Clarisa menghembuskan napas beratnya berulang kali. Mematut dirinya di depan cermin, memastikan penampilannya agar terlihat sempurna. Mendadak dia merasa gugup padahal dia sendiri yang menyetujui acara pertunangan ini.
Dia menghirup udara banyak banyak lewat hidung dan menghembuskannya lewat mulut dalam sekali hempasan demi mengurai rasa gugupnya.
"it's okay. Semuanya akan berjalan lancar." dia tersenyum pada bayangannya di cermin.
Ceklek.
Pintu terbuka dari luar disusul seraut wajah ramah yang kemudian menjadi sosok utuh yang cantik saat pemilik wajah itu masuk ke dalam kamar Clarisa. Dia tersenyum lembut menyadari kegugupan gadis itu.
"Jangan gugup. Mereka tidak akan memakanmu. Paling mereka akan memintamu segera menikah dengan Gabriel." godanya pada Clarisa membuat gadis itu sedikit merengut.
"Kak Dea, apa dulu kak Dea juga gugup?"
Wanita itu memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri membayangkan keadaan dirinya saat dilamar Stefan dulu.
"Tidak. Aku malah sangat bersemangat. Rasa rasanya aku ingin memutar waktu dengan cepat agar semuanya cepat terlaksana. Kamu tahu sendiri, aku sangat tergila gila pada kakakmu" Dea menepuk lembut bahu adik iparnya itu. "Kamu juga harusnya begitu kan? Kenapa sekarang jadi gugup? Bukannya kamu juga menyukai pertunangan ini? Kamu juga mencintai Biel"
"Iya kak. Tapi ini pertama kalinya aku berhadapan dengan keluarga besarnya. Mana yang datang banyak lagi. Bagaimana jika mereka tidak menyukaiku?"
"Ya ampun sayang. Jangan berpikiran yang aneh aneh dulu. Biel dan orangtuanya menyukaimu. Itu sudah cukup. Jangan pedulikan yang lainnya. Mereka cuma pelengkap. Lagipula semalam kakak sudah bilang padamu bagaimana membawa diri di keluarga suamimu nanti."
"Ih kak, jangan sebut suami dulu kenapa!" Entah kenapa Clarisa merasa risih mendengar kakak iparnya menyebut Gabriel sebagai suaminya. "Baru juga mau tunangan."
"Ya ya, calon suami maksudnya. A,,,"
Ceklek!
Pintu kembali dibuka dari luar. Stefan muncul dari balik pintu.
"Astaga, kamu di suruh menjemputnya bukan malah bergosip ria dengannya, Sayang" ujar Stefan kesal melihat istrinya malah asyik ngobrol dengan adiknya.
"Siapa yang ngegosip Yang. Aku sedang menenangkan adikmu. Nih lihat, dia sedang gugup."
Stefan mengalihkan pandangannya pada sang adik. Gadis itu hanya menyeringai lebar. Stefan menghampirinya, menggenggam lembut tangannya.
"Ayo. Kita keluar sekarang. Semua orang menunggumu."
Sekali lagi Clarisa menghembuskan napas panjang.
Dia berjalan pelan melewati kerabat dan kenalannya yang ikut menghadiri acara pertunangannya.
"Kak Ica cantik sekali!"
"Wah, Ica cantik sekali"
"Iya, sayangnya dia tidak berjodoh dengan putraku!"
Suara - suara itu menemani perjalanan Clarisa dari kamarnya menuju ruang tamu, tempat di mana akan dilangsungkan acara pertunangan dimana Gabriel sudah menunggunya bersama pemuka adar dan keluarga inti keduanya.
Lutut Clarisa mendadak lemas. Suara musik yang diputar dari halaman rumah yang telah disulap jadi tenda yang terbuat dari bambu yang dirangkai dengan kokoh, tidak mampu menetralkan degup jantung Clarisa begitu menginjakkan kakinya di ruang tamu.
Semua pasang mata menatapnya. Clarisa merasa kecil seperti seekor semut. Dia duduk di atas bantal anyaman di samping Gabriel yang sedang tadi menatapnya tak berkedip. Gabriel juga duduk di bantal dengan model yang sama.
Senyum Gabriel mengembang menyadari kegugupan gadis itu.
"gugup?" Gabriel berbisik pelan.
"Jangan di tanya lagi. Sebentar lagi aku pasti akan pingsan" Clarisa menjawab dengan bisikan juga.
"Eitz, jangan. Kalau kamu pingsan aku sama siapa di sini? Masa sama nenek Jun." Biel mencandainya mencoba mengusir perasaan gugup dari gadis yang dicintainya itu. Sontak Clarisa menatap ke arah wanita tua yang adalah tetangganya. Wanita itu hanya tersenyum sambil mengunyah sirih di mulutnya. Seketika senyum Clarisa mengembang membayangkan kekasihnya bertunangan dengan nenek Jun yang berusia tujuh puluhan tahun itu. Ditambah lagi dengan tubuhnya yang mulai membungkuk.
Musik berhenti. Tetua adat yang memimpin jalannya acara pertunangan mengambil alih mic. Jantung Clarisa kembali berdegub. Bukan hanya dia saja tapi Gabriel juga.
Setelah pembacaan doa dalam nuansa adat dan ditandai dengan penyembelihan ayam jantan berwarna putih para tetua mepersilahkan Clarisa dan Gabriel untuk bertukar cincin.
"Clarisa, aku memang bukanlah orang yang sempurna tapi aku berharap hadirmu bisa menyempurnakan hari hariku. Aku pun tidak bisa berjanji untuk selalu menjadi terbaik untukmu tapi aku akan berusaha untuk membuatmu merasa lebih baik tiap bersamaku. Aku mencintaimu, Clarisa Marion." Gabriel berkata dengan sungguh sungguh. "Maukah engkau menikah denganku?"
Tes.
Air mata Clarisa jatuh begitu saja. Dia sungguh terharu dengan pernyataan tulus Gabriel. Di depan seluruh keluarganya dan juga keluarga Clarisa sendiri Gabriel mengungkapkan cintanya.
"Iya Biel. Aku mau. Aku juga mencintaimu"
Gabriel menyematkan cincin di jari manis Clarisa, mengecup kening gadis itu dengan lembut.
Clarisa juga mengambil kotak kecil di depannya, mengambil cincinnya lalu menyematkan di jemari Gabriel dan mengecup punggung telapak tangan pria itu.
Acara dilanjutkan dengan pemberian sirih pinang yang dilakukan oleh Clarisa kepada keluarga Gabriel. Sebagai simbol bahwa ke depannya Clarisa akan melayani keluarga Gabriel dengan baik.
Clarisa bingung bagaimana melakukannya. Pasalnya dia belum pernah melakukan hal seperti itu. Lagian siapa gadis jaman sekarang yang masih makan sirih pinang? Jangankan anak gadis, ibu ibu jaman sekarang pun sudah tidak menyentuhnya. Hanya wanita seperti nenek Jun yang masih melakukannya. Harusnya kemarin dia menanyakannya pada nenek Jun.
Seolah memahami isi pikirannya, nenek Jun berjalan pelan menghampirinya, menunjukan padanya cara melakukannya. Tangan yang sudah keriput itu mengambil selembar daun sirih, meletakkan diatasnya pinang, kapur sirih dan entah apa lagi namanya, clarisa tak tahu. Dia lalu melipat daun sirih, membungkus bahan yang lainnya dan menyerahkannya padanya Clarisa.
"Berikan ini pada mereka."
Clarisa mulai menyuapi keluarga tunangannya, dengan nenek Jun yang mengekorinya, menyiapkan sirih pinang lalu memberikannya pada yang lainnya. Diulang lagi sampai semuanya dapat, membuat kaki Clarisa pegal karena harus jalan berjongkok dari satu orang ke satu orang. Entah bagaimana dengan nenek Jun yang ikut di belakangnya. Mungkin wanita tua itu akan semakin bongkok.
Clarisa menghembuskan napas lega saat semuanya selesai. Dia kembali duduk di samping Gabriel.
Gabriel mengangkat tangannya hendak mengsap kepala Clarisa namun diurungkannya takut merusak rambut gadis itu yang disanggul rapi.
Acara pertunangan ditutup dengan wejangan wejangan singkat untuk Clarisa dan Gabriel. Keduanya menyimak dengan baik sebagai bekal perjalanan rumah tangga ke depanya.
Clarisa membanting dirinya di tempat tidur, mengabaikan pakaian dan rambutnya yang akan kusut. Badannya terasa letih. Dia berbaring telentang di atas kasur empuk miliknya.
Gabriel ikut duduk di pinggiran ranjang, di samping Viona adik Gabriel.
"Capek ya?"
"Gila Yang! Baru tunangan saja capeknya sampe begini. Bagaimana kalau nikah nanti? Bisa bisa kakiku copot dari badan." Clarisa mengeluh. Entah kenapa badannya cepat sekali lelah. Gabriel dab Viona menanggapinya dengan senyum.
"Mau aku pijit?" Gabriel menawarkan diri. Karena dia tahu gadis ini tidak suka disentuh oleh orang lain.
"Boleh lah. Capek sekali.!"
Gabriel mengangkat kaki Clarisa yabg menggantung ke atas kasur, memijitnya pelan hingga membuat empunya memejamkan mata. Viona ikut memijit kaki yang sebelahnya. Gadis yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah atasnya itu sangat menyayangi calon kakak iparnya. Dia yang lebih bersemangat saat tahu kakaknya akan bertunangan dengan Clarisa.
"Kamu keluar saja, Dek. Nanti mama mencarimu." Clarisa membuka matanya menatap calon adik iparnya itu.
"Tidak mau. Aku di sini agar kalian berdua tidak kebablasan. Lagian mama juga sudah lihat aku ke sini tadi."
Clarisa dan Gabriel terkekeh mendengar jawaban gadis itu. Dan dalam hati membenarkan ucapannya. Berdua di dalam kamar, dengan acara pijat pijatan. Tidak ada yang menjamin sentuhan itu tidak berlanjut dengan sesuatu yang lebih intim. Keduanya manusia normal. Bisa bergairah jika di sentuh lawan jenis. Karena itulah selama ini Cristabel selalu menjaga jarak dan tidak mau disentuh oleh Gabriel. Dia tidak ingin keduanya melewati batas yang berujung pada penyesalan.
"Kalau begitu tidurlah di sini." Clarisa menepuk kasur disamping kirinya masih dengan memejamkan matanya.
"Aku?" Gabriel menghentikan pijatannya, menunggu jawaban Clarisa.
Clarisa mengangkat kaki kirinya, memukul tangan Gabriel dengan kakinya.
"Nikah dulu baru memikirkan tidur bersama. Aku bilang pada Vio bukan kamu!" Clarisa melotot pada Gabriel sementara pria itu hanya menyengir saja.
"Siapa tahu Yang. Kan sudah tunangan"
"Memangnya kalau sudah tunangan boleh tidur bersama? Jangan salah, Yang. Bertunangan tidak menjamin kita akan menikah. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya."
"Iya maaf. Tapi jangan bilang begitu ih. Kamu mengatakan itu seolah tidak mengharapkan aku menikah denganmu"
"Bukan begitu, Sayang. Aku hanya mengatakan kenyataannya saja. Banyak pasangan yang besoknyamenikah tapi gagal karena satu dua hal. Kalau misalnya sekarang kita tidur bersama karena alasan kita sudah bertunangan, bagaimana jika nanti kita tidak jadi menikah? Kita hanya akan menyesali gal yang kita lakukan saat ini."
Gabriel menggenggam lembut tangan Clarisa. Entah mengapa ada ketakutan dalam dirinya mendengar ucapan tunangannya barusan.
"Maaf. Aku hanya becanda tadi. Aku tidak akan menyentuhmu sebelum kamu menjadi milikku seutuhnya."
"Itu baru tunanganku yang baik. Ya sudah, kamu keluarlah. Aku akan istirahat saja. Ada Viona di sini. Kamu juga harus istirahat."
Mendengar namanya disebut, Viona melompat ke atas ranjang. Membaringkan tubuhnya di samping Clarisa. Dia selalu berada di antara Gabriel dan Clarisa dan menjadi pendengar yang baik tanpa menyela keduanya.
Gabriel mengecup kening tunangannya lalu keluar dari kamar tersebut.
💘💘💘💘💘💘💘💘💘💘💘
Clarisa membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menerobos masuk lewat ventilasi di kamarnya. Dengan hati riang dia beranjak dari tempat tidur, membuka gorden berikut jendelanya, membiarkan cahaya matahari pagi masuk dengan sempurna di kamarnya.
Dia masih berdiri di samping jendela. Menatap ke arah taman samping rumahnya. Dapat dilihatnya dengan jelas punggung ibunya yang membungkuk lantaran sedang mencabut tanaman liar yang tumbuh diantara bunga - bunganya.
Dia menjulurkan tangannya ke luar jendela, merasai hangat sang mentari pagi yang belum seberapa. Cahaya matahari memantul di cincin yang melingkar dijarinya, berkilau indah.
Sebaris senyum bahagia melengkung di bibirnya. Dia tersenyum mengingat perjalanan cintanya yang terbilang cukup singkat. Walau Gabriel adalah kakak kelasnya waktu SMA dan pernah menyatakan cinta padanya dulu tapi hubungan keduanya berakhir begitu saja ketika Gabriel lulus terlebih dahulu dan melanjutkan pendidikannya ke kota. Clarisa yang lulus setahun kemudian pun melanjutkan pendidikannya, mengambil jurusan Diploma empat kebidanan, di kota yang berbeda dengan Gabriel. Keduanya baru bertemu kembali enam bulan yang lalu. Bertemu di pesawat saat Gabriel baru saja kembali dari kegiatan seminarnya dan Clarisa baru kembali setelah menyelesaikan kuliahnya.
Sejak saat itu Gabriel selalu mendekatinya, mencoba menumbuhkan kembali perasaan yang dulu pernah ada karena bagi Gabriel rasa itu masih ada. Getaran itu masih terasa jelas saat dia bertemu kembali dengan Clarisa. Dua bulan lalu keduanya resmi berpacaran setelah Gabriel menyatakan perasaannya di bawah langit senja yang indah di pantai Binongko karena Gabriel tahu gadisnya sangat menyukai pemandangan senja.
Tok tok tok!
Suara ketukan itu mengejutkan Clarisa. Bukan pintu yang diketuk melainkan kusen jendela di sampingnya.
Gabriel sedang tersenyum padanya saat Clarisa menoleh ke samping. Entah sejak kapan pria itu ada di sampingnya. Dia bahkan tidak menyadari langkah kakinya.
"Apa yang kamu pikirkan sampai mengabaikan tunanganmu ini, hem?" Gabriel menatapnya penuh sayang.
"Maaf, aku tidak menyadari kamu datang. Sejak kapan kamu di sini?"
"Sejak kamu memamerkan cincinmu pada matahari."
Clarisa tersenyum malu malu, menyadari tingkah konyolnya barusan.
"Apa yang kamu pikirkan?" Gabriel kembali bertanya, menatap lekat retina sang kekasih hati. Dia tidak ingin ada gundah di wajah cantik itu.
"Aku hanya sedang memikirkanmu. Lebih tepatnya sih memikirkan hubungan kita. Awal aku mengenalmu, kita berpisah, bertemu kembali secara tak terduga, jadian lalu ini. Kita tunangan." Clarisa menunjukkan jarinya yang terpasang cincin di depan wajah Gabriel membuat senyum Gabriel mengembang lagi.
"Aku senang kamu memikirkanku pagi pagi begini. Tapi jangan sampai lupa hari ini kamu ke Dinas Kesehatan. Katamu ada pertemuan kan?"
"Ah iya! Aku hampir lupa!" Clarisa menepuk jidatnya. "Aku harus bersiap siap dulu. Terima kasih sudah mengingatkanku. Kau ju,,,, Aauww!!" Clarisa menjerit saat dia hampir saja terjatuh jika tidak segera ditangkap oleh Gabriel.
"Ada apa?" Gabriel nampak khawatir. Dia memapah Clarisa ke tempat tidur.
"Tidak apa - apa. Hanya kram kaki sedikit saja. Mungkin karena terlalu lama berdiri." Clarisa meluruskan kakinya di atas kasur.
Gabriel memijat kakinya lembut. Menatap bergantian antara Clarisa dan kakinya. Hatinya khawatir mengingat ini sudah keberapa kalinya dia melihat gadis itu hampir terjatuh karena kram pada kakinya.
"Sudah cukup, Biel. Ini sudah membaik. Aku mandi dulu. Kamu juga bersiap siaplah. Kamu juga harus kerja. Sudah beberapa hari ini kamu meninggalkan pekerjaanmu." Clarisa tersenyum mencoba mengalihkan perhatian Gabriel dari kakinya.
"Aku akan mengantarmu dulu baru nanti pulang ke rumah."
"Jangan Sayang. Jarak ke Dinkes tidaklah dekat. Pergi pulang menghabiskan waktu empat jam. kapan kamu masuk kantornya kalau begitu? Lagian aku tidal sendirian. Ada pak pimpinan juga. Kami akan menggunakan mobilnya. Jadi kamu tidak perlu khawatir."
"Kamu yakin?"
"Iya Sayang. Kamu bersiap siaplah. Kamu harus kerja. Cari uang yang banyak untuk biaya pernikahan kita." Clarisa tertawa kecil. Dia tidak ingin pria itu terlalu mengkhawatirkannya karena raut kekhawatiran itu nampak jelas di wajah Gabriel.
"Kamu akan baik baik saja, kan?"
"iya."
"Kalau sampai telepon aku!"
"Iya"
"Kalau ada apa - apa telepon aku ya"
"Iya Gabriel sayang. Aku akan meneleponmu begitu aku sampai. Astaga, aku merasa seperti akan masuk sekolah TK saja. Sudah sana, aku mau mandi. Atau kau mau ikut masuk denganku?"
Gabriel segera berdiri. Menjauh dari gadis itu sebelum dia membayangkan hal - hal yang tidak - tidak akibat ajakan gadis itu untuk mandi bersama.
Setelah sarapan bersama keluarganya, Clarisa mengantar kepergian Gabriel hingga pintu pagar.
'Jaga dirimu!'
'jangan nakal!'
'makan tepat waktu'
'jaga hatimu!'
'jangan melirik pria lain'
Entah pesan apalagi yang disampaikan Gabriel jika Clarisa tidak memdorongnya pelan. Bersamaan dengan datangnya mobil yang akan ditumpangi Clarisa . Clarisa mengambil tasnya di dalam rumah, berpamitan sebentar lalu naik ke mobil sedangkan Gabriel melajukan sepeda motornya ke arah berlawanan. Langkahnya terasa berat saat semakin jauh dari Clarisa.
Setelah melewati perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam, Clarisa tiba di Dinas Kesehatan Kabupaten tepat sepuluh sebelum pertemuan di mulai. Tentu saja dia bersama pak Daniel, kepala puskesmasnya dan Bidan Sofia, bidan koordinatornya.
Clarisa mengikuti langkah kedua seniornya itu memasuki aula pertemuan. Duduk di kursi yqng telah disediakan. Napasnya sedikit terengah.
Ya tuhan!
Dia mengeluh kecil dalam hatinya. Ada apa dengan dirinya akhir akhir ini. Dia cepat lelah dan pegal. Sedikit nyeri juga di persendiannya. Sudah seperti kakeknya saja yang sedang mengidap penyakit rheumatik.
Clarisa mengatur napasnya sambil mengeluarkan sebuah buku dan pulpen untuk mencatat materi penting yang disampaikan dalam pertemuan ini.
"Hai Sayang!"
Sebuah suara merdu datang dari samping kirinya. Clarisa menoleh dan mendapati wajah Riska, teman seangkatannya waktu kuliah tapi bedanya gadis berambut ikal itu mengambil Diploma tiga kebidanan.
Keduanya saling membentangkan tangan lalu masuk dalam pelukan satu sama lain.
"Congratz sayang, maaf aku tidak bisa menghadiri pertunanganmu." ujar Riska dengan sedikit lebay. Mengerjap ngerjapkan matanya seolah sedang menangis.
Clarisa menepuk lengan Riska dengan pelan. "Tidak apa - apa. Kamu sudah mengatakan alasannya di telepon. Tapi nanti saat aku nikah kamu harus datang!"
"Memangnya kapan kamu nikah?"
"Tiga bulan lagi. Doakan ya semoga semuanya berjalan lancar."
"Serius? Gila! Cepat amat. Tidak mau pacaran dulu? Masa penjajakan gitu?"
"Pacarannya nanti saja, setelah nikah. Lebih halal. Kalau sekarang banyakan takutnya, takut kelepasan."
Riska tertawa kecil. Dia tahu seperti apa temannya ini. Di jaman sekarang dia masih menjunjung tinggi norma dan harga sebuah kesucian.
"Tidak mau nyicil dulu?" Riska menggodanya.
"kamu tahulah, like me and Dito." lanjut Riska dengan seringai lebar melihat kebingungan di wajah Clarisa.
"Dasar kamu!" Wajah Clarisa memerah menyadari arah pembicaraan Riska.
"kalian bukannya nyicil, tapi banyar kontan dimuka. sampai buncit lagi" lanjutnya membuat Riska tergelak.
"Hust!! Jangan berisik. Pertemuannya mau mulai tuh." Bidan Sofia menghentikan onrolan keduanya.
"Maaf bun." Clarisa pun memberi kode pada Riska untuk diam.
"Kita semua tentu tahu Audit Maternal Perinatal (AMP) adalah suatu kegiatan yang menelusuri kembali sebab kesakitan dan kematian ibu dan bayi dengan tujuan mencegah kesakitan dan kematian yang akan datang serta dalam rangka mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi." suara pemateri di depan menggema lewat pengeras suara setelah moderator mempersilahkannya. "Tapi baru pertengahan tahun kabupaten kita sudah menyumbang lima kematian bayi dan satu kematian ibu."
Aula yang tadinya ramai mendadak hening. Raut gelisah terlihat dari petugas dari puskesmas yang dikatakan telah menyumbang angka kematian tersebut.
Apakah ini sepenuhnya salah bidan?
Pertanyaan singkat itu terlintas begitu saja dalam hati Clarisa.
Bidan bukanlah Tuhan!
Satu pernyataan itu juga mengikuti pertanyaan hatinya.
Bidan dan petugas lainnya di lapangan sudah berusaha semaksimal mungkin, memberikan edukasi kepada ibu hamil dan keluarga, melakukan kunjungan rumah. Namun kadang pemahaman masyarakat masih jauh dari yang diharapkan. Tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan dan melahirkan di fasilitas kesehatan dengan ditolong oleh tenaga kesehatan. Masyarakat hanya tahu tentang pantangan pantangan dan hal - hal tabu lainnya yang tidak boleh dilakukan oleh ibu hamil. Adat dan tradisi masih memegang kendali penuh dalam kehidupan masyarakat di desa terpencil.
Lalu, masihkah ini semua menjadi tanggung jawab mutlak petugas kesehatan saat ada nyawa ibu dan bayi yang terenggut akibat kelalaian mereka sendiri?
Clarisa berdoa dalam hati agar di Puskesmasnya tidak terjadi kematian ibu dan bayi. Semoga masyarakatnya selalu sadar pentingnya kesehatan.
Saat jam makan siang Clarisa kembali ngobrol dengan Riska. Clarisa yang masih baru di dunia kerja ini masih membutuhkan banyak bimbingan. Dia memang pintar namun dia menyadari bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Dia akan belajar dari pengalaman orang orang yang berada di sekitarnya yang lebih dulu yerjun ke dunia kerja ini.
Baru dua bulan ini dia bergabung sebagai salah satu aparatur sipil negara. Setelah menyelesaikan kuliahnya enam bulan lalu dia mengikuti testing pengangkatan bidan PTT (pegawai tidak tetap) dan lulus. Namun saat ada testing pengangkatan PNS dia juga ikut. Dan puji Tuhan dia lulus. Tentu saja dia harus melepas salah satunya. Dan akhirnya setelah SPMT (surat perintah melaksanakan tugas) sebagai pegawai negeri sipil keluar dia melepaskan SK (surat keputusan) sebagai bidan PTTnya walaupun gaji sebagai bidan Ptt lebih besar tapi bersifat kontrak.
Dan di sinilah dia sekarang, mewakili puskesmasnya mengikuti pertemuan ini.
Pukul lima sore pertemuan selesai. Clarisa, pak Daniel dan bidan Sofia sepakat untuk menginap saja malam ini.
Saat hendak masuk ke mobil, Clarisa mendadak pusing. Kepalanya seperti berputar dan terasa sakit. Badannya juga terasa lemas. Dia hampir saja terjatuh kalau bidan Sofia tidak menahan tubuhnya. Pak Daniel dan beberapa peserta yang masih berada di sana ikut membantu. Mereka membawanya masuk ke mobil dan merebahkannya di kursi belakang. Bidan sofia dan Riska ikut masuk ke mobil.
"Kamu kenapa, Ica? Kenapa mendadak sakit? Maksudku tadi baik baik saja kan?" Riska bertanya dengan khawatir.
"Iya Ica. Apa sebenarnya yang terjadi? Kalau kamu sakit seharusnya kamu bilang. Kamu tidak perlu memaksa diri seperti ini." bidan Sofia ikut bicara. Dengan lembut dia memijat kepala Clarisa karena gadis itu mengeluh sakit di kepalanya.
"Maaf bun. Aku baik baik saja. Hanya sedikit lemas. Mungkin karena tadi makanku sedikit saja." Clarisa mencoba tersenyum. Dia tidak ingin merepotkan orang lain.
"Kita ke rumah sakit saja." kata Pak Daniel.
"Tidak usah pak. Ini cuma lemas saja. Nanti juga membaik kalau aku makan. Antar saja aku ke rumah Riska. Ini temanku." Clarisa menatap Riska di sampingnya, meminta pengertiannya.
"Baiklah. Maaf pak, tapi tolong antarkan Clarisa ke rumahku."
"Kamu yakin, Nak?" Pak Daniel dan Bidan Sofia bertanya bersamaan.
"Iya pak, Bun. Maaf aku merepotkan kalian."
"Tidak perlu merasa sungkan, Sayang. Kita ini keluarga." Bunda Sofia mengelus pundaknya lalu turun dari mobil dan pindah ke kursi depan membiarkan Riska dan Clarisa di belakang.
Mobil pak Daniel melaju pelan mengikuti petunjuk Riska menuju rumahnya. Dan beberapa menit kemudian berhenti di depan sebuah rumah yang besar dengan halaman yang cukup luas.
Riska mengajak Clarisa masuk setelah mengucapkan terima kasih pada Pak Daniel dan bidan sofia.
"Sore Ma, Pa!" Riska menyapa kedua orang tuanya lalu ikut duduk bersama mereka. Clarisa juga ikut duduk di samping Riska, menyalami kedua orangtua Riska dengan hormat.
"Ma, Pa, ini Ica. Temanku waktu kuliah." Riska mengenalkan Clarisa pada orang tuanya.
"Oh ini Ica yang sering kamu bicarakan itu." Mama Riska menatap Clarisa dengan senyum yang mengembang. Clarisa menatap Riska meminta penjelasan kenapa dirinya sering dibicarakan.
"Tenang saja, Riska tidak berbicara sesuatu yang buruk kok. Dia sering bilang kamu baik, pintar dan cantik. Dia sering merindukanmu"
Clarisa melempar tatapan hangat pada Riska. Dia memang teman yang baik. Walau berasal dari keluarga kaya dia tidak membeda - bedakan orang berdasarkan status sosialnya.
"Memang benar sayang, kamu temanku yang paling baik." Riska merangkul Clarista laly menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu.
"Astaga, badan kamu panas sayang." pekiknya menyadari suhu tubuh Clarisa yang panas. "aduh maaf, aku lupa kalau kamu sakit tadi. Ayo aku antarkan kamu ke kamar."
"Dia sakit? Sakit apa, Ris?" mama Sisil, mamanya Riska memeriksa Clarisa dengan matanya.
"Ini Ma. Dia tadi tiba tiba pusing dan lemas. Kepalanya juga terasa sakit. Tapi sekarang panas lagi." Riska menjelaskan keadaan temannya.
Mata mama Sisil kembali memeriksa keadaan Clarisa.
"Apakah kamu sudah menikah?" tanyanya lembut.
"Belum tante."
wanita yang masih cantik diusia empat puluh delapan tahun itu tersenyum. Dia teringat anaknya Riska dulu yang juga hamil sebelum menikah.
Apakah gadis cantik ini juga sedang hamil?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!