NovelToon NovelToon

Matrealistis

1-Adara Mikhayla Siregar

"Hanya laki-laki kere yang menganggap perempuannya matre."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Adara Mikhayla Siregar, itulah nama yang Papah berikan. Lahir dari keluarga berada dengan kemampuan finasial di atas rata-rata, membuatku hidup bergelimang harta. Tak ada istilah sengsara dan menderita dalam kamus hidupku. Apa pun yang aku mau dan pinta pasti akan dengan mudah aku dapatkan.

Aku adalah orang yang begitu pemilih dan perfeksionis, termasuk memilih seseorang yang akan aku jadikan teman. Teman kencan lebih tepatnya. Standar yang aku patok terlampau tinggi, dan sulit digapai oleh sebagian orang. Syarat pertama dan yang paling utama harus jelas bibit, bebet, dan bobotnya serta yang pasti wajib berkantung tebal.

Cewek matre. Begitulah julukan yang aku dapatkan dari orang-orang. Tersinggung? Kesal? Marah? Tentu saja tidak. Hidup itu harus realistis, terlebih lagi di zaman seperti sekarang yang apa-apa memerlukan uang. Bodo amat dengan penilaian orang lain, toh ini adalah hidupku bukan hidup mereka. Tak ada faedah-nya mendengarkan omongan orang lain yang jelas-jelas tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Terlalu buang-buang waktu dan tenaga jika mengurusi hal seperti itu, yang hanya akan membuat hati kotor. Penyakit hati itu sangat berbahaya dan tidak baik untuk dikembangbiakkan.

"Mah, Adara pergi ngampus dulu," pamitku setelah mencium punggung tangan Mamah. Di usianya yang sudah memasuki angka setengah abad itu masih terlihat muda dan segar.

"Dianter sopir?" tanyanya dengan suara lembut menenangkan. Aku menggeleng serta menampilkan deretan gigi putih bersihku. "Sekarang sama yang mana lagi, hm?" selidiknya yang sudah begitu paham dan mengerti dengan kode yang aku berikan.

"Yang pasti beda sama yang kemarin," kataku santai tanpa beban. Dari ujung mataku, aku melihat Mamah menghela napas singkat sebelum berucap, "Kapan kamu berhenti bermain-main dengan banyak pria, Adara?"

Mungkin setiap harinya ada sekitar dua atau tiga pria yang datang ke rumah. Hanya untuk mengantar jemputku saja, entah itu ke kampus ataupun hangout. Kebanyakan dari mereka merupakan pria yang sudah mengenalku lama.

Jika sudah bertanya demikian, itu artinya Mamah sudah muak dan kesal melihat tingkahku-yang menurut sebagian orang sudah berlebihan. Aku sih tak ambil pusing. Terserah mereka saja mau berkomentar seperti apa.

Mendudukkan bokongku di samping Mamah yang sedang berkutat dengan benang serta jarum. Menyulam, itulah kegiatan Mamah untuk membunuh kebosanan. "Mereka cuman temen aja, Mah. Gak lebih," ucapku sama seperti sebelum-sebelumnya.

Terlihat Mamah menaruh alat-alat tempurnya di atas meja. Menatap wajahku dengan begitu intens. "Itu sama saja kamu memanfaatkan mereka, Nak. Kamu tak memberikan status, tapi mereka harus memenuhi permintaan dan kebutuhan kamu. Apa fasilitas yang Mamah dan Papah berikan kurang?"

Aku menarik napas panjang dan membuangnya kasar lalu berujar, "Aku gak minta tapi mereka sendiri yang memberikannya, Mah." Apa yang aku katakan adalah sebuah kejujuran. Aku bukan tipe orang yang suka berbohong dan menutupi sesuatu agar dipandang baik oleh orang lain.

"Tapi kamu kan bisa nolak, Sayang," tuturnya seraya merapikan surai rambutku ke belakang telinga. Aku menarik tangan Mamah agar berada dalam genggaman. "Aku gak mau buat mereka kecewa karena nolak pemberiannya. 'Menolak pemberian orang lain itu tidak baik, itu sama saja seperti kamu tidak menghargainya'. Itu kan yang pernah Mamah bilang sama Adara?"

Mamah memberikan delikan tajamnya, yang justru aku balas dengan kekehan. "Udah ah, Adara mau ke kampus dulu," kataku sembari bangkit dan berjalan ke luar.

Baru saja membuka pintu aku sudah disambut dengan sebuah tangan yang bertengger apik di jidat. Hey, dia kira keningku ini pintu apa!

"Maaf-maaf gak sengaja," ucapnya saat menerima tatapan horor dariku. Aku muak dengan makhluk di hadapanku sekarang. Ingin sekali aku mengusir dan membuatnya tersesat di tengah hutan belantara, agar tak lagi datang ke rumah mewah nan megahku.

"Dasar gak tau malu! Udah diusir berkali-kali juga masih aja rajin ke sini. Urat malunya udah putus yah," semburku sembari berkacak pinggang. Dia justru tertawa pelan. Dan itu berhasil membuat wajah putih bersihku menjadi merah padam. Kesal. Akan aku penjarakan dia di bawah tanah sana.

"Tante Dita-nya ada?" tanyanya tanpa dosa. Aku memutar bola mata malas. Selalu saja seperti ini. Dasar lelaki tak tahu diri.

"Pulang sana!" usirku tanpa mau menjawab pertanyaannya. Aku tidak suka berbohong, dan mengalihkan topik pembicaraan adalah pilihan terbaik.

"Adara! Ada tamu kok malah diajak ribut sih, bukannya disuruh masuk." Hadeh, kalau sudah seperti ini siap-siaplah aku menerima ceramah panjang kali lebar dari Mamah, yang sebentar lagi akan menjelma layaknya seorang pemuka agama kondang.

"Assalamualaikum, Tan," salamnya menyambut gembira kedatangan Mamah yang sekarang sudah berada di sampingku. Tuh orang penjilat dan pinter banget cari muka depan Mamah. Padahal muka satu aja gak habis, eh dia maruk malah cari lagi. Dasar serakah!

"Wa'alaikumussalam, Nak Arda," sahut Mamah tak kalah heboh. Entah apa yang membuat Mamah begitu respect dengan lelaki modelan Arda Nazma Dewanda itu. Dilihat dari penampilan saja tidak meyakinkan dan cenderung kampungan. Celana jeans dengan potongan standar, kemeja yang dikancing hingga kerah atas, rambut klimis dengan gaya belah pinggir. Apalagi tampangnya yang enggak banget itu.

"Ayo masuk, Nak," cetus Mamah yang langsung diangguki oleh Arda. "Awas yah kalau lo macem-macemin nyokap gue. Gue gorok leher lo!" ancamku dengan gaya seperti ingin menebas leher orang. Aku curiga Mamah diguna-guna, mungkin tuh orang pakai pelet kali yah. Astagfirullah, dengan cepat aku mengucap istigfar. Kalau lihat tuh orang bawaannya sensi aja gitu. Pikiran aku jadi jelek mulu.

"Serem amat tuh mulut kalau ngomong. Hati-hati ketulah omongan sendiri," ujarnya begitu santai sembari menyisir rambut klimisnya. Ish, rasanya aku mual melihat tingkah dia yang terlalu percaya diri.

"Amit-amit. Ngaca dulu sana kalau mau ngomong. Udah mah tampang pas-pasan, isi dompet juga cuman ktp doang," tukasku. Dia hanya geleng-geleng kepala lantas segera menyusul Mamah yang ternyata sudah sedaritadi masuk ke rumah lagi.

Bertemu dan mengenal spesies semacam Arda, adalah hal yang sangat aku sesali. Kalau saja aku bisa memutar waktu, aku akan pergi ke masa lalu dan mengubah takdir hidupku agar tak bertemu dengannya.

"Sayang maaf aku telat. Biasa jam segini rawan-rawannya macet." Akhirnya orang yang aku tunggu nongol juga.

"Sayang-sayang muka lo kaya loyang!" dengusku kesal. Aku tidak suka mendengar panggilan semacam itu, lebih tepatnya jijik dan geli. Dia tak menggubris protesanku, dia justru bergerak cepat untuk membukakan aku pintu mobil. Hal-hal kecil semacam inilah yang paling aku suka. Naik dan turun dari mobil mewah, diperlakukan bak permaisuri. Rasanya duniaku begitu lengkap dan sempurna.

"Kapan kita akan meresmikan hubungan ini?" tanyanya begitu to the point, dan sukses membuat aku terbatuk-batuk. Shock.

"Enggak ada status di antara kita berdua. Hanya sebatas teman. Gak lebih!" Setelah mampu mengontrol diri, aku berkata seperti itu.

"Apa dua tahun belum cukup untuk kamu? Dua tahun kita menjalani hubungan tanpa status ini. Aku ingin mencari istri, bukan malah main-main terus kaya gini," ucapnya begitu lancar dan enteng.

Aku memiliki banyak teman pria, tanpa status yang jelas tentunya. Tak ada niatan untuk menggaet salah satu di antara mereka untuk aku jadikan suami. Aku hanya menganggap mereka teman. Teman main dan jalan saja.

"Gue gak pernah janjiin status sama lo. Jadi stop untuk berharap lebih sama gue," peringatku tegas.

Mobil yang aku tumpangi tiba-tiba saja berhenti di pinggir jalan. "Turun!" Aku tak kaget menerima usirannya. Sudah biasa.

"Ok. Thanks untuk tumpangannya. Semoga lo cepet dapet calon istri. Jangan lupa undang gue juga," tuturku tanpa dosa sebelum benar-benar turun dari mobil mewahnya.

Aku berdiri di tengah teriknya mentari pagi. Alamat telat masuk kampus ini mah. Dengan lincah tanganku berselancar di atas layar pintar, mengetikkan sebuah pesan kepada pak sopir agar menjemputku.

Begitulah hidupku. Dikelilingi dengan kemewahan tapi tak jarang mendapat perlakuan tak mengenakkan. Aku cukup tahu diri, karena memang aku juga ikut andil di dalamnya. Jika saja aku bisa berkomitmen dengan satu pria, mungkin tidak akan ada drama seperti sekarang. Tapi aku tak menyesalinya. Ini adalah pilihanku. Dan sudah seharusnya aku jalani dengan lapang dada. Hukum sebab akibat itu ada. Apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai. Dan seperti inilah aku sekarang. Menebar harapan pada banyak pria dan berakhir dengan kekecewaan sudah sangat sering aku lakukan pada mereka.

~TBC~

2-Arda Nazma Dewanda

"Ambil hati orang tuanya, lalu setelah itu biarkan tangan Allah yang bekerja."

-Arda Nazma Dewanda-

•••

Arda Nazma Dewanda, lelaki menyebalkan yang tak punya urat malu. Itulah kesan pertama saat aku bertemu pandang dengannya. Pertemuan singkat yang aku kira tak akan berbuntut panjang, namun pada kenyataannya dia justru selalu datang merecoki kehidupanku. Terhitung sudah sekitar tiga tahun lebih aku mengenalnya, mungkin sudah mau memasuki tahun keempat. Dia itu pribadi yang sederhana dan tidak neko-neko sepertiku. Latar belakang keluarganya yang memang bukan dari kalangan atas membuat dia seperti itu. Apa adanya dan tidak banyak gaya.

Awalnya aku simpatik karena dia sudah menolongku dari kekejaman penjambret. Aku masih sangat mengingat detail kejadiannya. Pada saat itu aku pulang sekolah, kebetulan pak sopir telat datang karena ban mobil yang bocor di tengah jalan. Karena aku bosan menunggu di pos satpam, akhirnya aku memutuskan untuk menyusuri jalanan. Namun di tengah perjalanan ada segerombolan preman bertato dan berambut gondrong yang mengincar. Aku memegang erat ponsel dan juga tali tas punggungku, dalam hati aku berdoa agar pak sopir segera datang menjemput.

Langkahku dihentikan paksa oleh dua orang seram itu. Mereka mencoba untuk memegang dagu serta tanganku. Tapi dengan kasar aku menolak sentuhan tangan kotor mereka. Tidak ada satu pun pria asing yang berani berlaku tidak sopan seperti itu kepadaku. Dan aku merasa dilecehkan atas tindakan bejat mereka. "Jangan pegang-pegang! Ambil aja nih." Dengan sukarela aku menyerahkan ponsel dan juga tas yang berisi buku pelajaran, alat tulis, serta dompet yang terdapat berlembar-lembar uang berwarna merah, beberapa kartu debit dan juga kartu tanda pengenal.

Tapi yang mereka lakukan justru melempar barang-barang yang telah aku serahkan. Salah satu di antara mereka berkata, "Bagaimana kalau kita sedikit bermain-main, Cantik?" Rasanya aku ingin memotong lidah kotornya pada saat itu juga. Dasar tua bangka tak tahu diri! Anak SMA sepertiku saja mau mereka embat. Apa mereka tidak memiliki anak gadis hingga berlaku kurang ajar seperti itu?

Mereka berdua berusaha mencekal tanganku, namun selalu gagal karena aku berhasil menghidar. Berusaha secepat mungkin aku melarikan diri dari mereka, tapi nasib baik sedang tak berpihak padaku. Sebuah motor matic berwarna hitam hampir saja mengenai tubuhku. Beruntung laju kendaraan beroda dua itu tidak terlalu kencang dan hanya membuat aku tersungkur ke aspal yang mengakibatkan lutut serta sikutku lecet-lecet saja.

"Kamu gak papa?" tanyanya basa-basi dan berusaha membantuku berdiri, tapi dengan cepat aku menepisnya. "Gue bisa sendiri." Pengendara sepeda motor itu mundur teratur.

"Woy jangan lari lo!" Teriakan dari arah belakang membuatku kembali tersadar, dengan langkah tertatih aku bersembunyi di balik punggung pengemudi motor yang hampir menabrakku. Dengan penuh keraguan aku menggapai kerah jaket yang lelaki itu gunakan. "Tolongin gue!"

"Jangan pegang-pegang bukan mahram," katanya seraya menggerak-gerakkan tubuh memberi kode agar aku menyingkir.

Aku mendengus tak suka mendengar perkataan pria itu. "Lagian gue juga ogah jadi mahram lo," cetusku dengan nada judes bercampur kesal, dan segera melepas cengkeraman kuat di kerah jaketnya.

"Mundur," titahnya saat dua orang preman yang tadi mengejarku sudah berada tepat di depan kami. Aku menurut saja. Dan setelahnya terjadi adu jotos di antara mereka bertiga. Aku sih hanya menonton saja tanpa niat untuk membantu. Tidak ada sejarahnya seorang Adara Mikhayla Siregar bermain kasar dan pukul-pukulan.

Aku melongo melihat dua penjahat itu tepar di atas trotoar. Lelaki bertubuh kurus kering serta berkulit hitam manis itu membasmi habis mereka. Makan apa tuh orang sampai bisa mengalahkan para berandalan tua kurang ajar. Keren. Sejenak aku mengagumi kemampuannya tapi dengan cepat aku menghilangkan pikiran dangkalku itu.

"Makanya kalau sekolah tuh pake seragam yang bener, bukan malah pake baju kekurangan bahan begitu." Awalnya aku ingin mengucapkan terima kasih, tapi setelah mendapatkan sindiran pedasnya niat baik itu aku urungkan.

"Kalau gak niat buat nolongin gak usah!" amukku tak terima. Seragam yang aku pakai masih wajar, bahkan lebih sopan jika dibandingkan dengan teman-teman sekolahku yang lain. Rok abu-abu dengan tinggi selutut, dan juga baju atasan yang memang agak sedikit ketat.

Terlihat dia menyeka cairan merah kental yang keluar dari sudut bibirnya. Wajahnya terdapat cukup banyak memar akibat pukulan dari dua preman. "Rumah kamu di mana? Biar aku antar pulang," katanya yang membuat aku sedikit kaget sekaligus bingung. Tuh orang maunya apa sih? Tadi aja nyinyirin aku, tapi sekarang justru mau nganterin pulang. Dasar aneh.

Semenjak kejadian itu dia rutin datang ke rumah menemui Mamah dan Papah. Katanya sih mau menjalin silaturahmi. Cih, paling juga tuh orang mau modus doang. Bukan maksud untuk percaya diri, tapi dari gurak-gerik dan tingkahnya satu tahun belakangan ini membuat aku berpikiran seperti itu. Tapi itu hanya sekadar dugaanku saja.

Menyogok Mamah dengan kue bolu yang berasal dari toko kue ibunya, dan sesekali memberikan aku bunga. Tapi dengan gamblang aku mengatakan, "Gue gak suka bunga mawar. Sukanya bunga bank."

Aku kira dia akan nyerah dan gak deketin aku lagi. Tapi dugaanku salah besar kawan-kawan, dia justru semakin gencar mengambil hati Mamah dan Papah hingga membuat kedua orang tuaku suka padanya. Emang dasar urat malunya sudah putus kali yah, makanya gak mempan dengan tolakan.

"Kalau mau bunga bank harus mau aku halalin dulu dong," balasnya yang membuat bulu kudukku meremang. Siapa dia sampai berani berkata seperti itu. Pria berkelas dengan tampang rupawan, serta dompet tebal saja aku tolak mentah-mentah. Lalu apa kabar dengan dia yang hanya remahan rengginang saja. Ngaca!

Sebenarnya dia itu cowok modelan anak masjid gitu lah. Kerjaannya nongkrong di masjid sama ustaz-ustaz, tapi gak tahu kenapa dia-seperti terkesan-mencari perhatianku yang jauh dari kata wanita shalihah ini. Padahal kalau dipikir-pikir perempuan masjid dengan baju kurung serta khimar lebar itu lebih cocok bersanding dengannya. Kalau sama aku sih gak ada cocok-cocoknya sama sekali. Jomplang iya.

Gak kebayang kalau sampai dia jadi suami aku. Bisa capek hati dan pikiran kali yah. Ngelakuin salat lima waktu tepat waktu tanpa cacat dan bolong. Bangun tengah malam cuman buat salat doang, terus lagi puasa sunnah yang akan membuat aku kurus kerempeng sama kaya dia. Terlalu ekstream kalau sampai hal itu terjadi. Dan aku harap itu gak akan pernah aku alami!

Ish, kenapa aku malah mikirin tuh orang sih. Kurang kerjaan banget. Dengan cepat aku membenamkan wajahku di atas bantal. Menghilangkan bayangan lelaki menyebalkan itu dari pikiran.

~TBC~

3-Tak Bisa Menolak

"Sedikit menyenangkan hati Mamah, walau hatiku menentang tak suka itu lebih utama, jika dibandingkan harus menolak dan menyakiti hatinya."

-Adara Mikhayla Siregar-

•••

Aku sudah bersiap untuk pergi hangout bersama temanku, hanya sekadar berkeliling Mall dan belanja untuk menghabiskan uang. Sangat menyenangkan bukan? Tentu saja. Dikaruniai wajah di atas standar harus aku manfaatkan dengan sebaik mungkin. Salah satu caranya dengan menggaet banyak teman pria, hanya untuk menghabiskan waktu luang bersama. Bermodalkan dress selutut dengan model rok mengembang, sepatu tinggi, dan juga tas tangan yang semakin memaksimalkan penampilan. Tak ketinggalan rambut hitamku yang dibiarkan tergerai dengan jepit rambut di sebelah kanan.

"Mau ke mana kamu?" todong Mamah saat aku baru saja menginjakkan kaki di tangga terakhir. Tidak bisakah Mamah melihat bahwa aku sudah tampil maksimal dan siap untuk pergi?

"Biasa, Mah," jawabku acuh tak acuh. Helaan napas keluar dari bibir Mamah yang sudah dipoles gincu berwarna merah. "Gak bisa gitu semalem aja kamu diem di rumah?" sindirnya.

"Sudah terlanjur janji, Mah. Paling bentar lagi juga orangnya datang." Sebisa mungkin aku memberi penjelasan. "Apa kamu lupa hari ini hari apa?" tanyanya.

Aku memutar bola mata malas. "Hari Jumat, lebih tepatnya malam Sabtu, Mah," terangku ogah-ogahan. Apaan pula Mamah bertanya seperti itu? Gak jelas banget.

Tanpa permisi Mamah menjewer kuping sebelah kananku hingga terasa memanas, dan mungkin memerah. "Sa... sa... sakit... Mah...." Aku meringis agar Mamah segera menyingkirkan tangannya jauh-jauh.

"Umur masih muda tapi penyakit pikun kok sudah menahun. Malam ini kita ada kajian rutin di rumah. Kamu gak boleh pergi ke mana-mana," Aku menampilkan cengiran tanpa dosa sembari mengelus telinga yang tadi jadi sasaran empuk Mamah. Setiap perdua minggu sekali, lebih tepatnya Jumat malam Mamah selalu mengadakan pengajian rutin yang biasanya dihadiri oleh tetangga dan juga anak yatim. Kegiatan ini sudah sekitar dua bulan lalu Mamah langsungkan, dan biasanya aku bisa menghindar dengan cara pergi dari pagi hingga tengah malam. Tapi sekarang mendadak aku hilang ingatan.

"Ya sudah sih, Mah kalau emang mau ngadain siraman rohani silakan aja. Gak usah pake acara ngajak-ngajak aku segala." Emang dasar mulutku yang tidak bisa dikendalikan, ngomong sama Mamah saja ceplas-ceplos tanpa saringan. Jangan ditiru wahai kawan-kawan yang budiman.

Mamah memasang wajah sangar dengan kedua tangan berkacak pinggang. Sejak kapan Mamahku yang berhati lembut dan penuh kesabaran ini meradang menghadapi aku yang kelewat tidak sopan, dan terkesan serampangan kurang ajar.

"Sepanjang Mamah melakukan acara kajian kamu tidak pernah ada. Cobalah sekali-kali tuh otak sama hati disirami materi rohani, biar setan-setan pada minggat semua. Jangan malah pergi jalan-jalan gak jelas. Ngabisin uang aja kerjaan kamu." jelasnya yang membuatku memberengut kesal. Aku dan Mamah memang berbeda pandangan dalam hidup beragama, kalau aku cukup dengan mengamalkan segala jenis ibadah yang wajib, lain halnya dengan Mamah yang justru menjalankan sampai ke sunnah-sunnahnya. Beliau itu taat dengan aturan yang dipercayainya. Tapi sayang saja beliau harus mendapatkan anak sepertiku yang jauh dari kata anak baik dan penurut.

"Batalin acara kamu, naik ke atas Mamah sudah siapin pakaian yang lebih layak untuk kamu pakai," sambungnya yang membuat aku mendengus tak suka. Mamah itu tak pernah bosan dan lelah mengingatkan aku untuk menutup aurat sebagaimana mestinya seorang wanita muslimah. Tapi apa dayaku, yang imannya kendor gak pernah naik-naik ini.

"Gak mau ah. Paling Mamah nyuruh aku pake baju modelan mukena. Ih enggak ada yah!" Aku menolak mentah-mentah titahnya. Pasti tuh baju panas dan buat gerah, belum lagi modelannya yang monoton dan gak cocok buat anak muda sepertiku. Sorry to say aja yah aku masih muda dan belum siap untuk memakainya.

"Sekali aja nurut sama Mamah, bisa gak sih?" Enggak bisa, Mah. Anakmu ini bukan ukhti-ukhti shalihah yang bersedia mengikuti syariat agama dengan baik dan benar. Salat saja masih perlu diingatkan, apalagi memakai baju gombrong yang kelewatan zaman. Big No.

"Enggak ada gitu-gituan yah, Mah. Kalau emang mau ngadain acara pengajian ya sudah silakan. Aku gak bakal ikut campur dan mending ngerem aja di kamar," tolakku dengan kepala menggeleng keras dan jari telunjuk yang sengaja aku gerak-gerakkan. Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk melesatkan diri masuk ke dalam kamar lagi.

Mamah mengembuskan napas lelahnya, memasang wajah penuh permohonan. Ah, Mamah memang paling jago pasang tampang muka menyedihkan supaya aku luluh dan mau mengikuti titahnya. "Iya... iya... aku mau," putusku yang langsung disambut senyum lebar, serta pelukan hangat darinya. Mamahku memang patut dan pantas memenangkan piala citra sebagai aktris terbaik.

"Ayo biar Mamah bantu kamu dandan. Bi tolong bereskan semuanya, jangan sampai ada yang terlewat," tutur Mamah yang langsung dipatuhi oleh beberapa pekerja yang membantu persiapan acara malam ini. Beliau itu sangat perfeksionis dan harus kelihatan sempurna, terlebih lagi dalam hal ibadah. Harus minim cacat. Katanya memuliakan anak yatim itu ganjarannya sangat luar biasa, dan well Mamahku tersayang ini melakukannya dengan total.

Aku menatap tak suka pada beberapa helai pakaian yang sudah tersusun rapi di atas ranjang. Mamah begitu antusias menunjukkan serta memamerkan pakaian yang bahannya kelewat panjang itu. "Pake celana jeans sama kemeja lengan panjang aja yah, Mah," bujukku yang langsung dihadiahi tatapan horor mengintimidasi.

Dengan tanpa persetujuan Mamah menyerahkan sebuah baju kurung berwarna pink pastel, dilengkapi dengan kancing berwarna hitam di depannya, pita di bagian sebelah kiri mempermanis baju itu, di bagian tangannya pun terdapat beberapa garis hitam. Aku semakin bergidik saat Mamah memamerkan kerudung panjang yang depannya bisa menutupi sampai perut, dan yang paling mengerikan lagi bagian belakang kerudung itu mungkin sampai sebatas lutut. Gak kebayang aku memakai baju model seperti itu. Belum apa-apa aku sudah berkeringat dingin.

"Buruan pake, bentar lagi acaranya dimulai," cetusnya dengan kasar mendorong aku ke kamar mandi.

"Mah...," mohonku yang sama sekali tak ditanggapi.

Aku berdiri tak tenang di depan cermin. Membolak-balik pakaian yang menggerahkan badan ini, pandanganku menilik begitu intens baju yang masih berada di tangan. "Pake... enggak... pake... enggak... pake." Ish kenapa kelima jari kiriku berdusta dan meminta memakai pakaian semacam gorden ini.

"Adara!" Panggilan dengan nada suara tinggi itu berhasil membuyarkan lamunanku. Dengan ragu dan tak ikhlas aku memakai baju gombrong itu. Kalau sampai teman-temanku tahu, bisa jadi bahan buly-an berminggu-minggu.

Aku keluar dengan wajah masam yang ditekuk kesal. Rasa gerah sudah mulai menjalar, keringatku saja sudah mulai bercucuran. "Nah kalau gini kan cantik. Kenapa gak dari dulu sih kamu ghamisan kaya gini," cerocos Mamah yang sama sekali tak peduli dengan tampangku yang lecek kaya uang kembalian.

"Kalau Mamah ngomong begitu lagi, aku buka nih." Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk melepas penutup kepala berwarna hitam yang membingkai kepalaku, dan menyembunyikan rambut indahku yang tadi diikat asal. Besok aku harus ke salon untuk merawat rambutku lagi.

"Jangan gitu dong," pintanya dengan memasang tampang sendu. Kalau tidak ingat beliau adalah wanita yang sudah mengandung dan melahirkanku, akan aku pastikan mukanya tak akan seindah ini lagi. Aku cakar-cakar tanpa ampun. Papah, tolong selamatkan anakmu yang tertindas ini. Hanya Papah yang tidak pernah menyuruh ataupun memaksaku berpenampilan seperti sekarang.

"Ayo turun. Di bawah udah rame kayanya," kata Mamah dengan hati riang tanpa beban menggandeng lengan kananku. Langkahku terasa sangat berat dan tak mau keluar dari persembunyian. Siap-siaplah menerima tatapan aneh penuh tanya dari orang-orang di bawah sana, Adara.

"Gerah, Mah! Pake selendang aja yah. Serius ini mah aku gak kuat. Panas banget." Aku mencoba bernegosiasi di tengah anak tangga. Siapa pun tolong bantu aku menghilang sekarang juga.

"Panas segitu aja kamu sudah ngeluh. Apa kamu gak pernah mikir gimana panasnya api neraka? Mamah ingin yang terbaik untuk kamu, Sayang." Kalau sudah seperti ini aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bibir tipis Mamah emang paling jago membuatku lemah.

"Tapi kali ini aja yah, Mah. Gak ada hari-hari berikutnya." Emang dasar jiwa perempuan banget aku. Masih aja tawar-menawar kaya pembeli di pasar.

"Iya... iya... terserah kamu aja," tukas Mamah yang sepertinya sudah lelah adu mulut denganku.

~TBC~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!