Prapto sudah bosan hidup susah dan miskin. Dia selalu dipandang sebelah mata oleh keluarga besar istrinya, Mariyati karena tidak bisa memberikan kemewahan dan kebahagiaan. Setiap hari Prapto hanya bekerja sebagai buruh yang gajinya cukup untuk makan sederhana. Sampai akhirnya dia ketemu dengan teman lamanya yang mengajaknya ke desa pleret untuk menjumpai orang pintar. Di mana orang pintar itu bisa menghubungkan dengan makhluk gaib untuk mendapatkan pesugihan.
Prapto memilih pesugihan kandang bubrah yang baginya tidak memiliki banyak resiko. Namun Prapto tidak bakal tahu bahwa setiap upaya bergantung dengan iblis atau selain Tuhan beresiko. Termasuk menyiapkan tumbal selain setiap tahun harus merenovasi rumah yang ditempatinya supaya segala usahanya lancar. Dan itu akan mendatangkan rejeki dari mana pun asalnya.
Prapto mulai menjalankan usaha kecil-kecilan hingga cepat sukses dan kaya raya. Dia benar-benar sudah memuja setan dan memiliki pesugihan kandang bubrah. Ikuti ceritanya dalam novel PESUGIHAN KANDANG BUBRAH
⭐⭐⭐⭐⭐
"Punya suami kok kere! Kamu itu dulu pasti kena pelet oleh si Prapto. Sampai kamu tidak bisa membedakan laki-laki yang pantas untuk kamu pilih menjadi suami. Sudah bagus kamu dilamar oleh si Doni. Eh, malah milih Prapto yang miskin dan pekerjaan nya sebagai buruh saja," omel ibu Mariyati.
"Mbak, dulu mas Prapto kaya raya loh mbak! Kenapa bisa semiskin itu?" sahut adik kandung dari ibu nya Mariyati.
"Entahlah! Aku juga tidak tahu! Mungkin saja dulu kaya karena banyak hutangnya kali!" sahut ibu kandung Mariyati. Semua yang berada di sana tertawa. Lebih tepat nya mentertawakan akan kemiskinan Prapto sekarang ini. Tentu saja semua itu jelas menyinggung hati Mariyati sebagai istri Prapto.
"Bu, tolong hentikan menghina mas Prapto bu! Dia suamiku dan ayah dari anak-anak ku. Ibu dan bulek tidak seharusnya menghina mas Prapto. Menghina suamiku sama artinya menghina aku," sahut Mariyati. Prapto yang melihat istrinya membela dirinya menarik lengannya supaya menghentikan perdebatan itu.
Dia adalah bu Sumi, mertua dari Prapto. Semua anggota keluarga besar dari Mariyati menatap remeh pada suami Mariyati. Prapto menahan amarah nya. Namun demikian sebisa mungkin Prapto tetap bersikap hormat pada mereka termasuk kedua orang tua Mariyati, istrinya.
"Mas," sebut Mariyati pelan. Dia mengusap punggung tangan suaminya supaya sabar menghadapi hinaan dari keluarga nya. Prapto menarik nafasnya dalam-dalam. Dia tetap berusaha tersenyum pada Mariyati.
"Tidak apa-apa istriku! Memang kenyataannya aku belum bisa membahagiakanmu. Sebagai suami aku belum becus memberikan nafkah lahir kepada mu. Memberikan kemewahan padamu pun aku tidak sanggup. Maafkan aku Mar!" ucap pelan Prapto.
"Mas!" sahut Mariyati seraya meraih tangan suaminya dan menggenggam nya erat.
"Kita pulang yuk!" ajak Mariyati akhirnya. Prapto menyetujui ajakan istrinya pulang ke rumah. Sejujurnya dada Prapto sudah sangat sesak. Dia ingin berteriak sekeras mungkin untuk meluapkan emosinya. Namun dia berusaha tetap tenang karena orang-orang dari keluarga besar istrinya masih memperhatikan dirinya. Sindiran yang begitu menyakiti Prapto tentu di dengar di telinga nya.
"Mereka benar-benar keterlaluan! Di saat keluarga ku jatuh miskin seperti ini, mereka menghina kami habis-habisan. Bagaimana dulu saat aku masih di atas. Di mana aku masih banyak uang dan belum mengalami kebangkrutan," batin Prapto.
Prapto yang ada di ruangan yang sama tentu bisa mendengar nya dengan jelas. Mariyati tentu saja merasa tidak enak karena suaminya di hina seperti itu. Mariyati mendekati Prapto dan mengajaknya pulang ke rumah. Prapto hanya bisa diam tanpa mampu meluapkan kekesalannya.
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Suami istri itu tidak ada obrolan. Tentu saja Prapto tersinggung dengan ucapan orang tua Mariyati khususnya ibu nya Mariyati.
"Mas Prapto! Aku minta maaf soal ibu tadi. Kamu jangan diambil hati yah mas, ucapan ibuku tadi," kata Mariyati.
Prapto mengusap puncak kepala istrinya. Walaupun bagaimana pun, dirinya juga menyadari kalau dia sekarang benar-benar miskin dan bekerja sebagai buruh yang pendapatan nya sedikit. Untuk membelikan perhiasan kalung, cincin, gelang emas saja tidak mampu. Makanan yang dimakan setiap hari oleh istri dan dua anak-anak nya pun terbilang sangat sederhana.
"Maafkan aku, Mariyati! Memang benar semua yang dikatakan oleh ibu kamu. Aku ini miskin dan tidak mampu membahagiakan kamu dan anak-anak. Maafkan aku, Mariyati!" ucap Prapto.
Mariyati berkaca-kaca matanya. Benar saja. Suaminya sangat tersinggung dengan ucapan ibunya. Namun Mariyati juga tidak bisa membungkam mulut tajam orang tuanya yang selalu saja menghina suaminya.
"Mas Prapto! Maafkan ibuku, mas!" sahut Mariyati. Prapto tersenyum lebar walaupun hatinya sangat panas mendapatkan cacian dari orang tua Mariyati.
"Tapi aku berjanji kepada kamu dan anak-anak. Setelah ini aku akan mencari pekerjaan yang lebih baik. Aku ingin kamu dan anak-anak kita mendapatkan kemewahan hidup dan semua kebutuhan tercukupi. Aku juga ingin melihat istriku yang cantik ini memakai perhiasan emas, gelang, kalung, cincin. Dan anak-anak ku bisa memiliki sepeda seperti teman-temannya yang lain," ucap Prapto penuh harapan dan angan-angan. Mariyati justru menangis karena terharu dengan ucapan suaminya.
"Aku sudah merasa bahagia dengan hidup seperti ini, mas! Demi Tuhan aku bahagia. Karena kita sekeluarga dalam keadaan sehat. Walaupun kita hidup pas-pasan dan sederhana. Namun aku merasa bahagia," sahut Mariyati.
"Tapi, aku sebagai seorang suami merasa gagal. Karena aku tidak bisa memberikan kamu kemewahan hidup seperti ibu-ibu yang lainnya," kata Prapto.
Mariyati hanya bisa memeluk suaminya karena dia tidak mampu menahan tangis karena terharu dengan tekad suaminya yang ingin merubah kehidupannya menjadi lebih baik lagi.
"Sudah yah, jangan menangis! Mulai besok aku akan mencari kerjaan yang lebih baik lagi. Hapus air mata kamu. Jangan sampai anak-anak kita melihat kamu menangis," kata Prapto akhirnya.
Mariyati menghapus air mata yang sudah jatuh di pipinya. Dia memaksakan dirinya tersenyum menatap suaminya yang penuh kasih dan perhatian. Walaupun hidupnya tidak seperti ibu-ibu tetangganya, Mariyati terlihat damai dan tenang karena dia merasa cukup bisa rukun bersama suami dan anak-anak nya.
Memang setiap kali mereka pergi ke rumah orang tua Mariyati, orang tua Mariyati suka membandingkan Prapto dengan menantunya lain yang lebih kaya dan mapan. Prapto dan Mariyati jadi malas jika harus mengunjungi orang tua Mariyati atau mertua Prapto. Namun karena siang tadi ada arisan keluarga yang mengharuskan mereka datang, akhirnya Prapto dan Mariyati kembali mendengar ocehan orang tuanya yang merendahkan rumah tangga Prapto dan Mariyati.
"Kalau begitu, aku siapkan makan malam untuk kamu dan anak-anak yah mas! Aku akan buat nasi goreng dengan kerupuknya," ucap Mariyati yang berusaha selalu semangat menjadi ibu dan istri yang baik.
"Bagaimana kabar kamu, To?" tanya Duan saat ketemu Prapto pagi ini di pasar sedang mengangkat barang-barang milik orang. Prapto menjadi kuli panggul di pasar.
"Yah, seperti yang kamu lihat, Wan!" sahut Prapto.
Duan memperhatikan penampilan Prapto yang kacau dan asal. Mungkin saja Prapto sudah tidak memperdulikan lagi gaya hidup dan penampilan nya.
"Kamu sedang mengalami kesulitan ekonomi yah?" tebak Duan. Prapto mengangguk cepat. Duan tersenyum seraya memperhatikan tubuh ideal Prapto yang maco.
"Aku bisa membantu kamu, To. Tapi itu jika kamu mau," sahut Duan. Prapto melebar bola matanya mendengar sahabat nya mau membantu kesulitannya.
"Tentu saja aku mau, Wan. Sekarang ini aku benar-benar sudah buntu. Keluarga istriku selalu saja merendahkan aku yang tidak becus mencari uang untuk memenuhi keluargaku," jelas Prapto.
Duan mulai prihatin dengan masalah yang dihadapi temannya itu. Masalah Prapto sudah pernah ia alami saat dirinya belum menjadi sekarang ini yang sukses dengan segala usaha dan sudah terbilang mapan.
"Baik, kalau begitu besok pagi ikut aku yah. Aku akan mengajak kamu ke suatu tempat. Tapi tempat nya ini diluar kota. Kira-kira dua puluh empat jam lebih untuk bisa tiba di tempat itu," jelas Duan. Prapto mulai tertarik dengan ajakan Duan.
"Tidak apa, Wan! Aku harus merubah nasib aku. Aku sudah lelah hidup dalam kekurangan dan kemiskinan. Apalagi ditambah dihina oleh orang-orang dan mertua," keluh Prapto.
"Ya ya, aku mengerti, To! Masalah seperti itu sudah pernah aku alami dulu," kata Duan seraya menepuk puncak Prapto, teman nya sewaktu sekolah dulu.
"Jangan lupa, besok pagi aku akan ke rumah kamu. Siapkan pakaian ganti juga karena kita akan melakukan perjalanan cukup jauh. Sekalian juga aku ada kepentingan di sana. Selain mengantarkan kamu untuk merubah nasib, aku juga memang ada urusan pribadi di sana," kata Duan.
"Syukur kalau begitu! Jadi aku tidak terlalu merepotkan kamu kan? Tapi aku harus membicarakan hal ini pada istriku, Mariyati, Wan. Masalahnya aku harus meninggalkan istri dan anak-anak ku ke luar kota. Sementara aku juga harus meninggalkan uang untuk Mariyati. Demikian juga aku pun butuh modal untuk pergi kan, Wan?" kata Prapto panjang lebar. Duan tersenyum lebar. Dia menepuk bahu kawannya itu pelan.
"Soal itu jangan khawatir, To! Aku akan membantu kamu soal ini, selain yang untuk jajan istri dan anakmu, kamu juga gratis aku bayari untuk melakukan perjalanan ini. Anggap saja, kamu menemani aku dulu di desa Pleret tempat aku mendapatkan kekayaan," terang Duan. Prapto tersenyum senang.
"Kamu yakin, Wan? Mau membantu ku soal keuangan ini?" sahut Prapto.
"Iya, satu juta cukup kan buat ninggalin istri dan anak-anak mu. Mungkin hanya tiga hari saja kok di sana," kata Duan.
"Tidak apa-apa Wan. Itu sudah lebih dari cukup. Kami sudah biasa hidup sederhana, Wan," ucap Prapto.
"Tidak apa-apa sekali-kali mereka makan enak, seperti ayam goreng," kata Duan sambil tersenyum lebar. Prapto tiba-tiba mendapatkan seseorang untuk meminta bantuan mengangkat beberapa barang belanjaan. Duan bergegas pamit pergi dari tempat itu.
"Ya sudah, aku pergi dulu yah. Itu kamu ada orang yang mau minta jasa kamu untuk ngangkat barang. Oke, besok pagi aku ke rumah kamu yah! Aku harus pulang dulu," kata Duan seraya menjabat tangan Prapto.
Duan berjalan menuju ke tempat di mana mobilnya dia parkirkan. Prapto menatap Duan dengan tatapan yang kagum terhadap perubahan yang terjadi pada nasib Duan.
"Semoga saja ini usaha yang terakhir untuk merubah nasibku. Semoga di sana nanti aku bisa cocok dengan pekerjaan yang ditawarkan oleh Duan. Walaupun jauh dengan istri dan anak-anak ku. Tapi ini demi mereka juga," gumam Prapto.
Setibanya di rumah Prapto membicarakan soal keberangkatan nya keluar kota untuk merubah nasib. Tentu saja Mariyati merasa keberatan jika Prapto harus bekerja di luar kota yang akan jauh dari istri dan anak-anaknya.
"Tapi, mas! Tapi pekerjaan apa yang ditawarkan oleh Duan? Kalau bisa kamu bekerja di sini saja mas. Aku dan anak-anak lebih suka jika kita kumpul bersama di sini. Walaupun kita hidup dalam kesederhanaan tapi aku dan anak-anak sangat senang jika kamu tidak jauh dari kami," ucap Mariyati.
"Kita lihat nanti saja, Mar! Doakan aku bisa bekerja di sini dan tidak meninggalkan kamu dan anak-anak demi sebuah pekerjaan. Walaupun pekerjaan dan keluarga juga sama-sama penting," kata Prapto.
"Iya, mas! Semoga apa yang kamu inginkan terkabulkan," sahut Mariyati.
"Keinginan adalah bisa merubah nasib keluarga kita. Aku sudah lelah mendapatkan hinaan dari orang-orang. Dan juga orang tua kita karena kita miskin," ucap Prapto. Ucapan Prapto membuat Maryati menangis. Semua karena orang tuanya yang selalu menghina suaminya. Selain itu mungkin saja Prapto akan cuek jika orang menghina dirinya.
⭐⭐⭐⭐⭐
Pagi itu Duan benar-benar datang ke rumah Prapto. Dia sudah bersiap-siap pergi ke luar kota. Namun saat tiba di rumah Prapto, Duan terlihat kecewa karena Prapto belum bersiap-siap pergi. Padahal kemarin seperti sudah menyanggupi kalau pagi ini Prapto akan ikut bersama Duan akan pergi ke luar kota, tepat nya di desa Pleret di daerah Jawa perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Mobil Duan berhenti di depan rumah Prapto. Prapto beserta Mariyati berdiri di depan rumah sudah menyambut kedatangan Duan dengan mobil mewahnya. Ada rasa cemburu dalam benak Prapto atas keberhasilan dan kesuksesan Duan. Rasanya Prapto ingin seperti Duan yang sudah memiliki rumah, mobil dan juga showroom mobil dan motor. Mariyati diam-diam memperhatikan suaminya yang seperti melamun saat melihat Duan dengan penampilan yang wah.
"Loh, Prapto! Kok kamu belum siap-siap sih? Jadi enggak ikut aku ke desa Pleret?" kata Duan yang langsung bertanya saat dirinya turun dari dalam mobilnya. Prapto melihat Mariyati dan Duan secara bergantian.
"Em, kita masuk dulu Wan! Kami mau bicara dengan kamu di dalam soal pekerjaan di sana nanti," kata Prapto.
Duan menyipit bola matanya. Sepertinya memang Duan harus membicarakan hal ini pada Prapto beserta istrinya. Mungkin saat di pasar kemarin ada kesalahpahaman Prapto mengenai pekerjaan yang ditawarkan oleh Duan. Akhirnya Duan mengikuti Prapto beserta Mariyati masuk ke dalam rumah mereka. Lebih tepatnya rumah kontrakan mereka.
"Assalamu'alaikum!" ucap Duan saat kaki nya melangkah masuk ke pintu rumah Prapto.
"Waalaikumsalam, ayo duduk Wan!" sahut Prapto pada Duan. Prapto dan Duan kini telah duduk di kursi kayu di ruangan itu. Sementara itu Mariyati ke dapur kecilnya untuk membuat kopi untuk Duan dan juga suaminya.
"Jadi seperti ini Wan! Mariyati sebenarnya keberatan jika aku bekerja di luar kota. Apalagi harus jauh dengan anak dan istri. Lagipula di sana aku belum jelas bekerja apa. Kamu bisa menjelaskan dan meyakinkan Mariyati soal ini tidak?" kata Prapto.
Duan mulai menarik batang rokoknya. Rokok itu dia nyalakan dan mulai menghisapnya. Duan menunggu Mariyati ikut duduk di ruangan itu. Tidak lama Mariyati datang membawa dua gelas minuman panas dan meletakkan di atas meja.
"Ini minumnya di minum dulu mas!" ucap Mariyati setelah dua gelas kopi telah ia letakkan di atas meja.
"Mariyati, kamu duduk lah! Ini Duan akan menjelaskan pekerjaan apa yang akan aku lakukan di luar kota nanti," kata Prapto. Duan sejenak bingung harus memulai dari mana. Dia melihat pasangan suami istri itu secara bergantian.
"Jadi begini, mbak Mar! Sebenarnya aku ingin mengajak Prapto dulu ke suatu tempat di luar kota ini. Di sana lah ada sesuatu yang harus aku lakukan. Ini berkaitan dengan kesuksesan dan keberhasilan ku seperti sekarang. Aku bisa punya uang banyak dan segala kemewahan," cerita Duan. Prapto dan Mariyati mengerut keningnya. Pasangan itu saling berpandangan.
"Tentu nya setelah di sana nanti, Prapto bisa mengikuti jejakku. Tapi jangan khawatir segala sesuatu nya akan aku tanggung untuk perjalanan ke sana. Bahkan aku sudah menjanjikan pada Prapto akan memberikan uang satu juta untuk ninggalin anak istri nya saat Prapto aku ajak pergi," sambung Duan. Mariyati dan Prapto saling berpandangan. Mereka tentu saja masih bingung dengan pekerjaan yang dilakukan oleh Duan.
"Tapi masalah Prapto nantinya tidak cocok dan tidak mau mengikuti jejakku untuk sukses seperti sekarang ini, aku juga tidak akan memaksa loh! Semua akan aku kembalikan pada Prapto dan juga kamu mbak Mar," kata Duan lagi.
Tiba-tiba seseorang datang dengan marah-marah. Seorang ibu-ibu berteriak memanggil Mariyati.
"Bu Mariyati! Bu Mariyati, tolong keluar!" teriak seorang ibu-ibu. Mariyati dan Prapto saling berpandangan. Akhirnya Mariyati dan Prapto keluar menuju ke depan rumahnya. Wajah judes terlihat pada wajah ibu-ibu yang datang langsung marah-marah itu.
"Bu Mar! Mana uang yang kemarin bu Mariyati pinjam ke saya dua juta. Saya sangat butuh hari ini. Janjinya hari ini mau bu Mar bayar bukan?" kata ibu-ibu itu. Mariyati dan Prapto saling berpandangan. Akhirnya Prapto angkat bicara.
"Tolong beri kelonggaran satu minggu lagi bu. Kami benar-benar belum bisa mengembalikan uang ibu," sahut Prapto.
"Halah, kalian ini benar-benar sudah tidak dipercaya lagi. Katanya mau dikembalikan hari ini. Tapi nyatanya hanya janji doang," ujar ibu itu.
Duan yang mendengar keributan itu dari dalam segera ikut keluar. Duan menarik tangan Prapto untuk masuk ke dalam rumah.
"Ayolah, Prapto! Lebih baik kamu ikut dengan ku dulu. Aku yakin setelah di sana nanti kamu akan tertarik mengikuti kesuksesan aku. Soal segala urusan kamu di sini, biar aku bantu deh. Termasuk hutang pada ibu itu yang dua juta. Bagaimana?" kata Duan pada Prapto setelah Duan mengajak masuk ke dalam rumah. Jangan lupakan ibu-ibu penagih hutang itu masih di depan ngomel-ngomel dengan Mariyati.
"Kamu yakin mau bantu aku, Wan? Uang tiga juta tidak sedikit loh," sahut Prapto. Duan tersenyum lebar.
"Jangan khawatir! Ini aku sudah menyiapkan lima juta untuk keluarga mu dari rumah. Semoga uang ini bisa menyelesaikan urusan kamu," kata Duan.
Prapto mengambil amplop coklat pemberian Duan. Tanpa berpikir panjang, Prapto bergegas ke luar menjumpai ibu-ibu penagih hutang itu. Lalu membayar hutang nya yang dua juta rupiah itu pada ibu itu. Sementara itu Mariyati menatap heran darimana suaminya tiba-tiba mendapatkan uang yang banyak.
Maryati akhirnya mengijinkan suami nya, Prapto keluar kota untuk mencari pekerjaan. Namun Prapto sendiri belum menyampaikan pekerjaan apa yang akan dia kerjakan nanti saat di luar kota tersebut. Dan Duan memang belum membicarakan masalah ini. Duan belum menceritakan dari mana asal muasal dirinya mendapatkan uang yang berlimpah dan kekayaan nya berasal dari mana. Selain itu kesuksesan bisnisnya pun belum ia ceritakan pada sahabat nya itu, Prapto.
Maryati melepaskan kepergian suaminya itu dengan ikhlas. Toh tujuan Prapto pergi keluar kota untuk merubah nasib nya yang selama ini terhimpit masalah hutang dan ekonomi yang sulit.
"Hati-hati yah, mas! Aku dan anak-anak di sini selalu mendoakan kamu mas supaya kamu berhasil dalam segala usaha," ucap Maryati dengan kedua mata yang berembun. Prapto mengecup kening istrinya sebagai perpisahan.
"Titip anak-anak yah, Mar! Jaga diri baik-baik!" sahut Prapto.
Maryati tersenyum walaupun hatinya merasakan kegetiran harus berjauhan dengan suaminya. Duan yang sudah datang dan menjemput Prapto sejak tadi dengan sabar menyaksikan adegan mesra antara pasangan suami istri tersebut. Duan tentu saja merasa iri dengan pasangan suami istri itu yang terlihat romantis dan saling menyayangi. Walaupun keadaan mereka belum bergelimang harta. Maryati tetap setia dan menghormati Prapto sebagai suaminya.
"Kalian ini seperti akan berpisah lama saja loh! Kita di luar kota paling hanya satu minggu saja kok!" Tiba-tiba saja Duan merusak momen haru antara suami istri itu.
Prapto dan Maryati saling pandang. Keduanya memang belum mengerti pekerjaan apa yang akan direkomendasikan oleh Duan pada Prapto.
Suami istri itu saling melambaikan tangan saat Duan mulai menjalankan mobilnya. Perjalanan kali ini, Duan sengaja mengajak Prapto ke tempat di mana dirinya mendapatkan pesugihan. Harapan Duan adalah sahabat kecilnya itu bisa terbebas dari cerita dan kepahitan hidup seperti dirinya. Walaupun harus menjual keimanannya serta memuja iblis.
Diam-diam Duan melihat Prapto yang duduk di sebelah nya. Sahabat nya itu terlihat sedih saat jauh dari istri dan anak-anaknya.
"Jangan sedih, To! Perjalanan ini tidak lama. Aku harap, setelah ini kamu bisa memutuskan solusi terbaik untuk merubah takdir kehidupan kamu yang dalam kekurangan dan kemiskinan," ucap Duan. Ucapan Duan membuat Prapto menjadi bingung. Bukannya Duan mengajak dirinya untuk mencarikan pekerjaan dan merubah nasibnya?
"Hahaha, ya sudahlah! Nanti aku akan menceritakan semua nya dengan gamblang. Yang pasti aku ingin kamu kaya raya dan banyak harta seperti diriku saat ini. Tidak terlilit hutang dan selalu dihina oleh keluarga besar kamu," kata Duan yang sangat memahami kehidupan Prapto dan apa yang telah dirasakan oleh sahabat nya itu.
⭐⭐⭐⭐
Hujan deras mengiringi perjalanan Prapto yang diantar Duan ke desa Pleret. Di mana Duan telah menceritakan rahasia terbesarnya pada Prapto bahwa dirinya telah memiliki pesugihan. Dimana Duan memilih bersekutu dengan iblis dan menjadi pengabdi setan.
Betapa Prapto sangat terkejut dengan hal ini. Dirinya menganggap bahwasanya perjalanan nya ke luar kota itu akan langsung bekerja entah sebagai kuli atau karyawan pabrik. Ternyata dirinya diajak oleh Duan di tempat keramat di mana di sana akan bertemu dengan juru kuncen yang akan membantu menyelesaikan solusi dan menghubungkan dengan makhluk gaib yang akan membantu memberikan kekayaan.
Dari beberapa pilihan untuk mendapatkan kekayaan dengan cara instan, Duan memilih pesugihan menjual dirinya pada jin. Di mana Duan harus melakukan ritual menikah dengan jin wanita. Sehingga Duan mengorbankan tubuh nya untuk melakukan senggama dengan istri gaib nya. Jika Duan tidak bisa memenuhi keinginan jin itu, taruhan nya adalah nyawanya sendiri.
Dalam perjalanan ke desa pleret, Duan menceritakan kisahnya saat memuja iblis. Dirinya telah menjadi budak setan sekaligus melayani nafsu bejat sang ratu iblis. Walaupun begitu, Duan sudah terbiasa dan menikmati persetubuhan beda dunia itu. Duan mendapatkan uang yang berlimpah ruah entah datang dari mana. Setelah menunaikan tugasnya melayani istrinya yang tidak lain adalah ratu iblis itu, Duan menerima banyak emas dan permata. Dari sanalah, Duan menjualnya sedikit demi sedikit di kota untuk memperoleh uang yang diinginkan.
Di dalam mobil itu, Duan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sambil bercerita tentang kehidupan dan kisahnya, Duan tetap membelah jalanan yang sepi karena guyuran hujan deras tidak juga reda.
"Bagaimana kamu bisa mengorbankan tubuhmu untuk melakukan senggama dengan istri gaib mu, Wan? Apakah kamu benar-benar sudah menyukai istri gaib kamu?" tanya Prapto penasaran.
Duan menyipitkan bola matanya mendengar pertanyaan konyol dari sahabatnya.
"Gila kamu, To! Semua aku lakukan demi mendapatkan banyak emas dan permata. Setelah melakukan senggama, di pagi harinya setelah ayam berkokok di kamar yang khusus aku pakai untuk ritual dengan istri gaib ku, di sana aku dapati banyak emas permata. Awalnya aku pikir itu hanyalah mimpi, ternyata apa yang aku lihat benar-benar asli. Hingga aku bergegas pergi ke kota untuk menjual emas permata itu," cerita Duan.
Prapto mendengar cerita sahabatnya dengan serius. Dia menjadi bingung. Sepertinya pesugihan menjual diri dan sebagai budak nafsu ratu iblis sangat mudah dan gampang. Bahkan bisa membuat enak yang bersangkutan.
"Duan, kalau boleh bertanya. Saat melakukan senggama dengan ratu iblis itu, apakah kamu merasakan enak? Maaf Duan! Aku hanya penasaran," ucap Prapto ragu-ragu untuk bertanya masalah itu.
"Hehehehe, awalnya aku merasakan jijik, To! Sampai aku memejamkan mata saat melakukan senggama itu. Hingga lama kelamaan aku mendapatkan enaknya. Tapi itu pun tidak berlangsung lama.Ternyata ratu iblis memiliki nafsu yang melebihi ekspetasi kita. Dimana ratu iblis tidak pernah puas hanya dengan melakukan satu kali kegiatan berhubungan intim," terang Duan. Prapto yang mendengar mengerutkan dahinya.
"Lalu berapa kali, kamu melayani ratu iblis itu, Wan?" sahut Prapto.
"Sampai ayam jantan berkokok. Jelas-jelas aku terkuras stamina ku, To. Daya tahan tubuh ku semakin lama semakin habis dengan hubungan itu. Namun aku harus melakukan itu demi emas permata," kata Duan. Prapto tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Duan yang mesum.
"Jadi apa perlu kamu minum obat kuat kalau hendak melakukan ritual dengan ratu iblis, istri gaib kamu itu, Wan?" tanya Prapto.
"Hahaha tentu saja! Akhirnya aku harus mengkonsumsi obat itu setiap harus melayani istri gaib ku. Kalau tidak? Ratu iblis akan marah dengan ku karena aku, tidak bisa memenuhi keinginan nya," sahut Duan dengan tersenyum lebar.
"Haha," Prapto mentertawakan kehidupan Duan yang kini telah menjadi budak nafsu bagi ratu iblis. Duan telah menjual tubuh nya pada ratu iblis demi mendapatkan emas permata sebagai imbalannya.
"Apakah kamu tertarik dengan pesugihan menjual diri seperti ku?" tanya Duan.
"Lihat saja nanti, Wan! Yang pasti aku sudah lelah hidup dalam penghinaan orang-orang karena aku tidak punya apa-apa. Terutama mertuaku yang selalu memandang rendah aku, membandingkan aku dengan menantu nya yang kaya dan sukses tidak seperti aku," kata Prapto akhirnya. Duan hanya manggut-manggut saja mendengar keluhan sahabatnya.
☠️☠️☠️☠️☠️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!