NovelToon NovelToon

JODOH JATUH DARI LANGIT

Ditinggal Calon Istri

Dengan mengucap Bismillah Ukaisyah membuka hati dan menerima penawaran dari ibundanya untuk segera menikah, meminang gadis alim yang tidak lain putri salah satu kyai besar di desa sebelah, keluarga mereka pun cukup lama saling kenal dan setelah berdiskusi, mereka sama-sama sepakat untuk semakin mendekatkan hubungan keduanya lewat tali pernikahan.

"Udah siap buat pergi, Sya?" tanya Aisyah pada sang putra.

Ukaisyah mengangguk, menghindari gejolak masa muda memang pilihannya dan menikah menjadi solusi terbaik, apalagi gadis itu bukan sembarang gadis, dia dibesarkan dalam lingkungan pesantren yang tentu saja ilmu agamanya sangat tinggi.

Sepanjang perjalanan, tidak berhenti Ukaisyah memutar tasbihnya hingga sampailah mereka di rumah kyai Saleh dengan banyak kerumunan orang.

"Gus, kabar buruk!" kata Tejo berlari kembali ke mobil.

"Kabar apa?" Ukaisyah lantas turun, kalau terjadi sesuatu, juga tak patut mereka diam saja.

Tejo tidak bisa menjelaskan, dia pun mengajak Ukaisyah untuk segera menyusul para orang tua dan kakaknya yang lebih dulu menemui kyai Saleh dan keluarga.

Deg!

Perasaan Ukaisyah sudah tidak nyaman, melihat raut sedih di wajah ibunya sudah menjadi sebuah tanda ada hal yang tidak sesuai rencana. Dengan rasa ingin tahu dan bercampur rasa takut, Ukaisyah pun meminta penjelasan.

"Kamu yang sabar ya," kata Aisyah mengusap pipi putranya, lalu memeluk.

"Nda, ada apa?"

Sungguh, ini tidak pernah Ukaisyah bayangkan sebelumnya, bahkan semua orang tak menduga kalau akan terjadi hal seperti ini.

"Putrinya Kyai Saleh pergi dari rumah, Nak. Tiba-tiba saja nggak ada di kamarnya dan nulis pesen kalau dia nggak bisa menikah sama kamu, dia sudah punya pilihan, jadi dia pergi karena nggak mau dipaksa ..." Aisyah menjelaskan itu sambil menangis, sebab dia pun tak memaksa keluarga kyai Saleh maupun gadis itu untuk setuju, semua mengalir begitu saja. Kalaupun ada yang tidak setuju, mereka bisa mengatakannya baik-baik.

Ukaisyah terdiam, mungkin ini jawaban dari segala doanya meskipun tak sesuai ekspektasinya sendiri. Tidak ada yang bisa dia lakukan, kecuali kembali pulang tanpa mencela keluarga kyai Saleh, sebab mereka pun tidak menyangka pada akhirnya akan seperti ini.

"Hari ini, aku mau cari angin aja, Nda. Tenang, aku nggak apa, cuman syok itu pasti ada. Daripada aku nggak fokus di pondok, lebih baik beberapa jam aku di luar sebentar, boleh ya?" Ukaisyah memohon izin pada ibunya.

Aisyah tidak bisa menolak, toh ini untuk kebaikan anaknya juga. Lagipula, siapa yang akan kuat bila setelah sekuat itu meyakinkan diri, lalu dirobohkan tanpa aba-aba, bahkan saat dia belum siap.

"Kamu, ikutin Isya ya!" Aisyah meminta Tejo untuk selalu bersama putranya.

"Siap, Mik. Saya duluan," balas Tejo lantas menyusul langkah Ukaisyah.

Entah mau pergi ke mana mereka, pastinya ingin mencari udara segar, Ukaisyah juga belum berkeliling jauh desa ini. Di sisinya, senantiasa Tejo mendampingi, mereka kembali ke pondok lebih dulu untuk berganti sepeda motor.

Namun, terdengar suara kencang yang begitu menyakitkan sekilas hampir memecahkan gendang telinga dua orang ini.

"Gus, ada balap liar!" kata Tejo gemetaran.

Balap liar?

***

"Tarik, Run, tarik!" teriak salah seorang pemuda.

Arun mengangguk sambil terus memutar gas motornya, mata gadis itu menajam sempurna, seperti elang yang hendak menangkap sang mangsa. Saat hitungan ketiga, motor yang dikendarai Arun pun melesat kencang, apapun yang melintas di depannya langsung menepi dan lebih baik terjatuh sendiri daripada tertabrak motor Arun.

Kemenangan pun dia dapatkan, tapi kubu lawan tidak terima karena merasa curang, mereka pun memulai pertengkaran hari ini. Dua kubu saling melawan, menyerang dan sampai ada yang berdarah-darah. Arun juga ikut di sana, bahkan bisa dibilang dia paling berani dari beberapa gadis yang ikut sebagai pendukung.

"Gus, yakin apa mau di sini?" Tejo ngeri sendiri melihatnya.

"Ini nggak baik loh, Jo," jawab Ukaisyah, dia melihat beberapa perempuan ada di sana, aksi seperti ini tak seharusnya melibatkan perempuan. "Saya harus hentikan ini!"

"Jangan, Gus!"

Belum sempat Ukaisyah melangkah jauh, helm teropong yang pecah tanpa sengaja terlempar ke depannya, ujung kaca helm yang masih menyangkut itu mengenai jari kaki Ukaisyah hingga berdarah.

"Minggir, kalau masih mau hidup!"

Mendengar itu, Ukaisyah mendongak, baru saja yang berbicara dan mengambil helm pecah itu bukan seorang pemuda, melainkan seorang gadis. Ingin Ukaisyah cegah, tapi kakinya lumayan sakit sehingga mau tidak mau dia mengikuti saran Tejo untuk kembali ke pondok, mengurungkan niatnya mencari udara segar.

Sementara itu, Arun kembali ke medan pertempuran, belum selesai kalau masih ada yang wajahnya bebas darah, dia terus maju. Tapi, sebelum itu dia menoleh ke arah Ukaisyah.

"Mau minta sumbangan masjid atau lagi dakwah? Salah tempat banget, ih!" gumamnya berdecak meremehkan keberadaan Ukaisyah dan Tejo yang meninggalkan wilayah itu.

Arun baru kembali setelah kubunya benar-benar menang, dengan begitu dia akan merasa lebih baik dan untuk ke depannya tak akan ada lagi yang berani menuduhnya curang atau berniat mengalahkannya.

"Rokokku mana?" tanya Arun menggantungkan tangannya.

"Udahlah, berhenti rokok, Run. Cewek nggak baik rokok!"

"Medis udah maju, jadi nggak apa. Udah kasih aja ke aku, buruan!" kata Arun masa bodoh, dia tidak peduli.

Semua temannya di sini laki-laki, bahkan adiknya semua juga laki-laki, jadi merokok bukanlah hal aneh dan asing baginya. Tiba-tiba Arun teringat akan laki-laki berpakaian rapih itu, tak lupa ada peci yang menempel di kepalanya.

Kayaknya, nggak asing deh! Tapi, di mana ya?

Entahlah, dia sepertinya pernah melihat Ukaisyah, tapi lupa di mana dan siapa, hanya saja menurutnya itu tidak asing.

"Mikirin apa, Run? Masih dendam?"

"Nggak," jawabnya santai. "Oh ya, tadi liat nggak ada dua orang yang sempet gabung, tapi mereka pake baju salat gitu loh, ada yang liat?"

Teman-temannya menggelengkan kepala.

"Malaikat kali, Run!"

"Ngasal! Mana ada malaikat bisa kena helm!?" balas Arun.

"Santri pondok baru itu mungkin!"

Lahdalah!

Arun ingat, dia ingat yang tadi, pantas saja tak asing, laki-laki itu pernah ke rumahnya.

Brak!

"Apa to, Run?!"

Arun tidak menjawab, dia bergegas pulang. Bisa jadi, Ukaisyah melihat wajahnya tadi, gawatnya kalau sampai sang ayah tahu dari pengaduan Ukaisyah, bisa hancur nama baik mereka semua.

Aarrrrgghhh!!

Dia, laki-laki itu seorang penanggung jawab pondok yang dia sebut Gus jadi-jadian. Dan tadi, dia tawuran di depan mata laki-laki itu.

Mampus aku kalau ayah tahu, duh!

"Pokoknya, awas kalau dia ngadu, aku pecel!" gerutu Arun sakit kepala sendiri. "Ayah!" panggilnya berteriak.

Prang!

Bertemu Gadis Onar

"Yah, Ayah!" panggilnya berlari-lari. "Ayah!"

"Ayah!"

Prang!

Arya memejamkan matanya, ini baru saja akan makan, kok ya bisa memanggil sampai se begitunya. Iya kalau dia tidak ada di rumah, dia sedang berada di rumah dan telinganya masih berfungsi dengan baik.

"Apa, Run?" Arya menangkap tubuh anak gadisnya itu, berlari sambil terus memanggil dirinya. "Kamu ini kenapa?"

"Yah, Ayah tahu ndak sama gus jadi-jadian yang di pondok itu? Yang kapan hari datengin Ayah itu, yang minta izin sambil nyogok?!"

"Kamu ngomong yang bener! Nggak ada yang nyogok, ngawur!" balas Arya mendorong kening Arun, tapi masih membiarkan anak itu bergelayut padanya.

Arun terkekeh, itu artinya sang ayah tidak tahu permasalahan yang terjadi diantara dia dan Ukaisyah tadi, berharap juga nantinya Ukaisyah tak membuka masalah ini di depan Arya, bisa jadi keripik pedas dia kalau ayahnya tahu dia masih balapan liar dan tawuran.

Urusan beres, kalau bisa bertemu gus itu lagi, nanti dia akan membuat ancaman bila sampai namanya juga diancam. Walau Arun tahu tidak akan semudah itu ayahnya percaya.

Dia pun pergi ke peternakan yang memang menjadi usaha turun temurun keluarganya, sekarang dia pun mulai belajar.

 "Aman nggak Mbak kalau ngerokok di sini?" tanya Aldo mengambil satu.

 Arun mengangguk saja, hari ini dan besok akan dia habiskan untuk memeriksa dan membantu urusan ayahnya di sini, lagipula dia juga tak mau kalau sampai ketahuan gus jadi-jadian itu bila saja di rumah.

 ***

 "Gus masih belum enakan?" tanya Tejo menghampiri Ukaisyah yang sedang duduk di depan masjid.

Ukaisyah menoleh sambil terus menjaga hafalannya, untuk mengisi waktu biasanya dia akan seperti ini, tapi karena baru saja ada tragedi kaburnya ning Halimah, membuat orang sekitar mengira kalau Ukaisyah tengah dilanda galau karena batal menikah.

 "Gus, apa mau cari angin lagi? Kalau mau gitu, biar saya temani, ayo, Gus!"

 "Di sini sudah ada angin, kamu nggak ngerasa?" balas Ukaisyah sedikit menggeser duduknya.

 Tejo terkekeh. "Ya, kalau aja Gus mau nikmati angin yang lain kayak kemarin, sampe liat orang bentrok. Tapi, Gus ... Ngomong-ngomong kayak kenal ya Gus sama yang ikutan di sana, Gus pernah liat nggak cewek itu?"

 "Saya nggak terlalu memperhatikan wajah perempuan, kamu tahu itu, jadi otomatis saya lupa, kecuali kalau saya mendengar suaranya," jawab Ukaisyah masuk akal juga, pasalnya jelas berbeda dengan Tejo yang kalau bertemu dengan orang itu fokusnya di mana, Ukaisyah tidak akan terlalu memperhatikan kalau itu perempuan. "Oh ya, saya mau ke luar sebentar ya ..."

 "Loh, katanya Gus nggak mau cari angin, ini mau ke mana?"

 Ukaisyah tak menjawab, intinya dia mau pergi saja, ke mana seenak hatinya, yang terpenting tidak membuat orang lain susah lagi sakit karena ulahnya. Di belakangnya, Tejo mengekor seperti anak ayam, mengawasi dan ada di mana pun bersama Ukaisyah itu tugasnya, jadi harus dia laksanakan dengan baik meskipun dia merasa aneh.

 Di tengah perjalanan, Ukaisyah terhenti meminta Tejo pulang saja, sementara dia ingin melihat-lihat desa ini sendiri.

 Namun, saat dia sampai di dekat sebuah tanah lapang yang baru kali ini diinjaknya, sebuah tamparan mendarat keras di wajah hingga wajahnya berubah kotor lagi basah.

 Byur!

 "Lah, kena orang!"

 Ukaisyah meraup wajahnya, aromanya sangat tidak enak. Bahkan, meluber membasahi lagi mengotori bajunya.

 Itu suara perempuan, Ukaisyah tak salah, artinya seorang perempuan tanpa sengaja mengguyurnya seperti ini sampai-sampai nampannya ikut juga sampai ke wajahnya.

 "Maaf lo, salahnya kamu lewat sini, kan di sini aku buang-" Arun menghentikan ucapannya, wajah kotor Ukaisyah tidak membuatnya salah mengerti siapa laki-laki itu, jelas saja omelan Arun berhenti dan ingin segera membawa kedua kakinya pergi. "-walah, ini salahmu loh ya, lewat sembarangan, bukan aku!"

Arun berlari begitu saja, meninggalkan Ukaisyah yang masih berusaha membuka mata. Tapi, dia sempat melihat wajah gadis itu meskipun tidak penuh. Gadis yang tak jauh berbeda dari yang ada di tawuran kemarin, samar-samar dia mengingatnya, apalagi suara yang dia dengar juga bisa dikatakan mirip.

Mau tidak mau dia harus kembali ke pondok, sebab bajunya sangat bau dan kotor, bisa-bisa orang menyangka dia orang gila yang ke luar desa.

"Walah bahaya!" kata Arun menyembunyikan dirinya di gudang.

"Kenapa, Run?"

Arun berjengit, itu ayahnya yang entah datang kapan.

"Yah, hahahah, nggak apa, gawat aja aku ketemu sama tikus. Kenapa kok mendadak ke sini, Yah?"

Arya tersenyum. "Ini Ayah mau minta kamu jadi wakil Ayah di undangan ngaji pondok, bisa ya, Run ... Soalnya, Ayah lagi nggak enak badan ini, tapi udah janji. Nanti, kamu datang sama adik-adikmu!"

...****************...

  Semua orang sudah berkumpul di acara pengajian beraama pondok ini, ada yang mengajak anak-anak mereka, ada juga yang hanya datang seorang diri, semua menuliskan namanya di buku tamu.

Ukaisyah memeriksanya, dia sudah menuliskan nama di catatan pribadi untuk dia cocokkan, terutama yang bapak-bapak dan pemuda, dia cukup ingat wajah mereka.

"Pak Arya udah dateng, Jo?"

"Saya belum liat sih, Gus. Tapi, udah ada namanya, mungkin sudah datang, Gus. Mau ketemu?"

Ukaisyah menggelengkan kepalanya, bukan apa-apa, dia memang sengaja mengingat para pengurus desa ini agar memudahkan bila ada urusan untuk berbicara bersama karena pondok ini pun di bawah pengawasan mereka juga berdirinya.

Setelah memastikan data sama, Ukaisyah berjalan ke tempat duduk para warga untuk menyapa sekadarnya. Satu hal yang menarik di sini, ada seorang gadis yang duduk di antara bangku bapak-bapak.

"Maaf, untuk undangan wanita bisa di sebelah sana ya," kata Ukaisyah sopan.

Arun mendongak, mengetahui siapa yang berdiri di sampingnya itu, Arun pun melotot sebelum akhirnya menunduk.

"Aku mau di sini, kan ini tempat duduk ayahku!"

"Ayah?" Ukaisyah mengulanginya, dia mencoba mengurutkan ulang, matanya pun melebar. "Pak Arya?"

Jemari Arun semakin diremat, gawat dia ketahuan laki-laki pondok ini, tapi kalau dia takut dan gentar, turun harga dirinya. Maka, dia putuskan untuk berani memandang Ukaisyah.

"Apa kamu keluarganya pak Arya?" tanya Ukaisyah. "Saya hanya memastikan saja, apa benar kamu ke-"

"Ih, iya. Aku anaknya, Arun!" jawab Arun tak gentar. "Kenapa? Kaget? Atau mau ngadu sama ayah kalau aku udah tawuran, udah ngotorin baju sama muka kamu, hem? Mau protes?"

Ukaisyah menghela nafasnya, di sini memang suara Arun tidak terlalu keras, hanya saja bisa mengundang perhatian dan rasa penasaran orang.

"Baiklah, saya ndak akan berlaku begitu. Semoga kamu suka dan menikmati pengajian ini," ucap Ukaisyah undur diri.

Arun tidak menjawab, dia melengos begitu saja. Awas aja ya, nanti aku buat onar kalau Gus itu macem-macem.

"Darimana, Gus?" Tejo pusing kalau Ukaisyah sudah mulai keliling-keliling.

"Jo-"

"Guuuussss ... Ada yang ngintipin kita!" teriak para santriwati.

"Gus, ada si kembar nakal!"

Si kembar? Anak laki-lakinya pak Arya?

Bertemu Di Rumah

 "Si kembar anaknya pak Arya?" ulang Ukaisyah memelankan suaranya.

 Tunggu!

 Kalau tidak salah, anak-anak Arya itu dua yang Ukaisyah tahu saat pertama kali dia berkunjung di desa ini. Bahkan, keduanya pernah membantu proses pembangunan sampai pembukaan, Ukaisyah masih ingat wajahnya meskipun mereka jarang hadir di undangan yang Ukaisyah berikan, nomor mereka saja sudah tidak aktif. Lalu, ditambah lagi si Arun yang tadi.

"Itu—" Ukaisyah menunjuk tempat duduk Arun.

 "Iya, Gus. Itu mbaknya si kembar nakal itu!" jawab salah satu santriwati yang berdiri tidak jauh dari Ukaisyah, mendengar gumaman Ukaisyah samar-samar.

 Ukaisyah menoleh, sebenarnya dia bingung, tapi di depan santri tentu tidak boleh menunjukkan hal itu karena bisa saja membuat mereka panik atau mungkin berimbas ke yang lain.

 Jadi, gadis yang dia temui sedang ikut tawuran, adu balap dan merokok di ujung desa ini anaknya orang penting di sini, bahkan dia kerap bekerja sama. Gadis itu anak pertamanya Arya yang juga terkenal di desa ini.

 "Mau ke mana, Gus?" tanya Tejo segera memakai pecinya.

 Ukaisyah melihat beberapa santriwati yang masih berdiri di sekitarnya. "Kalian ke sana saja, nggak apa kalau mbak Arun di sana, dia boleh bergabung, ayo!"

 Mereka pun mengangguk dan patuh, lagipula tak pernah ada masalah dengan Arun, yang membuat mereka kesal adalah dua adiknya Arun yang sering mereka sebut bermuka dua itu, sebab di depan orang tua selalu tampak baik, sedang di luar suka sekali membuat anak gadis cemas.

 Tujuan Ukaisyah bukan ke Arunnya, tapi pada dua anak kembar Arya itu, si Aldo dan Aldi. Katakan mereka kenal baik dan pernah terlibat urusan bersama, tapi untuk perilaku mereka tadi tidak bisa Ukaisyah benarkan, apalagi dia seorang penanggung jawab.

 Ekhem!

 Keduanya pun berbalik, Aldo biasa saja, sedangkan Aldi sedikit menunjukkan keterkejutannya.

 "Sudah lama nggak ketemu, kalian apa kabar? Maaf, saya nggak tahu kalau pak Arya sakit dan harus digantikan kalian," kata Ukaisyah sembari bertanya.

 "Baik, nggak masalah, Mas." Aldo sesantai itu.

 Aldi tampak meremas jemarinya. "Baik, Mas. Ngomong-ngomong, kenapa ya ke sini? Bukannya, acara di sana?"

 Hish!

 Mata Aldo melotot pada Aldi sembari mengumpat, pertanyaan itu lebih pantas Ukaisyah yang mengeluarkan, bukan mereka, kalau seperti ini tentu bunuh diri.

 Ukaisyah tersenyum, walau mereka ini disebut anak nakal, tetap saja mereka lebih muda darinya, sebagai yang lebih tua sudah seharusnya Ukaisyah lebih bijak lagi tenang.

 "Sebelumnya mohon maaf, tadi ada beberapa santri mengadukan kalian, memang nggak bisa saya percaya begitu saja, tapi apa benar kalian masuk ke kamar mandi putri?" tanya Ukaisyah memandang keduanya

 "Apa buktinya?" balas Aldo menaikkan dagu mereka.

 "Jangan nuduh deh, Mas! Pondok ini masih baru, jadi jangan sembarangan sama kita!" timpal Aldi.

 Bukannya takut, Ukaisyah justru mengulum senyum, jawaban keduanya cukup menjadi bukti dari tuduhan yang para santri katakan tadi tanpa harus Ukaisyah bersusah payah.

 "Ya, saya nggak masalah kalau harus berurusan sama orang tua kalian, kalau perlu pun saya bisa ke rumah kalian besok," kata Ukaisyah tidak gentar sama sekali.

 Aldo membuang putung rokoknya di depan Ukaisyah, begitu pun Aldi ikut-ikutan. Ukaisyah hanya bisa memejamkan matanya, tiga bersaudara itu cukup sama.

 Tidak masalah, dia akan ke rumah Arya besok untuk meluruskan semua ini.

...****************...

Malu, tentu saja Arya merasakan hal itu, baru dia bermimpi menjodohkan Arun dengan Ukaisyah, sekarang pemuda itu datang ke rumahnya sembari membawa kabar buruk tentang kedua anak laki-lakinya itu.

"Yah ..." Aldo sudah bersujud berulang kali, tapi belum mendapatkan maaf.

"Aldi cuman diajak Aldo aja, Yah. Lebih gampang dong maafinnya, ya Yah ..." ucap Aldi lantas mendapatkan tendangan kecil dari Aldo.

Arya tak mendengarkan itu, mau disimpan di mana wajahnya sekarang, dia selalu datang membawa nama baik untuk keluarganya, tapi dua anaknya justru berulah.

Untuk sementara, Arya biarkan di kembar sujud terus dalam waktu lama, Ajeng tidak akan memberikan keringanan juga karena yang mereka lakukan benar salah, terbukti mengintip itu memalukan sekali, padahal ayah mereka sudah berusaha menjadi baik untuk keluarga ini.

"Bu ... Ibu kan cantik-"

"Hush! Udah, sujud aja kamu yang bener!" balas Arun memotong. "Dua cowok kok ya mirip sama bapaknya semua!" imbuhnya bergumam, tahu betapa nakalnya Arya dimasa muda.

Kembali ke ruang tamu, sejak tadi sebenarnya Ukaisyah sama sekali tak mencuri pandang pada Arun, tapi gadis itu gelisah sendiri seakan menanti hukuman apa yang akan dia dapatkan kalau sampai ayahnya tahu dari Ukaisyah atau dari kedua adiknya tentang bagaimana dia di luar.

Sekarang, Ukaisyah tahu kalau dia itu anak pertama salah satu orang penting di desa ini, mungkin dia bisa menang kalau lawannya warga yang takut pada masa depan pekerjaan mereka, sedangkan Ukaisyah tidak berhubungan dengan hal itu.

"Gus, mohon maaf atas ketidaknyamanannya, saya pastikan kedua anak saya itu mendapatkan hukuman yang sesuai, kalau boleh juga biarkan mereka menjadi santri di pondok sana, Gus!" kata Arya membuat kaki Arun gemetar, bisa jadi nanti dia juga dipondokkan.

Matilah, aku!

Ukaisyah tersenyum, dia menoleh pada Tejo yang juga ikut mengangguk dan tersenyum pada Arya.

"Tentu boleh, Pak Arya. Saya akan menerimanya, siapa tahu dengan adanya kedua anak Pak Arya di sana, pondok ini akan semakin ramai dan diminati-"

"Halah, modus!" sahut Arun spontan.

"Run!" Arya melotot pada putrinya. "Ngomong apa kamu sama Gus Isya?!"

"Arun cuman ngomong apa adanya loh, Yah. Orang baik sama Ayah juga ada maunya, saling menguntungkan, nggak ada loh yang nolong itu ikhlas meskipun itu 'Gus'!" jelas Arun melirik kecil Ukaisyah.

Arya menggelengkan kepalanya. "Tapi, kamu nggak pantes ngomong gitu, Nak! Udah, Ayah malah seneng kalau bukan hanya kembar aja yang ngaji di sana, tapi kamu juga, udah lama kamu nggak ngaji, padahal waktu kecilmu suka banget Ayah ajakin ngaji. Kamu sekalian aja mondok!"

Lah!

"Jangan loh, Yah!" tolak Arun. "Arun ini udah gede, mondok itu ya harusnya dari kecil, seusia Arun ya udah lulus, Yah. Arun nggak waktunya mikir mondok, Yah, waktunya mikir jodoh!"

Uhuk!

Arun mengatupkan belah bibirnya, dia lupa sedang ada siapa di rumah ini, tidak bisa asal saja mengajak ayahnya berbicara sembari bercanda.

"Loh, bagus itu kalau Mbak Arun udah mikir nikah. Cari bekalnya di pondok, syukur-syukur dapet jodohnya orang pondok, Mbak!" kata Tejo kemudian menunduk begitu lengannya disenggol Ukaisyah.

"Duuuhh ..." Ajeng bersuara, menatap Arun yang sudah ingin kabur. "Bener itu Mas Tejo, banyak cara jemput jodoh kan ya, salah satunya mondok. Gimana, Run?"

Kok aku sih?!

Arun melihat ke arah Ukaisyah, kemudian dia melengos. Laki-laki itu tidak membuka kesalahannya sama sekali, datang ke sini pun hanya membahas masalah Aldo dan Aldi, sebenarnya dia sedikit goyah, tapi tidak semudah itu, Ukaisyah bukan tipenya sama sekali dan kehidupan mereka berbeda, tidak di jalan yang sama.

"Kenapa liatin terus?" Arun menatap tajam Ukaisyah.

"Saya?" balas Ukaisyah merasa tidak melihat Arun sama sekali, dia sedang asik melihat tanah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!