NovelToon NovelToon

Cerita Pengantar Tidur

Bab.1

Pembagian raport akhir tahun, adalah hal yang paling di nanti oleh para murid. Pasalnya, mereka akan terbebas sejenak dari rutinitas menghitung, menulis dan membaca. 

"Luna, nanti liburan ke mana?" tanya Almira, teman sekelas Luna.

"Entahlah, aku belum kepikiran. Ayah dan Bunda juga sibuk," balas Luna.

"Coba nanti tanya kakak sepupu mu, Hasan. Kalian kan tinggal serumah."

Aluna tampak berpikir, jika pergi bersama sang sepupu. Pasti akan diizinkan tapi, jika pergi sendiri orang tuanya selalu mengomel panjang sekali bagai kereta api.

"Oke, nanti aku tanya kak Hasan." Putus Luna.

"Baiklah, kabari aku ya! Bye Luna!" pamit Almira.

Aluna Widyasari gadis SMA berumur 16 tahun, tahun ini dia naik ke kelas 2 SMA. Sedangkan Hasan adalah sepupu Aluna, anak dari kakak ayah Aluna. Orang tua Hasan bekerja menjadi TKW di Arab, dan Hasan dititipkan pada orang tua Aluna.

"Kak Hasan," pekik Aluna.

"Maaf nunggu lama," kata Hasan, saat melihat Aluna duduk di atas motornya.

"Gak apa-apa kak, aku juga baru kok. Baru satu jam yang lalu," kekeh Aluna bercanda.

"Dasar kamu ini." Hasan mengacak rambut Aluna, walau Aluna hanya sepupu. Tapi, Hasan selalu menganggap Aluna adiknya terlebih dia tinggal bersama Omnya Bagas adik dari ayahnya. Yaitu ayah dari Aluna.

"Ayo kita pulang," ajak Hasan, di jawab anggukan oleh Aluna.

Jika orang yang baru mengenal mereka. Mungkin, orang-orang akan menganggap Aluna dan Hasan sepasang kekasih. Dan itu sudah biasa terjadi, jika Aluna, Almira, Hasan dan satu teman mereka yang bernama Raka. Berjalan bersama, semua orang mengira mereka sedang double date.

Berpuluh menit kemudian, mereka sudah sampai di kediaman orang tua Aluna. Rumah Hasan, tak jauh dari rumah Aluna mungkin hanya berjarak dua rumah. Tapi, Hasan lebih senang tinggal bersama om dan tantenya.

"Assalamualaikum, Luna pulang bun." Ucap Aluna.

Dari arah dapur, ibu Luna menjawab salam anak-anak. Vita nama ibunya Luna, sedang sibuk menyiapkan makan malam.

"Bun, masak apa?" tanya Luna memeluk sang bunda.

"Masak makanan, kesukaan kalian." Jawabnya.

"Ahh ... Bunda memang yang terbaik." Luna mencium pipi Vita, lalu berpamitan masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri.

Tak terasa hari bergerak begitu cepat, senja yang memancarkan sinarnya. Kini telah berganti menjadi malam, keluarga Aluna sudah berkumpul di meja makan.

"Liburan kali ini, kita kemana ayah?" tanya Aluna memecah keheningan.

"Kita gak liburan dulu, yah! Soalnya pekerjaan ayah lagi banyak banget, juga harus buat laporan akhir tahun." Jujur Bagas, membuat Aluna cemberut.

"Oh iya, bunda hampir lupa. Tadi Oma Lidia meminta kalian berlibur di tempat tinggal Oma sayang," sela Vita, baru ingat jika ibu mertuanya menghubungi dirinya untuk meminta kedua cucunya berlibur di kampung halaman sang Oma.

"Bagaimana? Ya itung-itung kalian menikmati keindahan alam disana, bisa main ke sungai, sawah, kebun dan lain-lain." Ujar Bagas, karena dulu dia paling suka bermain di daerah sungai dan persawahan.

Aluna melirik pada Hasan, untuk meminta persetujuan sang sepupu. Dilihatnya Hasan mengangguk tanda setuju.

"Baik Om, Tan. Udah lama gak ke rumah Oma. Kasihan Oma, pasti rindu kita. Lebaran tahun kemarin kita kan gak pulang," papar Hasan.

"Tapi boleh ajak Almira sama Raka?" Sela Luna, pasalnya sahabatnya tersebut ingin ikut kemana Aluna liburan.

"Boleh, jika orang tua mereka mengizinkan." Ujar Bagas.

Mereka pun melanjutkan makan malam tersebut, setelah selesai makan malam. Aluna dan Hasan mulai mempersiapkan barang yang akan mereka bawa, juga sudah memberitahu Almira dan Raka. 

Dan orang tua mereka mengizinkan mereka untuk berlibur, ke rumah Oma Lidia.

Pagi pun tiba, Almira dan Raka sudah berada di rumah Aluna. Orang tua Almira dan Raka pun berpesan, jika di tempat baru mereka harus sopan dan jangan sompral.

Pukul 8 pagi, Bagas dan Vita mengantar anak-anak menuju rumah Oma Lidia. Selama di perjalanan, mereka banyak bercerita dan merencanakan untuk menangkap ikan dan juga belut di sawah.

"Memang kamu bisa, Raka?" tanya Bagas tertawa.

"Om, jangan meremehkan aku ya! Jangankan menangkap belut atau ikan. Menangkap hati anak om, aja aku bisa ea..." Goda Raka, membuat Aluna mencubit lengan temannya.

"Dasar tukang gombal," omel Aluna.

Vita merasa terhibur selama dalam perjalanan karena anak-anak, selalu membuat lelucon dan juga Raka pandai menggombal.

"Sudah-sudah, apa kalian tidak lelah? Perjalanan masih lama." Kata Vita.

"Engga dong," seru Almira dan Aluna kompak.

Hasan yang paling kalem, hanya tersenyum menanggapi ocehan Aluna dan Almira. Sedangkan Raka kini sibuk dengan ponselnya.

Perjalanan menuju kampung halaman Oma Lidia, memakan waktu yang lumayan cukup lama. Kurang lebih empat jam, mereka melewati jalan yang di sepanjang jalannya hutan kiri dan kanan.

"Kalau hilang disitu, susah nyarinya pasti." Celetuk Raka.

"Hus ... Gak boleh ngomong gitu," sahut Bagas.

Walau siang, tapi karena rimbunnya pohon. Membuat jalanan terasa gelap dan sedikit seram, Bagas yang sudah terbiasa pun dengan santai melajukan mobilnya.

"Ayah cepat dikit kenapa sih," protes Luna.

"Di jalanan ini harus santai nak, kenapa sih? Takut?" ejek Bagas.

"Ihh ayah ini," kesal Aluna, membuat Vita tertawa.

Beruntung Aluna duduk di tengah, jika tidak dia akan terus mengamati hutan yang lebat. Dua puluh menit kemudian, mereka sudah sampai di depan rumah Oma Lidia. Rumah dengan bangunan tempo dulu yang sangat terawat dan juga sekitaran rumah yang asri.

Kiri dan kanan kini sudah banyak rumah, dulu hanya ada beberapa.

"Akhirnya, kalian sampai juga." Sambut Oma Lidia.

Aluna langsung memeluk sang Oma, diikuti oleh Almira. Sedangkan Hasan dan Raka menurunkan barang bawaan mereka, selama liburan disini.

"Sehat bu," ucap Vita pada ibu mertuanya.

"Sehat, makasih udah izinin anak-anak ke sini." Kata Oma Lidia.

"Ahh ibu, kaya sama siapa aja. Mas Bagas gak bisa ajak mereka pergi jauh, karena pekerjaan kantor lagu numpuk-numpuknya." Papar Vita di jawab anggukan oleh Oma Lidia.

Mereka pun masuk ke dalam rumah, dan disambut oleh pembantu rumah Oma Lidia bernama Nisa. Yang berumur sekitar dua puluh tahunan.

"Kalian menginap saja, besok baru pulang. Gak baik lewat hutan menjelang sore," cetus Oma Lidia pada anak dan menantunya.

"Memang kenapa, Oma?" tanya Aluna penasaran.

"Jalan-nya gelap, takut ada apa-apa di tengah jalan kan jadi susah." Jawab Oma Lidia, tapi Aluna menangkap kata lain yang tak tersirat dari sang nenek.

"Bagaimana sayang, kita nginap saja? Ini sudah mau pukul tiga loh!" Bagas bertanya pada Vita, memang mereka selalu menginap jika berkunjung. Tapi, karena Bagas besok harus bekerja jadi Vita mempertimbangkan semuanya.

"Ya sudah mas, kita nginap saja. Aku takut kamu capek," putus Vita.

Oma Lidia pun mengangguk dan meminta Nisa, untuk menyiapkan kamar milik sang anak Bagas. Sementara Aluna dan Hasan mendapat kamar di lantai dua.

Bersambung...

Selamat datang, di cerita horor pertama ku jangan lupa tinggalkan jejak dan masuk kan ke daftar favorit 💜💜

Bab.2

Malam pun tiba, suasana di desa tersebut sangat terasa sunyi walau baru pukul tujuh malam. Hanya suara hewan malam yang menemani, Oma Lidia, Bagas dan Vita berada di teras rumah sedang bernostalgia mengenang masa lalu.

"Mama sangat merindukan kakakmu, Bastian." Ucap Oma Lidia, Bastian adalah ayah dari Hasan.

"Aku juga Ma, doakan saja mas Bastian dan mbak Winda baik-baik saja. Dan bisa pulang dengan selamat ke tanah air," papar Bagas.

Oma Lidia mengangguk lalu menatap ke depan, kawasan desa cukup banyak berubah. Walau sudah agak modern, tapi tradisi di desa tersebut masih dipegang teguh oleh para warga.

"Ya sudah, ayo kita masuk. Sudah malam gak baik terlalu lama di luar, takut ada yang ikut masuk." Celetuk Oma Lidia.

Vita dan Bagas saling pandang, lalu mengangguk mengikuti Oma Lidia masuk ke dalam rumah. Setelah mengucap asma Allah lalu menguncinya dengan rapat, Vita dan Bagas masuk ke kamar mereka. Sedangkan Oma Lidia memutuskan untuk mengecek cucunya yang dipastikan belum tidur.

Saat dekat dengan pintu kamar, Oma Lidia bisa mendengar suara ketawa Aluna dan Aluna. Sedangkan Hasan membaca buku dan Raka memainkan gitar, Oma Lidia menggeleng seharusnya mereka tidur.

"Anak-anak," panggil Oma Lidia, Aluna dan Almira menoleh ke arah pintu dan tersenyum pada Oma Lidia.

"Astaga kalian, tutup jendelanya cepat." Titah Oma Lidia dengan panik.

Hasan dengan cepat menutup jendela dan menguncinya, Oma Lidia lalu mencari sesuatu dan menemukan benda tersebut.

"Jangan di buang, ini harus tetap di sini. Paham!" 

"I-iya Oma," jawab mereka kompak.

"Memang kenapa, Oma? Itu apa?" tanya Aluna.

"Bukan apa-apa, di sini jika sudah menjelang maghrib dilarang membuka jendela, pintu bahkan makanan pun harus di simpan di lemari makanan atau ditutup." Jelas Oma Lidia, menatap tajam anak-anak.

"Tapi Oma ... Di Jakarta saja, kami sering membuka pintu dan jendela." Kata Almira.

"Di desa dan di kota, jelas beda nak Almira!"

"Tapi..."

"Sudah kalian cepat tidur," titah Oma Lidia.

Mereka saling pandang, rasanya belum puas dengan jawaban Oma Lidia. Mereka merasa, ada yang di sembunyikan di desa ini. Walau sudah modern tapi Aluna merasa, desa sang Oma masih terkesan mistis.

"Oma, bisakah Oma bercerita. Kami ingin mendengar cerita zaman dulu," celetuk Aluna.

Biasanya orang tua zaman dulu, selalu menceritakan pengalaman hidup mereka. Yang hidup di zaman penjajahan.

Oma Lidia menghela napas dengan pelan, dia pun duduk di kursi yang ada di ruangan tersebut.

"Baiklah, akan Oma ceritakan. Tapi ... Kalian jangan menyesal ya," kekeh Oma Lidia.

"Memang kenapa Oma?" tanya Raka.

"Sudah, dengarkan saja ya!" kata Oma Lidia.

Aluna, Almira sudah bersiap mendengarkan Oma Lidia. Mereka merebahkan diri di karpet tebal yang ada di kamar tersebut, tak jauh dari mereka. Hasan dan Raka pun ikut menyimak.

Saat itu, penerangan kampung belum seperti sekarang. Masih menggunakan lampu dari minyak. 

"Kita harus buru-buru, pulang. Kalau nggak nanti kita di marahin ibu," ujar seorang anak bernama Wisnu.

"Iya sebentar, tanggung ikannya dapat banyak." Sahut Saka.

"Astaga Nu, entar keburu magrib pamali kalo kita masih di luar loh!"

"Iya, iya." Kesal Wisnu, dengan terpaksa dia menarik kembali pancing yang sudah dia lempar.

"Ayo, kita pulang." Ajak Saka.

Mereka berjalan beriringan di jalan kecil, yang hanya muat untuk satu orang dewasa dan dua anak kecil. Mereka melewati pohon bambu yang sangat lebat, menurut warga. Pohon bambu tersebut tempat tinggal makhluk halus yang sering menculik anak-anak.

Tapi Saka dan Wisnu tak mempercayai itu, mereka selalu melewati pohon bambu tersebut setiap pulang memancing di sungai besar.

"Kamu sih, terlalu asik memancing. Jadinya kita telat pulang kan," omel Wisnu, pasalnya dia harus pergi mengaji ke surau. Jika tidak, bisa di pastikan dia akan dimarahi oleh sang ibu.

"Iya, iya maaf. Gak tahu kenapa, hari ini ikannya banyak." Saka menunjukan ember berisi ikan, yang dipancing sejak pukul tiga sore tadi.

"Hah ... Ya sudahlah, ayok." Wisnu menarik tangan Saka, agar lebih cepat berjalan. Karena hari mulai gelap dan jalanan pun akan sulit di lihat, mereka juga melupakan senter.

Saat tiba di pohon bambu, entah mengapa perasaan Wisnu tidak enak. Bahkan pegangan tangannya  pada Saka semakin erat.

"Aduh Nu, sakit tahu!" protes Saka.

"Ma-maaf," desis Wisnu.

"Ayo cepat." Ajaknya, mereka berjalan cepat.

Namun, saat mendengar suara jatuh. Mereka berhenti. Mendadak tubuhnya kaku tidak bisa digerakkan, ingin menoleh ke belakang pun sangat sulit.

"Nu, apa itu?" bisik Saka.

"Aku gak tahu, Ka. Lebih baik kita berdoa kepada gusti Allah." Pintu Wisnu.

Saka mengangguk, lalu membaca doa yang dia hafal. Karena dia mendadak tak bisa membaca doa ayat kursi.

"Ka, kalo aku bilang lari. Kamu harus lari oke!" 

"Iya," jawab Saka.

Lalu Wisnu menghitung mundur, saat tiba di angka satu. Mereka berdua berlari sangat kencang, lalu muncullah suara anak ayam yang sangat jauh.

"Saka, kenapa kita bisa di sini lagi?" tanya Wisnu, saat menatap sekeliling malah berhenti di dekat pohon bambu.

"Hah ... Mana aku tahu," jawab Saka dengan panik, dia sudah takut dan ingin menangis.

"Ayo kita jalan lagi, kita cari jalan." Ajak Wisnu.

Namun, bukannya jalan pulang yang mereka dapati. Mereka malah semakin masuk kedalam hutan.

"Wisnu, bagaimana ini?" isak Saka.

Saka pun bingung, mengapa mereka bisa sampai masuk kedalam hutan. Harusnya setelah pohon bambu, sebentar lagi akan sampai jalanan kampung. Lelah berjalan, mereka pun duduk di dekat batu besar.

Saat Saka menatap sekeliling, dia menemukan sebuah gubuk.

"Wisnu, itu ada rumah. Ayo kita ke sana," ajak Saka.

"Rumah? Rumah siapa, Ka? Lagian ini di hutan mana ada rumah sih," kesal Wisnu. "jangan aneh-aneh deh," 

"Benar aku gak bohong," 

"Mana gak ada?" Wisnu mencoba menatap sekeliling, yang ada hanya hutan yang semakin menyeramkan dan gelap gulita.

"Kita harus pulang, semakin malam semakin bahaya di hutan." Ucap Wisnu, tekadnya untuk keluar dari dalam hutan sangat besar.

"Tapi ..."

"Sudah ayo." Ajak Wisnu, dia menggandeng Saka agar tak jauh-jauh darinya.

Wisnu sangat takut dia disesatkan oleh makhluk tak kasat mata, mahluk yang sangat menyukai anak kecil. Dia menyesal tak mendengarkan perkataan orang tuanya, yang jika pulang jangan terlalu sore.

"Ingat, kalau main. Jangan kesorean, jangan main di sungai menjelang sore."  Pesan ibunya Wisnu.

Di sisi lain, orang tua Wisnu dan Saka sungguh sangat panik. Saat mendapati anak mereka belum kembali dari bermain.

"Memang mereka janjian, main dimana?" tanya pak Rt.

"Katanya di lapangan pak, tapi saya susul tidak ada." Sela ibunya Wisnu.

Sementara teman-teman Wisnu dan Saka saling tatap, dan mengangguk.

"Bude," panggil Tio.

"Ada apa, Tio?" tanya ibunya Saka.

"Saka dan Wisnu, mereka ... Main ke sungai. Katanya mau mancing ikan," ungkap Tio dengan takut.

"Apa?" pekik ibunya Wisnu.

"Di sungai? Kamu gak salah kan? Mana mungkin mereka main di sungai,"

"Benar Bude, saya tidak bohong." Ujar Tio.

"Sudah-sudah, kita cari ke arah sungai." Putus pak Rt.

Tapi warga pun enggan karena sangat takut, apalagi malam pun bergerak semakin gelap.

Mereka percaya, jika arwah wanita tua yang meninggal beberapa tahun yang lalu bergentayangan dan meneror warga dengan menyesatkan mereka.

Bersambung ...

Jangan lupa tinggalkan jejak, makasih 🙏

Bab.3

Tepat pukul tujuh malam, setelah sholat isya. Akhirnya warga bergerak untuk mencari Wisnu dan Saka, para warga membawa alat pukul agar si mahluk tak kasat mata tersebut mau melepaskan anak-anak.

Ibu Wisnu dan Saka sudah menangis, mereka ingin ikut awalnya. Namun, dilarang oleh suami mereka masing-masing.

"Doakan, anak kita kembali dengan selamat." Ujar ayahnya Wisnu, begitu pula ayahnya Saka.

Ibu Wisnu dan Saka pun mengangguk sebagai jawaban, lalu mereka menatap kepergian para warga menuju hutan.

***

Aluna dan Almira menyimak dengan seksama, cerita Oma Lidia.

"Lalu ... apa yang terjadi dengan mereka, Oma?" tanya Raka, dia sudah meninggalkan ponselnya dan mulai mendengarkan cerita.

Oma Lidia tersenyum dan menoleh pada cucu-cucunya.

"Menurut kalian, apa yang terjadi?" Bukannya menjawab pertanyaan, Oma Lidia malah melemparkan pertanyaan.

"Meninggal," celetuk Almira, dan mendapatkan cubitan dari Aluna.

Oma Lidia menggeleng.

"Lalu, mereka bagaimana? Selamat?" Kini giliran Aluna yang kepo.

"Baiklah, Oma akan melanjutkan bercerita." Kata Oma Lidia, Almira, Aluna, Hasan dan Raka menyimak dengan serius.

Mereka berempat duduk lesehan di karpet bulu, sedangkan sang Oma. Duduk di kursi sofa yang berada di ruangan tersebut.

****

Beberapa menit kemudian, para warga sudah sampai di dekat hutan. Mereka terus meneriaki nama Wisnu dan juga Saka, sambil memukul-mukul alat yang mereka bawa, ada yang membawa baskom, wajan, pentungan dan sebagainya.

Agar Wisnu dan Saka kembali, jika mereka sudah diberi jubah oleh makhluk tersebut. Maka, bisa di pastikan Wisnu dan Saka tidak akan kembali ke alam manusia.

Pencarian yang memakan waktu lumayan lama. Namun, tak ada tanda-tanda Saka dan Wisnu.

Sementara itu, di sisi lain. Saka dan Wisnu sudah kelelahan mereka tertidur di pohon besar.

Tak tahu saja, di belakang mereka ada sosok yang menyeramkan. Sosok tersebut sedang membelai rambut Wisnu dan Saka.

"Tidurlah, tidurlah anakku." Ucapnya dengan suara yang menyeramkan, lalu tertawa dengan melengking membuat siapa saja merinding.

Sosok tersebut menyanyikan lagu bahasa jawa, yang tak di mengerti sama sekali. Tapi ... Saka dan Wisnu merasa, mereka tertidur di rumah mereka.

Di mimpi mereka, mereka tengah dipeluk oleh sang ibu.

"Pelukan ibu, selalu membuatku nyaman." Gumam Wisnu.

"Wisnu."

"Saka."

Panggil para warga bersahutan, dengan suara pukulan yang dibuat oleh warga.

"Malam semakin larut, sebaiknya kita pulang saja. Dan meneruskan pencarian besok," ujar pak Rt.

"Tapi pak, anak saya belum ketemu." Kata ayah Wisnu dan Saka.

"Tapi hari semakin malam, dan berbahaya. Kita lanjut saja pencarian besok pak, kita minta tolong pak ustadz nanti." Papar pak Rt.

"Iya benar," seru para warga, mereka juga sudah lelah mencari kesana kemarin. Namun, tak ada hasilnya.

Pasrah akhirnya, ayah Saka dan Wisnu pun menghentikan pencarian. Dan kembali ke rumah, istri-istri mereka terus berdoa meminta perlindungan pada Tuhan.

Waktu bergulir begitu cepat, sudah dua hari Wisnu dan Saka belum ditemukan. Ustad yang membantu pun sedang berusaha, sampai pada akhirnya ibu Wisnu dan Saka yang turun tangan.

"Nak, kembalilah. Ini ibu," lirih ibunya Wisnu.

"Saka, ibu janji gak akan marah-marah lagi. Pulanglah nak!"

Ibunya Wisnu dan ibunya Saka terus menangis di depan pohon bambu, berharap sang anak kembali. Belum sampai di jadikan dari bagian mereka.

"Maafkan kami, jangan ganggu anak-anak kami. Mereka tidak salah," celetuk pak Ustad.

Membuat warga menunduk, mengingat saat mereka menuduh janda yang tak memiliki anak. Dengan keji mereka menyiksa janda tersebut, karena dituduh menyembunyikan anak laki-laki kampung mereka. Padahal pada kenyataannya anak tersebut ketiduran, di kolong kasur rumahnya.

Nasi sudah menjadi bubur, janda tersebut meninggal karena pukulan keras yang menghantam kepalanya. Para warga pun, menguburkan janda tersebut dengan layak.

Pak ustad melantunkan adzan, selang sepuluh menit kemudian. Suara teriakan Saka dan Wisnu terdengar dari arah belakang.

"Wisnu, Saka." Jerit ibu mereka.

Wisnu dan Saka, langsung memeluk ibu mereka dengan erat. Mereka menangis histeris.

"Syukurlah, kalian tidak apa-apa." Ucap sang ibu, mengusap wajah sang anak.

Mereka lupa kejadian sebelumnya, setelah itu warga pun mengadakan doa bersama di masjid dan mendoakan si janda agar arwahnya tak gentayangan.

Jalan menuju sungai dekat pohon bambu pun ditutup, mereka harus memutar lebih dulu. Walau perjalanan mereka menjadi jauh, kini tak ada anak-anak yang keluar magrib atau pulang setelah magrib.

***

"Jadi, sebelum magrib kalian haru sampai rumah." Pesan Oma Lidia, setelah selesai bercerita.

Aluna, Almira, Hasan dan Raka pun mengangguk sebagai jawaban.

"Apakah, Wisnu dan Saka. Warga sini Oma?" tanya Raka.

"Entahlah, mungkin bisa jadi." Jawab Oma Lidia ambigu.

"Sudah sekarang waktunya tidur, sudah malam." Oma Lidia melirik jam di dinding, sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam.

"Baik, Oma." Jawab mereka kompak.

"Ingat jangan buka jendela." Pesan Oma Lidia, sebelum keluar kamar.

"Iya." Seru mereka tertawa.

Setelah kepergian Oma Lidia, Aluna dan Almira naik ke atas kasur. Sementara kedua lelaki masih asik dengan aktivitasnya masing-masing.

"Kalian, mau tidur disini?" tanya Almira, menatap Hasan dan Raka.

Raka memandang Hasan, meminta keputusan. Ada baiknya mereka tidur berempat saja, perempuan di atas lelaki di bawah.

"Iya."

"Engga."

Jawaban Hasan dan Raka yang berbeda, membuat Almira dan Aluna bingung.

"Jadi ... Kalian mau tidur,diman?" tanya Aluna.

"Disini," putus Raka dengan tegas.

"Kenapa?" tanya Hasan.

"Gak apa-apa, biar gak sepi aja." Jawab Raka asal, Hasan menggeleng.

"Aku akan tetap tidur di kamar," ujar Hasan, Raka pun mengalah dan akan tidur dengan Hasan.

Almira dan Aluna pun tertawa, lalu mengusir para lelaki untuk keluar kamar. Karena, mereka akan bersiap untuk tidur.

Malam itu, malam yang sangat sunyi bahkan suara binatang malam pun tak ada. Seolah alam, sedang memberi pertanda tentang akan terjadinya sesuatu.

Pagi pun menyapa, matahari sudah menunjukan sinarnya. Pagi yang cerah dan udara yang sejuk, cocok untuk lari pagi di sekitaran kampung.

"Anak-anak, belum pulang bu?" tanya Vita.

"Belum, mereka senang kali keliling kampung. Apalagi ada pasar pagi," kata Oma Lidia. "sudahlah, mereka bersama Bagas. Jangan khawatir."

"Iya bu." Sahut Vita.

Vita melanjutkan membuat sarapan, bersama Nisa. Sedangkan Oma Lidia, duduk di teras rumahnya memperhatikan tanaman yang ditanam tumbuh subur di halaman rumahnya, sambil menikmati udara pagi.

Tak lama suara Aluna dan Almira yang tertawa, mampu di dengan Oma Lidia. Di belakang mereka para lelaki berjalan mengikuti para gadis, layaknya seorang bodyguard. Namun, Oma Lidia memicingkan matanya saat dari kejauhan di lihat ada yang ikut bersama dengan anaknya, Bagas di belakang.

bersambung...

Maaf typo 🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!