NovelToon NovelToon

Cerita Pengantar Tidur

Liburan Ke rumah Oma

Pembagian rapor akhir tahun adalah momen paling dinanti para murid. Bukan hanya karena nilai, tapi karena setelahnya mereka akan terbebas sejenak dari rutinitas menghitung, menulis, dan membaca.

“Luna, liburan nanti kamu kemana?” tanya Almira, teman sekelas Aluna.

“Entahlah, aku belum kepikiran. Ayah dan Bunda juga lagi sibuk,” jawab Aluna sambil mengangkat bahu, lebih tepatnya Ayahnya yang sibuk.

“Coba tanya Kak Hasan. Kalian kan tinggal serumah.”

Aluna tampak berpikir. Kalau pergi bersama sang sepupu, pasti akan lebih mudah dapat izin. Tapi kalau sendiri… bisa-bisa kena ceramah panjang lebar.

“Oke, nanti aku tanyain Kak Hasan,” putus Aluna.

“Baiklah, kabari aku ya! Bye, Luna!” pamit Almira sambil melambai.

Aluna Widyasari, gadis enam belas tahun yang baru naik ke kelas dua SMA, tinggal bersama kedua orang tuanya dan sepupunya, Hasan. Hasan adalah anak dari kakak ayah Aluna, yang bekerja sebagai TKW di Arab. Sejak kecil, Hasan tinggal bersama keluarga Aluna dan sudah seperti kakak kandung sendiri.

****

“Kak Hasan!” seru Aluna sambil melambaikan tangan di depan gerbang sekolah.

“Maaf, nunggu lama ya?” ujar Hasan sambil menghampiri motor.

“Gak apa-apa, Kak. Aku juga baru kok… baru satu jam yang lalu,” goda Aluna sambil terkikik.

“Dasar kamu.” Hasan mengacak rambut sepupunya itu. Meski hanya sepupu, Hasan menganggap Aluna seperti adik kandung sendiri.

“Ayo pulang,” ajaknya, diiringi anggukan Aluna.

Bagi yang belum kenal, mereka mungkin terlihat seperti pasangan. Apalagi kalau Aluna, Almira, Hasan, dan satu teman cowok mereka—Raka—jalan bareng. Orang-orang pasti mengira mereka sedang double date.

****

Beberapa puluh menit kemudian, mereka tiba di rumah Aluna.

“Assalamualaikum, Bun! Luna pulang!” seru Aluna.

Dari dapur terdengar jawaban salam. Ibunya, Vita, tengah sibuk menyiapkan makan malam.

“Bun, masak apa?” tanya Aluna sambil memeluk ibunya.

“Makanan kesukaan kalian, dong,” jawab Vita sambil tersenyum.

“Ahh… Bunda memang yang terbaik!” Aluna mengecup pipi ibunya lalu berlari ke kamar untuk membersihkan diri.

Malam harinya, seluruh keluarga berkumpul di meja makan.

“Liburan kali ini, kita ke mana, Yah?” tanya Aluna memecah keheningan.

“Kita gak liburan dulu ya, Nak. Ayah lagi banyak kerjaan dan harus selesaikan laporan akhir tahun,” jawab Bagas, ayah Aluna.

Aluna langsung cemberut.

“Oh iya, Bunda hampir lupa. Tadi Oma Lidia telepon, minta kalian liburan di tempat tinggal Oma,” sela Vita tiba-tiba.

“Di kampung? Wah, boleh juga! Bisa main ke sungai, sawah, kebun…” sambung Bagas, mengenang masa kecilnya. Aluna pun merasa tertarik dengan ucapan Bagas, pasti main di kampung lebih seru.

Aluna melirik Hasan, meminta persetujuan tanpa kata. Hasan mengangguk setuju.

“Baiklah, Om, Tan. Udah lama gak ke rumah Oma. Lebaran kemarin aja kita gak pulang. Kasihan Oma, pasti kangen,” kata Hasan.

“Tapi boleh ajak Almira sama Raka gak?” sela Aluna cepat-cepat.

“Kalau orang tua mereka mengizinkan, boleh saja,” jawab Bagas sambil tersenyum.

Malam itu mereka pun mulai bersiap, membawa barang bawaan mereka. Terutama Aluna, yang membawa banyak barang.

Aluna dan Hasan langsung menghubungi Almira dan Raka. Beruntung, orang tua keduanya memberi izin.

****

Keesokan paginya, pukul delapan, Almira dan Raka sudah ada di depan rumah Aluna. Mereka akan diantar oleh Bagas dan Vita ke rumah Oma Lidia. Sepanjang perjalanan, suara tawa tak henti terdengar.

“Om, gak yakin Raka bisa nangkep belut?” canda Bagas sambil tertawa.

“Om, jangan meremehkan! Menangkap hati anak Om aja aku bisa, apalagi belut!” balas Raka sambil melirik ke Aluna yang langsung mencubit lengannya.

“Dasar tukang gombal!” omel Aluna.

Vita tertawa terhibur mendengar candaan mereka. Hasan hanya tersenyum kalem, sedangkan Raka sudah sibuk dengan ponselnya.

Perjalanan memakan waktu sekitar empat jam, melewati hutan lebat di kiri dan kanan.

“Kalau hilang di sini, susah banget nyarinya,” celetuk Raka.

“Hus! Gak boleh ngomong gitu,” tegur Bagas.

Karena rindangnya pepohonan, siang pun terasa seperti sore. Tapi Bagas melajukan mobil dengan tenang, sudah hafal jalan sejak kecil.

“Ayah, cepat dikit, dong,” protes Aluna gelisah.

“Di jalan ini harus santai. Takut ya?” ejek Bagas.

“Ih, Ayah!” keluh Aluna, membuat ibunya tertawa geli.

****

Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di rumah Oma Lidia. Rumah bergaya tempo dulu yang terawat rapi dan dikelilingi suasana asri.

“Akhirnya kalian datang juga!” sambut Oma Lidia dengan pelukan hangat.

Aluna langsung memeluk sang Oma, disusul Almira. Hasan dan Raka membantu menurunkan barang.

“Sehat, Bu?” tanya Vita pada ibu mertuanya.

“Alhamdulillah. Makasih ya udah izinin anak-anak ke sini,” kata Oma Lidia ramah.

“Mas Bagas gak bisa liburan jauh, Bu. Lagi banyak banget kerjaan,” ujar Vita.

Setelah sedikit berbincang, Oma menyarankan agar mereka sekeluarga menginap.

“Jangan pulang sekarang. Gak baik lewat hutan kalau hari sudah sore,” ucapnya.

“Memangnya kenapa, Oma?” tanya Aluna penasaran.

“Jalanan-nya gelap. Kalau terjadi apa-apa, susah carinya.”

Aluna merasa ada makna lain di balik kata-kata sang Oma.

“Sayang, nginep aja ya. Besok Ayah langsung berangkat kerja dari sini,” kata Bagas kepada Vita.

“Iya, Mas. Aku juga gak mau kamu kecapekan,” jawab Vita setuju.

Oma Lidia lalu meminta pembantunya, Nisa—gadis berusia dua puluhan—untuk menyiapkan kamar untuk Bagas dan Vita. Sementara itu, Aluna dan Hasan mendapat kamar di lantai dua.

Liburan mereka pun dimulai—di sebuah rumah penuh kenangan, cerita, dan mungkin… kejutan.

Bersambung ...

Selamat datang, di cerita horor pertama ku jangan lupa tinggalkan jejak dan masuk kan ke daftar favorit 💜💜

Cerita Pengantar Tidur

Malam pun tiba. Suasana di desa itu begitu sunyi, walau baru pukul tujuh malam. Hanya suara hewan malam yang terdengar. Di teras rumah, Oma Lidia, Bagas, dan Vita duduk bersama, bernostalgia mengenang masa lalu.

"Mama sangat merindukan kakakmu, Bastian," ucap Oma Lidia. Bastian adalah ayah dari Hasan.

"Aku juga, Ma. Doakan saja Mas Bastian dan Mbak Winda baik-baik saja dan bisa pulang dengan selamat ke tanah air," balas Bagas.

Oma Lidia mengangguk lalu menatap ke depan. Meski desa ini sudah sedikit modern, tradisi dan kepercayaan warga tetap kuat.

"Ayo kita masuk. Sudah malam, nggak baik terlalu lama di luar. Takut ada yang ikut masuk," celetuk Oma Lidia.

Bagas dan Vita saling pandang, lalu mengikuti sang Ibu masuk ke dalam rumah. Setelah mengucap bismillah dan mengunci pintu, mereka masuk ke kamar masing-masing. Oma Lidia memutuskan mengecek cucu-cucunya yang belum juga tidur.

Dari luar kamar, terdengar suara tawa Aluna dan Almira. Hasan sedang membaca buku, sementara Raka memainkan gitar. Oma Lidia menggeleng pelan, seharusnya mereka sudah tidur.

"Anak-anak," panggil Oma Lidia.

Aluna dan Almira menoleh dan tersenyum. "Astaga, kalian, tutup jendelanya cepat!" serunya panik.

Hasan dengan sigap menutup dan mengunci jendela. Oma Lidia lalu mencari sesuatu dan meletakkannya di dekat jendela.

"Ini harus tetap di sini, jangan dibuang. Paham?"

"I-iya, Oma," jawab mereka kompak.

"Memang kenapa, Oma? Itu apa?" tanya Aluna.

"Bukan apa-apa. Di sini, kalau sudah magrib, pintu dan jendela harus ditutup. Makanan juga disimpan atau ditutup."

"Tapi Oma... Di Jakarta, kami biasa saja," sela Almira.

"Di desa beda dengan di kota, Nak."

"Tapi—"

"Sudah. Cepat tidur!" titah Oma Lidia.

Mereka saling pandang. Ada yang disembunyikan di desa ini. Meski sudah modern, tetap saja terasa mistis.

"Oma, bolehkah bercerita zaman dulu?" pinta Aluna.

Oma Lidia menghela napas. "Baiklah. Tapi jangan menyesal ya."

Anak-anak langsung duduk manis. Aluna dan Almira di atas karpet, Hasan dan Raka ikut menyimak. Oma Lidia pun mulai bercerita.

Dulu, penerangan desa masih memakai lampu minyak.

"Kita harus pulang, nanti dimarahi Ibu," ujar Wisnu.

"Sebentar, tanggung. Ikannya lagi banyak," sahut Saka.

"Kita sudah magrib. Pamali kalau masih di luar."

Wisnu kesal, tapi akhirnya menarik pancingnya. Mereka berjalan di jalan setapak yang sempit, melewati pohon bambu yang lebat—konon tempat tinggal makhluk halus.

"Kamu sih, asik banget mancingnya. Jadi telat pulang," omel Wisnu.

"Maaf. Tapi hasilnya banyak, kan?" tunjuk Saka pada ember berisi ikan.

Tiba di bawah pohon bambu, perasaan Wisnu tak enak. Dia menggenggam tangan Saka lebih erat.

"Aduh Nu, sakit tahu!"

"Maaf... Ayo cepat."

Tiba-tiba, terdengar suara benda jatuh. Tubuh mereka kaku. Ingin menoleh pun sulit.

"Nu, apa itu?"

"Gak tahu... Kita doa aja."

Mereka mulai membaca doa. Wisnu memberi aba-aba untuk lari. Saat hitungan satu, mereka berlari secepat mungkin. Tapi suara anak ayam terdengar—menurut kepercayaan, pertanda kehadiran makhluk halus.

"Saka, kok kita masih di sini? Kita balik lagi ke pohon bambu," ujar Wisnu panik.

"Mana aku tahu!" jawab Saka.

Mereka terus berjalan, tapi bukannya sampai jalan kampung, justru makin masuk ke hutan.

"Gimana ini?" Saka hampir menangis.

"Kita harus cari jalan pulang."

Tapi semakin lama, hutan semakin gelap dan mencekam. Mereka duduk sebentar, dan Saka melihat gubuk.

"Wisnu, itu ada rumah. Ayo ke sana."

"Rumah? Mana ada rumah di hutan. Kamu ngaco!"

"Benar, aku nggak bohong."

Tapi Wisnu tak melihat apa-apa. Dia khawatir mereka disesatkan makhluk tak kasat mata.

"Kita harus keluar dari sini. Ayo!"

Mereka berjalan beriringan. Wisnu terus mengingat pesan ibunya: jangan main sore-sore, apalagi di sungai.

Sementara itu, keluarga mereka panik. Wisnu dan Saka belum pulang.

"Katanya main di lapangan, tapi saya cari nggak ada," ucap ibu Wisnu.

Tio, teman mereka, akhirnya bicara. "Bude, mereka ke sungai. Mancing ikan."

"Apa?!" pekik ibunya Wisnu.

"Sudah, kita cari ke arah sungai," putus Pak RT.

Namun, warga enggan ikut. Mereka percaya ada arwah wanita tua yang suka menyesatkan anak-anak di malam hari...

Tepat pukul tujuh malam, setelah sholat isya. Akhirnya warga bergerak untuk mencari Wisnu dan Saka, para warga membawa alat pukul agar si mahluk tak kasat mata tersebut mau melepaskan anak-anak.

Ibu Wisnu dan Saka sudah menangis, mereka ingin ikut awalnya. Namun, dilarang oleh suami mereka masing-masing.

"Doakan, anak kita kembali dengan selamat." Ujar ayahnya Wisnu, begitu pula ayahnya Saka.

Ibu Wisnu dan Saka pun mengangguk sebagai jawaban, lalu mereka menatap kepergian para warga menuju hutan.

Cerita terputus, dan Oma Lidia menatap cucu-cucunya dengan tatapan penuh makna. Aluna merinding.

"Sudah, tidur. Nanti Oma lanjutkan lain kali," ujar Oma Lidia seraya berdiri meninggalkan mereka dalam keheningan malam.

"Yah, padahal lagi seru. Oma," protes Raka

Oma Lidia tersenyum. "Sudah besok lagi, sekarang kalian istirahat. Jangan tidur terlalu malam gak baik." Pesan Oma Lidia.

"Baik Oma," balas mereka kompak

Walau penasaran, mereka harus menuruti aturan didesa tersebut.

Bersambung...

Bab.3

Bukannya tidur, anak-anak malah makin penasaran dengan cerita sang Oma. Aluna dan Almira memutuskan untuk mendatangi kamar Oma Lidia, dan tanpa disangka Hasan serta Raka ikut bergabung. Rupanya, mereka tidak terbiasa tidur pukul delapan malam.

Dengan pasrah, Oma Lidia pun melanjutkan ceritanya.

"Lalu... apa yang terjadi dengan mereka, Oma?" tanya Raka. Ia sudah meninggalkan ponselnya dan kini fokus mendengarkan.

Oma Lidia tersenyum lalu menoleh ke arah cucu-cucunya. "Menurut kalian, apa yang terjadi?"

"Meninggal," celetuk Almira, langsung mendapat cubitan dari Aluna.

Oma Lidia menggeleng. "Baiklah, Oma akan lanjutkan ceritanya."

Mereka pun duduk lesehan di karpet bulu. Sang Oma duduk di kursi sofa dengan tenang.

*****

Beberapa menit kemudian, para warga sudah sampai di dekat hutan. Mereka memanggil-manggil nama Wisnu dan Saka sambil memukul-mukul alat rumah tangga seperti wajan, baskom, dan pentungan. Tujuannya, agar jika anak-anak itu sudah 'dipinang' oleh makhluk halus, mereka bisa kembali sebelum menerima jubah.

Namun pencarian tak membuahkan hasil.

Di sisi lain, Saka dan Wisnu tertidur bersandar pada pohon besar. Di balik mereka, sosok menyeramkan tengah membelai rambut keduanya. Sosok itu bernyanyi dengan suara melengking dalam bahasa Jawa yang tak mereka pahami. Anehnya, di dalam mimpi, Wisnu merasa dipeluk sang ibu.

"Pelukan ibu, selalu membuatku nyaman," gumamnya.

Pencarian warga dihentikan sementara. Waktu sudah larut dan semakin berbahaya. Mereka berjanji akan melanjutkan esok hari dengan bantuan pak ustaz.

Dua hari berlalu, Wisnu dan Saka belum juga ditemukan. Ibunda mereka akhirnya pergi ke hutan sendiri.

"Nak, pulanglah... Ini ibu," lirih sang ibu sambil menangis.

Pak ustaz melantunkan azan. Tak lama kemudian, terdengar teriakan dari balik pepohonan. Wisnu dan Saka muncul, tubuh mereka lusuh, mata sembab. Mereka langsung memeluk ibu masing-masing.

Warga pun mengadakan doa bersama, memohon maaf atas kesalahan masa lalu—terutama pada seorang janda yang pernah mereka fitnah dan sakiti. Arwahnya dipercaya gentayangan dan menculik anak-anak.

Sejak saat itu, jalan menuju sungai ditutup. Tak ada lagi yang berani keluar setelah magrib.

****

"Jadi, sebelum magrib kalian harus sudah di rumah," pesan Oma Lidia.

Mereka mengangguk serempak.

"Apakah Wisnu dan Saka warga sini, Oma?" tanya Raka.

"Entahlah... mungkin saja," jawab Oma Lidia ambigu.

Setelahnya, Oma pamit dan mengingatkan agar tak membuka jendela.

Setelah sang Oma pergi, Aluna dan Almira naik ke atas kasur. Sementara Hasan dan Raka masih dengan aktivitas masing-masing.

"Kalian mau tidur di sini?" tanya Almira.

Raka melirik Hasan, meminta keputusan. Hasan menggeleng.

"Aku tidur di kamar saja," ujar Hasan.

Raka pun akhirnya mengalah.

Setelah para lelaki keluar kamar, malam itu terasa sangat sunyi. Bahkan suara binatang malam pun tak terdengar.

****

Pagi pun menyapa. Sinar matahari menyusup lembut dari celah jendela. Udara sejuk menyelimuti kampung.

"Anak-anak belum pulang, Bu?" tanya Vita.

"Belum. Mereka pasti senang keliling kampung. Ada pasar pagi juga," jawab Oma Lidia santai. "Mereka bersama Bagas, tenang saja."

Vita melanjutkan membuat sarapan dibantu Nisa. Sementara Oma Lidia duduk di teras, menikmati suasana pagi.

Tak lama kemudian, suara tawa Aluna dan Almira terdengar. Hasan dan Raka berjalan di belakang mereka, seperti pengawal pribadi.

Namun dari kejauhan, Oma Lidia memicingkan mata. Ia merasa... ada satu sosok asing yang ikut bersama mereka.

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!