ferdinand memang membawa Mia ke sebuah rumah makan. Cukup mewah, hingga membuat Mia sedikit heran.

"Yuk, turun," ajak Ferdinand.

"Tapi inikan," perkataan Mia terhenti sambil memandang Ferdinand dengan ragu.

"Udah ayo aja, aku udah laper banget." Sahut Ferdinand.

Hingga mau tidak mau membuat Mia hanya mengangguk pasrah dan mengikuti Ferdinand kesana.

Di Dalam restoran pun Mia banyak terdiam, bahkan yang memesan makanan juga Ferdinand. Tidak banyak yang diucapkan gadis itu selain menjawab apa yang ditanya Ferdinand.

"Kamu melamun terus, lagi ada masalah ya?" Tanya Ferdinand.

Mia menggeleng pelan sembari tersenyum tipis, "enggak kok." Jawabnya.

"Aku perhatikan kamu lagi banyak pikiran, sama seperti waktu pertama kali kita bertemu," ucap Ferdinand kembali.

"Nggak ada, bang. Mungkin karena capek kerja aja," jawab Mia. Namun, Ferdinand tahu jika gadis ini pasti hanya berkilah.

Mereka menikmati makanan mereka dalam diam, sesekali diselingi dengan pertanyaan dari Ferdinand, hingga tidak lama ponsel Ferdinand berdering. Dia meraih ponselnya, dan setelah tahu siapa yang menghubungi, Ferdinand kembali menyimpannya ke dalam saku.

"Kok gak diangkat?" Tanya Mia.

"Bukan siapa-siapa," jawab Ferdinand.

Padahal, Michael yang menghubunginya. Entah ada apa lagi, Ferdinand masih terlalu malas untuk berhubungan dengan mereka.

Dia kembali menikmati makanan itu bersama Mia, hingga akhirnya mereka selesai dan langsung pulang dari restoran sebab Mia sudah ingin cepat pulang.

Tanpa mereka sadari ada seseorang yang melihat mereka keluar dari restoran itu.

Amira, calon tunangan Ferdinand.

Menjadi Kekasih Dadakan

Hari sudah hampir gelap saat Ferdi dan Mia tiba dirumah kecil milik Mia. Rumah sederhana sama seperti perawakan gadis ini.

"Terima kasih ya, Bang. Mia jadi ngerepotin Abang hari ini," ucap Mia sebelum dia turun dari mobil.

Ferdinand tersenyum dan mengangguk pelan, "iya, aku gak apa-apa kok. Nggak ada kerjaan juga. Jadi bisa nganterin kamu." Jawab Ferdinand.

"Kalau gitu Mia turun dulu," pamit Mia kembali.

"Oke," jawab Ferdinand.

Dia tersenyum dan terus memandangi Mia yang berjalan kedalam rumah. Dan setelah gadis itu masuk, Ferdinand meraih ponsel didalam sakunya. Sudah sejak dari restoran tadi ponsel itu tidak pernah berhenti bergetar. Dan bisa dia lihat sudah ada berpuluh-puluh panggilan tidak terjawab dari Michael.

Ferdinand menghela nafas, entah ada apa adiknya ini menghubungi dia sampai puluhan kali. Dengan malas Ferdinand mengangkat panggilan itu.

"Apa?" Tanya Ferdinand.

"Pulanglah, kesehatan papa semakin hari semakin menurun. Dia ingin kamu pulang, Kak!" pinta Michael dari seberang sana.

"Aku akan pulang, tapi tidak sekarang," jawab Ferdinand. Dia masih terlalu kecewa dengan papanya itu.

"Kak, kamu tidak kasihan melihat papa? Sudah berbulan-bulan kamu tidak pulang!" Michael terlihat marah diseberang sana. Namun, sama sekali tidak membuat hati Ferdinand terketuk. Dia bahkan ingin mematikan panggilan itu, namun suara ayahnya membuat niat Ferdinand terhenti.

"Marcel! Aku tidak akan lagi memintamu untuk menikah," ucap Tuan Alex.

Ferdinand terdiam.

"Aku hanya ingin kau pulang, dan mengurus perusahaan. Jika kau memang sudah punya pilihan sendiri, kau bisa membawanya padaku. Umurku sudah tua, Marcel. Kau ingin melihatku mati seperti ini?" Tanya Tuan Alex. Suaranya terdengar lemah. Dan sebenarnya Ferdinand tidak tega, namun rasa kecewa itu masih begitu besar.

Baru saja akan menjawab, tiba-tiba Ferdinand mendengar suara samar-samar dari dalam rumah Mia. Dia mengernyit, apalagi ketika mendengar suara tangisan Mia disana.

"Marcel! Kau mendengar ku, bukan?" Seruan Tuan Alex kembali terdengar.

"Aku akan pulang nanti." Jawab Ferdinand, bahkan tanpa mengucapkan apapun lagi dia langsung mematikan panggilan itu. Pikirannya sudah panik mendengar suara teriakan Mia didalam rumah.

Ferdinand keluar dari mobil dan langsung berlari kerumah Mia. Dia membuat pintu dengan cepat, mencari dimana keberadaan Mia. Hingga ketika melihat pintu kamar yang terbuka, dia bisa melihat jika Mia sedang memeluk ibunya yang sudah tidak berdaya tergeletak di atas lantai.

"Mia ada apa?" Tanya Ferdinand sembari berlutut disamping Mia.

Mia menangis, memandang Ferdinand dengan wajah memelas dan takut. "Abang, tolong ibu. Ibu pingsan. Mia gak tahu kenapa. Tolong, Bang," pinta Mia dengan Isak tangis yang tak bisa dia tahan.

"Iya, kita bawa kerumah sakit." Ferdinand langsung meraih tubuh ibu Mia dan membawanya ke mobil.

Mia menangis, mengikuti Ferdinand untuk membawa ibunya. Dia terlihat sangat panik dan ketakutan. Saat masuk kedalam rumah, dia sudah menemukan ibunya tergeletak di atas lantai.

Hingga akhirnya, malam itu juga Ferdinand membawa ibu Mia kerumah sakit. Keadaan ibu Mia sudah tidak berdaya. Bahkan wajahnya sudah seperti mayat hidup. Sangat pucat dan mulai menguning. Nafasnya juga sudah lemah, hal itu yang membuat Mia sangat cemas. Sepanjang jalan dia terus menangis memeluk ibunya.

Hampir satu jam kemudian, mereka sudah tiba disalah satu rumah sakit terbesar di kota itu. Ibu Mia sudah dibawa keruang pemeriksaan. Sedangkan Mia dan Ferdinand menunggu di depan ruangan itu.

"Tenanglah," ujar Ferdinand. Dia mengusap lembut bahu Mia yang masih terlihat lesu. Tangisnya sudah mereda, hanya tinggal menyisakan wajah cemas saja. Ya, Ferdinand tahu apa yang Mia rasakan, dia sudah pernah berada di posisi ini saat ibunya sakit beberapa tahun yang lalu.

"Mia takut, Bang. Mia takut ibu kenapa-kenapa," ucap Mia.

"Ibu pasti baik-baik aja," jawab Ferdinand berusaha untuk menenangkan Mia. Meski dia sendiri tidak yakin jika Ibu Mia baik-baik saja, mengingat keadaannya yang begitu lemah.

Hampir setengah jam mereka menunggu, hingga seorang dokter keluar dari ruangan itu. "Keluarga Ibu Kasih!" Panggilnya.

"Saya anaknya, Dokter." Mia langsung mendekat kearah dokter wanita paruh baya itu. Begitu pula dengan Ferdinand.

"Keadaan Ibu Kasih cukup buruk, ginjalnya sudah terlalu rusak dan sudah merambat ke organ vital yang lain. Kita harus segera menanganinya, mbak," ungkap dokter wanita itu.

"Dokter, tolong lakukan yang terbaik untuk ibu saya," pinta Mia.

Dokter wanita itu mengangguk, "kami akan melakukan tindakan operasi. Mohon untuk melunasi administrasi lebih dulu," jawab dokter itu.

"Berapa biayanya dokter?" Tanya Mia. Nada suaranya terdengar bergetar.

"Sekitar 150 juta, itu masih prediksi saya. Bisa kurang atau juga bisa lebih."

Deg

Jantung Mia serasa ingin berhenti berdetak mendengar itu. Darimana dia bisa mendapatkan biaya sebanyak itu?

"Apa tidak bisa di operasi dulu, Dokter?" Tanya Mia. Air mata sudah membendung di wajahnya.

"Maaf, Nona. Ini sudah prosedur dari rumah sakit." Jawab Dokter itu.

"Tidak apa-apa, Dokter lakukan yang terbaik. Saya akan melunasi semuanya." Sahut Ferdinand yang sejak tadi hanya diam.

Mia terperangah mendengar itu, "Abang," gumamnya. Ferdinand hanya tersenyum dan mengangguk saja.

"Baik, Mas. Saya permisi." Pamit dokter itu

"Ya," jawab Ferdinand.

"Abang serius? Itu banyak sekali?" Tanya Mia yang sudah tidak bisa untuk tidak menangis.

"Iya, aku punya tabungan," jawab Ferdinand.

"Abang, terima kasih. Terimakasih banyak." Mia langsung memeluk Ferdinand dengan erat. Hingga membuat pria itu seketika membeku.

"Mia janji, Mia bakalan ganti, Bang. Terima kasih banyak," jawab Mia. Dia masih terus memeluk dan menangis dalam pelukan Ferdinand. Betapa senang hatinya ada seseorang yang membantu disaat-saat seperti ini.

Ferdinand tersenyum, dia mengusap pundak Mia dengan lembut. "Jangan menangis lagi, semua pasti baik-baik saja."

"Kakak!"

Tiba-tiba suara seseorang membuat Ferdinand terkesiap, dia menoleh dan sedikit terkejut melihat Michael ada disana.

"Michael," gumam Ferdinand. Dan karena suara itu membuat Mia melepaskan pelukannya. Dia juga memandang seorang lelaki muda yang sedikit mirip dengan Ferdinand.

"Kenapa kamu disini?" Tanya Ferdinand.

"Papa masuk rumah sakit," jawab Michael. Matanya melirik kearah Mia sekilas.

"Kamu tidak berniat untuk melihatnya? Atau hanya ingin berada disini?" Tanya Michael.

Ferdinand menghela nafas, dia menoleh pada Mia sejenak, "aku pergi sebentar. Semua pasti baik-baik saja," pamit Ferdinand.

"Abang mau kemana?" Tanya Mia.

"Papa juga masuk rumah sakit ini, aku harus pergi." Jawab Ferdinand.

Mia mengangguk dan membiarkan Ferdinand menemui ayahnya. Dia hanya bisa memandang kepergian Ferdinand bersama pria itu.

Tapi, ketika melihat raut wajah Michael yang memandang mereka curiga, Mia jadi tidak enak. Dia takut pria itu akan salah paham nantinya.

Oleh karena itu, Mia juga pergi menyusul Ferdi menuju ruangan ayahnya. Awalnya sedikit bingung, tapi beruntungnya ruangan ayahnya masih berada di lantai yang sama dengan ruangan ibu Mia.

Mia cukup ragu untuk masuk kedalam, apalagi ketika mendengar perbincangan mereka yang cukup rumit. Hingga Mia mendengar sesuatu dari sebalik dinding.

"Jika papa masih tetap ingin menjodohkan aku dengan Amira, aku tidak akan pernah pulang kerumah," Ucapan Ferdinand membuat Mia terkejut.

"Umurmu sudah tua nak, papa ingin melihat kamu menikah," pinta Tuan Alex

"Aku akan menikah, tapi bukan dengan Amira!" tegas Ferdinand kembali.

"Sampai saat ini kau bahkan tidak pernah mengenalkan seorang gadis pun padaku," sahut Tuan Alex.

Mia tertegun, tangannya saling meremas. Apalagi ketika mendengar Ferdinand yang merasa terpojok oleh ayahnya. Haruskah dia melakukan sesuatu?

"Papa ingin kamu menikah dalam tahun ini, jika kamu tidak bisa membawa pilihanmu sendiri. Maka Amira, kau harus menikah dengannya!" tegas Tuan Alex tanpa bisa dibantah.

"Tapi, pa.." Ferdinand nampak frustasi.

"Permisi." Mereka semua langsung menoleh kearah pintu saat Mia masuk kedalam. Bahkan Ferdinand cukup terkejut melihat kedatangan Mia.

"Siapa kamu?" Tanya Tuan Alex.

"Maaf, Tuan. Saya, saya kekasih mas Marcel." Jawab Mia dengan segenap keberaniannya. Membuat Ferdinand benar-benar terkejut.

"Maafkan saya, tapi bisakah untuk tidak menjodohkan Mas Marcel dengan wanita itu?" Tanya Mia kembali. Dia menoleh kearah Ferdinand yang langsung tersenyum senang. Bahkan tanpa ragu dia menarik tangan Mia untuk mendekat kearahnya.

"Dia Caramia, kekasihku!" ucap Ferdinand dengan lantang.

Mia hanya bisa menahan nafas, ini benar-benar gila. Tapi ini demi membalas semua kebaikan Ferdinand.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!