NovelToon NovelToon

Penghuni Kosan?

Menjadi Anak Kosan

Hai teman-teman, sebelumnya selamat datang di tulisan pertamaku, yaa.

Perkenalkan aku OKTABEBEE 🤗

Tulisan pertamaku di Mangatoon/ Noveltoon ini 100% KISAH NYATA. Semuanya ku alami sendiri selama aku menjadi anak kosan saat kuliah dulu.

Selamat membaca 🤗

🌼🌼🌼

Kisah ini terjadi beberapa tahun lalu. Saat aku menyandang status sebagai mahasiswa di salah satu Universitas Swasta di Jawa Barat.

Aku berasal dari kota A yang berkuliah di kota B.

Jika berkendara umum, kurang lebih memakan waktu satu jam untukku sampai di kampus.

Sehingga butuh waktu sekitar dua jam untukku menikmati jalan setiap harinya untuk pergi dan pulang kampus.

Lelah di jalan? Pasti.

Membayangkan lelahnya aku yang hampir setiap hari harus bolak balik kampus-rumah, untuk itu aku memutuskan untuk jadi anak kost saja. Bisa menambah pengalaman dan teman baru juga, pikirku.

Ya, dari semester awal, dari aku masih mahasiswa bau kencur, aku sudah resmi menjadi anak kosan.

Aku yang saat itu masih awam dengan kota B, berjalan mencari kosan bersama temanku, Tini. Kami berkeliling menilik satu demi satu kosan di suatu komplek perumahan. Dan Alhamdulillah, di hari itu juga kami menemukan kosan yang cocok untuk kami.

Kosan kami terdiri dari dua bangunan berhadapan.

Satu bangunan berlantai dua dengan 8 kamar. Dan bangunan lainnya hanya satu lantai yang hanya terdiri dari 3 kamar. Total semuanya ada 11 kamar.

Kosanku berada di sebuah komplek perumahan yang kebetulan pula bangunannya berada dipaling ujung. Terbatasi tembok tinggi yang di sebelahnya adalah kebun kosong.

Di depan kosanku juga rumah kos-kosan. Tapi aku lebih memilih kosan "CITRA" sebagai rumah keduaku.

Gedungnya masih baru dengan nuansa abu dan desain minimalis, cantik sekali.

Aku memililih kamar di bangunan satu lantai. Kamarku nomor 2. Kamar nomor 1, dihuni oleh wanita yang ku panggil "teteh", karena umurnya lumayan jauh denganku_('Teteh' adalah panggilan dalam bahasa Sunda yang artinya 'Mbak'). Dia adalah guru TK dan sudah bersuami. Namanya teh Lisa.

Kamar No.3, dihuni oleh Tini, teman yang mencari kosan bersamaku. Kosan Citra adalah kosan khusus perempuan.

Dan dari sinilah semuanya bermula.

***

Aku adalah anak bungsu yang saat masih kecil, aku bisa melihat beberapa diantara 'mereka'.

Salah satunya adalah makhluk yang kata orang berbadan tinggi, berbulu lebat, bertubuh hitam, bermata merah, dan menyeramkan.

Kalian pasti tau siapa dia.

Ya, benar. Genderuwo.

Saat aku kecil, aku didatangi oleh ... aku anggap dia anak genderuwo. Karena dia kecil. Dia benar berbulu hitam, mirip gorila. Tapi tingginya sama dengan tinggiku yang saat itu berusia enam tahunan.

Apakah aku takut?

Kalau kejadiannya sekarang, aku jawab IYA. Aku pasti sangat takut. Aku akan terbayang-bayang wajah si hitam itu sepanjang bulan. Yang akan membuatku gentar walau pergi ke toilet malam-malam.

Bukankah kita semua yang masuk dalam kategori penakut juga akan begitu? Setiap mendengar atau menonton cerita horor, kita pasti akan takut untuk pergi ke toilet sendiran malam-malam?

Otak kita akan berimajinasi : "Ada putih-putih di pojokan toilet. Ada hitam-hitam di atas plafon".

Iya kan?

Tapi saat kecil, kejadian seram yang aku alami itu seolah biasa saja.

Aku kecil malah menganggap dia adalah manusia biasa yang memakai topeng gorila.

Aku kecil tidak tahu bahwa dunia ini juga dipenuhi oleh makhluk yang tak bisa dilihat mata biasa.

Lucu bukan?

Jadi pagi itu, aku belum bangun padahal ayam sudah riang bersahutan, sekitar pukul enam. Pukul 6 jaman dulu, berbeda dengan sekarang. Dulu, jam 6 pagi masih lumayan gelap. Aku masih asik menikmati kasur, tidur beringsut karena dingin pagi masih terasa.

Hingga satu jari menyentuh rambutku...

DUIL, DUIL.

Jari itu menoel kepalaku.

"Nanti, Pak. Masih ngantuk," kataku sambil terus menenggelamkan muka dalam bantal.

Aku pikir itu adalah tangan bapakku. Karena cara itu juga yang beberapa kali bapakku pakai untuk membangunkanku.

DUIL, DUIL.

Jari itu menyentuh kepalaku lagi.

Aku risih. Ahirnya ku putar kepalaku ke arah asal sentuhan tadi.

Dan, ya, kalian bisa tebak.

Yang kulihat adalah dia. Yang kusebut si anak genderuwo. Dia berjingkrak kegirangan seolah ingin mengajakku bermain. Kedua tangan dan kakinya menari. Mulutnya nyengir bahagia. Dia lucu, sungguh.

Tapi selucunya dia dulu, aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Aku tidak rindu sama sekali!

Aku loncat dari kasur dan pergi mencari bapakku.

***

Cerita diatas hanya kisah aku saat kecil.

Aku kecil yang entah mengapa bisa melihat jelas beberapa diantara 'mereka'.

Kata orang, ini adalah 'turunan'. Bakat yang dengan tidak sengaja diturunkan oleh orang tua jaman dulu, kepada anak cicitnya.

Bagaimana?

Kalian ada yang sepertiku?

Bertemu Om Cantik

Aku kecil adalah gadis yang periang. Memiliki banyak teman, laki-laki dan perempuan.

Tapi aku tidak suka bisa melihat beberapa diantara 'mereka'. Mereka bukan siapa-siapa, apalagi temanku.

Aku kecil bukan pemberani. Hanya saja aku kecil belum tahu bahwa mereka yang kulihat bukanlah manusia.

Dan aku bersyukur karena Allah menciptakan semua anak kecil, termasuk aku dulu, sebagai makhluk polos yang menganggap 'mereka' yang berwajah aneh hanyalah manusia yang memakai topeng.

***

Malam itu, aku dalam perjalanan pulang dari rumah kakekku yang hanya berbeda desa dengan tempatku tinggal. Usiaku enam tahunan saat itu.

Aku duduk anteng di belakang jok sepeda tua yang dikayuh bapakku.

Saat itu jalan desa masih terhitung gelap walau ada lampu bohlam berwarna kuning yang menyala dari teras rumah-rumah warga.

Pohon-pohon besar dan rumput tinggi tak terurus masih banyak menghiasi pinggiran jalan menuju rumahku.

Dalam gang menuju rumahku, masih banyak pekarangan warga yang berisi pohon pisang, pohon mangga, pohon kelapa, dan pohon-pohon besar lainnya. Rumahnya pun masih jarang, masih berjauhan antara satu rumah dengan lainnya karena terpisah oleh pekarangan yang aku sebutkan tadi.

KYOT, KYOOOT.

Suara sepeda tua dikayuh. Aku duduk membonceng di belakang berpegangan pinggang bapakku agar tidak jatuh. Jalanan sepi saat itu walau masih sekitar pukul 8-9 malam. Kalau tidak salah saat itu sekitar tahun 1997.

KYOT, KYOOOT.

Sepeda terus dikayuh oleh bapakku.

Rumahku semakin dekat. Berapa puluh meter lagi akan sampai.

Aku duduk anteng menyamping di jok belakang. Hingga aku melihat lelaki berbaju putih hingga menutup kaki, berambut panjang, berwajah putih, dengan mata merah, duduk anteng berjongkok di bawah pohon sirsak.

Dia menatapku.

Aku tatap juga dia tanpa rasa takut sedikit pun.

Karena sekali lagi, saat itu aku tidak tahu bahwa di dunia ini ada makhluk selain manusia sepertiku.

Ku perhatikan wujudnya. Dia persis manusia. Sangat persis, tidak ada yang berbeda. Tubuhnya sempurna. Wajahnya pun. Tidak ada muka robek atau mulut besar seperti yang di film-film.

Maka dari itu, dulu aku yakin dia adalah manusia yang sengaja berdandan menor. Manusia yang berbedak tebal dan memakai eyeshadow merah di sekeliling matanya. Hanya itu.

Tapi satu yang aneh, mukanya benar laki-laki. Dia berwajah lebar dan tegas. Bukankah katanya, makhluk seperti dia adalah perempuan?

Dia duduk jongkok tak bergerak. Matanya tetap melirikku walau sepeda yang dikayuh bapakku mulai menjauhi tempatnya berdiam diri.

Mataku pun tetap melihatnya hingga sepeda bapakku benar-benar menjauhinya. Dan kami sampai rumah.

"Pak, Pak, masa tadi ada orang jongkok di bawah pohon si malam-malam?" Aku langsung memberitahu bapakku.

Bapakku hanya senyum tak menjawab. Dan aku tak mengerti apa arti senyumannya itu.

***

Semakin bertambah usia, mataku sudah tidak lagi bisa melihat 'mereka'.

Atau 'mereka' yang sudah tidak ingin lagi aku lihat?

Apapun alasannya, aku bersyukur. Karena akan repot sekali kalau sampai dewasa aku masih bisa melihat 'mereka'.

Tapi satu yang masih melekat padaku, aku masih bisa mencium aroma dan mendengar 'mereka'.

"Heh, bau kembang ya?" kataku pada teman-teman saat kami bermain malam-malam.

Jaman dulu pas aku kecil, selepas isya (sekitar pukul setengah delapan malam), anak-anak bermain ramai di luar. Dan para ibu duduk ririungan membicarakan banyak hal ngobrol ngalor-ngidul.

Memang indah saat itu. Berbeda dengan sekarang. Anak-anak sibuk dengan gadgetnya, dan ibu-ibu asik dengan sinetronnya.

"Hust, tidak usah bilang. Nanti dia nongol," jawab salah satu temanku agak berbisik.

Aku langsung diam.

Karena saat itu, aku usia Sekolah Dasar, sudah punya rasa takut terhadap 'mereka'.

Takut kalau-kalau 'mereka' tiba-tiba muncul sambil tersenyum cekikikan.

Dan laki-laki berbaju putih yang jongkok di bawah pohon sirsak yang kuceritakan tadi, baru ku tahu saat aku sudah beranjak besar, bahwa dia adalah KUNTILANAK.

Kosanku Ternyata ...

Sejak aku pertama masuk kuliah beberapa tahun lalu, yaitu di pertengahan 2010, pertama kali pula aku mengenal dunia kosan. Ternyata seru. Banyak teman baru yang akhirnya menjadi keluarga keduaku di perantauan.

Kosanku bergaya minimalis bernuansa abu yang memiliki total 11 kamar. Kebetulan karena bangunannya masih baru, yaitu terlihat dari bangunan yang masih segar, bersih, dan cat yang mentereng, membuat kami para pencari kosan langsung mejatuhkan pilihan di kosan itu, Kosan Citra, termasuk aku.

Kosan Citra baru disewakan menjelang musim pendaftaran mahasiswa baru, sehingga penghuninya pun kebanyakan dari mahasiswa baru pula, termasuk aku. Kami adalah penghuni pertama kosan.

Kami adalah orang pertama yang mencicipi gedung yang temboknya masih bersih tanpa coretan dan tanpa paku. Intinya nyaman sekali disana.

Hari-hari awal kami habiskan untuk menghias kamar masing-masing senyaman mungkin, dengan berbagai aksesoris kesukaan kami.

Kamar kosanku tidak terlalu besar. Disana hanya ada kasur lantai dan lemari kecil, properti yang sudah disediakan ibu kost. Sementara barang lainnya harus membawa sendiri. Aku pasangkan cermin persis lurus dengan pintu, dan kipas angin kecil menempel pada dinding di atas kasur.

Tak butuh waktu lama tinggal di kosan, kami benar-benar menjadi seperti keluarga. Setiap habis maghrib kami berkumpul untuk makan bersama. Lalu kami mengerjakan tugas berjamaah yang setelahnya ada sesi curhat sampai malam. Sangat menyenangkan. Aku betah disana.

Kamarku nomor dua, sebelah kiriku kamar nomor satu yang dihuni oleh wanita berusia 35 tahunan yang saat itu ku panggil Teh Lisa.

Teh Lisa menjadi orang tua kami di kosan. Karena memang beliaulah yang paling tua di antara kami. Kamar Teh Lisa selalu jadi markas untuk kami berkumpul walau hanya untuk sekedar nonton televisi. Kebetulan kamar Teh Lisa memang paling luas dibanding kamar yang lainnya. Karena dengar-dengar, kamar itu dulunya ditinggali oleh ibu pemilik kosan.

Sebentar, 'Dulu'?

Ya.

Ada yang terlambat aku, atau tepatnya kami semua tahu. Yaitu tentang sejarah bangunan kosan.

Seperti yang aku sebutkan sebelumnya, kosanku terdiri dari dua bangunan berhadapan.

Satu bangunan dengan dua lantai, dengan total 8 kamar, bawah 4 dan atas 4. Dan bangunan lainnya hanya satu lantai, terdiri dari 3 kamar. Di bangunan inilah aku menginap selama kurang lebih 1,5 tahun.

Setelahnya, aku, dan kami semua pindah kosan berbarengan. Mencari kosan masing-masing yang lebih nyaman. Kami berpisah. Karena memang sulit mencari kosan yang masih kosong untuk menampung kami semua.

Kami pindah bersamaan, yaitu setelah tahu bahwa kosan yang sudah menyatukan kami seperti keluarga itu, tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Kosan kami itu memang baru. Tapi, ternyata yang baru hanyalah gedung dua lantai itu. Sementara gedung satu lantai yang aku tempati, adalah bangunan lama yang lumayan lama terbengkalai.

***

Di komplek kosan kami, ada ibu penjual sarapan keliling yang kalau datang, suaranya menggelegar membangunkan kami yang walau sudah terang tapi masih tidur karena semalaman berperang dengan tugas. Namanya bu Idah.

Ibu Idah menjual berbagai macam menu sarapan. Mulai dari yang berat seperti nasi kuning dan uduk, sampai berbagai macam aneka kue pasar.

"SARAPAN OOOY SARAPAAAAN."

Begitu teriaknya setiap pagi. Membuat kami langsung berhamburan keluar kamar menyerbu dagangan si ibu.

Dan dari bu Idahlah kami tahu sedikit tentang asal-usul kosan.

Katanya, kosan ini dulunya terbengkalai. Bangunan yang aku tempatilah pusatnya.

Katanya, dulu kosan ini hanya ada tiga kamar. Sekali lagi, bangunan yang aku tempatilah yang ibu Idah maksud.

Katanya, bangunan dua lantai yang baru itu, dulunya hanya semak belukar yang isinya rumput tinggi tak terurus.

Bisa aku bayangkan.

Dulu, tanah sepetak yang bangunannya hanya 3 kamar kosong itu, yang dikelilingi ilalang tinggi itu, yang letaknya di ujung komplek dan tepat berada di tembok pembatas itu, adalah bangunan kosong. Yang kalau malam pasti akan gelap dan sunyi sekali.

Merinding? Jelas iya.

Karena ternyata akulah salah satu penghuninya sekarang.

Tapi saat itu, yang kutahu bangunannya sudah bagus. Yang kutahu bangunannya sangat menarik untuk ditinggali.

Ibu pemilik kosan yang kalau menagih uang bulanan datang dengan mobil merahnya, berhasil menyulap bangunan lama menjadi kosan minimalis yang cantik.

Tapi ada satu yang tidak bisa diubahnya, yaitu 'penghuni' tetap kosan. Yang tidak akan pindah walau bangunannya sudah diubah sedemikian rupa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!