Semilir angin yang berhembus dari Samudra, membangunkan Lenka dari tidur lelapnya. Di atas sebuah rumah pohon ditengah pulau kecil tak jauh dari pantai Wane. Saat hari sudah beranjak petang.
"Oh....tidak!" jerit Lenka, saat mendapati tubuhnya yang setengah terbuka dalam pelukan sang kekasih. Buru-buru Lenka menarik tubuhnya dari pelukan Zeehan dan merapikan pakaian seragam putih abu-abunya yang berantakan.
"Zeehan, bangun!" Lenka mengguncang tubuh Zeehan, hingga cowok itu terbangun dari tidurnya yang lelap. Sejenak pria itu meregangkan tubuhnya, terasa sangat nyaman. Sesaat, Zeehan mengusap wajahnya yang tampan.
"Zeehan, ayo kita pulang!" suara lembut Lenka membuat Zeehan tersentak, menyadari apa yang telah terjadi diantara mereka berdua.
"Lenka, maafkan aku," bisiknya, di telinga Lenka, setelah Zeehan merapikan kembali pakaiannya.
"Aku tidak bisa menahan diri." lanjutnya.
Lenka menyandarkan tubuhnya di pundak Zeehan. Cowok itu merangkul Lenka penuh kasih sambil mengecup keningnya lembut.
"Tidak apa-apa, bukan salahmu, tapi salahku juga," lirih Lenka.
"Aku tidak bisa menolakmu, aku mencintaimu, Zeehan," bisik Lenka lembut.
Lenka memang tidak bisa menyalahkan Zeehan sepenuhnya. Karena dirinya juga mau melakukan hubungan terlarang itu dengan Zeehan. Cowok sederhana yang mampu membuat Lenka jatuh cinta begitu dalam.
Lenka jatuh cinta pada pandangan pertama, sejak pertama kali bertemu Zeehan di Sekolah barunya. Sebuah Sekolah Menengah Atas yang terletak di sebuah desa di pesisir pantai Wane, bernama Tolotangga, Bima.
"Lenka, aku berjanji akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi padamu," Zeehan menyakinkan. Sebelah tangannya merangkul Lenka dengan erat.
"Sesuatu apa?" Lenka bingung, ini adalah kali pertamanya Lenka berhubungan intim dengan cowok yang disukainya. Cowok sederhana yang juga berprofesi sebagai seorang nelayan.
"Jika kamu hamil, aku akan menikahi mu, kita akan tinggal di desa ini selamanya, hanya kau dan aku," bisik Zeehan.
"Apakah dengan berhubungan sekali, bisa langsung hamil?" tanya Lenka polos.
"Entahlah, aku juga tidak tahu!" Zeehan menaikkan kedua pundaknya dan menurunkan segera. "Apakah kamu menyesal, Lenka?"
"Tidak, karena aku mencintaimu, Zeehan! Aku tidak pernah jatuh cinta pada cowok lain, sedalam ini, dan aku tidak akan pernah menyesalinya," ungkap Lenka jujur.
"Walau aku hanya seorang nelayan miskin, anak dari seorang wanita yang mengalami depresi?" Zeehan menatap kedua bola mata Lenka yang indah. Lenka mengangguk yakin.
"Apakah kamu punya impian, cita-cita atau apa? Setidaknya itu bisa membuatmu lebih bersemangat lagi, untuk merubah nasib," tanya Lenka.
"Sebenarnya aku ingin menjadi dokter, Lenka, tapi keadaanku tidak memungkinkan aku bisa meraih cita-citaku," lirih Zeehan pesimis.
"Kamu bisa mendapatkan beasiswa dengan prestasimu Zeehan, kamu pintar, aku yakin kamu akan menjadi seorang dokter yang hebat suatu hari nanti." Lenka mendorong semangat Zeehan untuk bisa meraih cita-citanya.
"Aku akan berusaha," ucap Zeehan meyakinkan dirinya.
Lenka tersenyum dan memeluk cowok itu erat. "Aku akan mendukungmu, mewujudkan cita-citamu, Zeehan."
Sebuah bunyi panggilan masuk di ponsel Lenka, membuat gadis itu tersentak. Lenka menatap layar ponselnya sejenak. Dan memandang ke arah Zeehan.
"Mama telepon," bisik Lenka. "Angkat saja, aku akan menunggu di bawah," kata Zeehan, turun dari rumah pohon yang dia bangun sendiri, di sebuah pulau kecil yang tak jauh dari dermaga pantai Wane.
Lenka mengatur nafasnya perlahan, dan menjawab panggilan mama Rekha.
"Ya, Ma." jawab Lenka setengah berbisik.
"Kamu dimana sayang? kok belum pulang, sudah sore ini," suara Mama Rekha terdengar cemas diujung telepon.
"Sebentar lagi Lenka pulang Ma, Lenka belajar kelompok di rumah teman."
"Ya udah, cepat pulang ya!'
"Ya Ma," Lenka menutup telpon dari Mama Rekha, ada perasaan bersalah karena telah membohongi ibunya. Lenka merapikan rambut panjangnya dengan jari-jari tangannya, kemudian menyusul Zeehan yang sudah berdiri di bibir pantai.
Lenka memeluk tubuh Zeehan dari belakang. Cowok itu tersenyum memegang kedua tangan Lenka erat.
"Kita pulang sekarang?" Zeehan membalikkan tubuhnya, dan memeluk tubuh ramping itu dengan mesra.
"Ya, Mama barusan nanyain."
"Ayolah," Zeehan mengurai pelukannya, dan membantu Lenka untuk menaiki kapal cepat untuk kembali ke dermaga.
Valencia Kaynara, adalah seorang siswa baru di SMA Negeri di desa di pinggir Pantai Wane.
Berada di kelas yang sama dengan Zeehan di kelas XII IPA 1. Pertemuannya dengan Zeehan di kelas itu, membawa warna baru dalam hidup Lenka. Lenka yang awalnya menolak untuk ikut ayahnya pindah ke daerah dari Jakarta. Merasa senang bisa bertemu dengan Zeehan, seorang cowok tampan dan tinggi, berkulit sedikit gelap, namun menurut Lenka cowok itu unik dan sexy.
Ayahnya adalah seorang dokter Spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Pemerintah di Kota Bima. Sering berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, membuat Lenka jenuh dan lelah.
Namun di kota ini, Lenka menemukan cinta sejati, yang membuatnya betah dan melupakan segala kekesalan hatinya.
SATU BULAN SEBELUMNYA
"Pokoknya aku tidak mau pindah, Papa!" rengek Lenka. "Aku mau sekolah di sini saja. Capek tau pindah-pindah sekolah terus, harus beradaptasi lagi dengan lingkungan baru, teman baru," protes Lenka, saat Papanya, Budi Santoso memberitahukan berita yang paling tidak dia sukai. PINDAH TUGAS.
Budi Santoso, ayahnya Lenka adalah seorang dokter umum, yang bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah, berstatus ASN.
Entah sudah berapa kali, Dokter Budi pindah dari satu kota ke kota lain, bahkan kali ini, Budi Santoso, selaku dokter umum di tugaskan di sebuah desa terpencil di luar pulau Jawa, yaitu nya sebuah desa di kota Bima. Provinsi Nusa tenggara Barat.
"Lenka, Papa tidak bisa meninggalkan kamu sendirian di Jakarta, kamu anak gadis papa satu-satunya, jadi kita harus tetap sama-sama sayang," bujuk Dokter Budi, malam itu setelah mereka selesai makan malam.
"Pa, aku sudah nyaman disini, kenapa harus pindah lagi sih?" gerutu Lenka.
"Lenka, ini sudah tugas Papa sayang! Sebagai seorang ASN, papa harus mengabdikan diri bagi masyarakat," ujar Papanya Lenka
"Betul Lenka, tenaga Papa sedang dibutuhkan di desa itu, kalau kamu tinggal sendiri di Jakarta. Mama dan Papa tidak bisa mengawasi mu, nak!" Tambah mama Rekha.
"Lenka bisa jaga diri Mama, please, boleh ya, Lenka sekolah di Jakarta saja," Lenka mencoba merayu mamanya.
"Tidak, Lenka, kamu harus ikut!" tegas Pak Budi, hingga Lenka tidak bisa lagi berkelit. Budi Santoso ayahnya Lenka, seorang ayah yang jarang marah, dia sangat menyayangi Lenka, putri satu-satunya, tapi tidak memanjakannya. Kalau Pak Budi sudah bicara, Lenka tidak berani membantah lagi.
Akhirnya setelah melalui perdebatan panjang, Lenka terpaksa menyetujui keputusan kedua orang tuanya, untuk ikut pindah ke Pulau Sumbawa, NTB.
"Ya deh, iya!" Lenka duduk di sofa sambil mendekap kedua tangannya di dada, dengan wajah ditekuk dan cemberut.
*******
Sementara itu, jauh di sebuah desa, di kota Bima Pulau Sumbawa. Masih sekitar pukul 05.00 subuh.
"Han, turunkan hasil tangkapan kita, cepat, ada yang mau borong nih!" Teriak seorang pria bertubuh gemuk dan pendek pada seorang cowok bernama Zeehan.
"Oke Bang Heri, siap!" Balas Zeehan ditengah hiruk pikuk pusat pelelangan ikan, hasil tangkapan nelayan Pantai Wane. Dengan sigap remaja berusia 17 tahun itu, mengangkat keranjang-keranjang berisi ikan hasil tangkapan mereka tadi malam.
"Nih Bang," cowok bernama Zeehan itu meletakkan keranjang rotan itu di depan Bang Heri.
"Makasih, Han, sekarang kamu boleh pulang, sisanya biar Abang yang akan membereskan, ini uang kamu," Bang Heri memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan.
"Oke bang, makasih ya!" Zeehan menerima uang pemberian Bang Heri dengan tersenyum lebar.
"Ya, hati-hati pulangnya! Jangan ngebut! Belajar yang rajin!" Pesan Bang Heri tersenyum.
"Sip!" Cowok itu mengacungkan jempolnya. Cowok itu segera meninggalkan tempat penjualan ikan segar itu dengan sepeda motor bututnya.
Cowok bertubuh tinggi kurus itu adalah Zeehan Aryadinata. Cowok berusia 17 tahun, tampan dan pekerja keras, memiliki kehidupan yang serba kekurangan dan menyedihkan. Di usianya yang masih muda, Zeehan harus bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pengobatan ibunya yang bernama Ratna.
"Ibu, ibu…!" Panggil Zeehan begitu sampai di rumah. Zeehan masuk ke dalam kamar Sang ibu, wanita bertubuh kurus itu duduk melamun dengan tatapan kosong keluar jendela.
"Ibu, Zeehan pulang! ibu mandi dulu ya, habis itu sarapan!" Kata Zeehan mengangkat tubuh kurus ibunya ke kamar mandi. Setelah memandikan dan memakaikan pakaian bersih, dengan telaten Zeehan menyuapi ibunya dengan sebungkus nasi rames yang dibelinya di pasar sebelum pulang.
Begitulah keseharian Zeehan dirumah. Selesai mengurus ibunya, barulah Zeehan bersiap untuk berangkat ke sekolah.
Ibu Ratna Juwita, adalah ibu kandung Zeehan, wanita itu mengalami depresi sejak Zeehan lahir. Yang Zeehan tahu dari cerita orang-orang, ibu Ratna depresi karena di tinggal suaminya saat Zeehan masih bayi.
Dulu, masih ada neneknya Zeehan yang mengurus sang ibu dan dirinya saat kecil. Namun sejak nenek meninggal, Zeehan harus berjuang seorang diri, demi untuk bisa bertahan hidup.
Berbagai pekerjaan dia lakoni tanpa mengeluh. Zeehan bekerja apa saja yang bisa menghasilkan uang, termasuk menjadi nelayan, dia akan ikut Bang Heri tetangganya melaut, jika cuaca sedang bersahabat. Sepulang sekolah, Zeehan bekerja di ladang atau sawah petani sebagai buruh tani.
Di sekolah, Zeehan termasuk siswa yang berprestasi. Walau dia sering datang terlambat ke sekolah, namun para guru memakluminya, karena keadaan Zeehan yang serba kekurangan.
Bagi guru-guru di sekolahnya, asal Zeehan mau sekolah, mereka tidak akan menghukumnya dengan sanksi yang berat. Zeehan sangat di senangi oleh teman-temannya. Karena baik hati dan tidak sombong, walau kadang sedikit nakal.
"Han, semalam Lo jadi melaut sama Bang Heri," Tanya Andre teman sekelasnya, saat baru sampai di sekolah.
"Iya, kenapa Lo nggak jadi ikut?" Zeehan balik bertanya.
"Nggak dibolehin sama orang tua gue, mereka takut gue kenapa-kenapa?" Kata Andre.
"Oh gitu ya, kalau nggak di kasih izin mah, nggak usah Dre, kerja yang lain saja," saran Zeehan.
Memang hidup di desa kecil yang sebagian besar penduduknya adalah nelayan, dan bertani, serta mengelola wisata di Pantai Wane, yang memiliki pantai yang indah dan berpasir putih.
Ada juga yang mengandalkan hidupnya, dengan mengelola sargassum atau alga yang banyak terdapat di pantai Wane, untuk dijadikan bahan industri.
"Gue sebenarnya pengen kayak Lo, Han, bisa menghasilkan duit, buat bantu Mak gue,... juga buat traktiran Anita," cengir Andre.
"Sebentar lagi ujian kenaikan kelas, Lo fokus belajar saja dulu, kalau udah kelas XII, kita belajarnya hanya sebentar, setelah tamat baru deh Lo kerja," nasehat Zeehan.
"Gue heran sama Lo, Han…Lo jarang belajar, tapi Lo bisa dapat nilai terbaik disekolah, apa rahasianya sih?" tanya Andre penasaran.
"Siapa bilang gue nggak belajar, gue kan belajar sekolah tiap hari, bego! Kebetulan juga gue punya otak jenius," ujar Zeehan sedikit Narsis. "Kalau Lo kerjanya pacaran mulu sama Anita, gimana mau fokus belajar," ledek Zeehan.
"He..he..pacaran itu asyik kali, Han, Lo cari cewek juga dong, biar tau rasanya pacaran, Davina jomblo tuh," tutur Andre.
"Nggak ah, gue malas pacaran, ribet, lagian siapa juga yang mau pacaran sama gue, pegangannya ikan sama lumpur, A M I S, yang ada cewek kabur duluan," ujar Zeehan, di ikuti Andre tertawa ngakak.
"Jangan pesimis gitu dong, Han. Kalau dilihat-lihat Lo itu sebenarnya ganteng, kayak aktor ...siapa ya namanya?" Andre meletakan telunjuknya di pelipis sambil berpikir.
"Hah...itu...Nicolas Saputra, bedanya...dia putih, Lo item...ha..ha.."
Bersambung.
Suasana kelas tampak riuh rendah, saat lagi-lagi sekolah diliburkan, karena adanya pemberitahuan rapat guru. Anak-anak IPA 1 berhamburan keluar kelas, untuk kembali ke rumah masing-masing.
Kesempatan itu digunakan Zeehan untuk bisa berduaan dengan pujaan hatinya.
Zeehan mengajak Lenka kerumahnya. Setelah itu, dia membawa Lenka ke suatu tempat.
"Kita mau kemana, Zeehan?" Lenka penasaran saat Zeehan menarik tangannya dengan cepat.
"Ke pulau! Ayolah, sebelum keburu siang!" Zeehan menarik tangan Lenka, untuk segera naik ke atas motor butut kesayangannya.
Mereka pergi ke pelabuhan yang tidak jauh dari rumah Zeehan, dengan menggunakan boat, Zeehan membawa Lenka ke sebuah pulau kecil yang indah.
Hamparan laut berwarna biru, dan gumpalan awan berwarna putih, menambah keindahan cakrawala. Deburan ombak yang menghempas, seirama dengan jiwa muda kedua insan yang bergelora.
"Wah! Tempat yang indah sekali, Zeehan!" Seru Lenka tersenyum gembira. Berkejaran dengan ombak, diatas pasir yang berwarna putih.
"Zeehan, fotoin ya!" Lenka memberikan Ponselnya pada Zeehan. Kemudian berpose manja dengan latar belakang laut yang luas.
"Kamu sering kemari?" Tanya Lenka, sambil mengambil foto selfie mereka berdua.
"Tidak terlalu, hanya jika sedang galau! Ayo ikut!" Zeehan menarik Lenka ke dalam pulau tak jauh dari pantai.
"Kamu bisa manjat, Lenka?" tanya Zeehan sembari menunjuk ke atas sebuah rumah pohon yang terletak diatas pohon besar.
"Rumah pohon?" Lenka tampak senang, Tanpa pikir panjang, Lenka langsung menaiki satu demi satu tangga menuju rumah pohon. Di ikuti Zeehan di belakangnya.
"Wah! Luas sekali, siapa yang bikin, Zeehan?" Tanya Lenka mengungkapkan kekagumannya.
"Aku!" Ucap Zeehan tersenyum, saat gadis manis itu memeluknya dengan erat.
"Dan aku orang yang pertama kamu ajak kemari?" tebak Lenka.
"Tentu saja!" Zeehan mengecup kening gadis itu lembut.
Lenka memandang jauh ke laut lepas, deburan ombak yang menghempas ke pantai, membuat hatinya semakin berdegup kencang, apalagi saat Zeehan memeluknya dari belakang. Menumpukan dagunya di pundak Lenka.
"Kamu suka tempat ini?" tanya Zeehan sambil berbisik.
"Sangat suka, semuanya akan terasa istimewa apabila bersamamu, Zeehan!" Ungkap Lenka jujur.
"Lenka, kamu akan pergi, jika tugas ayahmu disini selesai," tanya Zeehan sedikit mellow.
"Sepertinya aku akan tinggal di desa ini, bersamamu, Zeehan!" Lenka berbalik dan mengalungkan kedua tangannya di leher Zeehan.
"Tapi, aku tidak bisa memberimu kekayaan," ucap Zeehan lirih.
"Kamu seorang pekerja keras, aku yakin kamu akan bisa membahagiakanku, walau nantinya kita hidup pas-pasan, tapi aku suka di sini" ujar Lenka meyakinkan.
"Bagaimana kalau orang tuamu tidak merestui hubungan kita,"
Lenka diam sejenak, dia memang belum memberitahu Papa dan Mamanya, tentang hubungannya dengan Zeehan.
Menurutnya, terlalu awal membicarakan hubungan mereka secara serius.
"Aku akan bertahan di sampingmu, asalkan kamu mencintaimu dengan tulus," janji Lenka.
"Benarkah!?" Zeehan menatap bola mata indah itu dengan mesra. Lenka mengangguk.
Hembusan angin laut, membuai keduanya untuk saling berbagi kehangatan. Cinta keduanya yang menggebu-gebu, membuat Zeehan dan Lenka, tenggelam dalam lautan asmara yang mendebarkan.
Dengan sadar, Lenka telah menyerahkan kesuciannya, kepada seorang Zeehan, yang baru dikenalnya selama beberapa hari belakangan.
Zeehan memiringkan tubuhnya, menatap wajah cantik berhidung bangir itu, yang baru saja memberinya pengalaman cinta yang mendebarkan. Lenka masih berbaring disisinya, dengan berbantalkan sebelah lengannya. Zeehan menyibak rambut panjang Lenka ke belakang, yang dibiarkan tergerai, menutupi sebagian wajahnya.
"Kamu menyesal Lenka?" Tanya Zeehan merasa bersalah, karena sudah merenggut kesucian kekasihnya.
Lenka menggeleng, "Aku bahagia bersamamu, Zeehan!" Gumam Lenka sambil mencium bibir Zeehan dengan lembut, memancing hasrat Zeehan untuk kembali berbagi keringat, ditengah kerasnya suara ombak yang bergulung-gulung ke tepian pantai.
Jiwa muda itu begitu bergelora, Lenka tidak memikirkan akibat dari perbuatan mereka, Zeehan pun kehilangan kendali atas dirinya, baginya Lenka adalah segala-galanya, dia akan memperjuangkan cintanya, jika suatu hari, orang tua Lenka menentang hubungan mereka.
"Apakah kamu punya keinginan?" tanya Zeehan.
"Keinginan apa?" Lenka bingung.
"Apa saja yang kamu inginkan, tentang hubungan kita?"
Lenka menaikkan alisnya.
"Kalau kamu apa yang kau inginkan, Zeehan?" tanya Lenka ingin tahu. Wanita itu memeluk pinggang Zeehan dengan posesif.
"Aku ingin, kita bersama untuk selamanya," bisik Zeehan.
"Aku ingin membantumu mewujudkannya. Aku tidak akan melupakan tempat ini, sayang," Lenka mencium bibir Zeehan lembut. Zeehan tersenyum, dia menahan tengkuk Lenka. Dan kembali membalas ciuman itu lebih mesra.
"I Love You, Lenka," bisik Zeehan.
Tidak ada jawaban, Lenka larut dalam buaian cinta yang ditawarkan Zeehan. Semakin lama semakin dalam.
*********
Menjelang siang, Zeehan dan Lenka, keluar dari pulau, Dan seperti biasa, mengantar Lenka kembali kerumahnya.
"Zeehan, masuk dulu!" Ujar Mama Rekha,saat Zeehan mengantar Lenka pulang kerumah.
"Terimakasih, Tante! Saya harus kerja setelah ini," Tolak Zeehan.
"Ayolah, sebentar saja,"
Zeehan yang merasa tidak enak, akhirnya turun dari motornya, dan masuk ke dalam rumah dinas keluarga Lenka.
"Ayo duduk, Tante ambilkan minuman!"
"Nggak usah repot-repot, Tante!" Sahut Zeehan.
"Nggak, malah Lenka yang selalu merepotkan kamu setiap hari,"
"Tidak juga, Tante! Aku sekalian pergi ke perkebunan untuk bekerja!" Kata Zeehan.
"Memangnya, kamu kerja apa disana!" Tanya Tante Rekha.
"Apa saja, Tante! Yang penting dapat uang!" Kata Zeehan.
"Tante suka, anak muda yang suka bekerja keras," puji Tante Rekha.
Lenka tersenyum menatap Zeehan yang tampak gugup di depan ibunya.
"Kamu akan kemana setelah tamat SMA, Zeehan?" tanya Rekha lagi.
"Maunya masuk kedokteran, Tante! Tapi di Jakarta!"
"Oya! Bagus itu, Lenka juga mau ngambil Program Studi Kedokteran, tapi kedokteran anak" kata Mama Rekha.
Zeehan menatap ke arah Lenka yang mengiyakan ucapan ibunya.
"Itu, papanya Lenka pulang! Kita makan dulu Zeehan," Kata Mama Rekha.
"Nggak usah, Tante! Saya sudah makan," tolak Zeehan halus.
"Pa, kenalin ini Zeehan temannya Lenka, dia pengen jadi dokter juga kayak Papa!" Ucap Mama Rekha pada suaminya Budi Santoso.
"Halo Om, saya Zeehan!" Zeehan tampak gugup menyalami pria berkharisma itu.
"Oh, benar mau kuliah di kedokteran?" Tanya papa Lenka, saat mereka duduk bersama di meja makan.
"Iya Om, kalau proposal beasiswa saya turun akhir tahun pelajaran ini," kata Zeehan jujur.
"Baguslah, Om bisa bantu kamu, agar masuk di kedokteran UI,"
"Terimakasih Om," jawab Zeehan tersenyum senang. Ternyata bertemu dengan orang tua Lenka tidak begitu menakutkan seperti bayangan Zeehan.
Tapi, bagaimana kalau mereka tahu, putri mereka berpacaran dengannya. Zeehan tidak tahu bagaimana reaksi kedua orang tua Lenka itu, menerima atau menolaknya. Karena Zeehan hanyalah seorang pemuda desa yang miskin, namun bercita-cita tinggi ingin menjadi seorang dokter.
*******
Ujian semester satu di kelas XII baru saja usai. Zeehan begitu serius menyelesaikan soal-soal ujian yang diberikan guru.
Zeehan telah belajar keras untuk dapat memperoleh nilai terbaik, demi untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter, karena itu dia harus mendapatkan beasiswa penuh di sebuah PTN di Jakarta.
Begitu juga dengan Lenka, mereka belajar bersama setiap hari di rumah Lenka. Setiap pulang sekolah.
Dan hasilnya pun tidak sia-sia! Zeehan berhasil mendapatkan beasiswa itu, dan hanya tinggal menyelesaikan ujian akhir sekolah tiga bulan lagi.
Lenka merayakan keberhasilan Zeehan bersama teman-temannya di rumah dinas Ayahnya. Mereka mengadakan acara barbeque di taman belakang rumahnya.
"Anita, bantuin bakar dong, jangan main ponsel saja!" Teriak Andre.
"Aku kan, bikin video kenang-kenangan, Dre, sebentar lagi, Lenka dan Zeehan akan kuliah di Jakarta. Kita akan menikah, ya kan!" Kata Anita.
"Beneran kalian mau nikah muda?" tanya Lenka.
"Iya, Lenka, kalau di desa kami, nikah muda itu biasa, kalau kuliah, biayanya kan besar, orang tua kami hanya nelayan, tidak mampu membiayai kuliah kami di kota!" Ujar Andre.
"Oh,begitu ya," sahut Lenka.
"Dagingnya udah matang, nih! Ayo kita makan!" Sorak Zeehan, pada teman-temannya.
"Ayo!" Si gendut Mamat mengambil sepiring daging bakar untuknya.
"Jangan banyak-banyak, Mat, nanti darah tinggi lho!" Ujar Andre.
"Sekali-kali nggak apa-apa kali, Dre! Kita kan jarang-jarang makan daging," sahut Mamat sambil melahap daging bakar didepannya.
Lenka tersenyum memandang teman-temannya yang makan dengan lahap.
"Kamu mau?" Zeehan menyuapkan sepotong daging ke mulut Lenka.
"Enak?" tanya Zeehan, menunggu reaksi Lenka.
"Hoek!...ini... nggak enak!" Lenka berlari ke dalam rumah, dan memuntahkan daging bakar itu ke wastafel. Namun tidak berhenti sampai disitu, Lenka kembali mual dan memuntahkan isi perutnya.
"Lenka, kamu kenapa?" Zeehan menyusul Lenka ke dalam rumah, memijit pundak Lenka agar lebih rileks.
"Entahlah, daging bakar itu baunya nggak enak, perutku menjadi mual!" Kata Lenka kembali memuntahkan isi perutnya, kali ini hanya berupa cairan kental bening.
Zeehan membalurkan minyak kayu putih di punggung Lenka.
"Kamu masuk angin, Lenka?" Lenka hanya diam, ada ketakutan dalam dirinya, jika ada sesuatu yang lain dalam dirinya.
"Zeehan, bagaimana kalau aku hamil?" batin Lenka menatap Zeehan dengan gelisah.
Bukan tanpa alasan, Lenka berpikiran tentang hal itu, soalnya sudah tiga bulan dia tidak mendapatkan menstruasi.
"Kamu baik-baik saja, Sayang," Zeehan mengusap punggung Lenka perlahan.
"Aku nggak pa pa, Han," kata Lenka kemudian.
"Ayo kita kembali ke taman belakang, nanti teman-teman nyariin kita Ujar Lenka.
"Sudah merasa lebih baik?" Tanya Zeehan.
"Iya," Lenka mengangguk. Lenka berjalan keluar mengikuti Zeehan yang sudah bergabung dengan teman-temannya.
Lenka kemudian hanya duduk diam, memperhatikan teman-temannya yang bergembira menikmati daging panggang, yang di sediakan orang tua Lenka.
Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam otaknya. Hatinya gelisah. Zeehan duduk di samping kekasihnya itu, sambil merangkulnya erat. Lenka menyandarkan tubuhnya dalam pelukan laki-laki. Hatinya bimbang.
Ujian akhir sekolah, di hadapi Lenka dengan baik, walau kegelisahan masih berkecamuk dalam hatinya.
Zeehan mengantar Lenka pulang ke rumahnya. Kebetulan, siang itu Papa Budi ada di rumah, karena sedang libur kerja.
"Bagaimana ujiannya, Nak? tanya Mama Rekha ramah.
"Sudah selesai dengan baik, Tante!" Jawab Zeehan.
"Syukurlah, kapan kamu akan berangkat ke Jakarta?" Tanya Mama lagi.
"Masih lama, Tante, mungkin sekitar 3 bulan lagi,"
"Oh, kalau begitu, semoga kamu sukses ya," doa Mama Rekha
"Makasih, Tante, kalau begitu saya permisi pulang dulu," pamit Zeehan.
Setelah kepergian Zeehan, Lenka kembali mengajak kedua orang tuanya bicara.
"Ada apa, Lenka?" tanya Mama Rekha heran melihat sikap Lenka yang aneh.
"Ma….!Pa….! Aku hamil!" Lenka menundukkan wajahnya dalam-dalam, tak berani menatap wajah kedua orang tuanya.
"APA? KAMU HAMIL? SIAPA YANG BIKIN KAMU HAMIL, LENKA?" teriak Papa Budi syok, wajahnya memerah menahan amarah.
"Zeehan, Pa," lirih Lenka.
"Plak!" Sebuah tamparan mengenai wajah Lenka, pria paruh baya itu tampak emosi.
"Maafin Lenka, Pa," Isak Lenka, sambil memegang pipinya yang terasa panas.
"Pa, sudahlah… jangan pukul lagi!" Mama Rekha menahan suaminya untuk tidak memukul putrinya itu.
"SUDAH BERAPA BULAN?" tanya Papa Lenka, suara pria itu meninggi.
"Sudah 4 bulan, Pa!" Jawab Lenka, mengusap air matanya yang mengalir deras di pipinya.
"Pergi Lenka, pergilah temui pria itu, Papa tidak mau melihatmu di rumah ini," ujar Pak Budi merasa kecewa.
"Pa, jangan usir Lenka, Pa! Dia anak kita satu-satunya," mohon Mama Rekha.
"Seharusnya dia itu sadar diri, Ma! Kita sudah menyiapkan masa depannya dengan baik, dan menjodohkannya dengan Denise, tapi lihat, ini apa? Dia malah bergaul dengan orang yang tidak jelas masa depannya."
Lenka menangis, tanpa bergeming dari tempat duduknya.
"PERGI LENKA! AKU TIDAK SUDI PUNYA ANAK TIDAK TAHU DIRI SEPERTIMU, JANGAN PANGGIL AKU PAPAMU LAGI!" Papa Lenka, keluar dari rumah, dan melajukan mobil dinasnya dengan kecepatan tinggi.
"Maafkan Lenka, Ma!" Lenka memeluk kaki ibunya erat. Mama Rekha menangis.
"Mama tidak bisa membantumu, Lenka! Kamu tahu sendiri papamu seperti apa!" Kata Mama Rekha sedih.
"Ma, apa yang harus Lenka lakukan?"
"Mintalah pertanggungjawaban Zeehan, minta dia menikahi mu dan kamu bisa tinggal bersamanya.
Lenka menggeleng, Dia tidak dapat membayangkan hidup bersama Zeehan dan Ibunya yang depresi. Apalagi wanita itu tidak menyukai Lenka.
"Ma, apa aku harus menikah dengan Zeehan, aku belum siap ma," rengek Lenka.
"Lenka, kalau kamu tidak siap, kenapa kamu mau saja melakukan hubungan suami istri sebelum menikah," Mama Rekha tampak kecewa.
"Lenka mencintai Zeehan, Ma, tapi Lenka belum mau menikah, Lenka masih ingin melanjutkan kuliah, bagaimana kalau Lenka gugurkan saja anak ini,"
"Tidak Lenka, Mama tidak setuju, dia tidak bersalah, perbuatan kalianlah yang salah, kalian yang berdosa, kamu mau menambah dosa lagi, dengan melenyapkan bayi itu." Tegur mama Rekha.
Lenka menarik nafas panjang. Mama Rheka pun diam seribu bahasa. Keheningan menyelimuti suasana rumah itu.
Pak Budi kembali pulang, saat hari sudah menjelang malam.
"KENAPA KAMU MASIH DISINI?" Papa Lenka tampak masih marah dan kecewa. Saat melihat Lenka masih duduk di ruang tamu.
"Pa, Lenka tidak mau selamanya tinggal di desa ini, Lenka masih ingin kuliah?"
Budi Santoso, papanya Lenka, menarik nafas panjang. Dia duduk di sofa, dengan sebelah tangan memijit dahinya.
"Baiklah, kalau begitu, Papa akan mengirim mu ke Australia, kamu kuliah disana dan tinggal bersama Tantemu Julia," putus Papanya Lenka.
"Ya Pa! Terimakasih," Lenka bersimpuh di kaki Papanya. Dia menerima keputusan Papanya untuk kuliah di Australia, dan melahirkan di sana. Dari pada harus menikah dengan Zeehan diusianya yang masih muda.
"Bangunlah, setelah surat tanda lulus keluar, kamu langsung berangkat ke Australia," ujar Pak Budi melunak. Lenka mengangguk.
*******
Melbourne, 08.00 AM
Suara tangisan seorang bayi laki-laki menggema di ruangan sebuah rumah sakit bersalin di kota Melbourne. Lenka baru saja melahirkan seorang bayi laki, dengan berat 3.5 kg dan panjang 55 cm.
Lenka melahirkan seorang bayi laki-laki, tepat di awal bulan Oktober. Seorang bayi laki-laki tampan, memiliki kulit kuning Langsat ibunya, Zeehan. Namun wajahnya tampan dan menggemaskan.
"Bayimu tampan sekali, Lenka!" Bibi Julia menciumi wajah mungil itu dengan gemas.
"Oh ya, mana? aku mau lihat Bi," Lenka mengendong bayi mungil itu kedalam pangkuannya. Lenka tersenyum manis, "Persis papanya," bisik Lenka.
"Kamu yakin tidak akan memberitahu Zeehan?" Bibi Julia menatap Lenka lekat.
"Tidak sekarang bibi, nanti kalau dia sudah sukses," kata Lenka.
Mama Rekha datang dari dari Jakarta untuk menemaninya selama Lenka di masa pemulihan.
"Cucu Oma, tampan sekali, namanya siapa ya?" tanya Mama Rekha mengendong bayi mungil itu dalam pelukannya.
"Aku akan memberinya nama Kenzio, Ma!" jawab Lenka.
"Kenzio? Nama yang bagus,"
"Kenzo Zeehan Aryadinata," gumam Lenka.
"Aryadinata?? perasaan mama pernah mendengar nama itu, tapi dimana ya?" gumam Mama Rekha. Mencoba mengingat seseorang dengan nama yang cukup familiar di telinganya.
"Itu nama belakang Zeehan, Ma." terang Lenka .
"Oh!" jawab Mama Rekha singkat.
BERSAMBUNG
Enam Tahun Kemudian
Zeehan berdiri bersandar di meja kerjanya, menatap jauh keluar jendela gedung tempat dia bekerja. Dia tidak pernah membayangkan akan berada di puncak kejayaannya saat ini, berdiri tegak menjadi seorang Presiden Direktur Rumah Sakit ternama di ibu kota, Darya Medika.
Apakah dia harus berbangga sekarang?
Pikirannya berkecamuk, setelah mendengar kepergian Lenka ke Australia bersama pria bernama Jovan. Pria tampan itu menarik nafas panjang. Perlahan dia kembali duduk di kursi kebesarannya.
"Ngapain kamu pergi dengan laki-laki itu, Lenka, kamu benar-benar liar , aku tidak menyangka, kamu akan menjadi perempuan j***Ng seperti itu," ucap Zeehan kesal.
"Aku terpaksa mengeluarkan mu dari rumah sakit ini, Lenka!" gumam Zeehan dengan penuh kebencian.
Zeehan menatap kembali selembar surat pemecatan yang dia tujukan untuk Lenka.
Hatinya sudah yakin untuk menandatangi surat itu. Hatinya sudah tertutup oleh kecemburuan dan tidak ingin melihat wanita itu berada di tempat yang sama dengannya.
"Pak Hendra, datang ke kantor saya sebentar!" titah Zeehan lewat interkom.
Tak lama seorang pria paruh baya berkaca mata bernama Hendra datang dan masuk ke ruangan Zeehan dengan tergesa-gesa.
"Ada apa, Pak?" Hendra menatap bos barunya dengan perasaan cemas. Zeehan memberikan sebuah amplop ke tangan Hendra.
"Berikan surat ini pada dokter Valencia!" kata Zeehan dingin.
"Kalau boleh tahu, surat apa ya Pak?" Hendra penasaran.
"Peringatan untuk dokter Valencia,"
"Tapi dokter Valen masih berada di Australia Pak," Hendra bingung.
"Berikan saja surat itu, setelah dia kembali ke rumah sakit ini," Zeehan menatap Hendra tajam.
"Baik Pak," Hendra keluar dari ruangan Presdir itu dengan perasaan tak menentu.
*****
"Stella, Valen kemana ya? Sudah 2 hari gue nggak lihat tu anak!" Kata Della.
"Valen mengambil cuti selama seminggu, dia pergi ke Australia bersama sepupunya," jelas Stella.
"Oh, pantesan gue nggak lihat dia dari kemaren, ngomong-ngomong gue kasihan juga melihat Valen gagal nikah," celoteh Della.
"Iya, makanya dia pergi ke Australia untuk berlibur dan menenangkan diri," kata Stella.
Lenka berangkat ke Australia, karena masih ada cuti nikahnya selama seminggu, dia memanfaatkan cuti itu untuk mengunjungi putranya di Australia.
Lenka menghabiskan waktunya bersama Zio dan Jovan untuk berjalan-jalan ke tempat wisata yang ada di Australia.
"Zio, kalau di Jakarta, kita nanti bisa mengunjungi Taman Mini, Zio ikut mama ya, ke Jakarta," bujuk Lenka lagi.
"Nanti saja Mama, Zio mau ke Jakarta, setelah Zio mulai sekolah."
"Beneran ya, Zio janji sama Mama," kata Lenka tersenyum mengulurkan jari kelingkingnya.
"Iya, Zio janji" bocah kecil itu mengaitkan jari mungilnya ke hari Lenka.
"Mama akan kembali ke Jakarta besok," kata Lenka mengusap kepala putranya lembut.
Putranya Kenzio, memang lengket dengan keluarga Bibi Julia. Dan menganggap Jovan sebagai ayahnya. Berkali-kali Lenka mengajak putranya itu ke Jakarta, tapi anak itu selalu menolaknya. Hingga, Lenka menyerah dan membiarkan Kenzio tumbuh bersama keluarga Bibi Julia.
*****
Saat Lenka kembali dari Australia, dia dikejutkan dengan keluarnya surat peringatan dari pihak rumah sakit.
"Apa-apaan ini, pak Hendra? Kenapa saya diberi surat peringatan ini," kata Lenka marah, saat membaca surat peringatan yang diberikan atasannya.
"Saya hanya menjalankan perintah atasan Dokter Valen," ucap Pak Hendra lirih.
"Perintah siapa?... Pak Daniel? ...Saya sudah izin kepada beliau untuk mengambil cuti selama seminggu." Lenka tidak terima.
"Dan anda telat satu hari," lanjut Pak Hendra.
"Saya juga sudah konfirmasikan dengan Pak Daniel, pesawat yang saya tumpangi delay selama 2 jam, itu sebabnya saya telat sampai di Jakarta," jawab Lenka.
"Maaf, dokter Valen, sebaiknya anda bicara sendiri dengan bapak Presdir yang baru," kata pak Hendra akhirnya.
"Presiden Direktur yang baru?... Siapa?Denis??" Lenka menatap Pak Hendra horor.
"Bukan, putra Pak Daniel yang lain!" jawab Hendra menelan Saliva nya kasar. Dia merasa tidak enak hati, karena Valencia adalah dokter terbaik di rumah sakit itu. Namun dia tidak bisa membantah atasannya.
"Oke, saya akan bicara sendiri dengannya." Lenka menghembuskan nafasnya berat. Hatinya geram, ada masalah apa, hingga Presdir baru itu memecatnya, ataukah karena peristiwa malam itu? Lenka tidak habis pikir. Mau tidak mau Lenka harus menemui pimpinan rumah sakit itu, terserah pria itu akan memandangnya seperti apa.
Dengan langkah tergesa-gesa, Valen berjalan menuju ruangan kerja Presdir, di lantai 5 Tanpa mengetuk pintu, Valen masuk dengan wajah kesal.
Seorang berdiri membelakangi pintu, menghadap keluar jendela ruangan kantor nya. Kedua tangannya berada dalam kantong celana, sesekali pria itu menarik nafasnya perlahan
"Pak, kenapa anda memberi saya surat pemecatan secara sepihak, apa salah saya," teriak Valen dengan suara serak, karena menahan diri untuk tidak menangis.
Pria itu memutar tubuhnya dengan perlahan. Valen terpaku di tempat ia berdiri. Matanya membulat sempurna, tidak percaya dengan penglihatannya. Mata indah yang dulu pernah dia rindukan, menatapnya tajam. Kedua tangannya masih berada didalam kantong celana bahannya. Sudut bibirnya terangkat sedikit ke atas, sebuah senyuman sinis.
"Zeehan…!" ucap Valen lirih. Kertas berisi surat pemecatannya jatuh begitu saja di lantai.
"Ada apa, dokter Valen? Kenapa anda masuk ke ruangan saya tanpa permisi? Apa anda terbiasa seperti ini?" Zeehan menatap Lenka seolah hendak menerkam.
Lenka menelan ludahnya kasar, pria itu sepertinya ingin berperang dengannya.
"Kenapa saya dipecat? Apa salah saya?" Lenka mengambil kembali kertas yang jatuh kelantai, meremasnya dan melemparnya ke wajah Zeehan. Pria itu tidak mengelak.
"Karena anda tidak disiplin," kata Zeehan angkuh, sembari duduk bersandar di kursi kebesarannya. Dengan sebelah kaki kanan diangkat ke atas paha kirinya.
"Saya sudah minta izin sama Om Daniel," Lenka membela dirinya.
"Pemimpin di rumah sakit ini sekarang adalah saya, bukan lagi Bapak Daniel Aryadinata," ujar Zeehan tersenyum samar. Dia kembali bangkit dari duduknya. Berjalan pelan mendekati Valen.
"Kau….!" Valen tercekat, saat mendengar Zeehan menyebut nama itu, dan Zeehan memiliki nama belakang yang sama dengan Daniel.
"Kenapa? Kaget?" Zeehan tertawa sinis. "Aku sekarang bukan lagi, Zeehan si nelayan yang miskin VALENCIA KAYNARA."
Valen menatap Zeehan tak kalah tajam, matanya berkaca-kaca.
"Jadi, kau memecat ku hanya karena dendam masa lalu, ZEEHAN ARYADINATA. Asal kau tahu, aku pergi karena ibumu tidak menyukaiku, dia memperkenalkan Sherly sebagai calon istrimu, lalu aku ini siapa?" Teriak Lenka dengan suara bergetar.
"Kau meninggalkan aku, karena kau takut aku tidak bisa membahagiakanmu, kan? Kau takut hidup miskin denganku," kata Zeehan memegang dagu lancip Lenka dengan keras, Lenka menepis tangan Zeehan dengan kasar.
"Dan kau menikahi Sherly, perempuan yang lebih tua darimu, demi apa? Demi uang, kan?" balas Lenka.
"Aku membutuhkan Sherly, untuk menjaga ibuku. Orang tuanya yang membiayai kuliahku di Jakarta," ungkap Zeehan.
"Oh ya!" Lenka tersenyum mengejek.
"Aku menikah dengan perjanjian, aku akan mengakui anaknya sebagai anakku, dan menikahinya, dan sebagai imbalannya, mereka membiayai kuliahku sampai selesai," terang Zeehan jujur.
"Hah, lucu sekali kamu Zeehan," Lenka tertawa miris
"Dengar Lenka, Valen, atau siapapun namamu, aku hanya tidak mau perempuan murahan sepertimu ada di rumah sakit milikku," tekan Zeehan kasar.
Valen meradang, saat pria yang dikenalnya itu menyebutnya murahan, sebuah tamparan melayang di wajah Zeehan."Berani sekali kau menyebutku murahan, Zeehan,"
Zeehan mengusap pipinya yang terasa panas.
"Apa namanya kalau bukan murahan, setelah gagal menikah dengan Denis, kau tidur dengan dokter Han, setelah itu, kau pergi ke Australia dengan laki-laki lain, siapa dia pacarmu yang lain, aku tidak menyangka kau segampang itu, Lenka. Aku jadi bertanya-tanya, siapa ayah dari anak yang kau lahirkan?" Kata-kata Zeehan yang setajam belati, mengiris jantungnya. Perih.
Lenka mengatur nafasnya yang terasa sesak. Bagaimana bisa, Zeehan tahu kalau dia tidur dengan dokter Han, apakah laki-laki itu membuntutinya. Apakah pria itu tidak menyadari, kalau dia lah yang menanam benih itu di rahimnya?
"Ya, aku memang murahan, aku tidur dengan banyak pria kaya, lalu apa bedanya kau denganku, Zeehan. Kau menjual dirimu pada keluarga Sherly, hanya agar kau bisa mencapai ambisimu, kau juga tidur dengannya, bukan? Lalu apa bedanya kau denganku?" Lenka memukul dada Zeehan dengan kedua tangannya. Pria itu menahan kedua tangannya erat.
"Berapa bayaranmu?"
"Hah, kau tidak akan mampu membayar ku, Zeehan, sekalipun kau jual rumah sakit ini. Aku membencimu Zeehan, aku menyesal pernah mengenalmu."
Lenka menarik nafas sesaat. Zeehan terpaku mendengar ucapan Lenka.
"Baiklah, aku akan pergi, lepaskan aku ZEEHAN ARYADINATA!" Lenka menarik tubuhnya dari dekapan Zeehan. Lenka keluar dari ruangan itu segera dan membanting pintu dengan kasar.
Zeehan menghembuskan nafasnya perlahan. Hati kecilnya tidak tega melihat wanita yang dicintainya itu menangis. Namun kemarahan dan kecemburuan telah menguasai hatinya.
Ya, Zeehan cemburu melihat kemesraan Lenka dengan Jovan beberapa hari yang lalu. Saat Jovan datang mengunjungi Lenka dirumah sakit.
Lenka mengumpulkan semua barang-barang pribadinya yang ada diatas meja kerjanya. Wajahnya tampak menahan amarah.
"Lho Val, Lo kenapa? kok barangnya di beresin," tegur Stella heran.
"Gue di pecat," Lenka mendengus kasar.
"Kok bisa? Lo itu kan, dokter terbaik di rumah sakit ini, kesayangan Pak Presdir lagi," ucap Stella tak percaya.
"Lo tanya saja tuh, sama Presdir yang baru! Songong amat tu orang, kesalahan gue hanya telat sehari masuk kerja, gue langsung dipecat, gila nggak tuh orang," jawab Lenka kesal.
"Atau jangan-jangan dia suka sama Lo," goda Stella
"Justru karena dia benci sama gue, dia pecat gue seenaknya, udahlah Stella, gue pergi dulu, gue mau cari rumah sakit lain saja," kata Lenka.
"Kalian saling kenal?" tanya Stella penasaran.
"Tidak," jawab Lenka berbohong.
"Lo ajukan banding sama Pak Daniel, mungkin Pak Daniel bisa membantu," ujar Stella.
"Nggak, gue nggak mau memohon pada siapa pun, bye Stella, gue pergi dulu ya," Lenka keluar dari ruang kerjanya. Berjalan dengan tergesa-gesa, menyusuri koridor rumah sakit, menuju tempat mobilnya di parkir.
Dengan kecepatan sedang, Lenka memacu mobilnya menuju apartemennya.
Sesampainya di Apartemen, Lenka membaringkan tubuhnya di ranjang, tubuhnya terasa lelah. Pikirannya kacau, pertemuannya dengan Zeehan justru menambah kepedihan di hatinya.
"Aku membencimu Zeehan!" Teriak Lenka.
"Aku menyesal telah mengenalmu, seharusnya aku tidak jatuh cinta padamu,"
Lenka menangis terisak-isak.
Awalnya, Lenka merasa hatinya bahagia saat melihat Zeehan berhasil meraih cita-citanya menjadi seorang dokter, dia ingin memeluk pria itu dan mengucapkan selamat.
Tapi sikap arogan Zeehan membuat Lenka merasa ilfil. Rasa rindunya berubah menjadi kekecewaan dan kebencian yang mendalam.
*******
Zeehan membaringkan tubuhnya yang lelah di ranjang big size miliknya.
Pikirannya terusik dengan kata-kata Lenka tadi siang. Ya, dia juga sama dengan dengan pria yang menjual dirinya demi uang. Demi cita-citanya menjadi seorang dokter.
Zeehan mengambil ponselnya yang terletak diatas nakas, menyalakannya dan membuka kembali potret kebersamaan dirinya dan Lenka di pulau kecil yang dia klaim sebagai miliknya.
"Maafkan aku Lenka, aku tidak bermaksud menyakitimu, aku mencintaimu lebih dari segalanya," bisik Zeehan setelah menonton video mereka berdua di atas rumah pohon, yang dia rekam diam-diam. Zeehan tersenyum getir. Dia telah menyia-nyiakan cinta Lenka yang begitu tulus padanya. Gadis yang dulu mencintainya begitu dalam.
Ingatannya kembali pada sebuah botol yang dia kubur didekat rumah pohon, berisi kata-kata harapan untuk cinta mereka berdua kelak. "Apa isi kertas yang ditulis Lenka," batin Zeehan.
Bisakah mereka berdua kembali ke tempat itu suatu hari nanti, atau dia tetap menjadi rahasia pasir putih di pantai Wane.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!