NovelToon NovelToon

LOVE OR DEAD

BAB I: PERTEMUAN DENGANNYA

Suara ombak yang menghempas batu karang, angin dingin membelai rambut panjangku. Aku terduduk di bebatuan diatas batu karang sambil menatap laut di kegelapan malam. Malam dingin di Hokkaido penuh dengan keheningan dan bintang yang bertaburan di langit.

Megumi menghela nafas panjang sambil memeluk kedua kakinya di sampingku.

“Chiyo, malam ini begitu dingin. Mari kita pulang, ibumu pasti mencari mu”rengeknya.

“Megumi… sedikit lagi, biarkan aku melihat indahnya bintang yang menerangi laut malam ini. Ujian akhir semester telah berakhir, terasa melegakan. Aku ingin menghempas semua penatku disini” sahutku masih menatap deburan ombak.

“Meski kita akan naik ke kelas XII tapi aku masih belum lega, nilaiku terus memburuk. Apalagi di kelas XII aku harus memperbaiki semua nilai – nilaiku” curhatnya.

“Belajarlah lebih baik lagi, ambilah les private untuk meningkatkan nilaimu. Tetap semangat, tak ada yang tak mungkin” aku pun memberinya semangat dan merangkulnya sambil tersenyum.

Pukul 21.00 terasa pantai Shiretoko mulai sepi, kami berjalan berlarian menuju arah keluar pantai. Tiba – tiba Megumi tak sengaja menabrak segerombolan anak laki – laki berpakaian serba hitam.

“Hei dimana matamu?!” tanya seorang laki – laki berambut panjang berwarna coklat sebahu yang terkuncir.

“Maafkan aku, tadi aku terlalu bersemangat sampai tak melihat kearah depan” jawab Megumi agak takut.

“Wah, mataku terkena serpihan pasir pantai nih gegara ditabrak anak ini” sahut laki – laki berparas ikan buntal dengan tubuh gempal.

“Temanku sudah minta maaf, tolong jangan diperpanjang” kataku sambil merangkul Megumi.

“Enak sekali minta maaf, kalian harus berlutut dulu. Mungkin akan kami maafkan” tambah laki – laki beralis panjang dengan dagu lancip, wajahnya memuakkan.

Aku pun pasang badan, aku berdiri selangkah lebih depan dari Megumi sambil menatap tajam ke laki – laki berdagu lancip itu.

“Jangan kelewatan kalau bicara, kami beritikad baik. Kalau kalian mencoba mengganggu kami, aku akan berteriak” ancamku.

Si ikan buntal maju berdiri menghadapiku dengan tangan di pinggang lalu dia berkata “Memangnya kami takut, siapa yang salah disini. Gadis cantik, harusnya kamu nurut aja. Jangan bikin kami marah”.

Megumi dengan bergetar, memegang tangan kananku dan berkata lirih “Sudah ikuti saja kemauan mereka, daripada kita diapa – apain sama mereka. Kita bukan lawan mereka, sekuat apapun dirimu mereka 7 orang”.

“Mundurlah, telephon Hiroshi sekarang. Aku akan menghadapi mereka” bisikku.

Perlahan Megumi mundur dan mulai menjauh.

“Mau kemana tuh anak, kabur yah?” tanya laki – laki berambut coklat.

“Wah – wah, kamu ditinggalin tuh. Siap menerima hukuman dari kami sendirian nih?” tanya laki – laki berdagu lancip.

“Aku disini hanya ingin mengucapkan permohonan maaf, dan urusan kita selesai” jawabku tegas.

Si ikan buntal tertawa “HA… HA… HA…tak semudah itu”. Dia yang ada dihadapan ku kemudian memegang bahu kiriku dengan tangan kanannya.

Tak tahan dengan drama mereka yang menguras waktuku, seketika aku meremas tangan kanannya yang ada di pundakku dengan kedua tanganku dan memelintir tangannya. Hingga tubuhnya condong ke bawah dan aku tendang dengan kaki kananku. Si Ikan buntal itu tersungkur di pasir, sedangkan teman – temannya mulai maju.

“Hei gadis cantik, nampaknya kamu jago juga melawan. Jangan salahkan kami kalau tubuhmu hancur karena kami” seorang laki – laki dengan tubuh paling tinggi yang sedari tadi diam mulai angkat bicara.

“Lawan aku kalau bisa” kataku tersenyum sambil siap – siap untuk melarikan diri dari mereka.

Aku pun berlari sekuat tenaga dan dikejar oleh segerombolan anak badung itu. Setidaknya kakiku terlatih tiap hari berlari mengejar bus ke sekolah. Angin malam yang dingin menghantam diriku yang terus berlari di kejar – kejar. Megumi pasti sudah ditempat yang aman dan menunggu Hiroshi. Tinggal aku yang harus mencari tempat persembunyian.

“Hei jangan lari, kami pasti mendapatkanmu dan menghabisimu!” teriak si dagu lancip yang terus berlari mengejar ku bersama teman – temannya. Tunggu kenapa ada 6 orang dimana 1 orang, ada 1 orang yang tidak ikut mengejar ku. Setidaknya si ikan buntal sudah kehabisan nafas dan menyerah, yupss… tinggal 5 orang lagi.

Nafasnya sudah tidak sanggup lagi untuk terus berlari, aku pun menemukan box di pinggir sebuah kedai dan mulai bersembunyi di balik box itu. Nampak mereka masih berlari – lari di depan kedai, aku mengatur nafasku agar tidak ketahuan. Setelah ku pastikan aman, aku pun berjalan ke arah yang berlawanan.

Ponselku berdering, aku pun mengambil ponsel dari saku celana panjangku. Nampak tertulis “Hiroshi” akhirnya aku terselamatkan. Saat aku berjalan di pinggir jalan dan menatap ponsel kemudian menekan tombol angkat telepon, nampak ada sepatu kets warna hitam menghalangi jalanku. Saat aku menatap ke depan, seketika aku tercengang.

“Kamu…”kataku, seketika dia menjambak rambutku yang terurai dengan kasar. Tangan kanannya yang meraih rambutku seperti angin, gerakan tangannya sangat cepat.

“Aaaa…..sakit, tolong…!!!” teriakku sembari mencari pertolongan. Tapi tak ada satu pun yang lewat, malam itu benar – benar hening jauh dari jangkauan orang. Bahkan kedai yang diujung jalan sana pun tak terlihat dengan mata.

Dia laki – laki berwajah paling pucat dengan menghisap sebatang rokok yang berdiri paling belakang dan menghilang dari gerombolan tadi, saat teman – temannya mengejarku.

Dia menendang perut, menginjak tanganku yang memegang ponsel. Lalu mengambil ponselku dan melemparnya ketengah jalan. Dia bukan tandinganku, gerakannya sangat cepat dan wajah datarnya sangat tidak bisa diprediksi.

Sial tidak ada CCTV di sepanjang jalan ini, kalau aku mati pun tidak akan ada yang tahu.

Aku yang masih tersungkur di trotoar sambil merintih kesakitan memegangi tanganku yang diinjak hanya bisa menahan amarah dan menatapnya tajam. Dia berjongkok di sebelahku, mengeluarkan korek api dan menyalakan rokok. Begitu santainya dia menatapku sambil menghisap rokok, membuang asap rokoknya ke wajahku.

Sedangkan di seberang terdengar suara Hiroshi memanggilku di telephon.

“Chiyo… kamu dimana, jawab aku.. ku mohon jawab aku” suara itu kemudian mati.

“Namamu Chiyo?” tanyanya dengan wajah datar.

Aku hanya diam dan terus menatap tajam padanya.

Tubuhnya yang atletis nampak dia sangat terlatih, kulitnya yang putih pucat itu penuh dengan otot. Dia yang mengenakan hoodie dan topi berwarna hitam serta celana panjang hitam, sangat menakutkan.

“Tadi bisa berteriak, sekarang pura – pura bisu. Apakah aku harus merobek mulutmu?” begitu datarnya intonasi suaranya tapi semakin di dengar semakin menakutkan.

“Apa maumu?” tanyaku mencoba menenangkan diri dan tidak ingin terintimidasi dengan auranya yang mengerikan.

“Aku suka matamu benar – benar indah, tatapanmu sangat berani. Tak ada yang berani menatapku seperti itu, haruskah aku mencongkel kedua bola matamu untuk kenang – kenangan?” katanya kemudian tersenyum padaku.

Senyum dingin yang tak pernah bisa aku lupakan…

Tiba – tiba ada nada dering ponsel berbunyi, dan itu ponselnya yang ada di saku.

“Hei Asahi, ada apa?” tanyanya sambil memegang ponsel dan ditempelkannya ke telinga kirinya.

Entah apa jawaban dari ponsel itu, kemudian dia beranjak berdiri dan pergi meninggalkanku.

Aku terselamatkan karena panggilan telepon itu, Tuhan menolongku. Syukurlah aku tak mati konyol karena si vampire itu. Aku menyebutnya vampire karena kulitnya yang putih pucat dan tatapan matanya yang datar.

Hiroshi dan Megumi pun menemukanku, dan aku dilarikan ke rumah sakit dikarenakan ruas jari tangan kananku patah diinjak oleh si vampir sialan itu.

Keesokannya...

Sinar matahari masuk melalui jendela rumah sakit, aku mendapati ayah duduk di seberang ranjangku dengan wajah tenang dan tangan berpangku di dada.

“Selamat pagi ayah” sapaku sambil tersenyum sembari beranjak duduk di ranjang.

“Hmmm… kamu berkelahi dengan siapa?” tanya Ayah tanpa basa basi.

“Owh… entahlah hanya anak jalanan yang tak jelas” jawabku sambil cengengesan.

“Tanganmu harus di gips selama 1 bulan untuk bisa pulih, selama itu pula ayah tidak akan mengizinkanmu keluar tanpa anggota keluarga” Ayah pun memberi hukuman kurungan di rumah karena merasa khawatir. Aku bisa melihat wajahnya penuh kekhawatiran.

BAB II : SIAPA DIA?

Hiroshi dan Megumi hampir setiap hari datang ke rumah sakit menjengukku. Begitu pun dengan hari ini, Megumi duduk di samping ranjangku berceloteh panjang lebar sambil mengupas apel.

“Entah kenapa aku selalu merasa bersalah Chiyo, seharusnya aku tak meninggalkanmu malam itu. Aku sangat panik saat mendengar suaramu minta tolong di telephone waktu itu…”.

“Sudahlah, kamu seperti kaset kusut terus menyebut malam itu. Memang aku yang menyuruhmu pergi, jangan terlalu dipikirkan. Aku masih hidup dan baik – baik saja, hentikan drama mellow mu itu. Matamu sudah sembab begitu masih nangis terus. Aku yang capek lihatnya”.

“Jangan uji nyali lagi menghadapi anak – anak nakal diluar sana, hari ini jarimu besok bisa yang lainnya dari anggota tubuhmu yang jadi sasaran” Hiroshi yang berdiri bersandar di kaca jendela menghadap kearah ku pun ikut ceramah.

“Baiklah” sahutku dengan cemberut.

“Untung kita masih libur musim panas, coba saja kalau kita masuk sekolah. Kamu nggak bisa ngapa – ngapain dengan jarimu yang patah itu” tambah Megumi.

“Ibumu akan datang sebentar lagi, setelah menyelesaikan produksi di toko kue. Bibi Haruka paling marah saat tahu kamu masuk rumah sakit. HAHAHAHA… ibu yang lain pasti menangis tapi lain hal dengan beliau” Hiroshi pun begitu puas mengakatannya.

Jujur saja ibuku adalah sosok paling aku takutkan. Ibu dan ayah membuat toko kue tradisional sejak aku kecil karena kecintaan ayah dengan kue. Namun aku paling tidak bisa membuat kue, dan kehidupanku sehari – hari adalah belajar dan berkelahi. Ibuku sangat hemat, sehingga setiap aku berkelahi dan lalai kemudian masuk rumah sakit. Ibuku paling complaint dengan biaya rumah sakit yang menjadi pengeluaran terbesar setiap tahunnya karena ulahku. Semenjak aku masuk rumah sakit terhitung 3 hari hingga sekarang, ibuku baru akan mengunjungi ku. Aku harus menyiapkan mental baja bertemu dengannya.

“TAP . . . TAP. . .  TAP” suara langkah kaki yang berhenti di depan pintu. “SREEKKKK…” pintu geser pun terbuka.

“Bagaimana kabarmu anak nakal!” teriak ibuku seketika Megumi berdiri yang sedari tadi duduk dan menundukkan kepalanya. Hiroshi hanya tersenyum sembari menatapku.

Aku pun mencoba berpura – pura tersenyum.

“Ibu sudah datang, bagaimana apakah toko kue kita sangat sibuk dalam proses produksi?” tanyaku basa-basi.

“Sangat sibuk harusnya kamu tahu itu dan tidak perlu dipertanyakan, dan kenapa kamu malah cari gara – gara sehingga masuk rumah sakit lagi tahun ini!!!” jawab ibuku sembari melempar bunga yang dibawanya ke arahku dan memukuliku dengan bunga itu hingga kelopak bunganya berserakan di ranjang dan lantai.

“Ampun bu… aku hanya kurang gesit menghadapi serangannya. Iya, aku yang salah dan sudah jangan pukul lagi” mintaku sambil mencoba menangkis pukulan ibu dengan tangan kiriku yang terus meleset.

Megumi hanya bengong dan Hiroshi tertawa terus menerus.

Setelah siangku yang penuh drama kebrutalan ibu yang menjengukku, malam ini aku harus mencari udara segar di rumah sakit yang begitu hening dan membosankan. Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan tangan kanan di gips dan tangan kiri diinfus. Ku dorong tiang infus yang tergantung sekantong infus bening diatasnya sambil menyusuri lorong. Tiba – tiba rumah sakit heboh suara teriakan dari luar gedung rumah sakit menggema dimana – mana.

Aku bingung suster penjaga pun ikut berlari melihat kearah jendela, dan semua orang yang ada di lorong lantai 3 berbisik – bisik.

 “Ada yang terjun dari atap rumah sakit”.

“Bunuh diri, itu pasien masih mengenakan baju pasien”.

Aku terdiam dan membeku dalam keramaian lantai 3, dalam hatiku berkata “Bunuh diri, siapa?”.

Tiba – tiba ada seseorang merangkulku dari belakang, dan mengajakku berjalan berlawanan arah.

“Masuk kamar saja, pasien harus banyak istirahat. Kalau tidak nanti diistirahatkan lho” katanya lirih.

Ekor mataku melihat jas putih dokter yang di sampingku, tapi aku tak berani menatap wajahnya. Aku tahu betul siapa yang ada di sampingku, dengan suara datar dan intonasi dinginnya membuatku bisa mengidentifikasi dirinya dengan cepat.

Ingin sekali aku berteriak, tapi lidahku kelu dan aku hanya bisa terdiam tanpa bisa minta tolong.

Ada seseorang dengan segaram petugas rumah sakit sedang mendorong troli, dia mengenakan topi berjalan dari ujung koridor rumah sakit. Lalu mengarah kearah kami, saat aku mencoba untuk meminta tolong dan menatapnya. Wajah dibalik topi itu adalah si dagu lancip yang menyamar sebagai petugas rumah sakit. Dia tersenyum kepadaku, aku pun hanya bisa terdiam terpaku.

Sedang apa mereka disini, dan apa mau mereka kepadaku.

Vampir itu memasukkan ku ke dalam kamarku, dan menarik ku menghadap luar jendela. Tepatnya melihat kearah bawah keramaian yang terjadi karena adanya yang bunuh diri.

“Indah kan..” katanya sambil tersenyum dingin.

“Kamu membunuhnya?” tanyaku sembari mencoba untuk tetap tenang.

“Hmmm… menurutmu bagaimana apakah dia terbunuh olehku atau dirinya sendiri?” tanyanya balik lalu menarik selang infus dengan kasar dari tanganku.

“AAAAUUUU…” seruku yang merasa sakit karena infus yang tercabut paksa dari nadiku.

Lalu dia berbaring di ranjangku, menepuk – nepuk bantal dan memastikan dirinya nyaman. Sangat kekanak – kanakan dan aku membencinya.

“Apakah kamu mencari keberadaan ku hingga kesini?” tanyaku memastikan dengan tatapan tak suka yang mengarah kepadanya.

“Percaya diri sekali kamu ini, memangnya sepenting itukah dirimu bagiku? Ini namanya keberuntungan, saat aku mencoba mengejar tikus dan ternyata ada kelinci yang ikut bersembunyi di sarang yang sama. Tikus telah mati karena ulahnya sendiri, akankah kelinci juga demikian. Hmmm… entahlah” jawabnya yang terbaring sambil menutup mata dengan lengan kirinya.

Aku mencoba melangkah pelan untuk kabur, dan mengecohnya dengan pertanyaan lain.

“Lantas apa sebenarnya maumu?”.

“Hmmm… mauku adalah bermain dengan kelinci itu”.

Aku berlari kearah pintu dan membukanya, ternyata si dagu lancip berdiri di balik pintu. Sambil tersenyum, dia menutup kembali pintu yang ku buka.

Aku terus berpikir apa yang harus aku lakukan, tidak mungkin melawannya dengan kedua tanganku yang cedera. Tapi aku harus cari cara untuk lolos, berteriak pun dia akan membungkamku.

“Kemarilah, atau aku akan melempar pisau dari sakuku ke arahmu” ancamnya.

Mencoba untuk tenang, aku berjalan pelan kearahnya. Aku berdiri di pinggir ranjang sambil menatapnya dengan perasaan campur aduk.

Dia menyisihkan lengannya dan membuka matanya, memiringkan tubuhnya dan menatap ke arahku.

“Kamu tak seberani itu, rasa takutmu sudah nampak” katanya.

Aku melirik sebelah kananku ada vas bunga berisi bunga, bahannya keramik porselen diatas meja sebelah ranjang. Aku berpikir mengambilnya dan memukulkannya ke kepala si vampir ini.

“Kamu ingin melempar vas bunga itu? Cobalah” katanya mencoba membaca pikiranku.

“Menurutmu kepalamu sekeras batu, sampai kamu mau uji nyali” sahutku tak gentar.

Lantas dia mengambil vas bunga itu dan menghantamkannya ke kepalanya “PRAKKK…!”.

Vas bunga itu pecah berkeping – keping, kepalanya nampak berdarah. Darahnya mengalir ke dahinya. Pemandangan ini membuatku semakin takut kepadanya. Tubuhku membeku, dengan tatapan dinginnya padaku seakan ingin menunjukkan aku tak akan bisa mengalahkannya.

Dia pun kemudian meraih kepalaku, dan membenturkan dahinya ke dahiku.

“Ku mohon hentikan” kataku tegas, aku harus berada dalam ketenangan untuk menaklukan rasa takutku dan melawannya.

“Membunuhmu adalah hal sangat mudah, tapi bagiku kamu bukanlah untuk dibunuh. Jadi bertahanlah hingga aku puas denganmu” bisiknya ditelingaku. Lalu mencium tangan kananku yang di gips dan pergi meninggalkanku.

Aku lemas, dan runtuh ke lantai. Terdiam dan tak bisa melakukan apapun.

Semalaman aku tidak bisa tidur, hingga keesokan harinya Hiroshi datang menjenguk.

“Kamu kenapa?” tanyanya sambil menatapku dengan begitu dalam.

“Aku lapar” jawabku berbohong mengalihkan kekhawatiranku.

“Mau makan apa, akan aku pesankan untukmu” tanyanya Kembali.

Lantas aku memeluknya yang berdiri di pinggir ranjangku.

“Terimakasih, apa saja akan aku makan” jawabku.

Dia pun menyambut pelukanku dan membelai rambutku dengan lembut.

“Tenanglah, aku akan selalu berada di sisimu” dia mencoba menenangkanku.

Hiroshi adalah anak dari paman Fukoda yakni pemilik hotel Bintang lima di Hokkaido, konglomerat ke - 2 di Hokkaido yang memajukan lokasi wisata di sepanjang Kawasan tersebut. Dia adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Ayahnya adalah teman satu sekolah SMP ayahku. Keluarga kami sangat dekat, sedari kecil Hiroshi selalu bersamaku dan melindungi ku. Kami bagaikan saudara kakak dan adik, dia sangat sabar menerima kemanjaan dan kenakalanku. Dia tahu aku anak semata wayang, sehingga hari – hariku sangat kesepian. Masa kecilku hanya bermain di toko kue atau berkelahi di taman bermain. Hiroshi lah yang selalu menghampiriku saat aku bersedih dan kesepian. Dia adalah orang yang paling aku sayangi setelah kedua orang tuaku.

Begitu sabarnya dia menyuapiku makan, mengupas dan mencuci buah untukku. Dia sangat perhatian meski begitu aku tak ingin dia khawatir tentangku.

“Tadi malam ada yang bunuh diri seorang pasien di kamar 206 dilantai 5, dia lompat dari atap rumah sakit. Beritanya menjadi headline news di setiap pemberitaan di media. Apakah tadi malam kamu tahu akan kejadian itu?” tanyanya.

“Apakah dia benar – benar bunuh diri? Mayatnya sudah diotopsi kah? Mungkin itu dugaan sementara kali?”tanyaku memastikan.

“Apakah kamu curiga dia dibunuh? Menurut CCTV dia pergi ke atap sendiri, dia sedang dalam kondisi depresi secara riwayat kesehatannya. Dia depresi setelah terlilit hutang milyaran yen dan ditinggalkan istri dan anaknya. Itulah yang dibahas di berbagai media. Tapi sepertinya kita tidak perlu membicarakan orang sudah tiada. Lusa kan kamu sudah pulang ke rumah, jadi bersabarlah kurang beberapa hari lagi kamu menginap disini” katanya.

“Baiklah” jawabku singkat sambil tersenyum.

Apakah benar tak ada bukti sama sekali mengenai kejadian malam kemarin, si vampire pasti mendorongnya dari atap rumah sakit. Jadi siapa sebenarnya yang berhadapan denganku saat ini? Apakah dia pembunuh bayaran, atau dia pembunuh berantai setidaknya aku tak harus jadi korban selanjutnya.

BAB III : AKU DICULIK

Setelah Hiroshi pergi, aku mencoba untuk tidur. Tak akan ada yang pernah tahu, apakah si vampire sialan itu kembali menghampiriku.

Malam pun tiba dengan hati yang berkecamuk, aku terus menatap jarum jam di jam dinding yang terpasang di tembok depan ranjangku. Jarum jam pendek menunjukkan angka 10, tepat pukul 10.00 malam tak akan ada yang bisa keluar masuk rumah sakit sembarangan. Kecuali mereka menyamar seperti kemarin, mereka bukanlah gerombolan anak nakal amatir. Semua yang mereka lakukan sangatlah rapi dan terorganisir.

Keheningan malam ini, tak bisa membuatku terlelap karena pikiranku sedang porak poranda karena dirinya. Saat aku mencoba memejamkan mata, ada suara langkah kaki yang menggema di lorong rumah sakit “TAP. . .TAP. . . TAP”. Aku terus menutup mataku mencoba untuk tertidur, ku raih selimut menutupi wajahku.

“SREKKKK….” Jelas suara pintu geser itu dibuka dan kembali di tutup. Langkah pelan mendekatiku, aku mencoba mengatur nafasku seolah – olah diriku tertidur. Ada yang menarik selimutku dengan kasar, “SRETTTT…”. Aku tetap menutup mataku, pura – pura tidur. Ada yang menaiki ranjang kemudian duduk diatas perutku, seakan ada jemari menggerayangi leherku. Dengus nafas seseorang aku rasakan begitu dekat dari wajahku. Dia pun berbisik pelan ditelinga kiriku, “Aku datang, sambut aku dengan mata indah mu. Atau selamanya kamu tak akan melihat dunia ini lagi”.

Seketika aku terbelalak, nafasku memburu sekujur tubuhku bergidik ngeri. Wajah datar dengan tatapan sadis itu tepat di atas wajahku, sedang memandangiku. Kedua tangannya sudah berada di leherku, dia ingin mencekik ku!.

“Kamu takut, cukup takut atau sangat takut? Pilihlah jawaban yang tepat agar kamu selamat” katanya.

“Aku tak takut padamu, puas” jawabku ketus meski aku menyadari dia sangat menakutkan.

“Benarkah? Lantas kenapa kamu pura – pura tidur, padahal kamu menungguku” sindirnya.

“Aku memang ingin tidur, dan jangan terlalu percaya diri untuk ditunggu” aku pun muak menjawabnya.

Wajahnya yang begitu datar itu, dengan mata yang sadis menatapku tanpa ekspresi. Tangannya perlahan mengeratkan pegangannya pada leherku. Aku mencoba melepaskan tangannya dengan tangan kiriku yang terinfus. Cekikannya membuatku sulit bernafas, tapi aku tetap berusaha bertahan.

“Hen..ti…kan, le..pas…kan” kataku yang tak memiliki nafas yang cukup.

Dia pun melepaskan leherku dan aku pun terbatuk sembari menata nafasku. Dia terdiam melihatku kesakitan, lantas membelai rambutku dengan kasar dan berkata “Aku sudah bilang pilihlah jawaban yang tepat, dan jangan coba untuk berbohong”.

Dia beranjak bangun dari atas tubuhku dan berdiri menjauhi ranjangku, berjalan ke arah jendela.

“Disini sangat membosankan, mari kita menghirup udara segar diluar” ajaknya yang memunggungi ku.

“Pasien dilarang untuk keluar tanpa izin” ujarku.

“Aku yang mengizinkannya, kita akan berpesta merayakan keluarnya dirimu dari rumah sakit” kata lalu menoleh ke arahku.

"Aku tak sudi berpesta denganmu, ku mohon pergilah jangan ganggu aku" tolak ku tegas.

"Siapa yang memberimu pilihan untuk menolak, semua keputusan ada di tanganku. Begitupun hidup dan matimu".

" Bukan hakmu untuk memerintah ku... " kataku terpotong.

Si ikan buntal masuk membawa sekantong plastik dan kursi roda.

“Hai apa kabar gadis nakal, aku datang menjemputmu” sapanya.

Aku mencoba menekan tombol darurat di samping ranjangku, dengan sigap si ikan buntal menghalangiku.

“Kalian ingin menculik ku, aku akan berteriak sekarang juga!” kataku dengan nada tinggi, aku sangat panik.

Lantas si ikan buntal menusukkan jarum suntik ke leherku, aku pun tak sadarkan diri.

Saat aku mencoba untuk membuka mataku, dentuman music begitu keras mulai terdengar di telingaku. Seakan getaran sound system terasa merayapi tubuhku, tercium aroma rokok yang begitu pekat. Samar – samar aku pandangi sekelilingku begitu banyak orang. “Aku dimana?” gumamku dalam hati.

Aku terbaring dengan tubuh miring di sofa menghadap meja kaca yang besar, sedangkan kepalaku diatas paha seseorang yang mengenakan celana panjang hitam. Aku memfokuskan pandanganku keatas, wajah itu sepertinya tak asing. Tepat tatapan mata kami saling bertemu, mata sadis itu dan ekspresi datar yang paling ku benci.

“Kamu sudah bangun, siapkan dirimu untuk menari di pesta ini” katanya.

Mataku terperanjat, seketika aku terbangun dari pangkuannya lalu ku tatap sekelilingku.

Tujuh orang yang sama berkumpul dalam satu ruangan bersama para wanita dewasa yang mengenakan pakaian sexy dan vulgar.

“Tamu kita sudah terbangun dari tidurnya, mari kita sambut dengan bersulang!!” teriak si ikan buntal dengan sumringah yang diapit 2 wanita dewasa dengan make up yang begitu tebal.

“CHEEERRRRSSSSS!!!”

Tempat macam apa ini dan dimana aku sekarang! Aku hanya bisa terdiam mematung sambil memperhatikan sekelilingku. Ku pandangi kakiku tanpa alas kaki, dan pakaianku berganti. Dress ketat berwarna hitam, super pendek, dengan lengan panjang, dan punggung terbuka. Apakah aku akan dijual dan dilecehkan, apakah mereka menculik ku untuk ini?!.

Si vampir sialan meraih rambutku yang terurai panjang dan menjambak ku begitu kasar dengan tangan kirinya. Lantas tangan kanannya yang sedari tadi memegang sebatang rokok yang menyala, dihisapnya dan dibuangnya kepulan asap rokok dari mulutnya kearah wajahku.

“DASAR BREN%$EK” gumamku lirih menatapnya tajam.

“Ini adalah pesta untukmu, begini caramu menanggapinya. Sangat tidak tahu diri” katanya.

Puntung rokok yang ada ditangan kanannya di masukkan ke dalam gelas berisi minuman keras lalu disiramkan kearah wajahku.

“Mari berpesta” katanya sambil tersenyum dingin.

Semua yang ada di ruangan itu berteriak kegirangan “PESTA!!!!”.

Sangat erat dia merangkul pundakku, dan meremas dengan keras ujung bahuku. Dia seakan sengaja menyakitiku, aku hanya bisa merintih kesakitan dengan hati penuh amarah dan kekhawatiran.

Seorang pria begitu tegap mengenakan jas hitam dengan setelan senada, sangat rapi mengenakan kacamata, berambut hitam, bermata sipit masuk menghampiri kami. Dia lebih tua dari si vampir, usianya sekitar 30 tahunan.

“Hei Asahi…ke marilah” kata si Vampir kepadanya.

Inilah orang yang meyelamatkan ku lewat panggilan telephone malam itu. Asahi, pria yang tak terbilang ramah dan sama dinginnya seperti si vampir.

Dia duduk disebelah kanan si Vampir, nampak dia begitu hormat dengan anak bren%$ek di sebelahku ini.

“Tuan muda Kawaki, strategi kita sudah dilancarkan sekitar 70% dari yang diharapkan” katanya. Lantas dia membisikkan sesuatu ke telinga si Vampir. Seakan memberikan report rahasia yang tak perlu banyak orang tahu.

Jadi orang di sebelahku ini bernama Kawaki, dan dia di panggil tuan muda. Seberapa berkuasanya keluarganya, apakah dia anak konglomerat atau anak Yakuza?. Tapi setidaknya aku tahu, Asahi adalah anak buahnya begitu pun dengan anak – anak muda yang mengelilingi meja yang ada di ruangan ini.

Aku harus bisa menyelamatkan diriku sendiri dari mereka, atau aku akan menjadi korban selanjutnya. Entah apa motifnya dia menculikku, aku harus mencari cara untuk melarikan diri sekarang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!