NovelToon NovelToon

Way Back To You

Club Malam

“Sudah ku bilang laki-laki itu hanya memanfaatkanmu, tapi kamu nggak mau mendengarkanku sedikit pun.”

Hanna memaksa dirinya untuk tersenyum pada Lona, sahabat dekatnya.

“Aku menyesal.”

Hanna harus berteriak agar suaranya bisa terdengar di tengah hingar bingar suara musik yang memekakkan telinga. Entah kenapa orang-orang dewasa suka berada dalam ruangan ini, berdesak-desakan, berhimpitan, namun masih tetap bisa tertawa terbahak-bahak walau suara musik itu bisa memecahkan gendang telinga.

Namun karena ulah Jhon, pacarnya yang dua minggu lalu ketahuan selingkuh olehnya, dia terdampar dalam bangunan ini. Ya. Jhon nyaris membuat dunianya jungkir balik saat dia memergoki Jhon sedang check in di salah satu hotel bintang lima dengan salah satu teman kerja Hanna. Ternyata mereka sudah memadu kasih selama hampir tiga tahun, itu artinya sejak awal Hanna dan Jhon berpacaran, dia juga berpacaran dengan perempuan itu.

Setelah mengalami pasang surut perubahan emosional yang sangat luar biasa, akhirnya dia menyerah pada ajakan Lona untuk membawanya menjernihkan pikirannya ke salah satu club malam mewah di tengah kota. Untuk kali pertama selama dua puluh enam tahun hidupnya, Hanna, si gadis kutu buku -itu adalah julukan yang diberikan oleh Lona padanya karena dia tidak suka bersosialisasi- menginjakkan kakinya di tempat yang paling dia hindari.

Setidaknya berada di sini dia bisa melenyapkan sisa bayangan Jhon, semoga saja.

“Ayo ikut menari.”

Lona berteriak di telinganya. Menari? Tidak, terimakasih. Berada di sini sudah cukup membuat telinganya berdengung, dia tidak ingin menambah masalah lain. Dia ke sini hanya untuk bersenang-senang dan melompat-lompat di antara lelaki seperti yang orang-orang itu lakukan bukanlah tujuannya.

Hanna menggeleng, lalu melihat wajah Lona berdecak kecewa. Sejak dulu keduanya memang memiliki sisi yang berbeda seperti dua buah mata uang. Hanna lebih pendiam, lebih suka menghabiskan waktunya dalam kamar untuk sekedar membaca buku atau mendengar musik klasik favoritnya. Berbeda dengan Lona yang selalu menjadi pusat perhatian karena kecantikan dan keluwesannya. Namun walau berbeda, persahabatan keduanya tetap terjalin hingga sekarang, dan Hanna sangat bersyukur karena Lona adalah sosok yang menguatkannya.

Hanna mendesah. Dia melirik jam tangannya, dan mulai gusar. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, seharusnya dia sudah mencuci wajah dan berada di tempat tidur sekarang, memeluk guling dan tidur dengan nyenyak. Lona mendelik, meraih pergelangan tangan Hanna.

“Jangan pernah berpikir kamu akan pulang lebih dulu. Han, ayolah. Bebaskan dirimu sekali ini saja. Lihat apa yang dilakukan Jhon padamu. Itu karena kamu terlalu polos dan terlalu disiplin pada dirimu sendiri. Hidup hanya sekali Han, nikmati saja masa mudamu. Kalau kamu nggak mau ikut menari di bawah, biar aku saja dan kamu, tetap di sini.”

Lona memperbaiki mini dress berwarna hitam dengan potongan offshoulders yang membalut tubuhnya. Dia memainkan matanya pada Hanna, dan gadis itu terpaksa membalasnya dengan senyuman.

“Oh, satu lagi. Aku sudah mengundang Kevin ke sini karena aku bilang aku ingin mengenalkan seseorang padanya. Aku sudah memberitahu nomor meja kita, jadi pastikan kamu ada di sini hingga dia datang.”

Kevin siapa lagi? Astaga, Lona benar-benar tidak mengizinkannya berdiam diri setelah Jhon menghianatinya. Hanna tahu, apa yang di lakukan Lona hanya agar dia bisa melupakan Jhon secepatnya dan bisa melanjutkan kehidupannya. Tapi bukankah sedikit terburu-buru mengenalkan dia dengan laki-laki lain sekarang? Dia belum siap, dan perasaannya masih morat marit.

Hanna membuka handphonenya, mengecek siapa tahu orang tuanya kembali mengirim pesan padanya. Sejak dia memberitahu mereka jika hubungannya selesai, orang tuanya menghujani handphone nya dengan panggilan dan pesan, hampir setiap jam. Tujuannya memang hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja. Mereka khawatir karena Hanna terlalu mengagung-angungkan Jhon pada mereka dulu, menyatakan jika Jhon adalah laki-laki terbaik, yang paling tepat untuknya. Namun sekarang semua tinggal cerita yang memalukan. Sial, sedari tadi Jhon selalu mengambil alih otaknya.

“Kamu baru putus dari pacarmu?” tiba-tiba seorang laki-laki mendatanginya.

Hanna mengangkat alisnya, keberatan untuk menjawab pertanyaan yang sudah membahas tentang privasinya itu.

“Namaku Leon. Aku nggak sengaja mendengarnya pembicaraan kalian tadi. Boleh aku duduk di sini?”

“Kalau aku bilang tidak, apa kamu akan tetap duduk?” Hanna mulai merasa tidak nyaman.

Mungkin Lona benar. Kemampuan sosialnya perlu diasah dan dikembangkan lagi karena dia benar-bemar tidak suka berinteraksi dengan orang baru. Laki-laki itu hanya tersenyum, mengangkat segelas whisky di tangannya pada Hanna.

“Aku pikir kamu gadis yang cukup menarik.”

Bukannya pergi, Leon malah duduk di sampingnya. Tidak tahu malu, sungut Hanna. Namun dia masih berusaha menahan emosinya, karena kedatangannya ke sini untuk melepas penat.

“Kalau kamu mau, kita bisa bicara di tempat lain dengan suasana yang lebih hening, dan nyaman.”

Harga diri Hanna benar-benar diinjak. Dia tahu ke mana arah pembicaraan laki-laki ini, dan dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu satu lagi laki-laki brengsek di sini.

“Kamu pikir aku perempuan apa?” Hanna berdiri.

“Enyah dari hadapanku sekarang juga.”

“Jangan munafik.” Leon menjelajahi tubuh Hanna dengan kedua bola matanya.

“Gadis sepertimu hanya membuat permainan semakin menarik dan sedikit menantang.”

Well, laki-laki itu tidak sepenuhnya salah. Tampilan Hanna saat ini memang tidak menggambarkan gadis kutu buku, julukan yang disandingnya. Lona memilihkan gaun merah menyala padanya dengan belahan di belakang yang nyaris mengekspos semua punggung mulusnya. Belum lagi make up berat dengan warna lipstik yang senada dengan gaunnya. Jangan lupakan stiletto sepuluh sentimeter yang membungkus kakinya, membuat Hanna berjalan kaku seperti robot. Dalam sekejap, Hanna menjadi orang yang berbeda.

Hanna tidak menyahut. Dia berusaha tidak menggubris Leon walau laki-laki itu mulai meracau hal-hal yang bahkan tidak terdengar oleh Hanna. Perlahan, rasa bosan mulai menghampirinya. Sia-sia saja sepertinya dia mengikuti saran Lona untuk bersenang-senang di sini. Bukannya rileks, dia malah harus menghadapi laki-laki stengah mabuk yang menatapnya rendah.

“Jauhi dia. Kamu bukan tipenya.”

Lona, yang sedari tadi melihat percakapan keduanya menyadari jika Hanna terganggu. Dia terpaksa meninggalkan pasangan dansanya dan mendatangi meja mereka demi menyelamatkan mood Hanna. Jika tidak,mungkin Hanna akan mencecarnya dengan banyak tuntutan dan keluhan atas kejadian malam ini padanya hingga beberapa hari ke depan. Lona tidak ingin mendengar ceramah Hanna.

Seperti biasa, aura Lona yang mematikan membuat Leon menggeser tubuh hingga memaksanya berdiri meninggalkan meja. Hanna berdecak kagum. Dengan segera dia mengangkat jempolnya pada Lona dan dibalas senyuman oleh sahabatnya itu. Kemudian Lona menlesat kembali menuju lantai dansa dan menari seperti orang gila.

*

Seorang laki-laki bertubuh tinggi menjulang dengan tubuh atletis memasuki club malam bersama beberapa orang yang tampak seperti bodyguardnya. Dia menggunakan masker dan kaca mata hitam, nyaris membuat wajahnya tidak bisa dikenali. Pakaian yang dia kenakan pun semua berwarna hitam, mulai dari kaos hitam, jaket hitam, celana kargo hitam, dan jangan lupa topi hitam yang menutup kepalanya.

Dia menurunkan raybean hitamnya hingga setengah menggantung di hidungnya yang tinggi dan mancung.

“Lumayan padat.” Serunya.

Ya, malam minggu seperti ini biasanya club malam lebih padat dari biasanya. Akan ada banyak pemuda pemudi yang datang untuk melepas penat setelah seminggu full bekerja. Dengan susah payah, dia akhirnya bisa duduk di meja yang sudah disediakan untuknya.

Sebagai anak pemilik club ini, Liam Andreas tidak memiliki kesulitan apa pun untuk mencari tempat duduk walau ada ribuan orang yang memadati gedung ini. Itu karena dia sudah punya tempat duduk pribadi yang terletak di paling ujung ruangan namun dia masih bisa mengamati seisi ruangan itu dari sana. Dengan liar, dia mengedarkan matanya, mencoba mencari sosok perempuan yang bisa diajaknya menghabiskan satu malam bersamanya.

Liam sangat suka mempermainkan perempuan dan untuk mendapatkannya, dia tidak mengalami kesulitan. Perempuan normal tentu tidak akan menolaknya. Dengan postur setinggi seratus delapan puluh lima senti, dan paras wajah yang nyaris sempurna, siapa pun tidak bisa menolak Liam. Namun terkadang dia harus berhati-hati. Profesinya yang merupakan seorang model merangkap dosen di salah satu universitas membuatnya harus pintar menyembunyikan indentitasnya.

Liam sama sekali tidak mempercayai perempuan, bahkan nyaris membencinya. Semuanya berawal dari luka batinnya ketika dia masih kanak-kanak. Ibunya, perempuan yang tidak bertanggung jawab akan kehidupannya meninggalkannya di halaman panti asuhan. Dia ditemukan oleh pengurus panti dalam keadaan nyaris mati karena kelaparan, kedinginan, dehidrasi hebat dan juga tubuh yang dikerubuti oleh semut yang membuat kulitnya memerah hingga seminggu lebih. Dia bahkan harus menginap di rumah sakit demi memulihkan tubuhnya yang masih bayi merah pada saat itu.

Ibu yang tidak bertanggung jawab itu membuat hidupnya menderita. Berada di panti memaksa dia harus bersaing dengan anak-anak lain agar mereka bisa diadopsi oleh orang-orang kaya yang datang untuk mengangkat mereka menjadi anak. Persaingan itu membuat Liam disiksa oleh teman-teman panti asuhan yang lain sebab kebanyakan keluarga akan tertarik pada Liam, dikarenakan wajahnya yang memang sudah tampan sejak dia kecil.

Namun setelah melewati masa-masa sulit yang menyakitkan, Liam akhirnya menemukan keluarga yang mengasuhnya. Seorang duda -yang ditinggal oleh istrinya karena kabur bersama laki-laki lain-, seorang pengusaha properti yang baru kehilangan anaknya karena penyakit mematikan mengangkat Liam sebagai bagian dari keluarganya. Ayah angkatnya itulah yang perlahan mendidik Liam, mengajarinya bagaimana mengendalikan emosi yang meluap-luap, serta menyediakan kasih sayang yang sebelumnya tidak pernah didapat olehnya.

Tapi walau hidupnya mulai nyaman, luka yang dirasakannya ketika anak-anak memaksanya “memusuhi” semua perempuan. Baginya, perempuan hanya objek pemuas hasratnya, tidak lebih berharga dari itu.

Liam sangat mencintai Ayah angkatnya. Dan tercatat hanya ada satu moment di mana keduanya ribut, yaitu ketika Ayahnya memintanya menjadi seorang dosen. Namun setelah berpikir panjang, Liam akhirnya setuju, walau dengan diam-diam tetap mengikuti sekolah modeling karena dia merasa di sanalah passionnya. Akhirnya, Liam bisa menjadi seorang model dan juga seorang dosen.

Ketika dia mengajar, dia akan mengubah gaya pakaiannya, mencoba mengikuti gaya pakaian kuno dan enksentrik dosen kebanyakan. Dan ketika dia menjalani pemotretan atau berjalan di catwalk, make up dan dandanan yang berat membuat jiwa dosennya menghilang. Hingga saat ini, tidak ada orang kampus yang mengenalinya sebagai Hazer, nama panggung yang dia gunakan dalam dunia modeling.

Namun ada satu yang dia sesali menjadi seorang model. Apalagi kalau bukan kebebasannya yang terenggut. Semakin lama, dia semakin menyadari kalau terkadang dia butuh waktu untuk dirinya sendiri. Kepopulerannya sebagai seorang Hazer membuatnya mau tak mau harus menutupi tubuh dan wajahnya ketika dia bepergian. Dan urusannya dengan perempuan juga menjadi lebih rumit.

Dia pernah beberapa kali bertemu perempuan yang sudah ditidurinya, ketika mereka tahu jika dia adalah Hazer, mereka melakukan berbagai cara agar bisa kembali padanya. Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan palsu seperti pelecehan dan bahkan kehamilan yang bahkan sama sekali tidak pernah terjadi. Soal tidur bersama, itu tidak termasuk pelecehan karena mereka sudah sepakat, dan soal kehamilan, tentu saja tidak akan pernah terjadi karena dia selalu pakai pengaman.

“Sudah menemukan mangsamu?"

Noah Belwijar, sahabat dekat sekaligus managernya duduk di samping Liam. Liam tidak menggubris, dia masih sibuk menemukan target yang sempurna, yang tidak mengenalinya tentu saja.

“Gimana dengan cewek gaun pastel itu? Dia cukup cantik.”

Liam mengangguk ke arah perwmpuan yang ditunjuk Noah.

“Lumayan.” -tapi tidak untuknya.

Dia tidak tertarik pada perempuan mana pun malam ini, kecuali satu orang gadis yang mengenakan gaun merah yang sedang sibuk mengacuhkan laki-laki yang mendekatinya. Kenapa kamu mendekati perempuan dengan cara seperti itu? Murahan! Gumam Liam.

Daya tarik perempuan itu semakin meningkat baginya saat seorang perempuan mendatangi meja perempuan itu untuk mengusir laki-laki tadi. Well, cukup menarik. Sepertinya perempuan itu tidak senang diganggu, tapi kenapa dia masuk ke club?

“Liam, aku ingin bicara dengannya karena aku benar-benar menginginkannya. Dia gadis yang sangat sesuai dengan tipeku.”

“Silahkan.” Seru Liam.

“Kamu benar-benar belum menemukan sosok yang kamu inginkan? Ada begitu banyak perempuan di sini, semuanya sangat memukau dan cantik. Masa kamu nggak menginginkan salah satu dari mereka?” Noah berdecak.

“Heh, bahkan dengan mata tertutup kamu bisa menunjuk mereka dan kamu nggak akan rugi. Kenapa harus pasang target tinggi sih?"

“Urus saja urusanmu dan gadis pastel mu itu.” Saran Liam.

Siapa bilang dia belum menemukan targetnya? Kedua bola matanya sudah terpaku pada gadis berpakaian merah menyala dengan tubuh seksi itu. Tapi Liam bisa menyadari jika dia tidak nyaman dengan pakaiannya, juga suasananya. Sepertinya dia target yang sangat menarik.

Pertemuan Pertama

“Pelayan.”

Liam memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat dari sampingnya.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

“Kamu lihat perempuan dengan mini dress berwarna merah itu?”

Liam menunjuk, diikuti anggukan kecil dari pelayan.

“Berikan dia satu gelas vodka.”

“Baik Pak.”

Liam memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan pada pelayan tadi. Setelah itu, dia kembali menyandarkan tubuhnya,menunggu sembari mengamati dari kejauhan layaknya seekor harimau yang sedang menunggu mangsanya lengah.

Hanna mendongak saat tiba-tiba seorang pelayan meletakkan satu gelas vodka di mejanya. Dia menolak -karena dia merasa sudah cukup mabuk-, namun palayan itu mengatakan bahwa voda itu sudah dibayar oleh seseorang.

Dia memutar tubuhnya, menoleh pada arah tunjukan tangan pelayan yang menunjuk pada seorang laki-laki menggunakan pakaian serba hitam dilengkapi dengan masker dan kaca mata hitam. Perasaan pandemi sudah lewat, kenapa dia masih memakai masker? Apa dia nggak merasa sesak berada di ruangan seperti ini dengan masker seperti itu? Lalu pakaiannya itu, apa dia seorang malaikat pencabut nyawa? Kenapa dia bertingkah sangat aneh? Sungut Hanna, menghakimi.

Laki-laki itu mengangkat gelasnya, dan dengan senyum yang dibuat-buat, dengan terpaksa Hanna mengangkat gelas vodka yang diberikan laki-laki itu. Lona bilang, tidak bagus menolak gelas yang sudah dibayarkan oleh orang lain pada saat berada di club malam atau bar. Prinsip yang aneh menurut Hanna.

Dari tempat dia duduk, Hanna berusaha mengarahkan pandangannya pada laki-laki itu saat dia minum vodka itu dalam sekali teguk. Saat itu dia menyadari jika postur laki-laki itu cukup menarik. Dia bisa tahu kalau laki-laki itu bertubuh tinggi dari ukuran badannya yang terlihat walau dia sedang duduk. Dan walau terbungkus oleh jaket hitam, dia juga bisa tahu jika laki-laki itu memiliki dada yang bidang dan juga bahu yang lebar.

Setelah itu dia kembali menyandarkan tubuhnya, berusaha menikmati alunan musik yang sama sekali bukan seleranya. Dia kembali melirik jam tangannya, hampir tengah malam. Di mana laki-laki yang disebutkan oleh Lona tadi? Dia jadi datang atau tidak? Atau jangan-jangan Lona mengerjainya agar dia tidak buru-buru pulang? Isss, Lona. Bisa-bisanya dia masih tertipu dengan trik murahan Lona ini.

Hanya begitu? Dia nggak mendatangiku? Alis Liam terangkat melihat reaksi dingin yang dilemparkan perempuan itu. Liam tidak pernah menerima reaksi seperti itu. Saat dia melakukan trik seperti tadi, seharusnya perempuan akan mendatanginya sekedar mengucapkan terima kasih, lalu mereka akan mengobrol dan tidak berapa lama mereka sudah berada dalam hotel.

Tapi gadis itu berbeda. Padahal Noah selalu mengatakan jika Liam dalam balutan pakaian hitam dan kaca mata hitam penuh aura yang mematikan. Apa auranya tidak mempan membius perempuan itu? Tidak. Harga diri Liam terluka cukup parah menerima penolakan seperti itu. Bagaimana pun caranya, dia harus mendapatkan perempuan itu malam ini.

“Pelayan.”

Liam kembali memanggil pelayan yang sama.

“Tolong berikan perempuan itu satu gelas lagi.”

“Baik Pak.”

Kembali Liam mengamati dari kejauhan dan dia cukup terkejut ketika perempuan itu menolak minumannya. Dia melihat bagaimana perempuan itu berbicara dengan pelayan, dan sedetik kemudian pelayan itu meninggalkannya dengan membawa gelas vodka itu kembali pada Liam.

“Pak, dia bilang dia sudah cukup mabuk dan tidak mau minum lagi.”

“Letakkan saja vodkanya di sini.”

Suara Liam bergetar karena baru pertama kali mengalami penolakan yang cukup serius. Dia memaksa dirinya tersenyum, saat perempuan itu berdiri, melambaikan tangan padanya sambil setengah membungkuk, mungkin sebagai permintaan maaf karena sudah menolak pemberiannya.

Itu lebih mengejutkan Liam lagi. Dugaannya benar. Perempuan itu bukan perempuan yang sering keluar masuk club. Apalagi dengan sikapnya yang dingin tapi tetap sopan, acuh tak acuh seolah dia memang mengabaikan Liam dan tidak berniat bicara dengannya. Dan hal itu menumbuhkan hasrat yang lebih besar lagi. Dia harus mendapatkan perempuan itu secepatnya.

Mau tidak mau, Liam yang harus mengalah. Dia berdiri, mengamati sekelilingnya dan mendapati Noah sedang berciuman dengan perempuan bergaun pastel tadi. Cepat juga prosesnya, guman Liam. Setelah mengetatkan topinya, dia memberi kode pada bodyguardnya untuk tidak mengikutinya. Setelah itu dia beranjak menuju meja perempuan yang membuatnya sangat penasaran dengan membawa gelasnya.

“Hai.”

Hanna kembali mendongak, dan begitu terkejut melihat laki-laki yang baru ditolaknya tadi muncul di hadapannya. Apa yang dia lakukan di sini? Apa dia merasa tersinggung dengan sikapku barusan?

“Hai juga.” Hanna membalas dengan sedikit canggung.

“Aku rasa kamu nggak terlalu sering masuk club. Terlihat dari caramu.”

“Well, benar.” Hanna mengangguk membenarkan.

“Maaf aku sudah menolak minuman pemberianmu. Tapi aku sudah agak pusing dan menambah minuman berarti aku sedang membahayakan nyawaku sendiri.” Ujarnya sopan.

“Orang bilang minuman beralkohol bisa merilekskan pikiranmu. Jadi kamu nggak setuju?”

“Setuju sih. Dengan catatan harus dengan dosis tertentu.”

Liam tertawa kecil. Dia mendorong kaca matanya yang setengah menggantung di hidungnya.

“Kamu mau jalan-jalan di luar? Sepertinya suasana club membuatmu sedikit nggak nyaman.”

“Tapi aku sedang menunggu seseorang.”

Seseorang yang tidak pernah muncul. Bahkan hingga tengah malam seperti ini teman yang disebutkan Lona tadi belum juga datang sementara Lona masih asyik menari seperti tidak kehabisan tenaga.

“Oh, baiklah. Aku pikir tadi kamu agak bosan, makanya aku mengajakmu jalan ke luar.”

Liam menelan rasa kecewanya. Reaksi Hanna bukan reaksi yang dia inginkan. Dia ingin Hanna setuju sehingga dia bisa menghabiskan lebih banyak waktu yang lebih pribadi dengan Hanna.

“Baiklah. Aku akan meninggalkanmu. Maaf sudah mengganggu.”

Liam menyerah. Bukan. Ini bukan sifatnya yang biasanya. Apa yang terjadi dengannya?

“Tunggu.”

Hanna berdiri. Langkah Liam berhenti, lalu sebuah senyuman tersungging di wajahnya yang tertutup masker.

“Kayaknya temanku nggak jadi datang. Mungkin, kita bisa jalan-jalan sebentar.”

Hanna memang butuh udara segar karena otaknya sudah rusak karena hingar bingar musik yang tak kunjung berhenti.

“Ayo, ikut aku.”

Hanna melirik Lona sejenak. Dia memanggil salah satu pelayan, menyampaikan pesan agar dia memberi tahu Lona jika dia pulang lebih dulu. Setelah memasukkan handphone nya ke dalam clutch bagnya, dia mengikuti Liam yang membawanya keluar dari pintu belakang.

“Kita akan ke mana?” tiba-tiba saja Hanna merasa jika sikapnya sedikit berlebihan.

Ikut dengan laki-laki yang baru dikenalnya yang membawanya entah ke mana. Bukankah itu aneh? Bukankah seharusnya dia jaga diri?

“Di belakang bangunan ini ada sebuah danau buatan milik pribadi. Kita bisa berjalan-jalan di sana.”

“Milik pribadi tapi kamu mengajakku ke sana? Itu artinya kamu pemiliknya?”

“Tebakan yang bagus.” Liam tertawa.

“Aku Liam, by the way.”

“Hanna.” Dia mengulurkan tangannya, menerima jabatan tangan Liam yang dingin.

“Kelihatannya kamu bukan tipikal perempuan yang suka menghabiskan waktunya di dalam bar atau club malam seperti ini.”

“Ini pertama kalinya, memang.”

Benar tebakanku, gumam Liam. Wajah polos dan lugunya itu tidak bisa ditutupi oleh make up. Tetap saja dia ketahuan dari gestur tubuhnya jika dia memang tidak nyaman tadi di dalam.

“Thanks sudah mengajakku keluar. Kalau nggak kepalaku rasanya sudah mau meledak mendengar suara berisik seperti itu.”

Hanna mendadak berhenti. Dia memegangi kakinya yang mulai memerah karena ulah stillettonya. Seharusnya aku nggak mendengar saran Lona soal sepatu ini. Kakiku benar-benar sakit dan sulit untuk berjalan. Ah, aku rindu sepatu sneakersku.

“Kamu baik-baik saja?” Liam menunduk, ikut memeriksa luka di kaki Hanna.

“Ah, nggak usah, aku nggak apa-apa.” Hanna mencoba menjauhkan tangan Liam karena ini tidak pantas.

Laki-laki itu berlutut, dan kakinya berada di atas pahanya. Apa itu pantas?

“Kakimu mulai lecet. Kamu nggak bisa memakainya lagi.”

Liam berdiri, tapi masih memegangi Hanna yang sedikit oleng. Kakinya sangat sakit jika dijejakkan, namun dia juga tidak punya pilihan lain. Masa dia berjalan bertelanjang kaki di depan laki-laki seperti Liam? Apa kesan yang tergambar di kepala Liam nantinya tentang dia?

“Tunggu di sini. Aku akan mengambilkan sesuatu.”

Hanna membuka mulutnya, mencoba mengucapkan sesuatu namun Liam sudah terlanjur berlari kembali masuk ke club. Dengan menyeret kakinya, Hanna berjalan tertatih menuju pohon yang tumbuh di pinggiran danau. Hanna melihat sekelilingnya, menyadari jika suasana danau terasa sangat tenang. bulan sedang bersinar penuh ditemani ribuan bintang yang berkelap-kelip memenuhi langit.

“Tenang sekali...” Hanna memejamkan matanya.

Sudah lama dia tidak merasakan sebuah ketenangan seperti ini. Dia membutuhkannya, apalagi sejak Jhon menusuknya dari belakang dan mengkhianati cintanya, untuk pertama kalinya dia bisa rileks menikmati hidup. Laki-laki itu tidak berarti dalam hidupnya, tapi kenapa rasanya Hanna sulit melupakan pengkhianatannya?

“Laki-laki brenngsek!”

Hanna menendang batang pohon di dekatnya, dan rasa sakit dari kakinya yang lecet segera menyadarkannya jika dia tidak boleh mengumpat lagi. Hanna duduk, memegangi kakinya yang teramat sakit. Dia tidak menyadari air matanya jatuh menyusuri wajahnya yang dingin oleh angin malam.

“Han, kamu pakai ini dulu.”

Liam tiba-tiba muncul dan membuat Hanna menyembunyikan wajahnya. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan lalu Liam akan mengasihaninya. Tidak, dia perempuan kuat –menurutnya.

“Kamu menangis? Kenapa?”

Liam yang sudah selesai membantu Hanna mengganti sepatu dengan sendal yang dibawanya menatap Hanna bingung. Namun sapuan lembut jemarinya di wajah Hanna membuat sekujur tubuh Hanna bergetar. Wajah Hanna memerah dan bulu kuduknya nyaris berdiri.

“Kamu mau menceritakannya padaku?”

Hanna mencoba menimbang. Terbuka pada orang yang barus dikenalnya terasa agak kurang pantas. Tapi kenapa aku malah merasa tertarik untuk bicara dengan dia?

Ciuman Pertama

Liam menyadari keraguan di wajah Hanna. Dia bisa melihatnya walau kaca mata hitam pekatnya masih menggantung di wajahnya. Perlahan Liam menyadari kenapa Hanna tidak mau terbuka padanya. Bagaimana gadis itu berbicara dengan laki-laki yang bahkan nyaris tidak terlihat wajahnya? Sepertinya aku harus membukanya, sekalian agar aku bisa melihat reaksinya saat dia melihatku.

Tanpa aba-aba Liam menarik tangan Hanna, membawakan sepatunya dan mendudukkan Hanna pada sebuah kursi kayu yang terletak di sisi danau. Dia sendiri membuka topi, kaca mata dan maskernya, hingga bisa melihat wajah Hanna dengan jelas. Astaga, dia sangat cantik, pekik Liam.

Mata Hanna mengerjap beberapa kali saat dia bisa melihat raut wajah Liam yang sangat...sempurna. Garis rahangnya terlihat tegas, hidungnya mancung, dan matanya sedikit bulat sejalan dengan alisnya yang tersusun rapi. Kenapa aku tidak menyadari jika dia sangat tampan?

“Kamu bisa percaya padaku sekarang?”

“Kenapa aku harus percaya padamu?” nada suara Hanna terdengar datar, dan dia mengalihkan pandangannya menuju hamparan danau yang tidak terlalu luas.

Kenapa aku merasa kalau dia nggak tertarik padaku? Dan..apa mungkin dia nggak kenal padaku? Dengan penampilanku yang seperti ini, dia nggak kenal pada Hazer?

“Apa kamu nggak sering melihat berita infotainment tentang selebriti atau membaca majalah?” Liam penasaran.

“Aku nggak punya waktu untuk mengikuti gosip selebritas seperti itu. Dan membaca majalah bukan tipeku. Aku lebih suka menghabiskan waktuku membaca buku yang lebih memiliki manfaat.” Jawab Hanna, masih terkesan cuek.

Jadi dia memang tidak mengenaliku, gumam Liam. Menarik sekali.

“Aku nggak tahu ini hanya perasaanku atau bukan, tapi kenapa aku merasa kamu melihatku sedari tadi?” Hanna menatap Liam.

“Memang benar.” Liam mengangguk.

Tidak ada gunanya dia berbohong soal itu, karena Hanna jelas-jelas sudah membuat darahnya mendidih karena menginginkannya. Dia ingin memeluk Hanna, menciumnya hingga pagi –lalu setelah itu meninggalkannya seperti yang selalu dia lakukan.

“Aku penasaran..” Liam membelai rambut Hanna, lalu merapikannya.

“..kenapa gadis baik-baik sepertimu bisa berada di dalam ruangan penuh dosa seperti itu?”

Sekali lagi, tubuh Hanna bergetar hebat karena perlakuan sederhana dari Liam. Jauh di dalam hatinya dia juga mengakui semua yang ada dalam tubuh Liam itu sempurna. Dan perlakuan-perlakuan Liam padanya membuatnya seperti terbang, seolah-olah semua kesahnya tentang hubungannya yang kandas menguap begitu saja, tanpa sisa. Dadanya terasa longgar sehingga dia bisa bernafas dengan lega.

“Aku sedang mencari ketenangan..”

Hanna tidak bisa konsentrasi untuk bicara saat Liam membelai wajahnya. Satu sisi dia mendengar suara bisikan dalam hatinya yang memintanya untuk berhenti dan pergi dari tempat itu karena Liam terlihat berbahaya baginya, namun di sisi lain dia juga bisa mendengar bisikan hatinya yang mengatakn its okay menghabiskan malam bersama seseorang yang tertarik padamu, toh hidup hanya sekali.

“Ketenangan apa?” Liam menatapnya, lebih tepatnya menatap bibirnya yang sensual.

“Aku baru putus dengan kekasihku karena dia selingkuh...”

Hanna diam saat tangan Liam turun dari lehernya hingga ke lengannya. Dia menarik nafas, mencoba tetap tenang dan tidak terpengaruh pada sentuhan-sentuhan Liam yang secara tidak langsung membangkitkan sensasi aneh dalam diri Hanna.

“..dia selingkuh dengan salah satu teman kerjaku dan yang lebih parah...”

Kali ini Hanna memejamkan mata saat jemari Liam bermain di punggungnya yang terbuka dan dingin. Astaga, bahkan Hanna tidak pernah mendapat perasaan seperti ini dari Jhon padahal mereka sudah bersama selama tiga tahun.

“Lebih parah apanya?” Liam menggeser tubuh Hanna yang ramping hingga menempel ke tubuhnya.

“..mereka...mereka selingkuh dari awal kami berpacaran. Jadi..aku merasa sangat tersinggung dan sangat bodoh. Mereka bisa mempermainkanku diam-diam selama tiga tahun, aku membenci hal itu..”

“Lalu hukuman apa yang kamu berikan pada mereka?”

“Hukuman? Aku nggak melakukan apa pun. Hanya menyudahi hubungan kami dan..”

“Kamu terlalu baik.” Liam mengendus lehernya.

Dengan susah payah Hanna berusaha mengembalikan akal sehatnya. Sepertinya alkohol yang dia minum turut serta membuat kepalanya berputar-putar, atau ini karena pesona Liam? Hanna tidak bisa menolak Liam ketika laki-laki itu menyentuhnya dan menjelajahi tubuhnya dengan kedua bola matanya yang bergerak sedari tadi. Kenapa dia bersikap berbeda antara laki-laki setengah mabuk yang mendatanginya di cafe tadi dengan Liam? Kenapa dia mengizinkan Liam menyentuhnya dan bahkan membuatnya mengalami sensasi luar biasa? Seharusnya dia menolak, bukan?

“Aku pikir mungkin sebagian kesalahannya terletak padaku karena aku sedikit kaku dan ...”

“Dan apa?”

“Aku nggak pernah setuju ketika dia mengajakku tidur.”

Mata Liam membulat. Apa ini salah satu trik untuk memikatku? Zaman sekarang masih ada perempuan yang tidak tidur dengan kekasihnya? Impossible. Selama tiga tahun berpacaran mustahil Hanna bisa menahannya, dan kalaupun dia bisa, kekasihnya pasti tidak bisa. Memangnya dia gampang dibodohi begitu saja? Gadis ini sangat polos dan menarik, namun sedikit ceroboh. Karena hal itu, Liam jadi punya rencana besar, mungkin dia bisa mencari tahunya sendiri.

“Aku nggak percaya masih ada gadis yang punya prinsip sepertimu.”

Liam menggandeng tangan Hanna menyusuri danau. Hanna menyeringai, tersenyum malu pada kepolosannya. Lona juga mengejeknya karena hal itu dan saat menemukan Jhon selingkuh, dia nyaris menawarkan dirinya pada laki-laki itu supaya dia kembali padanya. Namun Hanna bersyukur dia masih diberikan logika yang masih berfungsi penuh.

“Han..”

Liam menahan tangannya. Hanna mendongak menatap Liam, terkejut ketika dia menunduk dan mencium bibir Hanna dengan penuh kelembutan. Otak Hanna mengirim sinyal pada tubuhnya agar dia mendorong Liam dan menjaga jaraknya, namun entah kenapa, saat tangan Liam menahan tangannya, dia tidak melakukan perlawanan apa pun. Logika yang selalu diagung-agungkan Hanna lenyap saat Liam menyentuhnya dan menciumnya.

Kedua sepatu yang sedari tadi dipegangi oleh Liam jatuh, dan kedua lengannya yang kekar menariknya lebih dekat lagi pada pelukan Liam. Hanna tidak bisa bergerak dan tidak bisa menolak. Saat tangan Liam bergerak membelai punggungnya, sebuah sensasi menyengat mengalir dari ujung kakinya hingga ujung kepalanya, begitu menggelitik namun membuatnya nyaman. Hanna menyadari kebodohannya karena Liam adalah orang yang baru dikenalnya, namun malam ini dia merasa tidak masalah jika dia sedikit bodoh demi seseorang seperti Liam.

Liam semakin menarik tubuhnya hingga keduanya tidak memiliki jarak sedikitpun. Mata Hanna terus terpejam, menikmati setiap kali Liam mencecapnya dengan penuh kelembutan. Hingga nafas keduanya terasa sangat memburu, Liam melepaskan dirinya dan menatap Hanna penuh dambaan.

“Hanna, ikut aku.”

"Ke mana?" Hanna terlihat bingung.

"Ikut saja."

Liam tidak bisa menahan dirinya lagi dan dia tidak mungkin berada terus di dekat danau. Walau dia masih ingin menciumi Hanna dan mencecapnya, dia tetap sadar dengan profesinya yang mengharuskannya mawas diri. Kamera-kamera jahat yang merekam dirinya tanpa izin bisa jadi ada di mana-mana.

Dan dia sangat menginginkan Hanna. Dia harus bersama dengan Hanna malam ini, bagaimana pun caranya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!