POV ZIDAN
Sudah seminggu aku tidak ada berkomunikasi dengan istriku. Sikapnya yang berubah secara drastis dalam waktu satu minggu ini membuatku merasa tertekan, aku tidak tahu apa penyebab dari kebisuannya itu. Ya.. istriku yang berparas cantik dan manis memiliki nama Aruna Maheswari Gunawan. Aruna adalah sosok wanita yang hangat, cerewet, bawel dan juga penuh perhatian. Akan tetapi semua itu telah hilang begitu saja, seperti bukan dirinya yang kukenal selama tujuh tahun ini.
Selepas pulang kerja, aku menghampiri Aruna yang tengah asyik dalam lamunannya. Dia termenung di tengah taman kecil rumah kami. Tidak ada respon apapun yang diberikan Aruna dalam sapaku.
“Ma.. papa pulang!” sapaku. Namun, wanita yang telah tujuh tahun lamanya disisiku hanya mematung tak berganti posisi. Sejenak ia mendongakkan wajahnya ke arahku kemudian bergegas masuk ke dalam rumah. ‘Ada apa ini?’ batinku bertanya. Dengan pikiran penuh tanda tanya, aku pun berjalan menyusulnya ke dalam.
Trekk!
Aku berdiri dan mencoba membuka pintu kamar. Namun, pintu itu tidak dapat terbuka, yang hanya aku tetap berdiri disana. Aruna dengan cepat menguncinya dari dalam.
“Ma, buka…” pintaku sambil mengetuk pintu itu dengan pelan.
Tapi usahaku seperti tidak membuahkan hasil, percuma saja. Beberapa kali aku mencoba, Aruna tidak juga membukanya. Aku hanya termenung didepan pintu kamar dengan pikiran dipenuhi tentang sikap Aruna, tiba-tiba saja ponselku bergetar. Dengan malas kuraih ponsel itu dari dalam saku celana.
“Halo Sof?” sapaku pada sosok wanita yang ada disebrang telpon sana, beberapa hari lagi wanita ini akan menjadi istri keduaku. Perempuan yang akan menjadi madu istriku itu langsung berceloteh dengan manja, menceritakan semua tentang persiapan pernikahan yang sudah semua nya hampir ia selesaikan.
Selama tujuh tahun aku menikah dengan Aruna, tapi yang kurasa rumah tangga kami begitu hampa. Tidak dihiasi dengan suara tangis dan canda anak-anak. Aruna juga seorang sosok wanita yang baik, memiliki jiwa sosial yang tinggi juga ramah. Terutama pada kalangan yang membutuhkan, Aruna akan dengan senang hati memperlakukan mereka seperti keluarga.
“Mas, aku baru saja mengambil pesanan baju pengantin kita. Semuanya sudah beres. Aku saat ini seneng banget, akhirnya ya mas! Dalam beberapa hari lagi aku akan sah jadi istri kamu. Aku janji, aku akan menjadi istri sempurna untuk kamu mas. Aku akan hormat dan menyayangimu. Aku juga akan menyayangi mbak Aruna.” ucap Sofie.
Wanita itu adalah teman dekat istriku sejak kecil di kampung halamannya. Aku merasa ini seperti takdir karena Sofie kebetulan melamar dan bekerja sebagai sekretaris dikantorku.
Ketika aku dan Aruna menghadiri salah satu acara kantor, saat itu mereka berdua pertama kalinya kembali bertemu, keduanya saling menyapa dan ternyata saling mengenal satu sama lain. Sejak hari itu aku memliki kesempatan untuk semakin akrab dengannya di kantor. Kami sering keluar bareng untuk sekedar makan siang dan juga bareng ketika hendak berangkat ataupun pulang dari kantor. Semakin lama kami akrab, semakin dalam aku menyukai Sofie. Jauh sebelum Aruna dan Sofie bertemu diacara kantor tersebut. Aku sudah memberanikan diri untuk menghubunginya dan berkirim pesan. Dan itu jelas tanpa sepengetahuan Aruna.
Aku dan Sofie sadar jika itu salah. Namun aku menyembunyikannya secara rapat-rapat, bahkan aku membuat Aruna percaya dan tidak mencurigai hubungan diantara kami berdua. Seiring berjalannya waktu, timbul perasaan nyaman, kangen, sayang dan rasa ingin memiliki dalam diriku. Aku ungkapkan perasaanku pada Sofie, dan ternyata Sofie juga memiliki perasaan yang sama. Aku sadar perasaanku padanya adalah perasaan yang salah. Sofie pun sadar akan hal itu. Setelah kami bertemu dan berbicara, akhirnya kami memutuskan dan aku membawa Sofie ke rumah lalu meminta izin pada Aruna untuk menikahi teman dekatnya itu. Dengan tidak adanya kehadiran seorang anak di rumah tangga kami, menjadi satu alasan yang kuat untukku saat ini.
***flashback***
“Kok mas dan Sofie datang secara bersamaan gitu? Ada apa?” tanya Aruna saat itu seraya berjalan menuruni anak tangga rumah kami. Saat kami bertiga sudah duduk bersama di ruang tamu. Sofie dengan posisi tertunduk, sementara aku yang saat ini merasa leher seperti tercekik memberanikan diri untuk membuka suara.
“Ma..,” lirihku.
“Ada apa, pa?” tanya Aruna. Wajah cantik itu menengang.
“Ma.. maafin papa..” ucapku yang tengah menghampiri Aruna dan bersimpuh dikakinya.
“Maaf? Untuk apa pa?” Wajahnya yang teduh itu mulai terlihat panik. Sementara Sofie tetap pada posisi tertunduk.
“Maaf karena papa sudah menghianati hati mama. Papa mencintai Sofie. Papa tidak ingin bermain dibelakang mama, jadi papa ingin menikahi Sofie. Dan saat ini papa mau minta izin sama mama. Maaf ma. Papa tidak pandai berbasa basi, maka langsung saja papa mengatakan inti pembicaraan ini.” dengan tegas aku mengatakannya pada istriku ini.
Aruna tercengang dan membawa dirinya mundur kesandaran sofa serta membuang padangannya kelangit-langit rumah kami. Terlihat jelas dia sangat kecewa. Kutatap dalam manik mata perempuan itu. Dari sana telah terlihat bulir bening mengepung dan siap untuk terjatuh. Aku sadar, mendegar ini membuat hati Aruna sangat terluka. Tapi aku harus bagaimana lagi? Aku mencintai Sofie dan aku sangat menginginkannya.
“Aku wanita yang sempurna! Aku bahkan mampu memberikan Mas Zidan keturunan.” timpal Sofie saat itu.
Seketika membuat wajah Aruna memerah. Namun, Aruna hanya menatap Sofie tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
“Kamu wajib mengijinkan aku karena kamu tidak bisa memberikan aku sosok penerus.” tekanku.
“Bahkan agama kita pun mengizinkan lelaki untuk melakukan poligami.” imbuhku yang sok mengerti tentang agama.
Memang seperti itu yang aku ketahui. Poligami tidak dilarang. Jika Aruna menyetujuinya, maka surga imbalannya. Seharusnya dia bersyukur karena aku telah memberinya surga dengan cuma-cuma.
“Kamu tidak punya hak untuk melarang kami mbak! Daripada kami berselingkuh di belakangmu? Itu pasti akan lebih menyakitkan bagimu. Tolong mbak mengerti! Mbak jangan egois! Mbak harus tau kami saling mencintai. Dan aku berjanji akan menjadi madu yang baik untukmu mbak! Aku mohon! Aku pun berjanji tidak akan merebut apalagi menyingkirkan mbak Aruna. Aku akan menghormati mbak Aruna sebagai maduku!” tekan Sofie dengan menimpali serangkaian janji yang lebih mengarah permintaan untuk dirinya sendiri.
Aku pun segera bangun dari posisi bersimpuh dan kembali duduk di samping Sofie. Mata cantik Aruna sudah tidak mampu lagi menahan bendungan air matanya. Hingga bulir bening itu pun dengan cepat menetes derasnya. Membasahi pipi mulusnya. Ada perasaan sakit melihatnya menangis. Namun, egoku menahan semua keinginan hatiku untuk memeluknya.
“Bagaimana ma? Kamu jangan hanya berdiam saja ma..” Kuberanikan diri untuk bertanya.
“Mama ijinkan atau tidak jika papa menikahi Sofie?” tanyaku.
Aruna dengan cepat menganggukkan kepalanya. Kemudian pergi dari tempat duduknya dan berjalan menaiki anak tangga ke arah kamar kami. Aku dan Sofie saling melempar pandang lalu mengulum senyum bahagia.
“Akhirnya mas!! Aku janji akan menyayangi dan menghormati mbak Aruna. Pokoknya aku tidak akan pernah menjadi istri muda seperti dalam cerita. Dimana istri muda yang jahat.” ucap Sofie seraya menyandarkan kepalanya di dadaku.
'Terimakasih Aruna, telah memberiku izin. Kamu memang wanita penghuni surga.' batinku. Sejenak ku memikirkan anggukkan kepala Aruna yang membuatku masih tidak percaya dengan persetujuan yang ia berikan tanpa amarah sedikitpun.
************
“Halo! Mas! Haloo!! Kamu dengar nggak sih?? Aku kan lagi ngomong!! Aku itu sudah mengambil pesanan baju pengantin kita yang akan kita kenakan besok lusa!” ucapnya sedikit membentak. Mungkin kesal karena aku tidak menanggapi ucapannya. Entahlah.., aku larut ke dalam lamunan.
“Iya Sayang. Iya! Mas sudah dengar kok.” ucapku dengan lembut.
“Oh iya! Mas ke rumah deh. Ambilkan baju ini dan berikan kepada mbak Aruna untuk dipakainya nanti di hari pernikahan kita.” pinta Sofie.
“Oke, Sayang.” jawabku. Setelah sambungan terputus, aku mengetuk kembali pintu kamar kami.
“Ma, buka pintunya. Mama jangan seperti ini sama papa. Kenapa papa merasa kehilangan sosok mama yang dulu? Ma, ayolah! Cepat buka pintunya!!” ucapku terus mengetuk pintu.
Tidak terdengar sahutan apapun darinya. Yang ada hanya ada suara hening. ‘Ya Allah, ada apa dengan istriku ini? Kenapa dia hanya diam membisu? Bahkan akhir-akhir ini wajahnya tampak pucat. Mungkinkah dia sakit? Kenapa dia tidak lagi mau sedikitpun berbicara padaku? Apa salahku padanya?’ batinku bergumam.
“Mama! Jangan siksa papa seperti ini! Apa yang harus papa lakukan agar kamu mau membuka suara? Buka pintunya ma!! Kalau nggak papa dobrak pintunya sekarang juga!” ancamku.
Beberapa menit kemudian, saat aku bersiap untuk menendang pintu, Aruna lebih dulu membuka pintunya hingga aku pun mengurungkan niat untuk menendang pintu itu.
“Apakah tawaran untuk aku akan mewujudkan apapun yang kamu inginkan masih berlaku?” ucap Aruna dengan menatap tajam kedua bola mataku.
Terlihat dengan jelas kesedihan mendalam di wajah wanita yang sudah tujuh tahun mendampingiku itu.
“Iya ma. Apapun itu akan papa wujudkan! Asal mama jangan mendiamkan papa seperti ini lagi!. Papa sangat menyayangimu ma...” ucapku yang hendak meraih tubuh Aruna ke pelukanku. Namun, wanita itu langsung menghindarinya.
“Jawab permintaan aku dulu!” singkatnya tanpa menyebutkan panggilan kami mama ataupun papa.
“Katakan ma..” jawabku.
“Batalkan sekarang juga pernikahan kamu dan Sofie! Apa papa bisa mewujudkannya?” pintanya membuat tenggorokanku terasa kering dan jantungku terasa berhenti saat itu juga.
POV SOFIE
Dinn…. Dinn….
“Ck, berisik sekali kendaraan ini!” ucapku kesal karena taksi online yang ku tumpangi ini terus membunyikan klaksonnya tanpa henti sedikitpun.
Suara bising ini membuatku susah fokus. Ya.. aku sedang mempelajari profil perusahaan yang akan menjadi tempatku mencari nafkah. Dan tentu nya mencari suami idaman.
Tok..!! Tok..!! Tok..!!
Seseorang mempersilahkan aku masuk kedalam sebuah ruangan megah dan luas, tepat didepan pintu itu bertuliskan Chief Executive officer. Setelah melakukan wawancara yang cukup panjang dengan HR dan Manager kini aku akan melakukan wawancara tahap akhir dengan seseorang yang akan menjadi atasanku kelak aku diterima. Sesaat setelah aku memasuki ruangan itu, terlihat sangat mewah dan elegan. Ruangan itu penuh dengan hiasan lukisan dan pajangan patung mahal, saat kedua bola mataku dengan cepat menjelajahi setiap sudut dinding ruangan ini aku membaca papan nama diatas meja tersebut. Zidan Arsalan Dhananjaya adalah CEO dari perusahaan ini yang bergerak dalam industri minuman kemasan dengan bahan utama susu.
“Silahkan duduk!” ucapnya tegas.
Sesaat aku merasakan debaran dalam jantung, seolah suara nya yang berat memacu getaran hati ini.
“B..Baik.” jawabku terbata-bata.
Wajah tampan nya mampu mengalihkan pikiranku. Bola mata yang besar dengan kelopak mata yang sedikit sayu, rahang yang tegas serta hidung yang mancung membuatku ingin mendetail setiap sudut wajahnya lebih dekat. ‘Ya Tuhan.. Aku menyukainya..’ batinku bersorak.
“Dengan Sofie Oktavia?” tanyanya.
“Benar pak.” jawabku singkat.
“Saya Zidan Arsalan Dhananjaya, saya tidak perlu menanyakan banyak hal. Saya rasa kamu juga sudah mendapati kesepakatan yang baik dengan HR saya. Saya hanya menanyakan 1 hal saja. Apakah sebelumnya sudah pernah bekerja dibidang ini?” ucapnya dengan jelas.
“Baik pak Zidan, saya sudah pernah bekerja dibidang ini selama 5 tahun. Saat ini saya melamar ke perusahaan ini karena visi misi perusahaan yang baik dan bagus serta kebetulan saya pindah daerah tempat tinggal.” jawabku seadanya.
Aku tidak mengerti apa yang telah kukatakan. ‘Apakah aku akan diterima olehnya?’ tanya batinku.
“Baik, kamu bisa mulai bekerja besok. Terimakasih.” jawabnya singkat.
“Terimakasih pak Zidan, saya pamit.” timpalku dengan cepat. ‘Apakah ini yang namanya keberuntungan? Aku pindah dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang kuinginkan dan memiliki atasan yang begitu tampan.’ batinku bersorak.
* * * * * *
Tok..!! Tok..!!
“Masuk!” teriaknya.
“Permisi pak..” sapaku.
“Baik Sofie, disana adalah meja kerjamu. Disitu sudah ada beberapa berkas dan jadwal yang dapat kamu kerjakan. Hari ini saya tidak ada pertemuan dengan siapapun. Dan saya akan pulang lebih awal hari ini di jam dua siang. Sebelum saya pulang tolong infokan saya untuk jadwal saya esok hari.” ucapnya menerangkan tugasku.
Ya.. aku bekerja sebagai sekretaris pak Zidan, tak kusangka ternyata meja kerjaku satu ruangan dengannya. Bahagianya hati ini setiap hari bekerja bersama, berdampingan dan terus memandangi wajah nya.
************
“Pak Zidan.. Besok bapak memiliki pertemuan dengan pak Eros di jam sebelas pagi untuk mempresentasikan pengajuan proposal kerjasama dalam peluncuran produk baru. Lalu ada rapat dengan staff pemasaran di jam 3 sore. Berikut beberapa dokumen keuangan yang perlu anda tanda tangani.” ucapku dengan jelas.
Sesaat aku menyodorkan berkas kehadapannya aku tak sengaja menjatuhkan bingkai foto tepat di berdiri disamping papan namanya. Aku terkejut penasaran dengan sosok wanita yang berdiri disampingnya didalam foto tersebut. Senyum manis yang cantik membuatku bertanya-tanya.
“Seperti pernah lihat!?” gumamku pelan.
“Kamu bilang apa Sof?” tanyanya.
“Tidak pak, maaf saya tidak sengaja menjatuhkannya.” jawabku.
“Tidak apa-apa. Baik berkas ini akan saya tanda tangan besok pagi sebelum bertemu dengan pak Eros. Sekarang kamu boleh pulang.” perintahnya.
Dengan cepat aku kembali pada meja kerjaku dan mematikan laptop yang ada diatas meja serta merapikan beberapa kertas yang sedikit berantakan.
“Sofie, kamu sudah memiliki pacar?” tanyanya. Membuatku sedikit mengerutkan dahi kebingungan.
”Belum pak.” jawabku singkat.
“Baiklah. Hati-hati dijalan.” timpalnya.
Aku melangkahkan kaki kearah lobby, melihat dari kejauhan sudah ada taksi online yang kupesan sedari tadi aku menunggu lift terbuka untuk aku keluar. Aku tidak merasakan terlalu lelah untuk pekerjaan hari ini. Ya.. dihari pertama kerja aku tidak melakukan hal yang merepotkan bahkan aku pun diperbolehkan pulang di jam segini yang masih jauh dari ketentuan jam pulang perusahaan ini. Justru sebaliknya hati dan otakku merasakan lelah karena harus berdebat dengan apa yang terjadi tadi.
“Maksudnya dia apa coba?"gumamku pelan.
* * * * * * *
Kembali pada meja kerjaku yang cukup banyak dihuni kertas, aku menyiapkan diri untuk pergi dengan pak Zidan melakukan pertemuan dengan klien besar. Sembari ku menyiapkan berkas yang akan dibawa, aku melahap sedikit roti sandwich sebagai santapan makan pagiku.
Ceklek…
“Selamat pagi pak Zidan..” sapaku terburu sambil menyeka beberapa remahan roti disudut bibirku.
Belum juga aku selesai menyeka, aku terkejut melihat pak Zidan mengambil sandwich dari kotak bekalku dan memakannya.
“Apakah perlu saya belikan yang baru pak?” tanyaku pelan.
“Tidak perlu Sof, saya suka yang ini.” jawabnya ditambah kedipan satu mata.
‘Astaga Tuhan, apa ini? Jika memang ini takdirku maka akan kusambut dengan baik.’ batinku girang. Sesaat aku terlintas dan bertekad untuk mendapatkan hatinya.
“Pak, semua berkas yang dibutuhkan sudah siap. Supir sudah menunggu di Lobby. Apakah kita dapat jalan sekarang pak?” tanyaku dengan sedikit menggoda.
“Baik kita jalan sekarang.” jawabnya sambil meraih tanganku.
“Maaf, saya bermaksud untuk mengambil berkas yang ada ditanganmu.” alibinya saat aku terdiam melihat tangannya yang begitu kekar mengenggam tanganku.
* * * * * *
Pertemuan selesai, keputusan akhir klien kami menyukai 2 konsep produk dari 2 perusahaan yang berbeda. Pak Eros meminta waktu untuk menimang produk mana yang akan memenangkan investasi yang akan diberikan olehnya. Tentunya.. Dengan menggelarkan acara besar untuk pengumumannya, sebab ini akan menjadi kerjasama yang sangat besar dan dinantikan oleh setiap perusahaan Manufaktur seperti perusahaan pak Zidan.
“Sofie, kita mampir keperempat diujung jalan sana. Saya ingin makan direstaurant steak ditepi jalan itu.” pintanya.
“Baik pak.” jawabku.
Sembari aku mengarahkan pandangan kepada supir yang mengendari kendaraan pak Zidan. Dan kami pun melaju menuju tempat tersebut.
“Kita sudah sampai Pak.” ucapku pelan. Sesekali aku meneliti setiap inci wajah pak Zidan.
“Baik, ayo kita makan bersama.” ajaknya.
Sesaat aku duduk di meja sebelah pak Zidan duduk, pak Zidan menoleh dan mengangkat kedua alisnya kebingungan.
“Kamu lagi ngapain disitu?” tanyanya.
“Saya tidak enak duduk bersama dengan pak Zidan, selaku atasan saya yang bahkan CEO perusahaan pak.” jawabku sungkan.
“Saya tidak akan selera makan jika kamu tidak duduk disamping saya, atau mungkin kamu mau saya pangku?” ucapnya menggoda.
“B..baik Pak.” jawabku terkejut.
Apa yang barusan dia lakukan? Seperti gayung bersambut. Entahlah.. yang penting aku bisa bersama nya lebih dekat.
“Sofie, untuk kedepannya temani aku makan siang! Ini perintah, jangan dibantah!” ucapnya sedikit dipertegas.
* * * * * * *
Sudah 1 tahun berlalu, kami pun semakin dekat satu sama lain. Chat yang intens sehingga dia menyatakan bahwa ia menyukaiku dan tak ingin membiarkanku lepas dari pandangannya.
Siang ini aku makan siang dengan salah satu staff pemasaran, Rino. Ya .. Rino adalah manager marketing di perusahaan kami. Aku dan Rino tidak terlalu mengenal begitu dalam. Hanya saja kami menjadi akrab semenjak hari pertama bekerja di perusahaan ini. Rino lelaki yang baik, dia membantuku menunjukkan beberapa tempat di kota yang besar ini. Dan dapat ku tebak, Rino sepertinya menyukaiku. Aku dapat memanfaatkannya untuk membuat hati Pak Zidan memanas terbakar api cemburu.
”Hari ini kamu tidak makan siang diluar Sof?” tanya Rino penasaran.
“Hari ini Pak Zidan sedang keluar kota bersama istrinya.” jawabku santai.
Ya.. setelah aku saling mengirimi teks mesra dan akrab, tepat di satu bulan aku bekerja akhirnya aku mengetahui bahwa pak Zidan memiliki istri dan istri itu bukan lain adalah teman dekatku dulu di kampung halaman kami, mbak Aruna. Akan tetapi tidak membuatku menjadi ingin mundur dalam hubungan ini, melainkan aku semakin ingin memiliki seutuhnya. Aku menyadari, bahwa dari dulu aku selalu tidak ingin mau kalah dengan apa yang dimiliki oleh Aruna. Ya.. apapun itu.
Dari kejauhan pintu lobby terlihat pak Zidan sedang bergegas turun dari mobil taksi online. Saat itu pun terlintas pada pikiranku membuat sedikit kejutan untuk dirinya.
“Haha..haha.. kamu bisa saja Rino, aku bahkan tidak tahu kalau ternyata gedung itu adalah gedung bioskop.” tawa ku yang renyah sedikit ku keraskan untuk memancing pandangan pak Zidan mengarah kepadaku.
Kulirik ia dari sudut mataku. ‘Nah pas!’ batinku senang. Lalu aku dengan sengaja membuat kakiku sedikit tersandung dan jatuh kedalam pelukan Rino. Rino dengan cepat menangkap tubuhku alih-alih memelukku dengan erat. Sontak aku melirik Pak Zidan yang mengeluarkan wajah merah dan melotot.
“Sepertinya dia sudah menerima kejutanku.” gumamku pelan.
“Kamu bilang apa Sof? Kamu baik-baik saja kan? Apakah ada yang terluka?” tanyanya seraya membantu badanku berdiri tegap.
Dengan sedikit mengenggam lengan atas nya aku menatap pria itu lebih dekat.
“Maaf ya Rino, aku sedikit pusing tadi.. Jadi tiba-tiba saja langkahku seperti tersandung.” jawabku dengan menambahkan ekpresi wajah sedikit malu. Pura-pura malu lebih tepatnya.
“Yasudah tidak apa-apa Sof, oh iya itu ada pak Zidan sudah tiba. Aku duluan keruangan ya. Bye Sof!” ucapnya seraya berlalu pergi kearah lift.
Aku pun segera menghampiri pak Zidan, dan tetap menjalankan akting ku sebagai sekretaris.
“Selamat siang pak. Apakah ada yang diperlukan pak? Mengingat pak Zidan seharus nya sampai ke kota ini malam dan langsung pulang kerumah.” tanyaku sedikit gugup.
“Ikut saya keruangan!” perintahnya dengan tegas dan wajah yang sangat marah.
Ternyata aku berhasil membuat ia cemburu. Setelah aku mengikutinya masuk kedalam ruangan kerja nya, aku terkejut ia melangkahkan kakinya ke arah pintu dan mengunci nya. Lalu bergegas berjalan kearahku dan memojokan ditepi meja kerjaku.
“A..ada a..apa Pak?” tanyaku terbata-bata.
Aku menelan air liurku dengan pelan, terdengar begitu jelas jantungku berdegup dengan cepat.
Cup!
Bibirnya mendarat dibibirku dan seakan ingin melumat lembut bibirku. Aku mendorongnya dengan sekuat tenaga dan melihat matanya dengan tajam.
“Apa yang sedang kamu lakukan mas?” tanyaku sedikit membentak.
Belum sempat menjawab mas Zidan langsung mendekatkan kembali tubuh nya serta memelukku dengan erat.
“Aku tidak suka kamu disentuh oleh lelaki manapun! Bahkan Rino sekalipun!” terdengar ucapannya yang begitu cemburu dengan nafas yang berat.
Dengan cepat Zidan mencium kembali bibir ku dan melumatnya. Dengan lihai tangannya menjelajahi tubuhku seakan sedang mendikte apakah ada yang hilang dari sana.
“M..mas.. apa yang ingin kamu lakukan? Aaarghh..” tanyaku sambil menekan gairah yang ia bangkitkan.
“Aku akan memberikan tanda bahwa kau milikku! Mmmhh…” jawabnya dengan cepat kembali kedalam pekerjaan diantara kancing kemeja ku yang sudah sepenuhnya terbuka.
Sesekali aku meliriknya melakukan sesuka hatinya yang meninggalkan tanda kepemilikannya yang terlalu banyak. ‘Sepertinya dia benar-benar marah’ batinku senang.
“Mmmhh.. Arghh.. Mas, apakah tidak akan jadi masalah kamu melakukannya disini mas?” tanyaku.
Tidak ada jawaban dari mas Zidan, ia langsung membawaku kedalam ruangan yang ada disamping meja kerjanya. Saat ia menggendongku dan masuk kedalam. Aku terkejut ketika mengetahui ada kasur yang menangkapku saat dijatuhkan oleh mas Zidan. Dengan cepat ia melepas pakaian kami dan melakukan penyelidikan dibawah sana. Kenikmatan yang mas Zidan ciptakan membuatku merasa puas dan bahagia. Sangat terasa pergerakkan yang ia lakukan.
“Aarghh.. Aku mencintaimu Sofie. Kamu milikku sekarang!” ucapnya saat ia telah berhasil membuat gairahnya mencapai titik batas kenikmatannya.
Dan ya.. aku sedikit terheran melihatnya yang dengan sigap menggunakan pengaman. "Dia seperti sudah menyiapkannya" gumamku pelan.
“Iya Sof?” tanyanya sambil memelukku dengan erat.
“Tidak ada mas.. Ini ruangan apa mas? Mengapa ada kasur didalam ruangan ini?” tanyaku penasaran.
“Ruangan ini sengaja kubangun untuk aku melakukan aktifitas se*s dengan istriku setalah kami menikah.” jawabnya santai.
“Kupikir kamu sengaja melakukan ini untuk melakukan kesemua staff sekretarismu mas..” jawabku sedikit ketus.
“Tidak Sof, baru kamu wanita kedua yang ada dalam aktifitas diruangan ini.” ucapnya meyakinkanku.
“Aku mencintaimu Sof, aku ingin kamu menjadi milikku. Aku ingin kamu selalu ada disampingku.” ucapnya seraya mengelus pucuk kepalaku.
“Bukankah kamu sudah memiliki istri mas? Kupikir kamu hanya menjadikanku selingan saja. Sebab aku tidak tahu arah tujuan mu dihubungan kita ini. Sikapmu yang begitu manis dan baik membuatku bertanya-tanya.” ketusku lagi.
“Apa kamu ingin pembuktian Sof?” tanyanya spontan. Aku mengangguk pelan.
“Aku akan menikahimu, tapi aku tidak tahu apakah kamu mau jadi yang kedua?” timpalnya bingung.
“Aku mau mas! Aku mau jadi istrimu! Aku mau jadi yang kedua, asalkan kamu tetap mencintaiku.” jawabku dengan senang.
“Tapi bagaimana dengan mbak Aruna mas? Apakah dia mau menerima keputusanmu ini?” timpalku.
“Aku akan berbicara dengan Aruna, aku berhak melakukan poligami. Agama pun tidak melarangnya. Dan juga aku dengan Aruna belum memiliki keturunan, aku menginginkan seorang anak Sof..” lirihnya.
“Mas.. aku juga mencintaimu. Aku akan memberikanmu anak lebih dari satu.” ucapku lembut seraya menatap matanya.
“Apakah kamu mau kerumah? Aku akan berbicara dengan Aruna dan memintanya untuk mengizinkan kita menikah.” ajaknya dengan cepat.
“Baik mas, aku setuju.” jawabku girang.
* * * * * *
Kami pun sampai dirumah mas Zidan, dengan cepat kami memasuki rumah megah itu dan duduk disofa ruang tengah tersebut.
“Kok mas dan Sofie datang secara bersamaan gitu? Ada apa?” tanya Aruna saat itu seraya berjalan menuruni anak tangga rumah kami.
Saat kami bertiga sudah duduk bersama di ruang tamu. Sofie dengan posisi tertunduk, sementara aku yang saat ini merasa leher seperti tercekik memberanikan diri untuk membuka suara.
“Ma..,” lirihku……….
POV ZIDAN
“Pa.. besok jangan lupa kita belanja bulanan ya!” ucap Aruna seraya mengantarkan nasi goreng buatannya dan segelas kopi kesukaanku.
Beginilah moment yang terjadi di setiap pagi hari dalam rumah kami yang cukup besar ini. Sudah dalam dua tahun terakhir ini aku benar-benar merasakan ingin rumah ini diisi oleh suara bising anak-anak. Ya.. kami sudah sepuluh tahun berumah tangga, tetapi kami belum juga memiliki keturunan. ‘Apa mungkin sebenarnya Aruna itu mandul?’ batinku.
“Pa.. Hey pa!!” tepukan Aruna di pundakku sontak membuat ku terkejut dan tersadar dari lamunan.
“Iya ma.. Papa besok pulang dari kantor seperti biasa di jam dua siang. Mama mau dijemput dirumah atau langsung bertemu di Mall saja? “jawabku sambil menikmati kopi nikmat buatan Aruna.
“Tidak usah pa, kita langsung ketemu saja disana. Mama mau bertemu dengan teman mama dulu. Boleh kan pa?” tanyanya.
“Baik, jangan terlalu lama keluar rumah ya ma..” jawabku lembut.
Tak lama sarapan kami pun habis. Aku bergegas pergi ke kantor dan meninggalkan rumah.
“Papa pergi ya ma..” pamitku.
* * * * * * * *
“Iya Ran?” sahutku menjawab panggilan telepon dari HR dikantorku.
“Selamat pagi pak Zidan, saya sudah mendapatkan 1 kandidat calon sekretaris bapak. Saat ini siap untuk di interview oleh pak Zidan. Apakah boleh saya pertemukan sekarang pak?” terangnya.
“Oh iya, hari ini aku ada jadwal untuk melihat hasil akhir seleksi Rani untuk calon sekretarisku” gumamku pelan.
Sudah 3 bulan ini aku bekerja cukup keteteran karena tidak memiliki sekretaris.
“Baik, bawa dia masuk sekarang!” perintahku.
“Baik pak.” jawab Rani singkat.
Tok Tok Tok …
“Masuk!” jawabku sedikit keras.
Dan Rani pun masuk dengan seorang wanita yang memiliki paras nan cantik, serta hidung yang mancung membuat jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat.
“Silahkan duduk!” ucapku dengan tegas.
Sepertinya aku tidak perlu menyelidikinya lebih dalam. Pilihan Rani kali ini membuatku merasa wanita ini cukup mengerti diriku.
“Dengan Sofie Oktavia?” tanyaku.
“Benar pak.” jawabnya singkat.
“Saya Zidan Arsalan Dhananjaya, saya tidak perlu menanyakan banyak hal. Saya rasa kamu juga sudah mendapati kesepakatan yang baik dengan HR saya. Saya hanya menanyakan 1 hal saja. Apakah sebelumnya sudah pernah bekerja dibidang ini?” ucapku dengan jelas.
“Baik pak Zidan, saya sudah pernah bekerja dibidang ini selama 7 tahun. Saat ini saya melamar ke perusahaan ini karena visi misi perusahaan yang baik dan bagus serta kebetulan saya pindah daerah tempat tinggal.” jawab Sofie dengan baik. Kulihat dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki, betapa indah dan cantik wanita ini. Ada rasa ingin dekat dengannya.
“Baik, kamu bisa mulai bekerja besok. Terimakasih.” terangku. Aku tidak bisa menyianyiakan wanita cantik ini.
“Terimakasih pak Zidan, saya pamit.” timpal Sofie dengan cepat.
Dia pun berlalu pergi meninggalkan ruangan. Aku tidak sabar bekerja bersama dengan Sofie dalam satu ruangan ini. Tetapi saat kulihat CV milik Sofie, wanita ini tinggal di daerah yang sama dengan Aruna. ‘Apakah ini hanya sebuah kebetulan?’ batinku penasaran.
* * * * * * *
Pagi ini aku merasa bersemangat sekali, entah mengapa aku tidak sabar ingin secepatnya sampai kantor. Aku pun dengan cepat pergi keluar kamar untuk sarapan.
“Pagi ma..” sapaku sembari mengecup pucuk kepala Aruna.
“Pagi pa.. kayanya hari ini semangat banget, ada hal apa?” tanya Aruna mengejek.
“Tidak ada ma, papa hanya merasa lega. Akhirnya papa sudah punya sekretaris per hari ini.” jawabku dengan cepat.
Tak lupa aku memakan sarapan buatan Aruna. Kali ini Aruna membuatkan roti lapis panggang.
“Syukurlah.. Oh iya, jangan lupa ya hari ini jam dua siang!” pesan Aruna mengingatkan janji yang sudah ku sepakati dengannya.
“Siap buk!” jawabku mengejek. Tak lama aku pun segera pergi ke kantor.
* * * * * * *
Tok Tok…
“Masuk!” teriakku.
“Permisi pak..” sapa Sofie dipagi hari ini.
“Baik Sofie, disana adalah meja kerjamu. Disitu sudah ada beberapa berkas dan jadwal yang dapat kamu kerjakan. Hari ini saya tidak ada pertemuan dengan siapapun. Dan saya akan pulang lebih awal hari ini di jam dua siang. Sebelum saya pulang tolong infokan saya untuk jadwal saya esok hari.” terangku.
Jam menunjukkan pukul setengah dua siang, aku pun sudah menerima pesan dari Aruna yang berisikan bahwa dia sudah diperjalanan menuju swalayan yang kami tuju.
“Pak Zidan.. Besok bapak memiliki pertemuan dengan pak Eros di jam sebelas pagi untuk mempresentasikan pengajuan proposal kerjasama dalam peluncuran produk baru. Lalu ada rapat dengan tim pemasaran di jam 3 sore. Berikut beberapa dokumen keuangan yang perlu anda tanda tangani.” ucap Sofie dengan jelas.
Dengan cepat aku mengambil berkas yang diberikan Sofie, saat hendak Sofie melepaskan berkas tak sengaja ia menjatuhkan bingkai fotoku bersama Aruna. Aku melihat ia mengambil kembali bingkai tersebut dan berbicara pelan. ‘Apakah Sofie mengenal Aruna?’ batinku.
“Kamu bilang apa Sof?” tanyaku.
“Tidak pak, maaf saya tidak sengaja menjatuhkannya.” jawabnya sedikit panik.
“Tidak apa-apa. Baik berkas ini akan saya tanda tangan besok pagi sebelum bertemu dengan pak Eros. Sekarang kamu boleh pulang.” perintahku.
Sengaja aku melakukannya agar dia melihat bahwa atasannya yang tampan sepertiku ini baik hati.
“Sofie, kamu sudah memiliki pacar?” tanyaku menyelidik.
Aku ingin tahu apakah aku bisa dekat Sofie tanpa ada gangguan.
”Belum pak.” jawab Sofie singkat.
“Baiklah. Hati-hati dijalan.” ucapku.
Seperti takdir saja. Aku tersenyum seraya berjalan meninggalkan ruang kerjaku.
Aku sudah sampai di Mall terbesar di kota ini, hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai dari kantorku. Jarak yang tidak begitu jauh dan pemilihan waktu yang tepat membuat aku sampai dengan cepat. Ya.. di jam dua siang kebanyakan orang kantoran belum turun meramaikan jalanan.
“Ma!!” panggilku kepada Aruna yang tengah duduk di kursi coffee shop kesukaannya.
“Bagaimana pa? Sekretaris bekerja dengan baik?” tanya Aruna.
Aruna memang wanita yang sangat perhatian. Selain membantu ku memberikan ide-ide untuk memajukan perusahaan, dia selalu menanyakan keadaan pekerjaanku.
“Good ma, kinerjanya sejauh ini lumayan.” jawabku santai.
“Kapan- kapan jika ada acara kantor, papa akan mengenalkan dia denganmu.” timpalku.
“Oke, boleh saja.” jawab Aruna dengan senyum yang manis.
* * * * * *
Aku tidak mengerti, mengapa aku sangat bersemangat akhir-akhir ini bekerja. Aku pun tidak lagi melamun tentang betapa sepi nya rumah dari suara bising yang sangat aku dambakan. Semenjak ada Sofie, aku merasa ingin berlama-lama saja dikantor.
Ceklek!!
Aku terpesona saat melihat wajah cantik Sofie yang sedang makan potongan sandwich sibuk menyeka remahan roti tersebut disekitar bibirnya. Saat aku mendengar Sofie memberikan sapa hormat nya, tanpa sadar aku menghampirinya dan mengambil roti lapis itu. Padahal perutku sudah terisi sarapan enak yang dibuatkan oleh Aruna pagi ini.
“Apakah perlu saya belikan yang baru pak?” tanya Sofie pelan.
“Tidak perlu Sof, saya suka yang ini.” jawabku seraya mengedipkan satu mataku.
Aku akui, aku sedang menggoda nya. Tidak bisa kuhindari keinginan untuk menggoda dan merayunya.
Satu jam kemudian, Sofie datang menghampiri mejaku. Aku selalu memperhatikan gerak-gerik Sofie, saat dia menatap PC di meja kerja nya. Menata rambutnya, bahkan merapikan riasan pada wajahnya.
“Apa dia sedang menggodaku juga?” gumamku pelan.
“Pak, semua berkas yang dibutuhkan sudah siap. Supir sudah menunggu di Lobby. Apakah kita dapat jalan sekarang pak?” tanya Sofie dengan sedikit menggoda. Dengan sengaja Sofie memainkan rambutnya untuk menunjukkan parasnya yang cantik.
“Baik kita jalan sekarang.” jawabku dengan sigap ku raih tangan Sofie.
“Maaf, saya bermaksud untuk mengambil berkas yang ada ditanganmu.” ucapku membuat alasan saat aku melihat Sofie yang hanya terdiam dan melihat tanganku mengenggam tangannya.
* * * * * * *
Pertemuan selesai, keputusan akhir klien kami menyukai 2 konsep produk dari 2 perusahaan yang berbeda. Pak Eros meminta waktu untuk menimang produk mana yang akan memenangkan investasi yang akan diberikan olehnya. Tentunya.. Dengan menggelarkan acara besar untuk pengumumannya, sebab ini akan menjadi kerjasama yang sangat besar dan dinantikan oleh setiap perusahaan Manufaktur seperti perusahaan yang kujalankan saat ini.
“Sofie, kita mampir keperempat diujung jalan sana. Saya ingin makan direstaurant steak ditepi jalan itu.” pintaku sambil menujuk arah yang dituju.
“Baik pak.” jawabnya.
Dengan sigap Sofie pun mengarahkan supir kami.
“Kita sudah sampai pak.” ucapnya pelan.
“Baik, ayo kita makan bersama.” ajakku.
Setelah kami memasuki restauran tersebut dan diarahkan pada meja makan oleh salah satu pelayan. Aku melihat Sofie duduk di meja sebelah mejaku, seketika aku mengerutkan dahi kebingungan dan menoleh ke wajah Sofie seraya mengangkat kedua alisku.
“Kamu lagi ngapain disitu?” tanyaku.
“Saya tidak enak duduk bersama dengan pak Zidan, selaku atasan saya yang bahkan CEO perusahaan pak.” jawab Sofie sungkan.
‘Sopan sekali dia. Bukankah dia menyambut rayuan ku dan balik menggodaku? Apa saat Ini dia sedang menarik perhatian ku?’ batinku.
“Saya tidak akan selera makan jika kamu tidak duduk disamping saya, atau mungkin kamu mau saya pangku?” ucapku menggoda.
“B..baik Pak.” jawab Sofie sedikit terkejut.
Membuatku sedikit menahan senyuman, polos sekali ekspresinya itu membuatku gemas saja.
“Sofie, untuk kedepannya temani aku makan siang! Ini perintah, jangan dibantah!” pintaku mengatasnamakan perintah.
Belum ada seminggu aku bekerja dengannya, aku rasa aku menyukainya.
Sesampainya di kantor, aku dihampiri Elvan dengan ekspresi wajah penuh dengan rasa penasaran. Sepertinya dia sudah menyiapkan beberapa pertanyaan.
“Bagaiman Dan? Kita menang?” tanyanya dengan cepat.
“Sofie, bisa tolong tinggalkan kami sebentar. Dan tolong belikan dua Ice Americano di coffee shop sebrang jalan ya.” perintahku.
Dengan cepat Sofie mengangguk dan bergegas pergi meninggalkan ruangan.
“Pak Eros menyukai konsep dari kita dan perusahaan Devan. Hasil akan diberitahukan segera oleh mereka.” jawabku.
Membuat Elvan sedikit kecewa. Elvan Putra Marendra adalah sahabat sekaligus Manager diperusahaanku.
“Gue kira kita menangi tender besar ini. Ternyata masih dipertimbangkan. Sepertinya lawan kita tak pernah luput dari Devan ya Dan.” ujar Elvan sedikit kesal.
“Van, gue sepertinya menyukai Sofie. Gue jatuh hati padanya saat pertama kali melihatnya.” ucapku dengan santai, membuat Elvan membulatkan matanya dengan sempurna.
“Lo gak lagi mabuk kan Dan?” tanyanya mengejek.
“Ya enggak lah! Siang bolong gini. Ngaco! Emang ada lo cium nafas gue bau alkohol?” sanggahku.
“Gue cuma menyukainya aja, awalnya gue hanya ingin menggoda nya aja. Tapi ternyata dia menyambutnya dan menggoda gue balik. Gue rasa dia juga suka sama gue.” timpalku penuh percaya diri.
“Hati-hati Zidan, lo udah punya Aruna. Istri lo juga enggak kalah cantik dibandingan Sofie. Makanya jadi laki jangan merasa tampan kalo udah beristri! Jadi nya malah suka beneran kan! Saran gue nih ya.. jangan dilanjutkan deh. Nanti lo bisa kehilangan Aruna.” jawab Elvan mengingatkan.
“Enggak bakal lah.. gue juga tau batasan. Sayang Van, wanita cantik kalo gak di goda!” ujarku lagi.
“Terserah lo Zidan Arsalan Dhananjaya, yang penting gue sebagai sahabat lo sudah mengingatkan!” jawab Elvan sedikit kesal.
“Udah ah, gue balik ke ruangan. Bye!” timpalnya seraya meninggalkan ruanganku.
Saat Elvan membuka pintu tepat didepan nya ada Sofie yang membawakan minuman pesananku dan Elvan dengan cepat mengambil 1 gelas dan melanjutkan langkahnya pergi.
* * * * * * *
Sudah 1 tahun berlalu, kami pun semakin dekat satu sama lain. Chat yang intens sehingga aku menyatakan bahwa aku menyukai Sofie dan tak ingin membiarkan Sofie lepas dari pandanganku sedetik pun.
Aku pergi mengunjungi kedua mertuaku bersama Aruna, selama 3 hari disana aku merasa bosan dan teringat akan Sofie yang memiliki interaksi begitu akrab dengan Rino. Aku tahu bila Rino menyukai Sofie, terlihat dari sikap dan pandangannya kepada Sofie. Aku tidak akan membiarkan Rino memiliki Sofie. Aku rasa aku sudah mulai mencintai Sofie. Aku ingin Sofie milikku seutuhnya. ‘Ya.. aku mencintaimu Sofie.. Aku merindukanmu!’ batinku.
“Pa.. kamu kenapa? Apa ada masalah dikantor?” tanya Aruna yang lagi-lagi menyadarkan ku dari lamunan.
“Tidak ada ma..” jawabku singkat.
Dengan cepat terlintas dipikiranku alasan yang tepat untuk segera pergi dari rumah mertuaku dan kembali pulang kerumahku.
“Eumm, sebenarnya ada sih ma.. tadi Elvan menghubungiku untuk mengadakan rapat mengenai iklan kami yang baru, katanya ini sangat penting untuk memajukan produksi produk kita” jawabku dengan serius.
Terlihat dari mata Aruna yang percaya dengan kata-kataku. ‘Akhirnya aku dapat bertemu dengan Sofie.’ batinku bersorak.
“Yasudah pa, kita pulang saja sekarang. Kebetulan masih jam segini. Papa masih sempat hadir di rapat itu.” jawab Aruna.
Kami pun bergegas pamit dengan kedua mertuaku itu dan pergi meninggalkan tempat itu.
“Ma, kita lewat kantor saja ya. Baru kerumah. Atau mama mau menunggu papa di kantor?” ajakku agar Aruna tidak curiga.
”Tidak usah pa, setelah antar papa aku langsung pulang saja.” pintanya.
Aku tersenyum dan mengecup pucuk kepala nya.
Selama dua jam kami menempuh perjalanan dari rumah mertuaku sampai dikantor. Dengan cepat aku bergegas turun dari mobil. tak lupa pamit dengan Aruna. Ketika aku bergegas memasuki lobby kantor, aku melihat Sofie sendang bersenda gurau dan tertawa sangat senang dengan Rino. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka tertawakan, tetapi hati ku terasa sangat panas dan penuh dengan amarah. Aku terkejut melihat saat Sofie terjatuh dan ditangkap oleh Rino, membuat amarahku memuncak, aku tidak bisa menahan ekspresiku yang tergambar penuh emosi.
Aku melangkahkan kaki mendekati mereka, tak lama Rino menyadari keberadaanku dan bergegas pergi tanpa menyapaku.
“Dimana sopan santun dia sebagai staff diperusahaanku?” lirihku.
“Selamat siang pak. Apakah ada yang diperlukan pak? Mengingat pak Zidan seharus nya sampai ke kota ini malam dan langsung pulang kerumah.” tanya Sofie sedikit gugup.
“Ikut saya keruangan!” ucapku dengan penuh penekanan.
Aku berjalan mendahului Sofie, terdengar suara langkah kaki Sofie mengikuti ku dari belakang dengan terburu-buru. Setelah kami memasuki ruangan kerjaku, aku dengan cepat mengunci pintu ruangan dan memposisikan diriku menghadap Sofie yang terpojok di meja kerjanya.
“A..ada a..apa pak?” tanya Sofie terbata-bata.
Terdengar Sofie menelan air liur dengan pelan, membuatku merasakan getaran ingin menyentuhnya.
Cup!
Aku mencium bibir Sofie dan melanjutkan dengan sedikit melumat lembut bibir mungilnya itu. Terasa Sofie mendorongku dengan sekuat tenaga dan melihat mataku dengan tajam.
“Apa yang sedang kamu lakukan mas?” tanya Sofie sedikit membentak.
Dengan cepat aku memeluk erat Sofie, aku merasakan sangat senang saat telingaku mendengar kata ‘Mas’ dari bibirnya itu.
“Aku tidak suka kamu disentuh oleh lelaki manapun! Bahkan Rino sekalipun!” ucapku dengan penuh rasa cemburu.
Tanpa memberikan jeda yang lama, aku mencium kembali bibir Sofie dan melumatnya. Tanpa sadar tanganku menjelajahi tubuh Sofie yang seperti ingin mendikte apakah ada yang hilang dari sana.
“M..mas.. apa yang ingin kamu lakukan? Aaarghh..” tanya Sofie dengan suara yang nyaris mendesah nikmat.
“Aku akan memberikan tanda bahwa kau milikku! Mmmhh…” ucapku yang sudah kembali kedalam pekerjaan diantara kancing kemeja Sofie.
Aku membuat tanda yang begitu banyak, seperti diriku sedang memberikan hukuman kepadanya. Aku tidak sanggup lagi menahan perasaan ini.
“Mmmhh.. Arghh.. Mas, apakah tidak akan jadi masalah kamu melakukannya disini mas?” tanya Sofie.
Dengan cepat aku mengangkat tubuh Sofie dan membawanya kedalam ruangan yang ada disamping meja kerjaku. Terlihat raut wajah yang terkejut dengan apa yang kulakukan. Segera aku menjatuhkan tubuh Sofie keatas kasur yang ada didalam ruangan tersebut. Segera aku membuka pakaianku dan Sofie, tubuhku dengan cepat mengarah kearah bawah perut Sofie, menekukkan kedua kaki Sofie. Dengan cepat aku menuangkan gairahku padanya. Tak kusangka Sofie mempertahankan kesuciannya. Kulihat ekspresi wajah Sofie yang begitu puas menikmati aktivitas kami yang lihai bermain. Tak kusangka Sofie mampu membalas alunan dengan sedikit aksi yang menggoda padaku.
“Aarghh.. Aku mencintaimu Sofie. Kamu milikku sekarang!” tekanku saat aku berhasil membuat hasratku mencapai titik batas kenikmatannya.
Saat aku hendak merentangkan tubuhku disamping tubuh Sofie aku mendengar Sofie berkata sesuatu.
“Iya Sof?” tanyaku seraya aku menarik tubuhnya dan memeluknya dengan erat.
“Tidak ada mas.. Ini ruangan apa mas? Mengapa ada kasur didalam ruangan ini?” tanya Sofie penasaran.
“Ruangan ini sengaja kubangun untuk aku melakukan aktifitas seks dengan istriku setalah kami menikah.” jawabku santai.
“Kupikir kamu sengaja melakukan ini untuk melakukan kesemua staff sekretarismu mas..” ketus Sofie. Terlihat wajah Sofie menyelidik.
“Tidak Sof, baru kamu wanita kedua yang ada dalam aktifitas diruangan ini.” ucapku meyakinkannya.
“Aku mencintaimu Sof, aku ingin kamu menjadi milikku. Aku ingin kamu selalu ada disampingku.” ucapku seraya mengelus pucuk kepala Sofie.
“Bukankah kamu sudah memiliki istri mas? Kupikir kamu hanya menjadikanku selingan saja. Sebab aku tidak tahu arah tujuan mu dihubungan kita ini. Sikapmu yang begitu manis dan baik membuatku bertanya-tanya.” ketus Sofie lagi.
“Apa kamu ingin pembuktian Sof?” tanyaku spontan. Dengan cepat Sofie mengangguk pelan.
“Aku akan menikahimu, tapi aku tidak tahu apakah kamu mau jadi yang kedua?” timpalku ragu.
“Aku mau mas! Aku mau jadi istrimu! Aku mau jadi yang kedua, asalkan kamu tetap mencintaiku.” jawab Sofie.
“Tapi bagaimana dengan mbak Aruna mas? Apakah dia mau menerima keputusanmu ini?” timpal Sofie.
“Aku akan berbicara dengan Aruna, aku berhak melakukan poligami. Agama pun tidak melarangnya. Dan juga aku dengan Aruna belum memiliki keturunan, aku menginginkan seorang anak Sof..” lirihku teringat apa yang sudah ku dambakan selama ini.
“Mas.. aku juga mencintaimu. Aku akan memberikanmu anak lebih dari satu.” ucap Sofie dengan lembut.
“Apa kamu mau kerumah? Aku akan berbicara dengan Aruna dan memintanya untuk mengizinkan kita menikah.” ajakku tanpa ragu.
“Baik mas, aku setuju.” jawab Sofie penuh senyum.
* * * * * *
Kami pun sampai dirumah, dengan cepat kami memasuki rumah megah itu dan duduk disofa ruang tengah tersebut.
“Kok mas dan Sofie datang secara bersamaan gitu? Ada apa?” tanya Aruna saat itu seraya berjalan menuruni anak tangga rumah kami.
Saat kami bertiga sudah duduk bersama di ruang tamu. Sofie dengan posisi tertunduk, sementara aku yang saat ini merasa leher seperti tercekik memberanikan diri untuk membuka suara.
“Ma..,” lirihku………..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!