Hey, Guys! Cerita ini sudah selesai direvisi secara keseluruhan. Oh, iya... alur ceritanya akan ada yang berbeda, penulisannya Inshaa Allah bakal lebih rapi dan enak dibaca. Dan juga, banyak scene yang ditambah dan ada juga yang aku hapus karena menurut aku gak penting!
Happy reading, Guys! Semoga kalian suka! XOXO
Jangan lupa tinggalkan jejak! 💯🦋
...***...
Indonesia State’s~
Kegelapan adalah sebuah simbol kejahatan, dan mungkin saja, bagi mereka kegelapan adalah suatu hal yang menentramkan. Itu juga yang Earnest sukai, kegelapan dengan sedikit keremangan. Seperti yang terjadi saat ini, ia berada di sebuah ruangan gelap dengan sedikit pencahayaan, termenung memikirkan masa lalu dan seorang wanita berparas cantik.
Di sela jarinya, terdapat sebatang rokok. Sedangkan di sudut ruangan, seorang pria berdiri memperhatikan sang tuan, dia adalah Richardo ... tangan kanan Earnest.
"Richardo!" panggil Earnest lantang sehingga suaranya menggema di seluruh ruangan.
"Iya, Tuanku?" jawabnya datar.
“Bagaimana kabar gadisku?" tanyanya sambil menghisap rokok dan menghembuskan asapnya.
“Nona baik, Tuan. Apa Anda ingin menemuinya?” tanya Ricahrdo menunduk.
“Tidak. Awasi dia, jangan sampai kabur!” ucapnya penuh peringatan.
“Baik, Tuanku!” jawab Richardo ketakutan dengan aura kemarahan yang Earnest ciptakan.
“Pergi lah!” usirnya dan Richardo segera melenggang pergi dari hadapan sang tuan.
Di bawah keremangan, Earnest mengambil sebuah foto wanita yang terletak di atas meja. Walau gelap, dia hafal betul bagaimana gambar di dalam foto tersebut.
“Aku kalah, aku menyukaimu! Tetapi, kau tetap salah, My Baby Cat... kau salah telah hadir di dalam hidupku!” batinnya.
...****...
“Katryna!” panggil seseorang.
Wanita yang bernama Katryn itu menoleh ke asal suara, senyumnya terbit melihat pria yang berdiri di belakangnya.
“Hai, Mike!”
“Hari menyenangkan, hm?” tanya Mike.
“Ya. Benar sekali!” ucap Katryn semangat.
“Apa yang membuat senang hari ini?” tanya Mike tersenyum, sudah lama ia tidak melihat senyum semangat di wajah temannya ini.
Katryn mengangkat surat yang sedari ia pegang ke depan wajah Mike, pria tersebut mengerutkan dahinya bingung.
“Surat apa ini?”
“Baca!” perintahnya. Mike mengambil surat tersebut dan membacanya seksama.
“Seriously? Kau akan bekerja?” ucap Mike heboh. Katryn mengangguk semangat, Mike langsung memeluk Katryn dan mengucapkan kata selamat.
“Sebagai?” tanya Mike setelah melepaskan pelukan mereka.
“Pemain musik, biola!” jawab Katryn. Mike mengangguk singkat, paham betul kepiawaian Katryna dalam bermain biola.
“Senang mendengar kau akan bekerja kembali,” ucap Mike.
“Terima kasih, Mike. Kau selalu memberi hal positif, terima kasih banyak!” ucapnya pelan.
“Tapi ... aku takut, dia akan melakukan sesuatu dengan pekerjaanku!” ucap Katryn, ada ketakutan di nada bicaranya. Mike menghela nafas, mengerti dia siapa yang Katryn maksud.
“Semoga saja tidak! Dia tidak tega melakukan itu,” ucap Mike menyemangati, walau tak yakin dengan jawabannya.
“Dia tega. Bahkan dia tega buat orang tuaku bangkrut hanya karna aku tidak ingin menikah dengannya!” ucapnya berapi-api.
Mike terdiam, sejujurnya ia merasa kasihan pada Katryn. Tapi, ia tidak bisa melakukan apapun, pria itu mengancamnya. Mike mengetahui cerita tentang Katryn yang disukai oleh seorang psychopath gila, merasa Katryn adalah miliknya seorang.
“Maaf, Kat. Aku tidak dapat membantu apa-apa,” ucap Mike sedih.
“Tidak apa, Mike. Kau sudah banyak membantu keluarga kami,” balas Katryn tersenyum tulus.
“Kalau begitu, aku pamit, ya. See you, Mike!” pamitnya dan segera berjalan menjauhi Mike.
Dari kejauhan, Richardo mengambil gambar mereka untuk dijadikan laporan harian. Dia menghela nafas, sudah tahu apa yang akan terjadi setelah sang tuan melihat gambar-gambar ini.
“Cetak semuanya dan kau tahu apa yang akan kau lakukan selanjutnya!” ucapnya menyerahkan sebuah kamera pada bawahannya.
...***...
“Ini laporan harian Miss. Katryn, Tuanku!” ucap Ricardho menyerahkan sebuah amplop pada Earnest.
Earnest menerima, lalu ia membuka amplop tersebut. Setiap detiknya Richardo menahan nafas, hingga Earnest melihat semuanya, Richardo mengidik ngeri dengan senyuman mematikan sang tuan.
“Dia belum jera juga? Oh, Mike... lihat apa yang akan aku lakukan padamu!” ucap Earnest penuh janji.
“Maaf jika saya lancang, Tuan. Mike hanya berteman baik dengan Miss. Katryn, dan mereka tidak mempunyai hubungan apapun,” ujar Richardo berhati-hati.
“Kau jelas mengetahui apa yang tidak bisa ku toleran, Chardo!” balas Earnest tajam.
“Maafkan saya, Tuan!”
"Tunggu hukumanmu, My Baby Cat," ucapnya pelan dan dingin.
"Siapkan mobil. Aku ingin bertemu gadisku," perintahnya pada Richardo.
"Baik, Tuan." ucap Richardo dan melenggang pergi menjalankan perintah sang tuan.
Sedangkan Earnest, bersiap-siap memakai kaos merah berlengan panjang dipadu dengan jeans hitam. Setelah siap, dia turun ke lantai bawah dan menemukan seorang wanita sedang menonton di ruang keluarga.
“Kau ingin kemana, Ar?” tanya wanita itu lembut.
“Bukan urusanmu! Tetap di rumah, jangan pergi kemana pun!” titahnya tanpa menoleh.
Wanita itu memandang kepergian Earnest penuh kesedihan, diabaikan oleh Earnest adalah hal yang biasa baginya. Tetapi, hatinya tetap saja sakit diperlakukan demikian.
Earnest di halaman tengah berbicara dengan Richardo, memberi beberapa perintah. Selesai memberi perintah, dia menaiki mobil yang telah disiapkan dan berkendara ke kediaman Katryn berada.
Butuh waktu dua puluh menit ia sampai di sebuah rumah sangat sederhana. Mengetuk pintu, seseorang membuka pintu yang Earnest kenal sebagai ibu Katryn, Aleysia.
“Earnest,” lirih Aleysia, agak terkejut melihat Earnest.
Senyum ramah Earnest perlihatkan, tapi keramahan tersebut tak sampai pada hatinya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, pria itu masuk sebelum diizinkan pemilik rumah.
“Dimana dia?” tanyanya setelah memasuki rumah mereka.
“Ada kepentingan apa Anda datang kemari?” Marcell, Adik Katryn langsung bertanya sarkas. Earnest terkekeh dan menjawab,
“Menemui kekasihku.”
“Bermimpi saja kau psikopat gila! Katryn tidak akan pernah menjadi kekasihmu!” ucap Marcell lantang.
Dalam hitungan detik, sebuah tinju melayang ke wajah Marcell. Lalu, pria itu mencekik Marcell kuat. Aleysia yang menyaksikan itu, berteriak histeris, meminta Earnest melepaskan Marcell.
“Kau bocah tidak berguna!” umpat Earnest.
“Earnest. Lepaskan Marcell, Katryn ada di kamarnya!” ucap Thomas—Papa Katryn—jika semakin dibiarkan, akan semakin berujung besar.
Earnest menatap tajam Marcell, dia geram pada Adik Katryn ini yang selalu mencari keributan, terlebih mengeluarkan kalimat yang memancing kemarahannya. Dengan kasar, ia membanting Marcell hingga pria berusia tujuh belas tahun itu terdiam sejenak akibat sakit di daerah kepalanya terbentur lantai.
“Besok, kau harus meninggalkan rumah ini!” ucap Earnest memberi ultimatum.
“Aku tidak akan pernah meninggalkan rumah ini, Keparat!” balas Marcell tidak terima.
“Kalau begitu, bersikap baik atau kau tahu akibat dari kebangkanganmu itu!” ucap Earnest terakhir kalinya, lalu berjalan ke arah kamar Katryn.
Menginjakkan kaki di kamar Katryn, Earnest tersenyum lembut. Wanita itu tertidur nyaman di ranjang, tidak terusik dengan keributan yang terjadi di luar sana.
Earnest duduk di tepi ranjang, memperhatikan setiap jengkal paras cantik Katryn. Perlahan, ia mencium kening gadis itu, lalu beralih pada bibir ranum itu.
“Apa kau terlalu lelah, Baby? Sampai kau tak terusik sedikit pun,” bisiknya pelan.
Belum puas menatap gadisnya, Earnest membaringkan tubuhnya tepat di samping Katryn. Ia kembali memperhatikan Katryn, sesekali mengelus kepala gadisnya dengan sayang.
“Kenapa kau hadir setelah semuanya terjadi?” lirih Earnest. Pertanyaan itu selalu ia tanyakan dalam kesendirian, coba saja Katryn hadir jauh sebelum semuanya terjadi, mereka pasti akan hidup dalam kebahagian.
“You are mine, Baby Cat!” bisiknya tepat di wajah Katryn, sedikit gadis itu terusik, tetapi kembali tertidur.
*Kau milikku*
“Good night... sweet dream!” bisiknya untuk kedua kali. Hingga ngantuk menyerang, Earnest memejamkan mata.
*Selamat malam... mimpi indah*
...****...
Telah direvisi!!
Happy reading, Guys! Semoga kalian suka! XOXO
...***...
New York State's~
Dalam setiap kesendirian, Allard selalu teringat pada seorang gadis cantik yang telah lama tak ia temui. Bukan hanya di kesendirian saja, setiap saatnya ia teringat, akan tetapi di setiap kesendiriannya bayangan wajah cantik gadisnya tergambar di dalam pikirannya.
Lima tahun tidak bertemu gadis itu, Allard tak bisa berbohong bahwa dia merindukan gadis itu. Kebersamaan mereka hanya terhitung tahun, sangat sebentar sekali, tetapi rasa di antara mereka terasa sangat kuat.
Allard adalah seorang CEO perusahaan besar di negaranya dan juga seorang pemimpin organisasi gelap nomor satu yang ditakuti. Sedari kecil Allard dituntut untuk menanggung semua beban itu, tidak peduli Allard suka atau tidak. Berkat itu semua, tentu Allard memiliki kekuasaan besar. Namun, apa gunanya bila kekuasaan itu tidak dapat menemukannya dengan kekasih hatinya?
“Allard!” panggil seseorang menepuk bahunya. Terkejut? Tidak sama sekali! Allard sedari tadi menyadari keberadaan seseorang di belakangnya.
“Sedang apa kau di sini? Bukankah hari ini kau akan terbang ke Indonesia?” tanya Evelyn—adik perempuannya—penasaran.
“Ya!” jawabnya singkat.
“Allard, apa kau masih berharap bertemu dia?” tanya Evelyn to the point.
“Ya ... tidak!” Evelyn menghela nafas, tidak ingin bertanya lebih lanjut. Allard pasti akan menjawab dengan mengecoh lawan bicaranya.
Allard pria dingin nan datar, itu berlaku pada semua orang termasuk keluarganya. Sejak kecil Allard sulit mengespresikan diri, hanya di keadaan tertentu saja sikap hangatnya muncul.
“Kau tidak membawa pakaianmu?” tanya Evelyn lagi tidak melihat barang apa pun di kamar sang kakak.
“Tidak!” Evelyn mengangguk.
“Aku berangkat sekarang!” ucap Allard.
Evelyn mengikuti langkahnya, sampai di depan pintu, Evelyn meminta sang kakak untuk membawa oleh-oleh dari negara tropis itu. Senyum Allard sangat tipis terlihat, dia hanya mengangguk.
“Aku pergi!” ucap Allard datar.
“Hati-hati!” balas Evelyn sambil melambaikan tangannya.
Evelyn sesungguhnya merindukan kebersamaan mereka. Semenjak tanggung jawab itu ia pikul, Allard semakin sulit dijangkau. Kedekatan mereka hanya sebatas pembicaraan, itu pun Allard jawab seadanya.
Di halaman depan, Allard bersama Jordan—tangan kanannya—menuju bandara John F. Kennedy International Airport. Selama perjalanan, Allard memejamkan mata membayangkan wajah sang gadis.
Entah kapan Allard bisa bertemu lagi dengan sang gadis, yang pasti Allard akan mencari gadisnya setelah urusan pekerjaannya selesai. Tidak peduli apa yang terjadi nanti, Allard akan tetap mencari Katryna tanpa memedulikan siapa pun.
...***...
Indonesia State’s~
4 hari kemudian...
Sudah lama sekali Allard tidak merasakan panasnya ibukota Jakarta. Terakhir menginjakkan kaki di negara ini sekitar dua tahun yang lalu, yaitu mengurus pekerjaan. Dan hari ini adalah hari terakhir Allard dalam mengurus perusahaan cabangnya.
“Jordan, kirim berkas perjanjian itu segera! Jangan sampai bocor, atau kepalamu yang akan bocor!” ucap Allard santai.
“Baik, Tuan! Apa Anda ingin kembali ke apartemen?”
“Tidak. Aku akan mampir ke kafe seberang,” ucapnya.
“Baik, Tuan. Setelah berkas ini dikirim, saya akan menyusul Anda!” Allard mengangguk singkat.
Allard berjalan ke kafe yang ia tuju. Dapat Allard rasakan, orang-orang memandang penuh minat ke arahnya, tetapi Allard sedikit pun tak terusik. Menjadi pusat perhatian setiap manusia adalah makanan sehari-hari seorang Allard.
Memasuki kafe, seorang pelayan menyapanya—tipe sapaan genit yang sering Allard dapatkan—dan menuntunnya untuk duduk di sebuah kursi.
“Espresso dan segelas air putih,” ucapnya membuat pelayan tersebut tercengang.
“Anda bisa berbahasa Indonesia?” Pelayan tersebut terlihat penasaran dengan logat Allard yang lancar dalam mengucapkan setiap kata.
"Lakukan tugasmu!" peringat Allard kasar, menatap pelayan di hadapannya tajam. Pelayan tersebut gelagapan, ia meminta maaf dan kembali bersikap normal.
“Itu saja, Tuan? Apa Anda ingin mencoba menu baru kami?” tanya pelayan tersebut dengan senyum paksaan, pria ini sangat menakutkan.
"Tidak, pergi!"
Takut menerima ujaran kasar, pelayan tersebut segera pergi setelah mengucapkan beberapa kata. Tatapan tajam dan datar di wajah Allard mampu membuat pelayan tersebut kater-ketir ketakutan.
Dalam kurung waktu empat menit, pesanan datang beserta hidangan kecil. Allard tidak memperhatikan, dia hanya fokus pada Ipad di tangannya.
Posisi Allard memunggungi sebuah panggung kecil yang sedang melangsungkan live music. Hingga musik selesai, sebuah suara wanita menghentikan gerakan jarinya yang sedang mengetik pesan email kepada cliennya.
“Selamat siang... semoga hari kalian menyenangkan!”
Debaran jantungnya menggila. Tak lama, suara alunan biola mengalun indah. Dadanya menghangat mendengar alunan biola tersebut, dan tanpa sadar ia menikmati alunan yang sedang wanita itu mainkan.
Alunan berakhir dengan gemuruh tepuk tangan. Dalam hati, Allard memuji orang yang memainkan biola tersebut, sangat indah. Alunan Violin Sonata No. 1 G Minor, BWV 1001: II. Fuga: Allegro, Allard sangat ingat betul alunan tersebut. Bagaimana tidak? Gadisnya sangat suka memainkannya untuk Allard dulu.
Senyumnya semakin mengembang membayangkan tawa di wajah cantik gadisnya. Masih dengan senyumannya, Allard mengambil gelas yang berisi espresso di depannya dan menyesapnya perlahan.
“Sudah lama saya tidak melihat senyum anda seperti itu, Sir!” ucap Jordan yang baru saja kembali.
“Aku merindukan dia,” ucap Allard menatap Jordan dengan senyuman tipis. Jordan dapat menangkap kesedihan di mata sang tuan.
“Tuan, lihatlah ke arah pintu keluar!” pinta Jordan.
Allard mengerutkan dahinya, pandangannya berpindah seperti yang Jordan pinta. Allard semakin menajamkan penglihatannya ketika menangkap sosok wanita yang ia kenal tengah menutup pintu. Untungnya, pintu kaca tersebut transparan, memudahkan Allard melihat lebih jelas wajah wanita itu.
“Katryna...”
Secepat mungkin, Allard berdiri dan berlari mengejar wanita yang ia yakini itu adalah Katryna, gadisnya. Dia tidak mungkin salah, ia melihat jelas wajah gadisnya. Namun, Allard kehilangan jejak!
...****...
New York State’s~
Allard telah berada di New York sejak beberapa hari yang lalu. Niatnya ingin menemukan gadisnya, tertunda karena Nyle—sang kakek—berhasil menarik seorang Allard kembali ke negara asalnya.
“Aku tidak ingin tahu, cari gadisku sampai dapat!” perintah Allard tidak ingin dibantah.
Bertahun-tahun Allard mencari keberadaan gadisnya, tetapi selalu terhalangi oleh seseorang. Allard semakin menggila karena tidak dapat menemukan sang gadis pujaannya. Sebesar apa pun pencariannya, tetap tidak menemukan titik.
“Kau dengar itu, Jordan?!” teriaknya.
“Mengerti, Tuan!”
"Kerahkan semua orang, kali ini aku tidak ingin ada kata gagal!"
“Satu lagi, lakukan pencarian secara sembunyi, jangan sampai kakek tua itu tahu! Aku beri waktu sampai besok malam, jika kau belum menemukannya, bersiap dengan hukumanmu!” tambah Allard tak main-main. Jordan mengangguk kaku, tidak berani membantah.
“Allard! Aku ingin bertemu Allard!” teriak seseorang dari balik pintu ruang kerja.
“Usir dia!” ucapnya malas.
Belum sampai Jordan menjawab, wanita itu sudah lebih dulu masuk. Mytha—Sekretaris Allard—meminta maaf karena tak bisa menahan wanita itu.
“Keluar!” perintahnya pada semua orang.
Jordan dan Mytha keluar dengan sangat buru-buru, tidak ingin diperintah dua kali atau mereka akan terkena semburan.
Allard sendiri hanya menyipitkan mata memperhatikan sampai mana keberanian wanita ini, jika berlebihan, Allard akan menanganinya!
“Aku merindukan, Baby!” desah wanita itu.
“Regina. Kau ingin tetap di sini atau keluar dengan selamat?!” Perkataan Allard disalahkan arti oleh wanita itu.
“Aku ingin di sini bersamamu, Baby!” ucap wanita itu, Allard jijik mendengarnya.
Dengan langkah menggoda, Regina mendekatinya. Dia duduk di pangkuan Allard tanpa memikirkan kelanjutan hidupnya. Allard tersenyum miring, di balik tatapan matanya memandang rendah Regina.
“Kau tahu, Regina? Aku tidak suka menyentuh wanita sepertimu kedua kalinya!” Regina tersenyum manis, tidak merasa sakit hati.
“Allard. Aku mencintaimu, sentuh aku!” desah Regina. Allard tidak tahan lagi, semakin lama ia jijik menyaksikan kelakuan wanita ini.
“Kau sangat cantik—” ucap Allard sambil mengambil sesuatu di balik jasnya.
“Tetapi, kau akan lebih cantik seperti ini!” sambungnya dan menusuk leher Regina dengan ujung pulpen kesayangannya. Tak sampai sedetik, Allard menekan ujung pulpen hingga berbunyi ‘klik’.
Tidak perlu repot untuk menyingkirkan wanita itu dari pangkuannya, Regina jatuh dengan sendirinya. Allard tersenyum, puas melihat Regina terbaring kaku dengan mata melotot.
Allard bangkit dan keluar dari ruangannya. Terdapat Jordan berdiri di dekat pintu sambil menunduk hormat.
“Bersihkan ruanganku!” titahnya dan melenggang pergi.
Memasuki ruang sang tuan, Jordan menggeleng prihatin. Berkali-kali Jordan ingatkan Regina untuk tidak mendekati
sang tuan, jadi inilah akhirnya. Jordan sudah sering menyaksikan secara langsung Allard menggunakan pulpen itu, entah memberi tanda tangan atau menggunakannya untuk seseorang seperti saat ini.
Pulpen itu memiliki racun yang dapat merusak jaringan otak. Hanya dengan satu kali ‘klik’, maka racun itu akan bereaksi pada tubuh seseorang. Racun itu berdosis tinggi yang mengakibatkan halusinasi dan berakhir gila, atau lebih parahnya mati jika tubuh sang korban tak tahan dengan racun itu.
...***...
Telah direvisi!
Happy reading!
...***...
“Ini berkas yang anda minta, Sir!” ucap Jordan meletakan sebuah berkas di atas meja.
Allard menatap berkas tersebut, seperti menelisik isi di dalamnya. Meneguk wine-nya dengan sekali teguk, barulah Allard mengambil berkas tersebut dan membaca dengan seksama.
Menit demi menit berlalu, ekspresi wajah Allard tidak berubah, tetap tenang. Namun, siapa yang tahu dalam hatinya menyimpan seribu sumpah serapah dan dendam. Selesai membaca informasi di dalam berkas tersebut, Allard melempar berkas tersebut ke atas meja.
“Earnest Ford...” ucap Allard penuh peringatan menatap objek di hadapannya tajam.
“Jordan, beri sapaan menarik dariku untuk dia!” titahnya.
“Tapi, Tuan—“
“Lakukan!” teriaknya.
“Baik, Tuan!” ucap Jordan pasrah.
Allard benar-benar tidak bisa menahan gejolak amarahnya. Setiap kalimat di dalam berkas itu terekam jelas dalam benaknya. Ia tak akan segan membunuh Earnest dengan tangannya, ia berjanji akan menghabisi pria itu! Tidak ada yang bisa menyakiti Katryn, tidak pernah!
“Tunggu apa yang akan aku lakukan padamu, Ford!” ucap Allard tersirat kemarahan.
...****...
Indonesia State’s~
“Katryna!” Seseorang memanggil Katryn. Katryn mencari asal suara, tetapi tak menemukannya.
“Astaga, tuli banget!” umpat orang tersebut.
“Di belakang!” Katryn membalikkan tubuhnya, seketika ia terkejut sekaligus senang melihat seorang gadis di depan sana.
“Alessa!” pekiknya, lalu berlari ke arah gadis itu dan memeluknya erat.
Alessa Beata, sahabat Katryn sedari kecil yang sudah lama meninggalkan Indonesia sejak tamat dari bangku SMA ke negara impiannya, New York. Di negara tersebut Alessa menjalani pelatihan dan tentunya mengenyam pendidikan di bidang intel. Katryn tak menyangka, Alessa saat ini ada di hadapannya!
“Apa kabar?” tanyanya setelah melepas pelukan mereka.
“Good. Ayo ke sana, ada banyak hal yang harus kita ceritakan!” ucap Alessa, Katryn mengangguk setuju.
Ketika sampai di kafe yang Alessa tunjuk, baik ia dan Katryn menceritakan kisah mereka masing-masing selama tiga tahun tidak bertemu. Akan tetapi, Katryn sedikit pun tidak menceritakan kisahnya bersama Earnest.
“Aku tidak menyangka, kau sudah menjadi seorang—" Belum sempat Katryn menyelesaikan ucapannya, Alessa membekap mulutnya.
“Jangan melanjutkan ucapanmu!” Katryn mengangguk paham, sadar bahwa dia hampir keceplosan.
Sedikitnya, Katryn paham dengan pekerjaan Alessa saat ini. Sebab, Alessa sering kali menceritakan bagaimana pekerjaan seorang agent dan bagaimana keinginan terbesarnya menjadi agen rahasia.
“Maaf,” cicitnya. Alessa menghela nafas, lalu perlahan ia memperhatikan sekitar.
Boleh dikatakan, Alessa takut orang-orang mengetahu profesinya yang tidak biasa. Oh, ayolah... dia sedang tidak bertugas, dia hanya ingin menikmati harinya tanpa gangguan sekecil apa pun.
“Ryn,”
“Hm,”
“Tell me. Kau sedang ada masalah, bukan? Please, bersikap biasa, jangan sampai mereka curiga!” peringat Alessa pelan. Katryn terdiam, antara tidak mengerti maksud ucapan Alessa dan bingung menjawab apa.
“Benar, bukan? Sadar atau tidak, sedari kita bertemu, beberapa orang bergelagat mencurigakan!” jelas Alessa.
“Ada beberapa hal yang tidak aku ketahui, bukan?” tanya Alessa berbisik yang masih bisa Katryn dengar.
Dari apa yang Katryn ceritakan di awal, ada yang tidak beres menurutnya. Dari bekerja di sebuah kafe sebagai pemain biola, Katryn beserta keluarganya tinggal di sebuah sederhana dan yang membuat Alessa semakin yakin ada yang tidak beres adalah, Katryn sering kali menunjukkan raut ketakutan memperhatikan sekitar.
“Aku ingin menceritakannya, tapi aku takut!” lirih Katryn.
“Beri aku satu kata,” ucap Alessa.
“Earnest...” ucap Katryn pada akhirnya menyebut nama pria itu. Sejenak, Alessa terdiam dan otaknya berputar cepat memperkirakan masalah yang sedang Katryn hadapi.
“Masalah besar, aku simpulkan seperti itu!” ucapnya.
“Rileks, Ryn. Dengan sikapmu seperti itu akan memancing kecurigaan mereka,” ucap Alessa lembut menggenggam tangan Katryn.
Secara perlahan, tubuh Katryn rileks akibat sentuhan lembut yang Alessa lakukan. Sebisa mungkin, Katryn bersikap santai agar orang-orang yang tengah mengawasinya tak merasa curiga dengan percakapan mereka.
Ya, Katryn sadar setiap saat diawasi oleh orang-orang Earnest. Namun, tak ada yang bisa Katryn lakukan. Menentang Earnest, akan mengakibatkan masalah. Jadi, yang terbaik adalah diam dan membiarkan Earnest melakukan apa yang ia suka.
Katryn ingin sekali menceritakan semua tentang Earnest pada Alessa. Setidaknya, dengan bercerita sedikit mengurangi beban dan kesedihan yang kerap ia rasakan. Jujur saja, menyimpan kesedihan seorang diri bukanlah suatu hal yang menyenangkan.
“Ambil ini,” ucap Alessa meletakkan kotak kecil berpita yang berisi sebuah alat berukuran sangat kecil.
“Itu alat rekam yang bisa kau gunakan, tetapi alat itu hanya bisa berfungsi dalam dua belas jam. Jika kusarankan, rekam suaramu dengan alat itu setengah jam sebelum—" Alessa menjeda ucapan, pandangannya beralih pada jam tangan di tangan kirinya.
“Jam satu pagi nanti. Meminilisir sesuatu yang tidak diinginkan, kau katakan saja intinya. Paham?” Katryn mengangguk.
“Jika ini berfungsi dua belas jam, bagaimana kau bisa mendengar rekaman ini?” tanya Katryn penasaran.
“Jangan khawatirkan soal itu,” ucap Alessa.
“Oke. Aku tidak bisa berlama-lama, lima belas menit lagi aku harus bekerja,” ucap Katryn lesu, dia masih ingin lebih lama dengan sang sahabat.
“Oke. Nanti kita bertemu lagi,” ucap Alessa lalu memeluk Katryn. Tidak jauh dari meja mereka, seseorang memperhatikannya tajam, terlihat tidak suka.
“Simpan baik-baik alat itu,” bisiknya, dan Katryn mengangguk.
“Aku pergi, see you!”
“Katryn. Apa kau tidak ingin membawa hadiah dariku?” ucap Alessa mengangkat kotak yang sama seperti sebelumnya.
Katryn mengerutkan dahinya bingung, dia telah memasukkan kotak yang Alessa berikan ke dalam tas. Lalu, kenapa kotak tersebut ada pada Alessa? Sedangkan Alessa memberi isyarat lewat mata.
“Astaga, aku lupa. Terima kasih hadiahnya, Lesa. Dan maaf aku tidak bisa memberimu apa-apa...” lirih Katryn seolah itu adalah pemberian Alessa.
“It’s okey!”
Katryn meninggalkan Alessa setelah pamit untuk kedua kalinya. Alessa berpura-pura sibuk meminum Green Tea-nya yang sudah dingin. Beberapa menit setelah kepergian Katryn, orang-orang yang mengawasi Katryn berdiri, mereka saling mengode dan Alessa paham apa yang tengah mereka kodekan. Alessa menahan senyum, mereka memakan trik yang Alessa gunakan. Untung saja dari mereka tidak melihat Katryn telah memasukkan kotak pertama
“Bodohnya, mereka percaya dengan kotak kedua! Sangat bodoh!” batinnya.
Mengingat raut ketakutan di wajah Katryn, Alessa sungguh tidak tega. Yang saat ini ada dalam benaknya adalah, Earnest melakukan hal buruk dan mengancam Katryn untuk tutup mulut.
...***...
Malam harinya, Katryn kebingungan bagaimana cara untuk meminta Earnest pulang. Sejak ia pulang bekerja sore tadi, Earnest sudah berada di dalam kamarnya. Bukan hal aneh lagi jika pria ini memasuki rumah mereka, apalagi kamarnya.
Katryn berpura-pura sibuk membersihkan lemarinya. Sedangkan pria bernama Earnest itu, memperhatikan gerak-gerik Katryn dengan seksama. Sekuat tenaga Katryn mengabaikan kehadiran Earnest, jantungnya berdegup kencang karena takut.
“Baby Cat, kemarilah!” perintah Earnest, seketika tangan Katryn terhenti memasukkan bajunya ke dalam lemari.
“Katryna!” peringat pria itu. Katryn berbalik dan mendekati Earnest.
Earnest membawa Katryn ke pangkuannya. Katryn was-was dengan posisi seperti ini, tidak menguntungkan baginya.
“Ayo tidur,” ucap Earnest.
“Aku belum ingin tidur,” ucapnya pelan.
“Kalau begitu, katakan siapa wanita yang kau temui siang tadi?” tanya Earnest tak bisa Katryn prediksi sebelumnya.
“Alessa.”
“Alessa sahabatmu itu?” Katryn mengangguk pelan.
“Untuk apa dia menemuimu?” Katryn terdiam, seketika ia berteriak akibat Earnest meremas bahunya. Bukan karena Earnest meremas bahunya, akan tetapi luka goresan yang pria itu ciptakan dua hari lalu masih terasa sakit ketika dipegang.
“Alessa hanya ingin mengunjungi kuburan ibunya dan menemuiku sebentar,” ucapnya menahan sakit.
“Earnest, sakit...” lirihnya.
“Lepas, aku mohon...” sambungnya.
“Maafkan aku, Baby. Apa sakit?” Suara pria itu berubah lembut, seakan menyesal dengan apa yang ia lakukan.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!