"Udah kenyang, Ni?" Rita beranjak dari duduknya untuk membawa piring kotor bekas makan kembali ke dapur.
Perempuan berambut panjang bernama Riani itu mengangguk. Tangannya mengusap-usap perut yang kini terasa sangat penuh usai makan malam dengan ikan gurame yang dimasak dengan bumbu khusus oleh ibunya.
Sepasang mata gelap itu melihat ke arah ayahnya yang duduk di depannya. Antara ia dan ayah hanya dibatasi dengan meja makan bundar yang tidak terlalu besar. Berkali-kali ia mendengar suara notifikasi dari ponsel yang ada dalam genggaman tangan laki-laki bernama Agus.
"Lagi chattingan sama siapa, Yah? Kelihatannya sibuk bener," celutuk Riani.
Terlihat sepasang mata berwarna hitam itu sedikit melirik, dilanjut dengan ia yang lantas tersenyum tipis.
"Biasalah ... bisnis," jawabnya dengan ibu jari yang terus menari di atas layar ponselnya.
Riani menguap, ia merasa kantuk mulai menyerang. Melihat ke arah jam dinding, waktu menunjukkan pukul delapan malam.
Tanpa mengatakan apapun, Riani beranjak dari duduknya. Ia melangkah perlahan menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua.
Baik ayah atau ibunya sama sekali tidak ada yang menyadari kepergian Riani dari meja makan. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ayah sibuk dengan ponselnya dan ibu sibuk di dapur membersihkan piring kotor.
Menaiki tangga menuju ke lantai dua, Riani membuka pintu sebelah kiri yang merupakan pintu kamarnya.
Dari jendela kamar yang cukup besar bisa terlihat indahnya lampu-lampu rumah penduduk yang terlihat seperti taburan bintang di langit malam. Riani masuk menutup korden tersebut, ia lantas merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan dipan peninggalan neneknya yang sudah tiada.
"Huft." Riani menghela nafas sembari membuka ponselnya.
Beberapa notifikasi dari sebuah kanal segera menyita perhatian Riani.
Menguak Misteri Pesugihan Nyi Kembar, begitulah judul dari video tersebut.
"Halo, semuanya. Kembali lagi di kanal Misteri. Kali ini kita akan membahas tentang sesuatu yang sekarang menjadi perbincangan hangat dan hampir semua orang di Indonesia khususnya pulau Jawa membicarakan hal ini. Sebenarnya, pesugihan ini ada nggak sih? Lalu siapa sosok Nyi Kembar itu sebenarnya? Tanpa berlama-lama lagi kita langsung masuk ke videonya!"
Backsound menyeramkan semakin membuat merinding, namun karena penasaran Riani tetap menonton video tersebut.
'Lagipula ada ibu dan ayah di rumah, aku tidak benar-benar sendirian di sini,' pikir Riani.
"Oke, tak kenal maka tak sayang, biar kalian lebih paham tentang apa yang akan kita dibahas kali ini, lebih baik kita berkenalan dulu dengan sosok Nyi Kembar. Siapa sih Nyi Kembar itu?"
Pop up bertulisan "SIAPA NYI KEMBAR?" muncul dengan backround yang didominasi warna merah.
"Menurut cerita dari daerah timur, Nyi Kembar dulunya adalah dua saudara kembar yang berusia dua puluh tahun. Saat lahir, ia sudah ditinggalkan oleh ayahnya dan ibunya hidup sebatang kara. Dikarenakan kemiskinan yang membuatnya tidak mampu membiayai hidup kedua anaknya, ibu Nyi Kembar memutuskan untuk memberikan dua bayi kembar itu kepada sebuah panti. Namun sayangnya keputusan yang dia ambil adalah keputusan yang ... salah."
"Bayi kembar yang tidak diketahui identitasnya itu masuk ke dalam panti yang mengajarkan ilmu hitam. Dari sekian banyak murid, Nyi Kembar adalah dua murid yang paling pintar. Jadi, dia itu selalu paham dengan apa yang diajarkan gurunya. Lalu apa saja yang didapatkan dari pesugihan Nyi Kembar?"
Suara latar belakang yang menyeramkan terus berputar. Sebuah pop up kembali muncul dengan tulisan "MISTERI PESUGIHAN NYI KEMBAR" dengan background yang serupa kembali terlihat.
"AAAAAA!!!"
Riani beranjak dari tempat tidurnya dengan ponsel yang masih dalam genggaman tangan dan video yang masih tetap berjalan. Ia duduk di atas tempat tidur sembari mempertajam pendengarannya.
"AAAAA!!!" Lagi-lagi suara teriakan itu kembali terdengar.
Merasa penasaran, Riani segera keluar dari kamar. Langkahnya dengan cepat menuruni tangga. "Ada apa, Yah, Bu?"
Tidak hanya mereka bertiga, bahkan Dwi yang merupakan asisten rumah tangga dalam rumah itu juga ikut keluar.
Di luar rumah, sudah banyak orang-orang yang juga berkumpul di rumah putih yang berjarak satu rumah dari rumah Riani. Beberapa mahasiswa dan pekerja yang menempati kost milik ayahnya juga sudah ada di sana.
Terlihat seorang perempuan berbadan gemuk mengenakan daster bunga-bunga dengan dominan warna oren menangis histeris. Beberapa orang menenangkannya.
"A--ada orang gantung ... a--ada orang gantung." Ia terus mengatakan kalimat itu dengan tangan yang menunjuk-nunjuk ke arah salah satu pintu kost.
Riani turut berusaha melihat ke bagian dalam, namun ia tidak berhasil melihat apapun.
Suara sirine mobil ambulan bersahut-sahutan dengan sirine mobil polisi. Orang-orang yang berkerumun mulai memberi jalan pada petugas keamanan dan kesehatan itu.
"Siapa yang gantung?" tanya Riani pada salah seorang perempuan yang berdiri di sebelahnya. Ia sibuk melakukan live streaming di salah satu sosial media.
"Gendhis," jawabnya seketika.
"Gendhis?" Riani merasa tidak percaya.
Gendhis adalah seorang mahasiswa yang sangat ceria dalam penglihatan Riani. Beberapa kali ia berpapasan di jalan dan selalu menyapa, tidak terlihat ada tanda-tanda ia merasa depresi. Namun, tidak ada yang tahu, mungkin di balik keceriaannya dia selalu menangis setiap malamnya.
"Dia jadi tumbal."
"Apa?!"
Perempuan yang masih sibuk merekam itu menganggukkan kepala dengan begitu yakin. "Udah banyak yang bilang Pak Abdul itu pake pesugihan Nyi Kembar dan pake anak kost-nya buat tumbal. Lagian aneh banget kan, udah banyak kejadian tapi masih banyak aja yang nge-kost di situ, yang nge-kost juga kan kebanyakan orang jauh."
'Iyalah kalau deket buat apa nge-kost?' pikir Riani yang masih belum percaya dan menganggap kejadian ini bukan tentang pesugihan atau hal-hal gaib apapun.
"Tahun ini aja udah ada lima kejadian, satu keluarg yang kecelakaan pas pulkam, laki-laki yang ditemukan tewas di kamar mandi, mahasiswa yang loncat dari jembatan, terus belum lama baru beberapa bulan kemarin mba-mba LC yang meninggal karena overdosis di kamar kost. Tapi kamar-kamar itu selalu ditempatin lagi dan lagi, apa mereka nggak pada takut ya?"
Riani mengangkat bahunya bersamaan. "Nggak tahu juga deh, emangnya siapa yang bilang Pak Abdul pake pesugihan ini?"
"Kamu masih belum percaya? Setiap bulan dia selalu pergi, dia itu mau nemuin dukunnya."
"Masa sih?"
Orang-orang kembali menepi, Riani tergeser dari tempat duduknya. Dalam jarak sekitar lima meter ia melihat petugas yang sedang membawa tubuh Gendhis dengan kain putih sebagai penutupnya.
Lokasi tempat kejadian perkara masih tetap ramai, bahkan beberapa wartawan juga sudah ada di sana untuk meliput kejadian.
Kembali ke dalam kamar, Riani mendapati jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Ponselnya masih menyala dengan video yang sudah selesai diputar. Merasa mengantuk, Riani tidak melanjutkan menonton video tersebut dan memilih untuk tidur.
***
Riani terbangun di sebuah ruangan yang gelap, mungkin sedang mati lampu.
Beberapa kali ia mengerjap, mencoba menyesuaikan pandangan matanya dengan kegelapan. Ia beranjak untuk mencari ponselnya dan menyalakan senter, namun semuanya terasa berbeda.
"Bukan ... ini bukan kamarku. Kenapa kosong seperti ini? Perasaan di sini meja belajar, tapi kenapa nggak ada?"
Riani terus melangkah dalam kegelapan, ia meraba-raba dengan kedua tangannya mencari letak meja itu berada.
Dalam kegelapan, Riani melihat sebuah siluet yang lebih hitam daripada sekitarnya. Rambutnya melambai-lambai seakan terkena angin, padahal Riani tidak merasakan ada angin yang menerpa tubuhnya.
"Siapa kamu?!" Riani memberanikan diri untuk berteriak.
Hening, menegangkan, seram.
Suara tangisan perlahan terdengar, suara yang tidak asing dalam telinga itu terus muncul dan sesekali sedikit pudar.
"Ge--Gendhis?" Riani kembali menberanikan diri.
Tubuhnya bergetar, jantungnya berdetak hebat, ia takut, ia sadar bahwa semalam Gendhis telah dikabarkan meninggal. Lalu siapa pemilik siluet hitam itu?
Ia merintih panjang dan terbang mendekat ke arah Riani. "To--tolong ... to--long buka ...."
"Hah! Huh ... huh ... huh ...!"
Ruang kamar sudah tidak lagi begitu gelap. Menoleh ke arah jendela, sinar matahari pagi nampak berusaha masuk menembus korden yang ada di balik jendela itu.
Keringat mengucur pada beberapa bagian tubuh. Riani menyeka kening yang basah dengan bulir-bulir keringat.
"Huh ... mimpi buruk," ujar Riani, masih berusaha mengatur nafasnya.
Ia merasa jantungnya masih berdegup kencang dengan nafas yang berhembus tak beraturan. Mimpi buruk itu terasa sangat nyata.
"Rest in peace, Ndhis, jangan seperti ini," lirih Riani. "Jangan menghantuiku, jangan menghantui orang lain. Kita sudah berbeda alam, kamu sudah memilih jalanmu sendiri, kamu harus bertanggung jawab dengan pilihanmu itu, Ndhis."
Korden yang menutupi jendela kamar ia singkap dan sinar matahari menyeruak masuk ke dalam kamar. Jendela kamar juga ia buka dan udara pagi yang segar ia hirup dalam-dalam.
Semua pintu kamar masih tertutup saat Riani menuruni anak tangga. Menuju ke ruang makan, meja makan masih kosong tanpa ada sedikitpun makanan di atasnya.
"Mba ... Mba Dwi," panggil Riani beberapa kali.
Dari balik ruang santai, seorang perempuan keluar dengan tergopoh-gopoh. "Ada apa, Non?" Ia berkata sembari menundukkan kepalanya.
"Kok belum ada makanan, Mba?"
"Nyonya Rita belum bangun, saya bingung mau belanja apa. Ada tukang sayur juga nggak bisa belanja karena nggak ada duitnya."
"Ibu belum bangun?" tanya Riani kemudian.
Dwi yang merupakan asisten rumah tangga sejak lima tahun lalu hanya menganggukkan kepala.
Pintu kamar utama masih tertutup rapat, beberapa kali Riani mengetuk dan memanggil ibunya. Tidak sabar karena pintu kamar tidak kunjung dibuka, Riani membuka pintu yang ternyata hanya tertutup tanpa dikunci.
Di atas tempat tidur, ibunya masih terbaring dengan tubuh yang menggigil kedinginan. Bibirnya biru dan wajahnya putih pucat.
"Bu ... Ibu sakit?" tanya Riani berhambur mendekat.
Kedua mata perempuan itu terpejam. Bibirnya sedikit terbuka, mungkin ingin mengatakan sesuatu.
"Bu, Ibu kenapa? Apa yang sudah terjadi?" Riani beralih ke arah ayah yang tertidur lelap di samping ibunya. "Ayah, Ibu kenapa? Bangun, Yah!"
Suara berisik dari arah luar semakin membuat pikiran Riani tak karuan.
"Ada apa, Ni?"
"Ibu, Yah, ibu sakit kenapa?"
Kedua matanya baru saja terbuka, bahkan nyawanya belum berkumpul semua. Ia melihat ke arah istrinya, terkejut.
"Kamu kenapa, Rit?" Ia berusaha menyadarkan Rita--istrinya.
"Ini ada apa sih di luar?!" Riani beralih ke luar kamar.
Ia menuruni tangga dengan terburu-buru.
Dwi sudah ada di depan pintu, menghalau beberapa orang yang ada di luar.
"Ada apa, Mba?"
"Ini, Non, mereka mau ngembaliin kunci kamar."
Riani mengernyit. "Emang kenapa?"
"Kita mau pindah kost, Riani, kita nggak mau lagi ngekost di sini. Iya kan, teman-teman?"
"Iya."
"Betul."
"Tapi kenapa?" Riani semakin tidak mengerti.
"Intinya kami mau pindah kost, Riani. Dimana Ibu dan Ayah?"
"Kamar," jawab Riani, ia masih tetap mengernyitkan dahi. "Ibu sedang sakit."
"Kalau begitu titip salam saja untuk mereka, aku mau pindah kost. Maaf ya, Riani."
Perempuan itu menyerahkan kunci kamarnya, disusul dengan yang lain.
"Tu--tunggu, i--ini kenapa sih?"
Tidak ada satupun dari mereka yang mau menjawab semua pertanyaan Riani. Mereka menyerahkan kunci kamar dan pergi membawa barang-barang yang sudah mereka kemasi.
"Ini ada apa, Mba?" tanya Riani yang masih kebingungan.
Dwi menggelengkan kepala. "Saya juga tidak tahu, Non." Ia berkata dengan menunduk, takut. "Mungkin tidak ingin menjadi koran pesugihan Nyi Kembar."
"Maksud kamu apa, Mba? Kan Pak Abdul yang melakukan itu!"
"Mu--mungkin me--mereka ta--takut, Non." Ia berkata dengan terbata-bata. "Maaf, Non."
Dwi meninggalkan Riani begitu saja, menghilang dari balik tangga meninggalkan Riani berdiri sendirian di tempat yang sama.
"Riani," panggil Agus dengan keras.
Pandangan mata Riani melihat ke arah sumber suara. Dilihatnya Agus yang sedang berdiri di salah satu anak tangga.
"Buka pintu mobil, Ayah akan bawa ibumu ke rumah sakit."
Kunci mobil dilemparkan olehnya dari atas dan dengan cekatan Riani mendapatkannya.
Kondisi Ibu masih sama, menggigil kedinginan dengan bibir yang biru dan wajah pucat, namun kali ini kedua matanya sudah terbuka.
"Jangan ... jangan ...," rintihnya.
Riani yang ketiduran di sofa seketika beranjak dan mendekat.
"Ibu ... Ibu sudah sadar? Gimana kondisi Ibu sekarang?"
Pandangan mata Rita melihat ke arah yang sama, ada ketakutan di sana.
"Jangan ... jangan ... tolong ... jangan."
Ia selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang dengan mata yang tidak berkedip dalam waktu yang lama. Bahkan terlihat air mata juga mulai terkumpul pada pelupuk matanya.
"Ibu kenapa, Bu? Jangan apa? Beritahu aku, Bu," isak Riani, namun ibunya tetap saja mengatakan hal yang sama. "Ibu tenanglah, di sini hanya ada kita berdua, aku tidak mungkin melakukan hal jahat kepada Ibu, aku sayang Ibu, aku mencintai Ibu."
Tidak kunjung mendapat jawaban dan Rita juga masih terus melakukan hal yang sama, Riani beralih mengambil ponselnya.
Ia berusaha menghubungi ayahnya yang pulang ke rumah sekitar setengah jam yang lalu untuk mengambil pakaian ganti dan membeli makan malam.
"Halo, Yah," ucap Riani sesudah panggilan suara itu terhubung. "Yah, Ibu sudah sadar, tapi aneh banget.
"Aneh gimana maksud kamu, Ni?"
"Ibu terus berkata jangan," jelas Riani. "Aku nggak tahu, Yah, ini gimana?"
"Kamu tunggu sebentar lagi Ayah kesana."
Panggilan suara ditutup dan Riani kembali berhambur ke arah ibunya. Ia memeluk tubuh yang terbaring di atas ranjang tempat tidur dengan terus berkata jangan dengan suara yang lirih.
"Tidak ada yang hendak menyakitimu, Ibu. Katakan kepadaku dengan jelas, katakan, Bu," tegas Riani, namun ibunya masih saja terus berkata jangan.
Jam menunjukkan pukul tujuh lebih seperempat. Riani melihat ke arah luar ruangan, ia masih belum mendapati ayahnya datang.
Sementara keadaan Rita sudah mulai tenang setelah Riani memanggil dokter. Dengan ponsel di genggaman tangan, Riani melangkah menyusuri lorong panjang dengan penerangang cukup baik.
"Eh!" kaget Riani saat tiba-tiba salah satu pintu mati. "Sialan, bikin kaget aja!"
Ia kembali melangkah namun tiba-tiba ada lagi yang mengejutkannya.
"Ya ampun, siapa lagi ini?!" gerutu Riani melihat ponsel di tangannya yang tengah berdering.
Ia mengusap layar ponsel ke samping kanan untuk menerima panggilan.
"Halo," kesal Riani atas dering panggilan suara yang telah mengagetkannya.
"Halo, benar ini dengan Nona Riani?"
"Ya, ini saya, ada apa? Ini siapa ya?"
"Sebelumnya kami mohon maaf telah mengganggu waktunya, Nona Riani. Saya dari pihak kepolisian ingin memberutahukan bahwa saudara yang diketahui bernama Agus yang tidak lain adalah ayah Anda telah mengalami kecelakaan di jalan Merpati."
"Apa?!" pekik Riani. "Nggak mungkin, Ayah sedang di rumah, lagipula untuk apa Ayah ke jalan merpati? Itu terlalu jauh dari daerah tempat tinggal kami. Ini pasti penipuan, kan?! Ngaku!"
"Bukan, Riani. Saudara Agus benar-benar mengalami kecelakaan di jalan Merpati. Mobil yang dia kendarai--"
"BOHONG!" pekik Riani lagi. "Aku tidak percaya kepadamu, penipu!"
Riani menekan ikon untuk mematikan panggilan suara. Perempuan itu melangkahkan kakinya cepat keluar dari rumah sakit.
Melihat ke sekitarnya, ada banyak gerobak-gerobak pedagang kaki lima dengan lampu yang masih menyala.
"Makan soto mungkin lebih enak," ujar Riani yang lantas mendekat. "Sotonya masih, Bu?"
"Masih, mau berapa?'
Seorang wanita berusia empat puluh tahunan itu tersenyum dengan ramah. Ia mengenakan kerudung berwarna blushpink, wajahnya tak mengenakan riasan apapun sehingga keriput, flek hitam dan bekas jerawatnya terlihat jelas. Kedua matanya juga menghitam, bukti bahwa ia lebih sering terjaga daripada tidur.
"Satu makan di sini aja, Bu."
Wanita itu lantas mengambil menyiapkan kursi plastik dekat meja berukuran satu meter persegi. "Silahkan duduk."
Riani tersenyum, ia mendudukkan tubuhnya dan kembali membuka smartphone-nya.
Nomor asing yang tadi menghubunginya dan mengaku sebagai polisi itu ia blokir, ia tidak ingin berurusan dengan penipu untuk saat ini.
Sembari menunggu soto pesanannya disiapkan, Riani menonton video pendek sembari sesekali tertawa atas kelucuan yang ada dalam video tersebut.
"Info laka lantas mobil tertabrak truk di jalan--"
"Silahkan dinikmati," ujar penjual soto yang tiba-tiba sudah ada di sebelah Riani dengan semangkuk soto yang dia letakkan di atas meja.
Sontak Riani mematikan ponselnya, ia tersenyum ramah. "Terima kasih."
Rasa lapar membuat Riani segera menyantap soto tersebut, ditambah lagi aroma soto yang sangat menggoda selera membuat Riani ingin segera menghabiskan makanannya.
Sepuluh menit berlalu dan Riani beranjak dari duduknya. Ia teringat dengan ibunya, barangkali Rita sudah kembali sadar dan sedang mencari dirinya.
"Sebuah kecelakaan terjadi di jalan Merpati menewaskan satu orang laki-laki berinisial AB. Kecelakaan terjadi saat sebuah truk melaju dengan cepat dan menghantam mobil milik AB yang hendak menyalip sebuah bus--"
Riani terdiam di lobi rumah sakit. Perempuan itu menghentikan langkah kakinya dan melihat ke layar televisi berukuran 50 inch yang sedang menayangkan sebuah berita.
Smarphone yang ada dalam genggaman tangannya berdering tanda panggilan masuk. Di layar smartphone yang menyala itu nama Sella terpampang dengan jelas.
"Ni, kamu udah denger kabar belum?"
Banyaknya orang di sekitar Riani membuatnya tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh Sella. "Sebentar, Sel." Riani berjalan ke arah depan, mencari tempat yang lebih sepi. "Kenapa? Tadi kamu ngomong apa?" Kini Riani sudah duduk di salah satu bangku taman dekat dengan tanaman hias dan ayunan.
"Kamu udah denger kabar tentang ayah kamu belum, Ri?"
"Kabar apa sih, Sel? Ayah aku tadi habis dari rumah dan katanya sekarang lagi perjalanan ke rumah sakit," jelas Riani, sebenarnya ia kesal dengan Sella yang menanyakan hal demikian.
"Tapi sudah ada beritanya juga, Ri."
"Berita apa, Sel? Kecelakaan di jalan Merpati? Itu bukan ayahku. Lagipula tujuan ayah itu ke rumah sakit, nggak mungkin dia sampai ke jalan Merpati."
"Tapi tadi ada polisi yang telepon ke ayahku."
"Itu penipu, Sel!" kesal Riani. "Kamu jangan percaya sama dia. Ayahku baik-baik aja!"
Terlalu kesal dengan temannya, Riani memutus sambungan panggilan suara tersebut begitu saja.
Langkah kedua kakinya hendak kembali ke dalam rumah sakit, namun lagi-lagi harus terhenti.
Suara sirine ambulan terdengar begitu keras dan beberapa detik kemudian sebuah mobil berwarna putih datang mendekat.
Pegawai rumah sakit yang berada dekat dengan mobil ambulance segera mendekat, kemudian sebuah brangkar dikeluarkkan dengan seorang laki-laki yang tergeletak dengan penuh darah.
Riani yang sedang berdiri di dekat pintu masuk rumah sakit terdiam bersama orang-orang yang lain. Pandangan matanya melihat ke arah brangkar yang sedang didorong dengan seorang yang terbaring ditutup kain. Kain tersebut sedikit tersingkap, namun Riani tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena penuh dengan darah.
"Innalillahi, kasihan banget ya."
"Astaghfirullah, innalillahi."
Beberapa orang turut mengatakan kalimat bela sungkawanya, begitu juga dengan Riani yang mengatakannya di dalam hati.
Mobil ambulan kembali menjauh dari halaman depan rumah sakit dan datang lagi mobil ambulan yang lain.
"Riani," panggil seseorang.
Mendengar namanya dipanggil, Riani menoleh dan mendapati seorang laki-laki mendekat ke arahnya.
"Pak Abdul?" lirih Riani. Ia juga melihat anak Abdul -- Sella yang berlari tidak jauh di belakang ayahnya. "Sella?"
"Riani, apa ayahmu sudah sampai?" Pak Abdul terengah-engah.
Dengan santai Riani menggelengkan kepala. "Belum, masih di perjalanan."
"Ri, kenapa kamu nggak percaya sih? Aku punya foto yang sangat jelas, tersebar di sosial media, Ri." Sella sibuk membuka smarphone-nya dan mencari sesuatu di dalam sana. "Lihat ini."
Kedua mata Riani sedikit menyipit dengan harapan gambar pada smartphone Sella semakin jelas.
Seorang laki-laki tergeletak dengan darah yang berlumuran di area wajahnya, kedua matanya terbuka lebar seakan memberitahukan bahwa ia meregang nyawa saat sedang terkejut.
"Itu ...."
"Iya, ini Om Agus, Ri, ayahmu."
Riani menjauhkan diri dari Sella, ia melangkah mundur. "Nggak, nggak mungkin, Sel!"
Pak Abdul mendekat, ia merengkuh tubuh Riani dan memeluknya. "Kamu yang sabar, Riani. Pak Abdul tahu, ini pasti sangat berat untuk kamu."
Sella juga turut mendekat.
Seketika sekujur tubuh Riani merasa lemas dan tidak memiliki kekuatan lagi. Ia hampir terjatuh, namun Pak Abdul dan Sella sigap menangkap tubuhnya.
Air matanya mengucur deras begitu saja saat Pak Abdul dan Sella mengajaknya untuk duduk di salah satu kursi tunggu lobi rumah sakit.
"Nggak, nggak mungkin," lirih Riani, ia tidak punya cukup banyak kekuatan.
Sekarang yang bisa dia lakukan hanya menggelengkan kepala, merasa belum percaya dan masih berharap ayahnya akan datang ke rumah sakit dan memanggil namanya.
"Kalau kamu mau ikut acara pemakaman ayah, biar nanti Pak Agus bilang ke Dwi buat jaga ibumu di sini, Nak."
Riani hanya bisa diam.
Proses pemakaman berjalan dengan lancar. Satu persatu orang mulai pergi meninggalkan area pemakaman menyisakan Riani yang masih duduk di samping makam sembari melihat ke arah batu nisan bertuliskan nama ayahnya.
Agus Budiono bin Muhammad Budiono
Lahir: 9 Januari 1984
Wafat: 6 Oktober 2022
Setetes air hangat mengalir dari sudut mata Riani. Ia diam, membiarkan air mata itu mengalir dan jatuh ke tanah.
"Kemarin baru aja ada kasus perempuan gantung, sekarang Pak Agus mati tidak wajar. Apa banyak banget ya orang di daerah kita yang pake pesugihan apa itu namanya? Pesugihan kembar?"
"Pesugihan Nyi Kembar, jangan dihilangin, kamu mau didatengin dia?"
"Ih, amit-amit, mending hidup susah deh daripada harus pesugihan gitu. Dosa, tahu! Ingat sama yang di atas." Wanita itu menunjuk ke arah langit. "Kamu tahu nggak sih toko yang ada di depan itu? Baru buka langsung laris manis. Apa dia juga pake pesugihan Nyi Kembar ya? Jangan-jangan iya lagi, baru buka udah ngambil dua tumbal sekaligus, ngeri ...."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!