NovelToon NovelToon

EMBRACE YOU : Kehadiran & Racun

EPISODE I

Title : Almost is Never Enough

Length : Chaptered || Ongoing

Genre : Love, family, hurt, sad, etc..

Author : Ani

Disclaimer : All in pure story from my mind. Please don't copy!! Jika ada kesamaan cerita, waktu, nama dan kejadian itu bukanlah suatu kesengajaan. Awas Typo bertebaran dimana-mana.

Warning!!

CERITA INI TIDAK DIBUAT UNTUK MENYINGGUNG PIHAK MANAPUN. INI HANYA KARANGAN SEMATA

💜💜💜

“Jika ada yang tidak di mengerti, kamu boleh langsung tanya saya.”

“Baik pak, terima kasih.”

Aku tersenyum lebar seraya pamit untuk keluar dari ruang kerja milik Pak Galih ketika pagi ini secara resmi aku bekerja di kantor cabang yang ada di kota ini.

Kota yang sudah aku tinggalkan selama hampir lima tahun. Kota asalku.

Karyawan lain yang berpapasan denganku saat aku berjalan menuju ruangan menyapa sangat sopan. Sebagian dari mereka telah lama mengenalku karena aku memang sudah bekerja di perusahaan manufaktur ini selama kurang lebih enam tahun.

Aku bergabung di perusahaan ini saat berumur delapan belas tahun dan hanya menjadi staf di bagian administrasi. Sekarang, saat umurku akan menginjak dua puluh empat tahun, aku telah memiliki tim sendiri. Aku yang selama ini mendapat pelatihan dan meneruskan sekolah sambil bekerja di kota lain telah memiliki tim administrasi sendiri.

Banyak yang bilang mereka iri denganku karena di umurku yang masih muda, aku bisa mendapatkan jabatan ini. Aku yang telah berpengalaman selama tiga tahun ini untuk memimpin satu bagian penting di perusahaan. Tak jarang banyak juga dari mereka yang menganggap remeh kemampuanku.

Sekarang, aku kembali ke kantor cabang ini dimana semuanya di mulai. Bersyukur teman-temanku dulu sekarang bagian dari tim. Mereka adalah teman-teman yang bertanggung jawab dalam pekerjaannya.

“SELAMAT DATANG!!”

Aku tersentak kaget saat lima orang perempuan berteriak ketika aku masuk ke ruangan. Mereka semua berteriak heboh sambil mendekatiku dengan donat di dalam sebuah kotak. Donat yang di atasnya sengaja di hidupkan lilin kecil.

“Aku sedang tidak ulang tahun.”

“Ehh biarin! Ini untuk penyambutan selagi donatnya gratis. Hahaha.” Rima, wanita yang lebih tua empat tahun dariku itu tertawa.

“Gratis?”

“Donatnya di belikan Leo.” Semuanya refleks tersenyum menggoda menatapku. Aku hanya tertawa tidak menanggapi serius.

Leo adalah lelaki dewasa berumur tiga puluh tahun dari bagian lain yang sejak dulu secara terang-terangan mendekatiku. Sementara aku hanya menganggap Leo hanyalah teman. Tidak lebih.

“Eiyy.. Ya udah yuk di makan donatnya.” Aku menggiring mereka untuk duduk di meja masing-masing. Melihat lagi kelima wanita di hadapanku ini setelah lima tahun rasanya benar-benar lega.

Mereka adalah tim avenger yang sejak dulu di banggakan oleh manajemen. Beruntung aku termasuk di dalamnya.

“Gimana di kota X? Udah punya pacar belum?” Kiki, wanita yang seumuran denganku itu bertanya penasaran.

Aku menggeleng.

“Bukannya lebih tepat kalau kamu menanyakan tentang pekerjaan di sana?” Kali ini Camila yang bertanya balik pada Kiki. Dua wanita ini memiliki umur yang sama denganku, hanya saja aku yang termuda jika di bandingkan dengan bulan lahir kami. Selain itu ada Bela yang lebih tua satu tahun dariku dan Tiwi yang lebih tua tiga tahun.

Satu lagi yang membuat karyawan dari bagian lain iri pada kami, di bagian ini yang memimpin mereka adalah wanita yang lebih muda di bandingkan dengan anak buahnya. Tapi tetap saja banyak juga di antara mereka yang menganggap rendah kemampuanku.

Tiba-tiba suara telpon di meja Camila berbunyi. Aku hanya tersenyum lebar dan berteriak. “Ayo semuanya mulai bekerja! Semangat!!”

Beginilah awal pagi kami, pekerjaan yang menumpuk selalu menunggu untuk di selesaikan. Satu hal lain yang membuatku betah bekerja di perusahaan ini, aku bisa benar-benar fokus bekerja untuk melupakan dia. Seorang yang tidak pernah teman-temanku ini ketahui identitasnya. Seseorang yang pada awalnya ingin aku kenalkan pada mereka saat kami akan melanjutkan ke jenjang yang lebih serius.

Seorang pria yang selama lima tahun ini tidak bisa hilang dari pikiranku.

***

“Ayo cepat!!”

Camila berlari kecil menghampiriku saat malam ini hanya ada kami berdua di ruangan. Seperti biasanya aku yang di temani Camila lembur hingga jam delapan malam. Jika aku tidak memaksa Camila untuk berhenti, wanita ini pasti akan meneruskannya sampai larut malam.

Meskipun kami akhirnya berpisah di pintu utama gedung ini, tapi memastikan semua anak buahku untuk pulang itu cukup melegakan.

Camila menghilang di depan gerbang karena dia di jemput oleh pacarnya, aku melambai padanya dengan senyum lebar seperti biasanya. Kemudian seorang satpam jaga menyapaku saat aku berjalan keluar gerbang.

Aku pulang menggunakan kendaraan umum, seperti biasanya. Tapi sebelum itu aku belok ke mini market tepat di samping gedung ini untuk membeli vitamin.

Setelah membayar di kasir aku segera keluar dan duduk di kursi yang di sediakan di sana. Malam ini orang-orang kantoran sepertiku banyak yang masih bersantai di sini, mengobrol dengan teman-teman mereka.

Aku cepat-cepat membuka vitamin yang di beli dengan sebotol air mineral. Sudah menjadi kebiasaan aku memakannya, pada awalnya aku hanya meminumnya sesekali saat tubuhku sangat lemah karena jadwal kuliah dan kerja yang bersamaan setiap harinya, dan hal itu cukup efektif untuk setidaknya menegapkan tubuhku.

Sebelum aku beranjak dari sana, tiba-tiba ponselku bergetar menandakan panggilan masuk.

“Halo, ada apa ‘bu?”

“Halo Cha, kamu sudah lupa dengan ibu?”

Aku menghela napas sebelum menjawab. “Tentu tidak. Aku hanya sibuk mengurus kepindahanku.”

“Ck. Anak ini. seharusnya kamu mengabari ibu jika sudah pulang. Ibu tidak ingin selalu mengomelimu tapi kamu selalu membuat ibu harus melakukannya. Kau membuat ibu terlihat seperti ibu yang buruk!!”

“BU!! Aku baru sampai tadi pagi jam tiga. Lalu aku harus sudah berangkat untuk bekerja—“

“Sudahlah! Kau memang selalu seperti itu! Kau lebih mementingkan dirimu sendiri di bandingkan dengan kami.”

Tanpa sadar aku mengelus dadaku pelan sambil memejamkan mata. Ini memang sikap ibu sejak ayah tiada. Hanya ada ibu dan adik lelaki yang baru lulus kuliah. Di kota ini, aku tinggal terpisah dengan mereka karena alasan rumahku lebih dekat ke tempatku bekerja dari pada rumah ibu yang harus menempuh waktu satu setengah jam perjalanan.

Tidak, sebenarnya itu rumah bibiku, tapi sejak bibi meninggal satu tahun lalu, dia mewariskan rumahnya padaku mengingat bibi belum menikah pada saat itu. Itu pula satu dari sekian alasan Ibu semakin menuntutku untuk membiayai pendidikan adik karena aku mendapatkan rumah bibi.

Aku tidak meminta itu, aku hanya sangat dekat dengan bibi Rose. Ahh aku merindukannya sekarang.

“Baiklah, aku pulang sekarang—“

“Tidak usah! Kau kirimkan saja uangnya, tambahkan juga karena Ibu ingin membelikan daging sapi untuk merayakan kepulangan Daniel dari acara perpisahannya dengan teman kampusnya.”

Aku bergumam dan sambungan langsung putus seketika. Aku menatap layar ponsel yang menampilkan wallpaper wajah tersenyum Jung Hoseok dari BTS, musisi kesukaanku.

Inilah ibu, dia akan mengomel ketika aku telat memberikan uang bulanan. Padahal aku hanya telat beberapa jam. Seharusnya tadi siang aku mengirimnya tapi aku benar-benar lupa.

Lalu Daniel, dia baru saja lulus dari universitas terkenal di kota ini. Membanggakan ibu tentu saja. Berharap anak itu segera mendapatkan pekerjaan agar dia bisa merawat ibu juga, memenuhi keinginan ibu.

Aku merasakan kepalaku mulai berdenyut pusing. Vitamin yang baru saja di makan belum bekerja. mengabaikannya, aku mulai mengotak atik ponsel untuk mentransfer uang pada ibu, berharap ibu akan senang.

Aku bukanlah wanita bodoh, terkadang aku juga sangat merindukan ibu memanjakanku seperti yang dia lakukan pada Daniel, terkadang aku ingin ibu menelponku untuk menanyakan hariku, atau menanyakan apakah aku makan teratur. Aku juga ingin ibu mengunjungiku dan mengomel padaku saat melihat aku belum mencuci pakaian. Hal-hal kecil itu lebih sering aku rasakan dengan bibi Rose.

Aku merasakan tubuhku mulai tidak bertenaga, cape sekali. Aku harus segera pulang.

~~~~

EPISODE 2

💜💜💜

.

..

...

Jarak antara tempat pemberhentian kendaraan umum dengan rumahku hanya berjalan kaki sepuluh menit memasuki komplek. Sekarang aku sedang berjalan sendirian meskipun beberapa kali mobil dan motor melaju melewatiku.

Aku suka saat seperti ini, berjalan sendirian agar aku bisa banyak berpikir apapun. Atau ketika mandi, orang akan lebih berpikir dalam saat mereka sendirian.

TIINNNNN…

Aku tersentak kaget saat cahaya lampu mobil di belakangku tiba-tiba dengan cepat melewatiku, aku langsung berhenti melangkah saat sebuah mobil silver sudah ada di sampingku sangat dekat.

Apa baru saja aku hampir terserempet mobil?! Gezz..

“WOYY!! KALAU JALAN YANG BENER DONG! SENGAJA MAU KE TABRAK?!”

Lagi-lagi aku tersentak kaget mendengar suara bentakkan dari dalam mobil. Kaca mobil depan telah terbuka dan menampilkan seorang pria berkacamata hitam di depan kemudidengan gadis seksi di sampingnya.

“HEI!! BUKANNYA KAMU YANG MAU SEREMPET?”

“APA? Ohh kamu minta ganti rugi?” Lelaki itu justru tersenyum meremehkan, karena terlalu malas menanggapinya, aku hanya mengerlingkan mata kesal dan kembali berjalan melewati mobilnya.

Pria gila, malam-malam pake kacamata hitam. Buta memang.

Sambil menghentakkan kaki kesal dan refleks aku memegang siku tangan kanan, merasa jika tadi aku bergerak satu senti saja mungkin tangan ini bengkak karena terserempet.

“Ini uang yang kamu mau!” Pria gila ini sudah ada di hadapanku sembari menunjukkan lembaran uangnya. Kemudian dia meraih tanganku dan menyimpannya di telapak tangan. Hei ada apa dengan orang ini?!

“Jangan menuntutku besok dengan patah tulang. Aku sudah membayarmu!” Aku bisa mencium bau alkohol dari tubuhnya.. Ck, benar-benar.

Malas berargumen, aku membuang uangnya begitu saja lalu menginjaknya saat aku berjalan mengabaikannya.

“YAKK!! DASAR WANITA SOMBONG!!”

Aku merasakan cengkraman tangannya di pergelangan tangan kananku cukup keras. Hendak ingin melepaskannya tapi tiba-tiba cengkraman itu lapas dengan sendirinya seperti ada yang menarik dari belakang, kemudian diikuti bunyi gedebuk cukup keras.

Aku refleks berbalik ingin melihat apa yang terjadi pada pria gila itu, tapi pandanganku terhalang oleh tubuh seorang pria yang sudah berdiri tegap di hadapanku sangat dekat. Pria bertubuh tinggi ini memakai jaket kulit coklatnya dan topi.

Karena samar-samar, aku tidak tahu siapa pria ini. Pria yang sedang menatapku ini terlihat tersenyum kecil.

“Maaf kamu—“

“Bawa dia pergi dari sini! Beri dia sedikit hukuman lalu serahkan pada polisi.”

“Baik, Pak!”

Aku tersentak kaget, mengenali suara pria ini. Pria yang memerintahkan pada dua orang pria lainnya yang sedang memegangi sang pengemudi dengan suara yang tegas.

Refleks aku melangkah mundur, ingin menghindarinya. Oh tidak sekarang aku ingin menangis karena merindukan pria ini juga tidak ingin menemuinya.

Jantungku berdetak cepat dan udara di sekitar rasanya telah menghilang.

“Merindukan aku?”

Dia Bayu, pria yang aku putuskan lima tahun lalu sebelum kepindahanku ke kota X. pria yang sama yang masih mengisi hatiku. Pria yang sangat aku rindukan.

“Bayu kau—kembali?”

“Bukannya aku yang harusnya berkata kau sudah kembali?”

Jenis suaranya terdengar semakin dalam dari terakhir aku ingat, tubuhnya lebih tinggi dan berotot lalu rahangnya tampak tegas meskipun terlihat samar-samar di kegelapan malam. Aku tidak yakin apa lelaki ini adalah Bayu.

Dia tampak lebih—dewasa.

Aku tidak tahu apa yang terjadi, hanya saja tanpa sadar aku terus menatap wajahnya.

Aku tidak tahu apa yang aku cari, aku hanya begitu tenggelam dalam tatapannya. Perlahan aku lihat Bayu tersenyum semakin lebar dan itu berhasil menular padaku.

Aku tersenyum padanya, kami terkekeh pelan. Tidak tahu apa yang lucu,

Jantungku berdetak cepat, aku berkeringat dingin. Seperti aku jatuh cinta pada pandangan pertama.

Tidak! Jangan! Aku tidak boleh lagi jatuh cinta padanya. Aku tidak boleh lagi merindukannya. Aku tidak boleh--

Cahaya lampu mobil Jeep hitam yang di kendarai oleh dua orang teman Bayu melaju melewati kami diikuti suara klakson yang di sengaja bermaksud untuk pamit pada lelaki ini.

Sesaat aku bisa melihat dengan jelas wajah Bayu akibat cahaya lampu mobil, dia begitu—terlihat seperti—Bayu, tentu saja!! Hanya saja aku bisa merasakan kharismanya. Apa ini karena dia sudah berpengalaman menjadi seorang tentara selama tujuh tahun ini?

“HEI.. APA YANG KAMU LAKUKAN PADANYA?!”

Tiba-tiba aku terperanjat kaget terhuyung ke belakang saat wanita yang tadi bersama pria berkacamata hitam berdiri di antara aku dan Bayu. Lebih tepatnya dia hampir mendorongku ke belakang saking kesalnya pada Bayu.

Semuanya langsung buyar, aku langsung menyadari apa yang baru saja di lakukan. Saling menatap—tidak!!

“Aku akan menyerahkannya pada polisi karena dia berkendara sambil mabuk dan hampir mencelakai seseorang.” Suaranya yang tenang menjawab wanita ini.

Aku menghela napas kesal. Tidak ingin berurusan dengan mereka, akhirnya aku berbalik dan meneruskan perjalananku.

Aku harus bersikap dingin. Tidak ada lagi yang harus aku bicarakan dengan Bayu.

Kami sudah putus. Ini yang terbaik untuk kami berdua.

“Jadi, gimana rasanya memutuskan hubungan secara sepihak tanpa menunggu balasan dari pihak yang terkait? Apa kau merasa bebas dan tenang?”

Aku menoleh mendapati Bayu sudah berjalan tenang di samping kananku. Karena penasaran, aku melirik ke belakang untuk melihat apa yang Bayu lakukan pada wanita itu.

“Apa yang kau lakukan padanya? Kenapa dia seperti itu?” wanita itu tampak diam melongo di tempatnya, bahkan ketika wanita itu hendak berjalan ke mobilnya dia seperti terhuyung.

“Kau memukulnya?!” Aku menjerit tertahan.

“Tentu saja tidak! Berhenti mengalihkan pembicaraan. Apa begini sambutanmu dengan kedatanganku? Jadi kau sudah bosan bermain petak umpet denganku?”

“Apa? Siapa yang bermain petak umpet?”

“Jadi kau ingin bermain kelereng?!”

“Haishh.. Berhenti bercanda! Yang benar saja!” aku mendengus antara kesal dan menikmati candaannya.

Sifat mengesalkannya tidak berubah. Lelaki lucu yang selalu membuatku jengkel, kesal, dan marah setiap kali bertemu dengannya. Dia selalu mencari gara-gara denganku. Jika perlu, dia akan menjahiliku sehingga aku bisa mengejarnya dan kami berlari saling kejar sembari dia tertawa keras menikmati kekesalanku padanya.

Sangat childish.

“Jadi—“

“Kita sudah putus. Jadi terima saja.” Aku menghentikan langkahku dan berbalik menghadapnya.

Rumahku sudah ada di depan, aku tidak ingin membawa Bayu masuk ke dalam rumah. Tidak ingin menjadi bahan gosip orang-orang komplek.

“Kenapa aku harus menerimanya? Aku tidak tahu alasan kau memutuskanku? Apa? Bukankah kau sudah berjanji akan menungguku, menjadi pacar yang baik. Apa karena kita jadi jarang bertemu setelah aku masuk ke camp pelatihan militer?”

Tidak. Tentu saja tidak. Aku sangat bangga padanya, dia menyukai aktifitas fisik. Hanya saja aku tidak ingin melibatkan dengan masalahku.

Entah mengapa, melihat ekspresi seriusnya yang terluka seperti ini membuat tenggorokkan ku sakit. Jantungku berdetak lebih cepat.

Aku tahu, aku masih begitu menyayanginya. Sangat.

“Hmm.. Aku lelah menunggu. Aku tidak ingin memiliki pacar yang tidak pernah ada untukku. Yang tidak akan bisa hadir denganku di undangan pernikahan teman. Yang tidak ada saat aku begitu merindukannya. Yang tidak ada saat aku ingin bertemu dengannya. Yang tidak ada saat aku ingin di jemput. Yang tidak ada saat aku ulang tahun. Yang tidak ada saat aku sedang kesal, sedih atau senang.”

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Bayu, hanya saja kali ini sorot matanya begitu dingin dan tak terbaca. Tidak ada emosi marah kesal di sana. Hanya tatapan lurus menatap langsung pada mataku.

Aku memalingkan wajah, tidak ingin berhadapan dengannya karena sekarang tenggorokkanku benar-benar sakit.

Gezz.. Aku ingin menangis.

“Sudah malam. Pulanglah.” Aku berkata dengan nada lebih lembut. Tanpa menunggu jawabannya, aku segera berbalik berjalan cepat menuju pintu gerbang rumah.

Sebelum menutup gerbang, aku sempat meliriknya. Bayu masih berdiri di tempat yang sama, mematung di sana. Aku tahu dia sedang berpikir.

Tidak, aku langsung menangis melihatnya. Hatiku sakit sekali melihatnya.

Aku merindukannya. Aku ingin membalas candaannya tadi. Aku ingin mengatakan jika aku berbohong mengatakan semuanya. Aku ingin melihat sorot mata jahilnya. Aku—

Menarik napas, lalu menghembuskannya. Aku berusaha mengontrol napasku yang mulai sesak saat aku mencoba membuka pintu rumah.

Bahkan tanganku bergetar saat ingin memasukkan kunci pintu. Aku berdecak kesal karena tidak berhasil dengan hal sepele seperti ini. Justru kuncinya jatuh.

Sial.

Dadaku rasanya sangat sakit. Aku tidak bisa lagi menahannya. Aku menangis.

Akhirnya air mataku jatuh sangat deras melewati pipi, tenggorokkanku sakit, mataku panas dan pandangaku sudah buram.

Di depan pintu rumah yang belum terbuka untukku, aku menangis tanpa suara dan berusaha untuk meraih kunci yang sudah jatuh.

Diam kita adalah perbincangan terbaik yang pernah ada, saling menyapa dalam kesunyian dan bertanya kabar tanpa sepatah kata.

~~~

EPISODE 3

💜💜💜

“Ohh, tumben pagi-pagi udah datang.” Camila, gadis itu menyapaku saat dia masuk ke ruangan. Dia memang tidak salah, aku datang 30 menit lebih awal dari biasanya.

Belum ada siapapun selain kami, aku menatapnya lebih tepatnya menatap bungkusan yang ia bawa.

“Beli sarapan di jalan?”

“Iya.”

Ahh aku ingat, aku juga belum sarapan. Tadi malam benar-benar malam yang menyedihkan. Aku harus menangis dan tidak bisa tidur nyenyak. Di tambah chat grup perusahaan dimana aku masuk terus berbunyi. Para petinggi di kantor pusat tidak pernah tidur, bahkan malam pun masih menanyakan pekerjaan dan itu berhasil membuatku semakin stress.

“Oh ya cha, kemaren Pak Martin—“

Seperti biasanya, pagi ini aku tidak bisa larut dalam kesedihan memikirkan Bayu. Camila yang selalu berterus terang mengenai masalah kerja yang dia hadapi menjadi prioritasku juga untuk membantunya.

Setidaknya, menjadi seorang leader harus memberikan harapan, bukan rasa takut pada bawahannya.

.

..

Hari ini adalah hari pertama aku hadir di kelas. Kelas pasca sarjana. Ini merupakan awal dari perjuangan antara bekerja dan kuliah. Setelah sebelumnya menyelesaikan masa kuliah sarjana, aku berpikir untuk melanjutkannya.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam ketika aku keluar dari gerbang kampus. Aku yang sudah berada di atas motor berpikir untuk segera pulang karena besok harus bangun pagi dan bekerja seperti biasanya. Jarak antara kampus dan rumah tidak begitu jauh, hanya kurang dari sepuluh menit memakai motor.

Motor putih yang aku kendarai sudah berhenti tepat di depan gerbang rumah. Seperti biasanya rumahku ini tampak gelap dari luar karena tidak ada siapapun yang tinggal di sini, seharian di bekerja membuat rumah peninggalan bibi ini kurang terurus. Aku biasanya akan membersihkannya seminggu sekali atau saat libur bekerja di tanggal merah.

“Sejak kapan kamu bisa mengendarai motor?”

“Ahhh kamu mengagetkanku!!” Aku tersentak kaget mendengar suara seorang pria tepat di telinga kiri. Ini sudah hampir tengah malam dan pria yang kini berdiri menatapku tampak tersenyum puas karena berhasil mengagetkanku.

“Apa yang kamu lakukan di sini? Ini sudah malam!!”

“Kenapa nada bicaramu jadi galak begini?”

Bayu yang bersandar di gerbang rumahku, berdiri tenang dengan tatapan sedang menelitiku dari bawah sampai atas. Aku tidak tahu apa yang ia cari tapi itu cukup membuatku risih.

“Berhenti menggangguku!”

“Aku tidak akan berhenti mengganggumu sampai semua permasalahan kita selesai.”

“Apanya yang belum selesai? Semuanya sudah selesai. Kita putus!!” Aku kembali naik ke atas motor ketika gerbang rumah sudah terbuka.

Bukannya kesal, Bayu justru terkekeh pelan sembari berjalan menghampiriku dan menahan tanganku yang hendak memutar gas motor. “Kenapa kamu sangat terobsesi putus denganku, hm? Dan lagi—“

“Apa??” Bayu menyipitkan matanya menatap wajahku, memperhatikan setiap detail dari wajahku. Mungkin dia bisa melihat pori-pori wajahku jika terus seperti ini.

“Wajahmu sudah dewasa rupanya. Kemarin aku tidak begitu memperhatikannya.” Ia bergumam seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Hei!! Tentu saja aku mendengarnya.

“Awas! Atau aku akan menabrakmu!” Aku melepas paksa tangannya yang sejak tadi menahan tangan kananku.

Lagi, Bayu tersenyum kecil kali ini ia menyingkir dan memberikan aku jalan. “Ladies first.”

“Pulang sana! Jangan menggangguku!” Aku mengusirnya untuk ke sekian kali saat motor sudah berhenti di garasi rumah dan aku berbalik hendak menutup gerbang.

“Yes Ma’am! Besok aku akan kembali.” Bayu memberi hormat padaku ketika aku hendak menutupnya.

“Apa?! Jangan kembali!!”

Bayu mengabaikan ucapanku, lelaki itu berjalan santai menuju mobil Jepp hitam yang ternyata terparkir tepat di depan rumahku. Gezz kenapa aku tidak menyadarinya tadi.

“Sampai bertemu besok Cantik! Mimpikan aku malam ini.”

Aku hendak berteriak mengutuknya tapi Bayu sudah berlalu pergi dengan senyum puas di wajahnya.

Tidak. Aku tidak akan memimpikannya!!

***

Sial, aku memimpikannya!

Pagi ini aku bangun dengan mood kesal. Ucapan lelaki itu masih bisa aku dengar berputar di kepalaku. Arrghh, benar-benar!

Sudahlah, aku harus segera berangkat kerja. Berharap Bayu tidak akan muncul hari ini. Hari ini akan menjadi hari sibuk bagiku karena akan ada rapat juga pekerjaan-pekerjaan yang mengantri untuk di selesaikan.

Tepat ketika aku keluar dari gerbang rumah, ada lima orang ibu-ibu tengah berbincang dan tawar menawar dengan penjual sayuran pagi ini. Mereka sempat berhenti dan menatapku, aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan tapi aku hanya menyapa mereka dengan senyum lebar dan mengangguk permisi lalu melaju pergi memakai motor.

.

..

Malam ini, selesai bekerja aku sudah ada di depan rumah yang di tinggali ibu dan adikku –Daniel- karena Daniel katanya ingin berdiskusi denganku tentang bisnisnya. Jika sudah soal bisnis, aku selalu cerewet padanya karena dia sering sekali berinvestasi pada bisnis yang tidak menjanjikan. Sudah beberapa kali Daniel gagal dan tertipu saat dia berinvestasi.

Kali ini aku khawatir, dia akan masuk ke lubang yang sama. Anak itu selalu gegabah saat mengambil keputusan jika terkait dengan bisnis investasi.

“Oh? Ka Icha sudah datang?” Aku menghentikan tanganku saat hendak mengetuk pintu saat mendengar suara familiar Daniel berasal dari belakangnya.

“Daniel. Kau dari mana?”

“Aku ada kabar baik untuk ka Icha.”

“Apa ini soal bisnis?” Daniel mengangguk antusias menjawab pertanyaanku. Anak ini sudah tumbuh tinggi, aku ingat terakhir kali bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu tingginya sama sepertiku, tapi sekarang tinggiku hanya sampai sebahunya.

“Tapi aku selalu tidak yakin dengan investasi bisnismu ini. Bagaimana jika kau tertipu lagi?”

“Ka Icha dengarkan aku dulu! Kali ini bisnisnya sangat menguntungkan. Jika ka Icha membantuku untuk investasi bisnis tambang ini—“

“Tunggu sebentar! Apa katamu? Bisnis tambang?”

“Iya. Bisnis ini sangat menguntungkan. Ini akan menjadi awal keberhasilan bisnis keluarga kita.” Aku melipat kedua tangan di atas perut, benar-benar tidak tahu apa isi kepala anak ini.

“Bukankah kau lulusan fakultas komunikasi? Apa kau tidak bisa melihat bagaimana bisnis ini akan berakhir? Bisnis tambang tidak akan mungkin dengan mudah dan bebas mencari investor seperti ini!” Aku sudah benar-benar kesal, Daniel masih saja tidak belajar dari pengalaman.

“Eiyy, ini tidak ada sangkut pautnya dengan aku yang lulusan komunikasi. Temanku yang menawarkanku bisnis ini, dia sudah berinvestasi dan hasilnya sangat memuaskan.”

“Kau selalu bilang dia temanmu jika bersangkutan dengan bisnis. Aku tidak tahu ternyata kau punya koneksi bisnis yang bagus.”

“Ahh ka Icha! Tolong dukung aku kali ini, hm? Bantu aku berinvestasi di bisnis ini.”

“Kau—“

“Kalian sedang apa di sini?” ucapanku terhenti mendengar suara lain dari depan pintu. Ternyata Ibu sudah berdiri di sana memperhatikan kami. Aku tidak menyadari sejak kapan ibu sudah membuka pintu.

“Bu, Daniel lagi-lagi membicarakan tentang bisnis investasinya! Aku tidak tahu apakah dia sudah belajar dari pengalaman? Kita baru saja bebas dari hutang pinjamannya ke bank.” Aku mengadu, bermaksud agar Ibu dapat mencegah anak ini.

Ibu menatap Daniel, menuntut penjelasan lalu bertanya. “Bisnis apa? apa kau yakin kali ini bisa berhasil?”

“Haishh, IBU!!”

Aku memekik pelan tidak percaya apa yang baru saja di dengar. Ibu seperti memberi harapan pada Daniel. Seketika pemuda ini mendekati Ibu dan bergelayut manja padanya.

“Kali ini bisnis tambang bu, aku dan temanku sudah lama merencakan ini. Aku yakin semuanya pasti lancar. Aku tidak mungkin berani meminta bantuan Kakak untuk berinvestasi jika tidak mempertimbangkan hasilnya.”

“Apa? Aku? Aku dapat uang dari mana! Kau tahu sendiri kan kalau aku tahun ini melanjutkan kuliah pasca sarjana.”

Ibu menatapku, tatapan kesal yang sudah sering aku lihat. “Ibu kan sudah bilang padamu! Untuk apa wanita sekolah tinggi-tinggi jika akan berakhir di dapur. Kau hanya menghabiskan uang! Dari pada kuliahmu, mungkin kita bisa memberi kesempatan Daniel untuk berbisnis lagi. Kali ini bisnis tambang, sepertinya akan menjanjikan.”

Aku menggeleng, Sebenarnya kecewa dengan sikap Ibu yang tidak pernah berubah padaku sejak perceraiannya dengan ayah tujuh tahun lalu.

“Tapi belajar itu tidak boleh berhenti begitu saja, bu. Lagi pula aku tidak punya uang sebanyak itu untuk berinvestasi. Jika pun aku punya aku tetap tidak akan memberikannya untuk investasi.”

~~~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!