"Nissa, sepuluh menit lagi senja menghilang. Lebih baik kita turun sekarang, suara azan magrib sebentar lagi berkumandang!" ujar Amira, Nissa menoleh dengan tatapan sendu. Tak ada ekspresi, seolah ada sesuatu yang tengah dipikirkan Nissa.
Nissa berdiri tegak menatap lurus senja di ufuk barat. Kedua kakinya tegak, berdiri di atas bukit tinggi. Tempat paling nyaman dan tenang baginya. Sebuah bukit yang berada tidak jauh dari kotanya. Sebagai seorang pendaki, Nissa terbiasa turun dan naik bukit. Gadis berhijab yang telah lama bersahabat dengan alam. Senja menjadi alasan setiap pendakian dan pengejarannya selama ini.
Nissa menoleh ke sekelilingnya, tempatnya berdiri cukup tinggi. Nissa mampu melihat sekelilingnya dengan begitu jelas. Mengagumi keindahan ciptaan-NYA. Mensyukuri nikmat yang tersaji tepat di kedua mata indahnya. Amira menatap Nissa sendu, ada sesuatu yang mulai mengusik hatinya. Amira menangkap sebuah kecemasan yang tersimpan dalam mata indah Nissa. Sahabat yang selalu mencoba tegar. Meski sakit ada dalam langkah hidupnya.
"Amira!"
"Hmmm!" sahut Amira santai, Nissa menoleh ke arah Amira. Nampak senyum simpul terutas di wajah cantik Amira. Hijab instan Nissa melambai tersapu angin sore. Menyejukkan hati Nissa yang bimbang akan langkahnya.
"Malam ini acara lamaranku. Besok pagi, pengajian di rumahku. Besok lusa pernikahanku!" ujar Nissa lirih, tatapannya tajam ke arah senja yang menghilang.
"Kamu bercanda!" ujar Amira kaget, kedua mata Amira membulat sempurna. Namun rasa kaget Amira berubah. Ketika Amira melihat Nissa menganggukkan kepala. Isyarat perkataan Nissa sebuah kenyataan, bukan candaan semata.
"Entahlah, aku berharap ini hanya mimpi. Berakhir tatkala kedua mataku terbuka!" sahut Nissa lirih, sembari menghela napas.
"Pernikahan bukan didasari 'Entahlah' dan semua selesai. Ini hidupmu, kamu harus berjuang dan berani mengatakan tidak. Senja akan datang meski terlambat, tapi kebahagianmu bukan senja. Kamu berhak bahagia sekarang, bukan nanti!"
"Amira, mungkin ini jalanku. Senjaku mulai menghilang dan aku harus menjadi senja orang lain!"
"Siapa dia?"
"Maksudmu?" sahut Nissa heran, Amira menangkup bahu Nissa. Menatap lekat dua mata sahabatnya. Nissa mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Nissa merasa tidak paham perkataan Amira.
"Calon suamimu!"
"Laki-laki!" sahut Nissa santai, Amira mendengus kesal. Nissa tersenyum manis, bahagia melihat kekesalan sahabatnya.
"Jangan katakan, kamu tidak mengenalnya!"
"Jangankan mengenalnya, bertemu dengannya saja aku tidak pernah!" sahut Nissa, Amira terdiam.
Amira melepaskan tangannya, menjauh dari tubuh sahabatnya. Amira menggelengkan kepalanya lemah. Merasa tak percaya akan kenyataan yang terucap dari bibir Nissa. Amira tak habis pikir, Nissa bisa melakukan kebodohan yang benar-benar bodoh. Amira merasa tak mengenal sahabatnya.
"Kamu bodoh atau kehilangan akal. Dua hari lagi kamu menikah, tapi kamu tidak mengenalnya. Nissa ini pernikahan, bukan permainan yang bisa kamu akhiri saat kamu lelah bermain!"
"Amira, aku mungkin bodoh. Namun percayalah, sebodoh-bodohnya aku. Takkan aku mengkhianati janji suci yang terucap. Pernikahan memang bukan permainan, sebab pernikahan hubungan suci yang disatukan oleh ridho-NYA. Aku akan menjaga kesucian hubungan ini dengan segenap hatiku!" tutur Nissa, Amira mengangguk pelan.
Amira merentangkan kedua tangannya. Nissa tersenyum, lalu memeluk Amira. Pelukan dua sahabat yang disaksikan senja. Rasa saling peduli dan percaya. Saling menguatkan dikala lemah dan rapuh. Amira menepuk pelan punggung Nissa. Tepukan hangat sang sahabat, demi sebuah kekuatan dan rasa sayang.
"Aku akan selalu ada bersamamu. Senjamu mungkin hanya pengganti saat ini. Namun percayalah, senja itu akan ada untukmu. Meski terlambat, senja itu akan datang membawa bahagia untukmu. Aku yakin itu dan kamu juga harus yakin itu!" bisik Amira, Nissa mengangguk dalam pelukan sahabatnya.
"Terima kasih!" sahut Nissa, Amira mengangguk pelan.
Senja mulai menghilang, terganti petang yang menyapa. Sayub terdengar murrotal dari masjid di sekitar bukit. Nissa dan Amira langsung melepaskan pelukan mereka. Kedua tersenyum bersama, menertawakan kebersamaan dan kehangatan diantara keduanya. Melupakan waktu yang berdetak, sampai mereka lupa akan malam yang segera menyapa.
"Nurul Choirunnissa Ghinayah, wanita penuh cahaya dan cinta. Sudah saatnya kita pergi, menghadapi jalan terjal di depan kita!" ujar Amira menggoda Nissa. Sekilas terlihat kedipan mata Nissa. Mengiyakan perkataan Amira, lalu menoleh ke arah senja. Sang jingga yang tenggelam jauh di ufuk barat.
"Senja, terima kasih selalu menenangkan hati dan jiwaku. Kelak aku berharap, kamu akan selalu datang menyapaku. Meski aku hanyalah senja pengganti. Namun aku akan selalu menjadi penganggum keindahan lukisan jinggamu. Terima kasih, hadirmu menjadi alasan senyum dan bahagiaku!" batin Nissa, seraya menatap senja dengan begitu lekat.
"Nissa, kita harus pergi!"
"Amira, aku akan menginap. Kamu pulanglah, besok malam aku akan pulang!"
"Kenapa? Malam ini acara lamaranmu. Kamu harus datang, meski kamu terpaksa melakukannya. Semua demi kehormatan orang tuamu!" ujar Amira, Nissa menunduk. Gelengan kepala Nissa, jawaban paling menyakitkan yang terdengar oleh Amira.
"Ini, bacalah!" ujar Nissa singkat, tangannya terulur ke arah Amira. Nissa memberikan ponsel pintarnya.
Amira membaca sebuah pesan yang ingin ditunjukkan oleh Nissa. Amira terkejut, dua bola matanya membulat sempurna. Kedua matanya terasa panas, hatinya berdebar dengan rasa ngilu yang teramat. Nissa menghela napas, saat dia menyadari sikap Amira.
"Nissa, kenapa kamu harus menerima pernikahan ini? Dia menolakmu dengan sangat hina. Dia memandangmu dengan jijik, haruskah semua ini terjadi. Aku mohon Nissa, pertimbangkan lagi!"
"Amira, pengganti akan selalu tersisih. Namun takkan terlupakan. Biarkan dia memandangku hina, tapi ketulusanku akan merubah pandangannya!"
"Kapan semua itu akan terjadi? Sanggupkah kamu menerima semua hinaan. Kamu wanita sempurna, tak pantas menerima hinaan ini!" sahut Amira.
Allahhu Akbar.... Allahhu Akbar
"Pulanglah, aku akan menginap!" ujar Nissa, bersamaan dengan suara azan.
"Nissa!"
"Aku baik-baik saja, percayalah!" sahut Nissa menghapus kecemasan hati Amira.
Nissa menatap punggung Amira yang menjauh. Sedangkan Nissa memutuskan berjalan ke arah gubuk yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Nissa duduk menatap petang, mendengarkan suara azan. Terdengar merdu dan menyayat hati. Nissa merasa damai diantara sepi malam. Tak ada rasa takut, semua sirna oleh rasa takut akan pernikahan dirinya besok lusa.
"Nissa, minumlah!"
"Kamu!" sahut Nissa tak percaya.
"Tidak perlu kaget, aku turun hanya mrngambil makanan dan minuman!"
"Tapi sudah hampir malam. Pulanglah!"
"Aku tidak akan meninggalkanmu, sahabat tidak pernah meninggalkan sahabatnya. Jika kamu tinggal, aku juga akan tinggal. Dia mungkin akan merubahmu, tapi dia tidak akan bisa menghancurkan persahabatan kita!" sahut Amira santai dan lantang.
"Kamu sahabat selamanya!" ujar Nissa sembari berdiri.
"Kemana?"
"Pulang!" sahut Nissa santai.
"Kenapa?"
"Dia ingin menemuiku, ada yang ingin dia katakan!" ujar Nissa, Amira membaca pesan yang baru saja terkirim di ponsel Nissa.
"Laki-laki sombong!" ujar Amira kesal.
"Selamat malam, maaf lama menunggu!" sapa laki-laki paruh baya. Nissa langsung berdiri, berjalan mundur beberapa langkah. Tatkala Nissa melihat laki-laki itu mengulurkan tangannya.
Nissa terkejut, melihat seorang laki-laki datang menemuinya. Laki-laki dewasa yang berumur sekitar tiga puluh lima atau lebih. Seorang laki-laki dewasa tampan dengan penampilan sangat modis. Laki-laki yang mampu menawan para kaum hawa. Meski usianya tak lagi muda. Namun penampilannya menunjukkan ketampanan dan kemapanan yang sempurna.
"Maaf!" ujar Nissa, sembari menangkupkan kedua tangannya tepat di depan dada.
"Hmmm, tidak masalah!" sahut sang laki-laki.
Keduanya duduk berhadapan, diam membisu dalam keheningan malam. Nissa melirik ke arah Amira yang duduk tidak jauh darinya. Amira sengaja ikut dengan Nissa. Amira tidak ingin Nissa menemui calon suaminya sendiri. Laki-laki yang tak pernah menghargai Nissa, bahkan sebelum mereka bertemu.
"Raditya, panggil aku Radit!" ujar sang laki-laki, Nissa mendongak.
"Kenapa kamu terkejut? Kamu belum mengenalku!" ujar Radit ketus, Nissa mengangguk tanpa ragu. Radit tersenyum sinis, menertawakan sikap polos Nissa. Pengakuan yang menampakkan jelas jarak antara mereka berdua. Sepasang calon pengantin yang tak mengenal satu sama lain.
"Bukankah anda yang tidak ingin mengenal saya!"
"Kamu benar, aku yang menginginkan itu. Namun sepertinya penilaianku salah. Kamu bukan wanita biasa. Kamu wanita tangguh yang siap melawan alam. Namun anehnya takluk dengan pernikahan bodoh ini!" tutur Radit tegas dan sinis. Nissa diam membisu, sindiran pedas Radit seolah tertuju padanya. Sikap bodoh yang diambil Nissa demi balas budi semata.
"Nissa, bukankah itu namamu!" ujar Radit, Nissa mengangguk pelan.
"Maaf sebelumnya, anda memanggil saya. Tentu bukan tanpa alasan. Kita sudah duduk di sini hampir lima belas menit. Namun sejak tadi anda terus berputar-putar. Sekarang keluarga anda ada di rumah saya. Dua hari lagi, anda akan menikah dengan saya. Jika memang anda ingin mengetahui sesuatu. Lebih baik katakan sekarang, tidak perlu berbelit-belit!"
"Aku menyukai ketegasanmu dan aku harap itu ada dalam kejujuranmu!"
"Saya pastikan itu!" sahut Nissa tegas dan lugas.
"Katakan alasanmu menerima pernikahan ini!"
"Demi balas budi!" sahut Nissa.
"Hanya itu, kamu yakin!" ujar Radit, Nissa mengangguk tanpa ragu.
"Kamu sadar aku siapa? Aku bukan lajang, aku duda dengan satu anak!" ujar Radit, Nissa mengangguk.
"Lalu!" sahut Radit, seolah butuh penjelasan.
"Sejak awal papa memintaku menikah dengan anda. Sedikitpun tidak ada keberatan, selama pernikahan ini bisa membuat keluarga terlepas dari lilitan hutang!" ujar Nissa, Radit tersenyum simpul.
"Bahkan menggadai seumur hidupmu kepadaku!"
"Aku akan menebus setiap sen utang keluargaku pada anda. Namun satu hal yang harus anda ketahui. Pernikahan ini mungkin demi balas budi, tapi bagi saya pernikahan ini suci dan sakral. Terserah anda jika menganggap ini sebagai pernikahan bodoh. Namun saya akan menganggap anda sebagai suami saya lahir dan bathin!"
"Kamu bercanda!"
"Saya tidak pernah bercanda dalam hidup!" sahut Nissa lugas, Radit tertawa dengan lantangnya.
"Nissa, kamu terlalu yakin. Kamu tidak mengenalku, aku bukan pribadi yang mudah dihadapi!"
"Anda juga tidak mengenal saya!" ujar Nissa, Radit terdiam membisu.
"Baiklah, kita akhiri perdebatan ini. Aku hanya ingin mendengar kejujuranmu. Kita akan bertemu di pelaminan. Kamu menggadai hidupmu dan aku siap menebus hidupmu. Kita lihat, siapa diantara kita yang kalah? Aku yang menyerah denganmu atau kamu yang melangkah pergi!"
"Terserah anda, menganggap ini perjudian atau pertarungan. Pernikahan bagi saya sekali seumur hidup. Saya tidak akan pergi, kecuali anda yang meminta saya pergi!" ujar Nissa mantap.
"Satu hal lagi, kamu tidak keberatan dengan perbedaan usia kita. Kamu anak kemarin sore, jelas usia kita berbeda!"
"Usia tidak menunjukkan kedewasaan seseorang. Anda belum mengenal saya, tak pantas anda menilai saya!" sahut Nissa sinis, lalu berdiri meninggalkan Radit.
"Nurul Choirunnissa Ghinayah, gadis pengejar senja. Gadis periang yang sudah melawan beberapa gunung. Hanya demi obsesinya mengejar senja paling indah. Wanita bercahaya penuh cinta, arti dibalik nama yang tersemat dalam hidupmu. Guru honorer yang melawan terjal jalan desa. Demi mengajar murid-muridnya. Seorang adik yang mengalah pada kakaknya. Menerima menikah dengan Ahmad Dzaky Raditya. Seorang duda dengan anak satu. Seorang anak yang memiliki kebutuhan khusus!" ujar Radit, tepat beberapa langkah Nissa yang menjauh.
Nissa menoleh, ada rasa heran kala dia mendengar suara yang berbeda. Nissa terkejut, tatkala ada sosok lain di samping Radit. Sosok yang lebih muda dan menawan. Seorang laki-laki yang entah kapan dan darimana datangnya? Nissa benar-benar tak percaya. Apalagi saat melihat Radit yang bertemu dengannya membungkuk. Seakan laki-laki muda itu lebih berkuasa.
"Tuan muda!"
"Apa kabar Nissa?"
"Anda siapa?" ujar Nissa bingung, Radit mengulurkan tangannya. Nissa menangkupkan kedua tangannya.
"Maaf, aku lupa kalau kamu tidak ingin menyentuh yang bukan mukhrim!"
"Lebih baik saya pulang, hari semakin malam!" ujar Nissa, Radit menahan tangan Nissa. Seketika tubuh Nissa membeku, hangat tangan Radit membekukan tubuh Nissa. Sentuhan pertama yang dirasakan oleh Nissa.
"Ahmad Dzaky Raditya, aku calon suamimu. Dia asisten pribadiku!"
"Anda sengaja menguji saya!" ujar Nissa kesal, Radit mengangguk seraya tersenyum.
"Jelas aku harus mengujimu, tidak mungkin aku hidup dengan sembarangan orang!" ujar Radit dengan angkuhnya. Nissa menatap tajam Radit, ada rasa kesal. Namun Nissa hanya bisa diam. Tak ada kata yang mampu terucap. Nissa tak berkutik, pesona Radit benar-benar mengalihkan dunia Nissa. Sesaat Nissa kagum, tapi beberapa menit kemudian. Nissa teringat akan sikap kasar Radit padanya.
"Nissa, kita pulang sekarang!" teriak Amira, membuyarkan lamunan Nissa.
"Dia akan pulang bersamaku!" ujar Radit, Nissa menggelengkan kepalanya.
"Tidak akan pernah!" sahut Nissa ketus, Radit terkekeh mendengar jawaban Nissa.
"Dua hari lagi kita menikah. Tidak masalah seandainya kita bulan madu lebih dulu!" bisik Radit nakal, Nissa bergidik ngeri.
"Aku bukan wanita murahan yang bisa anda beli!"
"Nyatanya kamu wanita yang digadai keluargamu demi melunasi hutang padaku!"
"Aku memang wanita pelunas hutang, tapi bukan wanita pemuas napsu semata. Silahkan miliki aku, tapi setelah anda mengucap ijab qobul. Meski pernikahan ini hanya permainan bagi anda. Namun bagi saya ini pernikahan suci dan abadi!"
"Kita lihat saja nanti!"
"Saya permisi, assalammualaikum!" pamit Nissa sopan. Nissa berjalan menghampiri Amira. Radit menatap punggung Nissa, tatapan yang penuh tanda tanya. Menatap masa depan bersama wanita yang belum pernah dikenalnya. Namun mulai mengusik jiwa laki-lakinya.
"Pastikan dia pulang dengan selamat. Persiapkan pernikahanku dengan baik. Malam ini aku keluar kota. Aku akan kembali satu jam sebelum akad nikah!"
"Baik tuan muda!" sahut Firman, asisten Radit.
"Ingat, dia calon istriku. Wanita penebus hutang, gadis pengejar senja yang akan kujadikan sebagai pengganti senja di rumahku. Akan kupastikan dia membayar hutang seluruh keluarganya!" ujar Radit tegas dan sinis.
Dua hari berlalu begitu saja, Nissa menjalankan hidupnya tanpa beban. Pertemuan dengan Radit dua hari yang lalu. Tak sedikitpun mengusik ketenangannya. Tak terbesit dalam benak Nissa, membatalkan rencana pernikahannya. Nissa memilih terus melangkah menuju hidup dan status baru. Hanya satu hal yang membuatnya sedih, Nissa melangkah tanpa ditemani ibu kandungnya. Kerinduan yang tak mampu dibendungnya. Kesepian yang selalu ada dalam hati dan jiwanya.
"Nissa sayang, semoga bahagia!" bisik Amira, kedua tangan Amira mengalung mesra di leher Nissa.
Nissa menggenggam tangan sahabatnya. Gaun pengantin berwarna putih terlihat indah dan anggun melekat di tubuh Nissa. Amira takjub melihat sang sahabat yang berbeda. Nissa cantik dengan make up natural. Amira mengusap air matanya, rasa bahagia melihat sahabatnya akan menikah. Sekaligus sedih, tatkala dia menyadari status Nissa yang tak labih dari pengganti. Penebus hutang keluarga pada sang tuan muda kaya dan arogant.
"Terima kasih, hadir dalam pernikahanku. Setidaknya salah satu diantara mereka semua. Kamu satu-satunya orang yang peduli akan bahagiaku. Amira, kamu penguatku!" ujar Nissa lirih, Amira menganggukkan kepalanya. Amira menyandarkan kepalanya tepat di pundak Nissa.
Nissa dan Amira menatap langit biru dari jendela kamar Nissa. Keduanya larut dalam pemikiran tanpa batas. Nissa merenungkan langkah besar yang diambilnya. Menikah dengan seorang duda dengan anak satu tidaklah berat. Namun menjadi istri pengganti yang tak dihargai. Melupakan senyumnya, demi mengutas senyum sang tuan muda dan keluarganya. Bukanlah hal yang mudah dilalui. Langkah yang tak sejalan dengan suara hatinya. Rasa sakit teracuhkan yang diterima Nissa di dalam keluarganya. Mungkin akan terulang dalam biduk pernikahannya.
"Nissa, cepat keluar. Dia sudah datang!" teriak Syakira, kakak perempuan yang selalu menindas Nissa.
"Iya!" sahut Nissa, lalu berjalan ke arah pintu. Amira membuka pintu kamar Nissa. Nampak Syakira berdiri dengan angkuh di depan kamar Nissa.
Syakira Asyiffa Ghinayah, saudara perempuan Nissa. Saudara sambung yang berbeda ibu dengan Nissa. Keduanya lahir dari dua rahim yang berbeda. Satu hal yang membuat Nissa teracuhkan tak lain. Status sang ibu sebagai istri kedua. Sikap angkuh Syakira didapat dari statusnya sebagai anak dari istri pertama. Termasuk menolak pernikahan yang seharusnya dilakukan Syakira. Namun Syakira memaksa Nissa menggantikannya. Semua karena usia dan status Radit yang tak lagi lajang.
"Laki-laki tua itu sudah datang. Cepat turun dan ikut pergi dengannya. Silahkan menjadi nyonya besar di rumahnya. Aku tidak akan menganggu hidupmu mulai dari sekarang!" ujar Syakira sinis, Amira melotot penuh amarah. Benteng terdepan yang akan melawan siapa saja demi Nissa.
"Diam kamu!"
"Amira, antar sahabatmu menuju pelaminannya. Setelah ini, kamu tidak akan ada kesempatan melihat senyumnya. Dia hanya akan menangis dan menangis!" ujar Syakira ketus, Amira semakin kesal. Namun langkah Amira terhenti, tatkala tangan Nissa memegang pergelangan Amira dengan sangat kuat.
"Kak, aku akan turun. Kakak tenang saja, setelah ini kakak tidak melihatku. Bahkan suara napasku tidak akan pernah terdengar di rumah ini!"
"Itu yang aku tunggu selama puluhan tahun. Semenjak kehadiranmu, hidupku berantakan. Mama kehilangan tawanya, setiap kali melihat wajahmu yang jelek. Wajah yang mengingatkan mama akan pengkhianatan papa dan ibumu!"
"Kakak berhak menghinaku, tapi jangan pernah menghina orang tuaku!"
"Memang itu kenyataannya. Ibumu alasan setiap tetes air mata ibuku. Sekarang bersiaplah menebus setiap tetes air mata ibuku. Jadilah istri laki-laki tua itu. Menangislah tiap detik dalam hidupmu. Kamu akan hidup dalam kesengsaraan. Bahkan mati mungkin jauh lebih baik. Menikahlah dengan laki-laki itu, bukan hanya untuk menebus hutang papa. Namun hutang ibumu pada ibuku!" ujar Syakira sinis penuh kebencian. Amira meradang, dia maju ke depan Syakira.
Amira merasa kesal dan sakit hati mendengar perkataan Syakira. Nissa terdiam membisu, bukan karena dia takut melawan Syakira atau membenarkan perkataan Syakira. Nissa lebih takut reaksi sang papa. Seandainya terjadi pertengkaran antara dirinya dan Syakira. Bagaimanapun mereka berdua saudara sekandung, tapi beda ibu.
"Amira lebih baik kita turun. Kak Syakira tidak akan berhenti menghinaku. Dia tidak akan pernah puas menghinaku. Kecuali aku jauh darinya dan keluarga ini!" ujar Nissa, sembari menarik tangan Amira. Nissa meminta Amira menjauh dari Syakira.
"Nissa, dia keterlaluan!" ujar Amira dengan nada kesal. Syakira tersenyum penuh kemenangan. Melihat Nissa diam mengalah, seolah hal yang begitu membahagiakan.
"Percuma Amira, dia tidak akan berhenti. Hentikan sekarang atau papa akan naik ke atas. Tatapan tajam papa mengarah ke arah kita. Aku sudah menceritakan kondisi papa. Aku harap kamu bisa mengalah pada kak Syakira!" bisik Nissa, Amira menoleh ke bawah. Nampak ayah sahabatnya tengah menatap ke arah mereka. Sontak Amira menutup mulutnya dengan tangan. Kekesalannya pada Syakira hilang. Amira mengingat cerita Nissa akan kondisi ayahnya.
"Baiklah, kita tinggalkan nenek lampir. Semoga dia kesepian seumur hidupnya!" ujar Amira dengan nada tinggi. Syakira melotot, amarahnya tersulut mendengar perkataan Amira. Kekesalannya semakin dalam, saat Nissa dan Amira berlalu begitu saja.
"Awas kamu Nissa, senyummu tidak akan lama. Pernikahanmu akan membawa derita seumur hidupmu!" gumam Syakira, tatapan tajamnya mengikuti langkah turun Nissa dan Amira.
Nissa dan Amira hilang dari pandangan Syakira. Keduanya turun menuju pelaminan. Nampak ayah Nissa yang terpaku menatap putrinya. Tatapan sendu mengiringi langkah putrinya. Pernikahan yang seharusnya membawa kebahagian. Nyatanya kini meninggalkan penyesalan dalam hatinya.
"Maafkan papa!" ujar Ardi, Nissa menggeleng lemah. Nissa mengangkat tangan sang ayah. Mencium lembut punggung tangan ayahnya. Ardi terenyuh, hatinya terasa ngilu. Menyadari dirinya alasan pernikahan ini terjadi.
"Setelah hari ini, tangan papa akan menjadi yang kedua dalam hidup Nissa. Sebab itu, Nissa ingin meninggalkan papa dengan perasaan tenang. Jangan pernah salahkan diri papa. Semua yang terjadi sudah tertulis. Doakan Nissa bahagia dunia akhirat. Menemukan imam yang mampu menuntun Nissa menuju jannah-NYA!" ujar Nissa, sesaat setelah dia mencium punggung tangan Ardi.
"Sampai kapan salam perpisahannya? Aku sudah sangat lelah. Kita mulai sekarang atau tidak sama sekali!"
"Maaf tuan Radit!" ujar Ardi menghiba, Nissa menurunkan tangan Ardi. Nissa melarang Ardi menghiba pada Radit Nissa bahkan meminta sang ayah mengangkat wajahnya.
"Dia calon putra menantumu, bukan tuan muda yang sedang menagih hutang. Tegakkan kepala papa, lalu nikahkan aku dengannya sekarang!"
"Tuan besar, silahkan tunggu saya di pelaminan!" ujar Nissa menyindir Radit. Amira terkekeh, sebaliknya Radit tersenyum simpul. Senyum yang menyimpan banyak tanda tanya.
"Aku akan menunggumu, bukan hanya di pelaminan. Aku akan menunggumu datang dalam hidupku. Agar aku bisa menyandarkanmu arti sebuah kekuasaan. Akan kupastikan kamu mengingat setiap detik saat bersamaku!" sahut Radit, Nissa diam menatap calon imam dunia akhiratnya.
"Aku akan datang, karena aku bukan pengecut!" ujar Nissa sinis, Radit tertawa. Suara tawa yang membuat Ardi termenung. Tawa Radit seolah pertanda kesengsaraan putrinya.
"Maafkan papa!" batin Ardi pilu.
"Papa!"
"Iya Syakira!"
"Siapa laki-laki tadi? Kenapa dia menuju pelaminan?"
"Achmad Dzaky Raditya, calon suami Nissa!" ujar Ardi tegas dan lantang. Syakira terdiam tak percaya.
"Tidak mungkin, bukankah yang akan menikah dengan Nissa itu laki-laki tua. Kenapa dia tampan dan masih muda?" batin Syakira tak percaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!