"Nia ... maafkan Ibu, sayang. Ibu telah menyembunyikan semua ini darimu, karena Ibu tidak ingin kamu bersedih," ucap ibu Lila lirih.
"Ibu, sudahlah. Nia sudah memaafkan Ibu, walaupun ibu tidak meminta maaf sekali pun. Lebih baik, Ibu fokus saja pada pengobatan yang sedang ibu jalani."
Ibu Lila meraih tangan Nia kemudian menciumnya. Menatap sendu ke arah putri semata wayangnya. Anak kesayangan dan juga kebanggaannya.
Sudah dua tahun terakhir setelah perceraiannya dengan Bagus Permana, kini kesehatan wanita itu semakin menurun. Wanita yang kerap kali disapa dengan panggilan Lila itu, tidak sanggup lagi menahan penyakitnya yang semakin parah dan memburuk.
Gadis belia yang menjadi anak semata wayang lila, begitu sangat terguncang ketika dirinya baru mengetahui akan penyakit ibunya. Hal yang baru diketahui olehnya setelah setahun terakhir.
Keluarga besar Lila sudah angkat tangan. Kedua orangtuanya merasa tidak sanggup lagi menanggung biaya rumah sakit. Mereka sudah terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk anak sulungnya itu, disisi lain mereka juga harus membiayai pendidikan yang ditempuh oleh Sella Setiawan, adik dari Lila Setiawan. Sehingga Lila dan juga Nia harus berbesar hati untuk dapat memahami keadaan mereka.
Gadis itu kini hidup dengan hati yang penuh luka. Kakek dan neneknya sudah tidak dapat membantu lebih banyak lagi, Karena mereka sendiri pun juga banyak kehilangan kekayaannya. Hingga mau tak mau, rumah yang menjadi satu-satunya harta yang tersisa terpaksa harus dijual untuk biaya pengobatan ibunya.
"Sayang, jika nanti Ibu tiada. Tolong kabulkan permohonan Ibu ...."
"Ibu, cukup! Jangan berbicara seperti itu lagi! Nia yakin ibu pasti akan sembuh, " tukas Nia dengan menahan kesal.
Bukan kesal karena membenci, namun kali ini dia kesal karena sayang. Takut akan kehilangan sosok wanita itu.
"Dengarkan Ibu sekali ini saja. Ibu mohon kamu mau untuk tinggal bersama dengan ayahmu, ketika nanti dia datang untuk menjemputmu dan mengajakmu untuk tinggal bersama," tutur ibu Lila.
"Tidak ... Nia tidak mau. Sudahlah! Ibu ini bicaranya melantur terus. Nia sudah bilang, jangan terlalu banyak pikiran! Nia yakin jika ibu akan sembuh, " balas Nia dengan kesal.
Tanpa terasa, Nia meneteskan air matanya. Menangisi keadaannya, kehidupannya yang dirasa sangat berat untuk dia tanggung.
Namun siapa yang tahu kelak jalan hidupnya seperti apa ?
Nia mengusap wajahnya kasar. Menatap nanar kearah ibunya. "Nia akan pergi ke kantin sebentar. Ibu istirahat saja selama Nia tinggal dan jangan banyak berfikir lagi."
"Yah, baiklah sayang. Eh.. tunggu!"
Nia yang hendak beranjak dari duduknya seketika itu mengurungkan niatnya.
"Ada apa, Bu?"
"Ibu hanya ingin berpesan untuk yang terakhir kali. Jangan pernah membenci siapapun termasuk ayahmu, nak! Jadilah wanita yang baik hati dan penyayan, kamu bisa kan?" tutur ibu Lila.
"Ibu..." panggil Nia lirih.
Nia kembali meluncurkan air matanya yang sempat mengering. Penuturan ibu Lila padanya seakan menjadi pukulan berat di dadanya. Tanpa banyak bicara lagi, Nia memutuskan untuk bangkit dari duduknya kemudian segera melangkah pergi.
Hatinya begitu sesak setelah mendengarkan penuturan dari ibunya. Dia sungguh masih belum bisa menerima kenyataan. Bukan dia tidak ingin melakukannya, namun hatinya begitu sangat sakit mendapati kelakuan ayahnya yang meninggalkan dia dan ibunya. Bahkan saat ini, Nia meringis pilu ketika teringat jika saat ini ayahnya sudah menikah lagi dengan mantan kekasihnya yang juga sempat menjadi sahabat ibunya.
Tiga bulan sudah berlalu setelah mendapat kabar itu, Nia masih belum bisa menerima kenyataan pahit jika ayahnya menikah lagi. Kini dengan masih menahan luka dihatinya, Nia kembali merasakan sakit yang luar biasa. Semenjak pernikahan sang ayah berlangsung, kondisi ibu Lila semakin menurun dan hal itu sempat membuat Nia semakin membenci ayahnya.
***
"Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa ibu bisa berbicara seperti itu?" ucapnya lirih.
Saat ini Nia sedang berada di mushola rumah sakit. Dia memang tidak ada niatan untuk pergi ke kantin, hanya saja dia memilih alasan itu agar ibunya tidak merasa khawatir.
Nia masih terlihat duduk dengan posisi yang sama sejak selesai menunaikan ibadah shalat dhuhur. Dengan air mata yang terus terurai. Sudah seminggu terakhir dia harus menahan jeritan hati kecilnya ketika mendapati permintaan dari ibu seperti yang baru saja terjadi. Permintaan yang sama yang juga membuat dirinya semakin merasakan sakit.
Dia masih belum bisa menerima akan semua takdir yang telah dialaminya. Merasa sangat marah pada dunia yang saat ini seperti sedang mempermainkan kehidupannya. Takdir yang seakan-akan sedang ingin melihat penderitaannya.
"Ya Allah ... untuk kesekian kalinya, semoga engkau bisa memberikan keajaiban pada ibuku. Sembuhkan lah dia dari penyakitnya, hanya itu keinginanku," ucap Nia sambil menangis pilu.
Rasanya dia hanya ingin menangis untuk saat ini. Sedikit meluapkan kesedihannya pada sang penciptanya.
Setelah beberapa menit berlalu, terlihat Nia sudah sedikit lebih baik dari sebelumnya. Kini dia mulai bangkit dari posisinya. Melepaskan kain panjang yang menutupi seluruh tubuhnya, kain panjang yang menjadi keharusan di dalam agamanya.
Sekali lagi, Nia masuk kedalam kamar mandi. Membasuh wajahnya agar terlihat sedikit lebih segar. Setelah dirasa cukup, Nia segera beranjak pergi dari sana, meninggalkan tempat untuk mengadukan segala sesuatu yang telah dialaminya selama ini. Berjalan perlahan dengan perasaan was-was menuju kamar inap dimana ibunya beristirahat.
Namun matanya membesar dikala dirinya kini berada tepat didepan kamar itu, kamar dimana ibunya berada. Beberapa perawat masuk kedalam. Masih menyimpan kebingungannya. Nia segera melangkah masuk kedalam. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana.
Seketika itu tangis Nia kembali pecah. Lagi dan lagi, hatinya harus merasakan sakit. Ibu yang sangat dicintainya telah tiada.
"Ibu ... bangunlah! Ibu ... jangan tinggalkan Nia!"
"Ibu ... Nia mohon, bangunlah!" ucap Nia sambil terisak.
Menangis pilu mendapati kondisi sang ibunda tercinta sudah terkulai lemas, ketika dia baru saja kembali setelah beberapa menit meninggalkan ibunya sendirian. Namun, kenapa sang pencipta begitu kejam padanya. Apa yang baru saja diminta olehnya, bahkan tidak ada satupun yang terkabulkan.
"Ibu ... bangunlah!"
Nia masih mengguncangkan tubuh ibunya. Menangis pilu karena merasakan betapa hancur hatinya saat ini. Marah pada dunia yang sama sekali tidak pernah memihak padanya. Merenggut semua kebahagiaannya..
tok tok tok
Nia mengerjapkan matanya beberapa kali. Masih dengan memegang foto ibunya dengan bersandar pada pinggiran tempat tidurnya. Tidak terasa air matanya sudah membasahi pipi bahkan baju yang saat ini dia kenakan. Mengingat kembali akan kenangan pahit yang sudah menghancurkan hidupnya.
10 tahun sudah berlalu.
Kehidupannya tidak seburuk 10 tahun yang lalu. Namun, tetap saja kehidupannya yang baru tidak dapat mengubah jati dirinya sebelum ini. Seorang wanita yang masih sama, masih membenci keberadaan ayah kandungnya. Walaupun kini mereka tinggal bersama dengan luka yang sudah tertutup 10 tahun lamanya.
"Masuk!"
Ceklek
Seorang bocah lelaki berusia 7 tahun melangkah masuk sambil menampilkan senyuman imutnya.
"Kakak, Denis dapat tugas sekolah. Kak Nay, tidak mau mengajariku lagi. Kakak bisa kan membantu Denis mengerjakannya," ucapnya dengan memasang wajah memelas.
Tbc.
Baru saja Denis keluar dari kamar Nia. Wanita itu tampak begitu senang akan kedatangan Denis beberapa menit yang lalu. Tidak bisa dipungkiri jika memang Nia adalah wanita yang sangat baik, namun entah mengapa, rasa sakit dihati telah menuntunnya untuk menjadi Nia yang berbeda ketika berhadapan dengan ayah dan ibu tirinya. Sejenak ia melirik ke arah jam yang bertengger di atas dinding, tepat pukul sembilan malam.
Nia Menghembuskan nafasnya. Menahan diri untuk menjadi orang lain dihadapan ayah dan ibu tiri sungguh membuatnya merasa lelah. Mencoba untuk tetap menjadi orang baik walau hatinya menjerit marah.
Tidak menunggu lama Nia segera merebahkan tubuhnya diatas kasur setelah tadi, ia sudah mengganti pakaian dengan piyama tidurnya. Memposisikan diri untuk segera terlelap dalam tidurnya. Menyambut mimpi indah yang sesuai dengan permintaannya.
Namun lagi dan lagi, Nia harus mengurungkan niatnya untuk merasakan ketenangan. Suara ketukan pintu membuyarkan mimpi yang baru akan disusun olehnya.
tok tok tok
Dengan malas Nia beranjak dari tempat tidurnya. Membawa langkah kakinya untuk segera membukakan pintu kamar. Mencari tahu siapa kali ini yang akan mengganggu waktunya.
Ceklek
Kedua mata saling bertemu, saling memandang dengan pancaran sinar yang berbeda.
"Ada apa ayah datang kemari?"
"Apa Ayah boleh masuk?" Bukannya menjawab bagus kembali melayangkan sebuah pertanyaan.
"Masuklah, Ayah! Jangan sungkan, Nia kan, tinggal dirumah Ayah."
Bagus kembali menelan pil pahit. Kerap kali dia harus menahan rasa sesak ketika harus berhadapan dengan Nia, anak yang sangat dia sayangi dari sosok wanita yang ia cintai. Namun hanya dia sendiri yang mengetahui akan hal itu.
Tanpa ragu bagus melangkah masuk kedalam kamar Nia. Tersenyum pahit ketika melihat beberapa foto mantan istri bersama dengan putrinya. Istri yang sangat dia cintai selama hidupnya, bahkan hingga sampai saat ini. Tidak ada yang tahu tentang hal ini tanpa terkecuali Nia, anaknya.
"Kamu masih menyimpannya, menjaganya dengan baik, Nia?"
Nia berdehem pelan.
"Ada apa Ayah menemui Nia, hingga ingin masuk kedalam kamar Nia seperti ini?" tanya Nia sambil menahan rasa kesalnya yang tiba-tiba muncul.
Merasa ada yang aneh pada ayahnya. Tidak seperti biasanya yang hanya berbicara di ruang keluarga atau di ruangan tempat ayahnya bekerja. Kali ini, apa yang membawanya ingin masuk kedalam kamar Nia.
Nia mengernyitkan keningnya. Melihat sang ayah yang kini telah duduk dipinggir ranjang tanpa menghiraukan dirinya sang pemilik kamar. Mengambil foto yang ada diatas nakas.
"Ibumu memang sangatlah cantik, Nia. Sama sepertimu," ungkap bagus lirih sambil mengusap foto perempuan yang ada di dalam pigura.
Bagus tersenyum getir ketika kini dirinya kembali mengingat kejadian dimasa lalu. Masa lalu tentang perceraian yang membuat dirinya terpuruk selama satu tahun hingga dia dipertemukan kembali dengan Tania, mantan kekasih dan juga mantan sahabat dari istrinya.
Dulu ketika mereka masih kuliah, bagus yang berstatus kekasih Tania, tiba-tiba saja memutuskan hubungan mereka. Tanpa diduga jika bagus telah memilih untuk menikahi Lila tanpa sepengetahuan Tania. Hingga kini takdir telah membawa mereka kembali. Saling mengasihi untuk hidup bersama. Bagus dan Tania kembali menjalin kasih.
Namun beberapa bulan setelah bagus memutuskan untuk menikah lagi dengan Tania, hal yang sangat mengejutkan terjadi. Bagus mendapatkan kabar jika wanita yang sangat dicintainya telah meninggal dunia.
Lelaki itu tanpa sadar menitihkan air matanya.
Merasa sesak dengan hanya mengingat kembali kenangan indah yang telah dilalui olehnya dan juga wanita itu. Mantan istrinya, wanita yang dicintainya dan juga belahan jiwanya. Kini hanya dia yang tahu sejarah hubungan di antara mereka. Menyimpan rapat-rapat alasannya mereka berdua memilih untuk berpisah. Bahkan dia pun juga tidak memberitahukan alasannya berpisah pada Nia, anak kandungnya dari wanita itu.
"Ayah." Panggilan Nia membuyarkan lamunan bagus. Dengan gerakan cepat lelaki setengah baya itu mengusap ujung matanya yang basah.
"Ah, Iyah ... maaf, Ayah jadi lupa."
"Apa yang ingin ayah katakan? Aku sudah mengantuk sekali," tanya Nia kembali.
Bagus mengangguk kecil sambil tersenyum. Walau saat ini hatinya sedang menjerit, menahan gejolak yang kerap kali muncul jika harus berhadapan dengan gadisnya.
"Hemm." Bagus berdehem pelan.
"Besok Sabtu, Ayah mengadakan pertemuan dengan teman lama Ayah. Kami berencana untuk melakukan makan malam bersama di restoran keluarga ...."
"Lalu?" tukas Nia.
Bagus sejenak tersenyum lembut.
"Dengarkan dulu! Ayah belum selesai berbicara Nia."
"Hemmm." Nia mencembikkan bibirnya.
"Ayah sudah sepakat dengan teman Ayah sejak dua minggu yang lalu. Anak sulungnya kembali dari London beberapa hari yang lalu, Nia. Kami berencana untuk menjodohkan kalian berdua," jelas bagus pada anaknya.
Seketika itu Nia terperangah.
"Astaga Ayah ... apa maksud Ayah dengan menjodohkan kami berdua? Nia masih belum ingin menikah Ayah. Nia juga tidak mau dijodohkan dengan lelaki manapun, karena Nia bisa mencari calon suami sendiri," tolak Nia dengan kesal.
Amarahnya tiba-tiba menghampiri begitu saja. Mendapati penuturan dari sang ayah yang sama sekali tidak sesuai dengan keinginannya.
"Nia tidak mau dijodohkan. Jika Ayah mau, Ayah bisa menjodohkan Nayla, tapi jangan pernah berfikir untuk bisa menjodohkan Nia dengan lelaki pilihan ayah," lanjutnya lagi.
"NIA," bentak bagus.
Nia tersentak kecil mendengar suara teriakkan dari ayahnya.
"Nayla sudah memiliki kekasih. Sedangkan kamu? Ayah bahkan tidak pernah melihatmu membawa teman lelaki untuk dikenalkan pada Ayah. Ayah hanya ingin kamu segera menikah, Nia. Ingatlah jika saat ini usiamu akan menginjak 28 tahun. Ayah tidak mau kamu jadi per...," tutur bagus yang terpotong.
"Apa maksud perkataan ayah? Nia akan menikah, tapi bukan untuk saat ini. Lebih baik ayah segera keluar. Nia tidak berniat untuk melanjutkan pembicaraan ini," tukas Nia dengan kesal.
"Ayah tidak mau tahu. Kamu harus mau menerima perjodohan ini, Nia. Besok jam 7 malam ayah tunggu kedatanganmu di restoran keluarga," pintanya dengan penuh penekanan.
Nia tidak bergeming dari posisinya. Masih menatap sengit kearah bagus, ayahnya. Dengan masih menahan amarah yang saat ini masih membara.
"Ayah akan menunggu kedatanganmu besok, tepat pukul tujuh malam. Semoga kamu tidak mengecewakan ayah, Nia."
Setelah itu, bagus segera beranjak dari tempatnya. Melangkah besar untuk segera pergi dari kamar tersebut. Sejenak mereka saling beradu pandang, namun Nia lebih dulu memalingkan wajahnya.
Bagus segera mengajak kedua kakinya untuk melangkah pergi. Kembali ke kamarnya sendiri, dengan hati yang masih menahan luka. Terasa perih mendapati perlakuan anak kesayangan sudah tidak seperti dulu. Bagus bisa menyadari akan hal itu, namun sebisa mungkin dia untuk menahan emosinya.
Suara pintu yang tertutup terdengar seiring dengan sosok lelaki paruh baya itu yang telah pergi. Seketika, tubuh Nia merosot kebawah. Pertahanannya luruh begitu saja. Saat ini dia merasa sangat sedih. Sebenarnya dia tidak ingin bersikap dingin, namun hati yang telah tersakiti selalu saja bisa menguasai diri.
Nia menangis. Menangisi keadaannya yang seperti itu. Merasa kesal pada dirinya sendiri atas apa yang sudah dia lakukan pada ayahnya. Padahal, dia tahu jika lelaki paruh baya itu sangatlah menyayangi dirinya lebih dari siapapun di rumah mewah tempatnya tinggal.
Namun tetap saja, Nia tidak bisa mengendalikan dirinya ketika berhadapan dengan ayah dan ibu tirinya.
"Ibu ... maafkan, Nia. Nia tidak bisa menjadi orang yang baik sesuai dengan permintaan ibu," ucap Nia disela-sela tangisnya.
Tbc
Keesokan harinya
Nia tampak sedikit berbeda hari ini. Dia seperti sedang banyak pikiran. Sesekali terlihat melamun. Namun tidak ada dari temannya yang berniat untuk bertanya. Karena memang Nia tidaklah akrab dengan rekan kerjanya yang lain, walaupun dia sudah lama bekerja bersama.
Waktu berjalan begitu cepat, hingga tidak terasa, sore hari sudah menjemput. Waktunya untuk para pekerja kembali pulang kerumah mereka.
"Nia, hari ini aku nebeng lagi yah," ucap Elsa tiba-tiba. Wanita itu adalah sahabat Nia di tempat kerjanya.
Nia mengalihkan pandangannya ke samping di mana sosok wanita yang sangat akrab dengannya itu tengah berdiri sambil menunjukkan deretan gigi putihnya.
Sebuah bank swasta tempat di mana Nia bekerja, menjadi dunia kedua selama wanita itu berada di luar rumah. Nia sangatlah jarang sekali untuk keluar rumah jika tidak ada sesuatu yang penting, yang mengharuskan dirinya untuk pergi keluar rumah. Dia memang gadis cantik yang berbeda. Walaupun begitu, tidak bisa diragukan lagi jika berbicara mengenai penampilannya. Dia adalah juaranya.
Nia memang sangat cantik dan pandai. Beberapa teman pria sekantornya banyak yang mendekatkan diri, namun Nia tidak memiliki ketertarikan sama sekali pada mereka. Karena memang pembawaan Nia yang selalu acuh pada siapa saja, membuat para pria tersebut minggir.
"Kenapa lagi mobilmu?" tanya Nia yang baru saja membereskan pekerjaannya. Sekilas melirik jam pada benda yang melingkar apik di tangannya.
Sudah pukul lima lebih sepuluh menit. batin Nia.
"He he he ... aku lagi malas bawa mobil. Tadi aku bangun kesiangan. Daripada terlambat mending aku naik gojek," jelasnya sambil tersenyum lebar.
"Lagu lama. Bilang saja jika kamu sedang malas nyetir karena macet," sindir Nia.
Gelak tawa terdengar nyaring seketika. Membuat Nia mengalihkan perhatiannya.
"Selalu saja. Ayo pulang!" ucap Nia yang saat ini sudah beranjak dari duduknya.
Mereka berdua berjalan beriringan. Sesekali para teman sekantornya melirik ke arah mereka. Ada yang menyapa dan juga melambaikan tangannya, namun Nia tidak pernah menghiraukan mereka, tapi tidak untuk Elsa Siregar.
***
"Nia, mampir makan dulu, yuk ke TP. Sekalian jalan-jalan." ( Tunjungan plaza, Salah satu mall yang ada di Surabaya )
Nia menggeleng pelan tanpa mengalihkan pandangannya masih fokus pada kemudinya.
"Hari ini ayah ngajakin aku makan bersama. Kamu tahu tidak,"
Sejenak Nia memutar lehernya sedikit, menoleh sekilas ke arah Elsa yang duduk disampingnya. Kemudian kembali fokus pada kemudinya dengan mencengkram kuat setir kemudi.
"Ada apa Nia? Kamu bikin aku penasaran saja."
"Ayah mau menjodohkan aku dengan anak temannya. Sebenarnya aku males banget untuk dateng kesana tapi mau gimana lagi," cerita Nia dengan malas.
"Apa??"
Elsa dengan senangnya mendengar penuturan dari Nia. Tertawa terbahak bahak dengan masih menatap raut wajah Nia yang tampak melas dan tidak suka.
"Sial!" umpat Nia kesal.
"Eh, aku gak salah denger nih? Pasti bakal banyak yang sakit hati kalau penggemarmu tahu, Nia," ucap Elsa sembari menahan tawa.
"Sudahlah, jangan meledekku, terus! Dari tadi aku udah Neg banget buat kerja. Bawaannya males. Gara-gara mikirin ini."
Mendapati Omelan Nia membuat Elsa semakin tertawa senang. Merasa lucu melihat ekspresi wajah Nia yang terlihat kesal.
"Eh ... Nia, tapi kalau calonnya cakep *a*nd tajir mah, lanjut aja. Lagian kamu juga belum punya pacar kan."
Nia menggeleng cepat sambil menatap Elsa sengit. "Itu sih, mau kamu," ucap Nia semakin kesal. Elsa semakin tertawa senang melihat Nia yang sedang kesal.
Kini setelah beberapa menit berlalu akhirnya Nia membelokkan kemudinya, memasuki kawasan perumahan di daerah bambu runcing.
"Sudah ... cepat turun!" pinta Nia dengan memasang wajah kesal. Mobil telah berhenti di depan sebuah rumah mewah.
"Galak amet sih, Nia."
Nia menahan senyum.
"Biarin, sapa suruh nebeng Mulu. Udah sana turun!"
"Ha ha ha ... Dasar Mak Lampir," ledek Elsa sambil turun dari mobil.
"he he he ... enak aja bilang Mak Lampir. Awas aja kalau mau nebeng lagi!"
Keduanya saling melemparkan senyuman dan lambaian tangan. "Makasih ya," ucap Elsa yang hanya mendapatkan anggukan kepala dan jempol yang terangkat.
Setelah melihat Elsa masuk kedalam, Nia segera melajukan mobilnya. Memutar arah untuk menuju kawasan rumah mewah yang berada dekat balai kota Surabaya.
Nia semakin menambah laju mobilnya agar segera sampai di rumah mewah milik ayahnya. Rumah yang selama 10 tahun ini telah menjadi tempat tinggalnya. Rumah yang menjadi saksi bisu akan setiap kenangan pahit yang dirasakannya.
Setelah 15 menit berada di jalanan, kini Nia terlihat memutar kemudinya, membelokkan mobilnya memasuki halaman rumah mewah keluarganya.
Segera ia memarkirkan mobil, kemudian cepat-cepat untuk turun. Tanpa berfikir panjang Nia melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam rumah. Wanita itu mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru rumah. Tampak sepi sekali.
"Bi, semuanya sudah pergi, ya?" tanya Nia yang kebetulan sedang berpapasan dengan salah satu pelayan dirumah tersebut.
"Iya, Mbak Nia. Baru saja mereka semua berangkat. Ayah Mbak Nia berpesan, jika Mbak Nia sudah pulang tolong segera menyusul mereka."
Nia hanya berdehem pelan sambil mengangguk kecil.
Tidak ingin membuang waktu lagi, wanita itu segera melangkahkan kakinya menuju kamar. Berencana untuk segera mandi dan bersiap agar segera dapat menyusul keluarganya yang saat ini mungkin masih dalam perjalanan menuju restoran keluarga yang terletak di daerah pusat kota.
Beberapa menit kemudian, Nia terlihat sudah selesai bersiap. Melirik sekilas jam yang menempel pada dindingnya.
Pukul 18.30. Biar saja sedikit terlambat. batin Nia.
Sekali lagi mematut dirinya di depan cermin. Memastikan penampilan agar terlihat sempurna. Setelah dirasa cukup puas, Nia segera beranjak pergi dari kamarnya. Melangkah perlahan untuk keluar dari rumah dan segera pergi ke tempat pertemuan.
***
19.20
Kenapa Nia belum juga datang? gumam bagus dalam hati.
"Lebih baik, kita makan dulu saja. Sepertinya Nia akan datang sedikit terlambat," tawar bagus pada keluarga Dinata.
"Hem ... sepertinya aku juga sudah merasa lapar, tapi tidak masalah, kita akan menunggu kedatangannya. Ya kan, sayang," jawab Mario sahabat bagus, sembari menatap istrinya.
"Iyah ... tunggulah sebentar lagi! Seorang wanita akan membutuhkan waktu sedikit lama untuk berdandan," ucap Ulfa selaku istri dari Mario.
Suasana pertemuan mereka menjadi sedikit tegang. Keterlambatan Nia membuat keluaga besar Permana menjadi gusar. Terlihat jelas dari raut wajah bagus yang saat ini sudah mengetat menahan amarahnya. Hal itu juga nampak pada istri dan juga anak tirinya, Nayla Arimbi .
"Oyah, om. Jika Adri boleh bertanya, kenapa Nia lebih memilih untuk bekerja di bank daripada membantu om untuk mengurus bisnis restoran keluarga?"
Pertanyaan Adrian berhasil menambah beban yang menyesakkan dada. Bagus sejenak menarik nafasnya.
Mencoba untuk meredam kekecewaannya pada Nia menyangkut hal itu.
"Ah ... Nia bukanlah sepertimu, nak Adri. Dia sedikit keras dalam hal apapun. Ayah tidak mau mengekangnya."
Adri mengangguk kecil. Sejenak lelaki itu terdiam, berfikir sesuatu yang berhubungan dengan wanita yang bernama Nia. Entah mengapa dirinya merasa tertarik semenjak beberapa hari yang lalu. Hari dimana kedua orangtuanya memberikan kabar, jika dirinya harus mau dijodohkan dengan anak dari teman papinya.
"Permisi, maaf saya terlambat."
Seketika itu semua pasang mata mengalihkan pandangannya. Menatap lekat wajah wanita cantik yang baru saja datang. Wanita yang sedari tadi telah ditunggu kedatangannya.
"Akhirnya kamu datang juga Nia," ucap bagus karena merasa lega.
"Perkenalkan dirimu pada mereka, Nia," pinta ayah bagus.
Nia mengangguk sambil tersenyum manis. Mencoba menahan diri untuk tidak berlaku buruk saat ini.
"Senang bisa bertemu dengan om dan Tante," sapa Nia dengan tersenyum manis.
Tanpa ragu Nia meraih tangan Mario dan juga Ulfa untuk diciumnya secara bergantian. Sejenak sosok lelaki yang duduk disamping mereka tertegun mendapati Nia yang melakukan hal itu. Suatu hal yang sangat jarang dilakukan namun sebenarnya sangatlah penting.
Jarang sekali dia melihat wanita yang seperti itu. Cantik dan sangat menarik. Bahkan tanpa yang lain sadari jika sejak kedatangan Nia, lelaki itu hampir tidak lepas memandanginya.
"Nia," ucap Nia kembali untuk yang kedua kalinya sambil masih dengan menyodorkan tangannya di depan Adrian.
"Ah, maaf. Adrian," jawab Adri cepat sambil meraih tangan Nia dengan erat. Hingga membuat Nia melolotkan matanya.
"Baiklah, sebaiknya kita segera makan," ucap bagus setelah melihat Nia yang sudah duduk di kursi yang sudah disiapkan untuknya.
"Hem ...emang itu yang sedari tadi kami tunggu," balas mario sambil menampilkan senyuman lebar.
Kini bagus memberikan isyarat pada karyawannya untuk segera menghidangkan makanan yang sudah disiapkan sebelumnya.
Beberapa menit berlalu, Mario dan bagus terlihat menyudahi acara makan malamnya.
"Jadi bagaimana, Gus? Apakah kita bisa melanjutkan perjodohan ini?" tanya Mario memecahkan keheningan.
Seketika Nia tersedak oleh makanannya sendiri.
"Sayang, makanlah perlahan!" tutur Mama Tania sembari menyodorkan segelas air, Nia segera meraihnya. Meneguknya hingga hampir habis.
"Terimakasih, Ma."
"Apa kamu keberatan, cantik?" tanya Mario pada Nia.
Keduanya sejenak saling memandang. Nia mendadak gugup dan bingung. Setiap kata seakan tercekat di tenggorokan.
"Ehmm.... "
"Kurasa Nia sama sekali tidak merasa keberatan. Benarkan sayang?" tukas ayah bagus yang membuat nia menahan nafasnya.
Tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!