NovelToon NovelToon

Don'T Leave Me This Way

Luka pertama

...🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭...

...Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun alur cerita yang sama. Author pastikan itu hanya sebuah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan dari author. ...

...Happy reading guys😘🥳...

Seorang gadis cantik berusia 21 tahun bernama Amara, menatap jengah pantulan wajah dirinya sendiri dari kaca spion motor matic yang ia kendarai pagi ini.

Bukanlah tanpa sebab dirinya jengah dengan penampak wajahnya sendiri. Karena ia sebenarnya sudah muak dengan penampakan wajah sembabnya yang ia peroleh karena terus saja menangis disepanjang jalan menuju kampusnya.

Plak!!

Amara menepuk kasar kaca spion scooter matic tuanya. Hingga kaca spion itu tak lagi mengarah pada wajahnya. Dapat di pastikan hari ini ia harus kembali kembengkel aksesoris motor. Karena ia harus kembali mengganti kaca spion kendaraan tuanya ini, yang kondisinya sudah kembali somplak.

Ya. Beginilah cara gadis cantik nan malang ini meluapkan emosi dan tangisnya yang selalu menyesakan dada. Hanya saat dimana ia berada di atas motor matic tua yang setia menemaninya dari kelas satu SMA.

Mugost adalah nama motor matic tuanya, yang dibelikan Chandra kakak laki-lakinya bersama sang ayah, ketika Amara berhasil menjadi siswi di SMA favorit yang ada di daerah pinggiran ibukota.

Ya, dulu jalan kehidupan Amara pernah terasa sangat manis, semanis gulali di pasar malam. Amara yang dulu adalah gadis remaja yang manja dan periang. Semua anggota keluarganya begitu menyayanginya.

Namun sayang kini semua telah berubah. Mengikuti roda hidup yang terus berputar. Orang-orang baru yang masuk ke dalam keluarga Amara, perlahan membuat Amara tersisihkan. Tentunya bukan karena sikap manja Amara yang menjadi penyebabnya. Tapi ada hal lain yang membuat Amara terus terluka meski berada dilingkungan keluarga kandungnya sendiri.

Hingga kini akhirnya Amara terbiasa berteriak mengumpat dan menangis saat motor matic yang ia kendarai melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota. Ia tak takut untuk melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Seolah ia sengaja menantang maut, agar cepat-cepat datang menghampirinya.

Aaaaa... dasar Berengs(e)k! Indah sekali pagi gue ini, Tuhan. Sampai-sampai gue harus mengawali hari ini dengan menangis lagi dan lagi. Cengeng banget sih gue. HUAaaaaaa.....

Pagi ini sama seperti pagi biasanya. Di mana saat berangkat ke kampus, Amara selalu disuguhkan dengan drama keluarga yang selalu memojokkan dirinya, agar dirinya merasa muak dan bertekad keluar dari rumah kedua orang tuanya.

Ya, sebuah drama keluarga pagi hari yang tak pernah absen disetiap harinya itu, bersumber dari kecemburuan sang kakak perempuan Amara yang telah menikah dengan seorang pria dari masa lalu Amara.

Novita, kakak perempuan Amara yang telah menikah dengan Erdi. Erdi adalah sosok pria yang menjadi cinta dan kekasih pertama di dalam hidup Amara.

Novita kini menjadi seorang provokator ulung di keluarga terutama pada kedua orang tua mereka. Ada saja kesalahanan-kesalahan Amara yang Novita cari dan dibahas saat mereka sedang sarapan pagi bersama.

Ya, bersama kedua orang tuanya dan sang mantan kekasih yang kini menjadi kakak iparnya.

Dapat dibayangkan bagaimana rasa sakit dan kepedihan hati yang Amara rasakan setiap harinya.

Melihat pria yang menjadi sosok cinta pertamanya menjadi suami dari kakak kandungnya sendiri. Di meja makan ini ia selalu menjadi anak dan adik yang tersisih karena ulah kakak kandungnya sendiri.

Pernikahan Novita dan Erdi terjadi bukan karena Erdi salah melamar seperti di dalam cerita novel. Namun, karena Erdi pria yang cukup mapan di usia 25 tahun kala itu berpindah haluan hatinya begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana perasaan Amara. Seolah perasaan cintanya pada Novita membutakan segalanya.

Tentunya hal ini terjadi setelah Erdi mengenal sosok Novita, kakak Amara yang kala itu berusia 21 tahun. Ia kepincut kecantikan Novita yang memang lebih cantik dari Amara yang masih menjadi gadis remaja berusia 18 tahun saat itu.

Jelas saja Novita jauh lebih cantik karena sudah mengenal berbagai jenis skin care dan perawatan tubuh lainnya. Berbeda dengan Amara yang masih remaja berusia 18 tahun, yang masih dengan kepolosannya dan masa pertumbuhan. Dimana ia masih meraba dan baru mengenal dunia yang kejam ini.

Gadis malang ini belum paham dan mengenal skin care serta perawatan tubuh lainnya. Karena di dunianya saat itu, ia masih sedang sibuk mencari jati dirinya sendiri dan juga mengenal cinta.

Novita yang masih duduk di bangku kuliah saat itu, kerap kali didekati banyak lelaki yang juga mengagumi kecantikan Novita. Hal ini membuat Erdi takut kehilangan sosok Novita yang sangat ingin ia miliki. Entah sebuah obsesi atau cinta. Yang pasti hati Erdi sangat mantap untuk menjadikan Novita sebagai ratu di kehidupannya.

Sehingga pada akhirnya, Erdi nekat melamar Novita, setelah tiga bulan lamanya mereka menjalin kasih, tanpa Erdi sempat memutuskan hubungannya terlebih dahulu dengan Amara. Sungguh kejam Erdi memperlakukan ketulusan cinta Amara padanya.

Ya, selama tiga bulan mereka berdua menjalin kasih di belakang Amara yang lugu dan mudah dibodohi. Dapat dibayangkan kehancuran hati Amara saat mengetahui Erdi datang bersama keluarganya jauh-jauh dari kota Garut ke kediamannya. Bukan untuk melamar dirinya. Namun untuk melamar sang kakak kandung yang terlihat begitu bahagia.

"Aa?" Amara mematung di muka pintu dengan wajah terkejutnya.

Saat ia melihat Erdi datang bersama kedua orang tua Erdi, yang sangat Amara kenali karena mereka kerap kali melakukan panggilan video call bersama.

"Ayah dan ibu ada, De?" Tanya Erdi dengan mata yang mengedar ke dalam rumah mencari sosok yang ia cari entah siapa. Orang tua Amara atau sosok lain yang ia cari. Yang pasti pertanyaan Erdi berhasil menyadarkan Amara dari keterkejutannya.

"Ada. Aa mau ngapain datang malam-malam begini sama Appa dan Ambu ke sini?" Tanya Amara yang penasaran, setelah sebelumnya ia dengan sopan menghampiri dan mencium punggung tangan kedua orang tua Erdi.

"Mau ketemu sama kedua orang tua Ade. Tolong panggilkan mereka ya, De! Aa mau ketemu dan ngobrol penting." Jawab Erdi dengan titahnya.

Pria tampan bertubuh atletis ini dengan santainya bicara, tanpa memikirkan bagaimana perasaan Amara. Jika Amara mengetahui niat sebenarnya kedatangan dirinya ke rumah kedua wanita yang ia pacari ini.

"Ishh. Aa mau ngapain sih? Jangan cari gara-gara Aa datang kesini bawa Appa sama Ambu. Ayah bisa marah, Aa. Aa mau ya lihat Appa sama Ambu di usir sama Ayah aku gitu? Aku 'kan udah bilang kalau Ayah aku itu galak banget. Aa tolong dong jangan nekat begini." Amara berkata dengan rasa takut yang mulai menguasai dirinya, atas kenekatan Erdi mendatangi kediamannya.

Mendengar perkataan Amara, Erdi malah tersenyum santai, seolah tak mau mengerti apa yang kini dirasakan oleh Amara. Sikapnya ini sudah menunjukkan, jika sejak awal memang ia sama sekali tak perduli bagaimana dengan perasaan Amara nantinya.

"Kamu jangan takut, Aa gak akan macam-macam sama kamu. Pokoknya kamu tenang saja. Aa yakin Ayah kamu gak akan marah. Sekarang tolong panggilkan mereka dan izinin Aa dan kedua orang tua Aa untuk masuk ke dalam. Kasian mereka berdiri terus, gak kamu persilahkan masuk." Ucap Erdi sembari tersenyum dan menepuk bahu Amara berulang-ulang.

Akhirnya dengan berat hati Amara mengizinkan Erdi dan kedua orang tuanya masuk ke dalam, tanpa ia menaruh rasa curiga sedikitpun. Padahal Ambu sudah memasang raut wajah sedih menatap wajah Amara.

Setelah mempersilahkan tamu tak diundangnya ini masuk. Amara segera menghampiri kedua orang tuanya yang kebetulan sedang menonton televisi di ruang keluarga.

"Ayah Ibu, ada tamu di depan. Mereka datang ingin bertemu dengan Ayah dan ibu." Ucap Amara sembari menundukkan pandangannya karena merasa takut dan tak berani menjawab.

"Siapa Ara?" Tanya Tomo, ayah Amara yang sama sekali tak mendapatkan jawaban dari Amara yang dikuasai rasa takutnya.

Alih-alih menjawab Amara memilih pergi ke dapur untuk membuatkan minum untuk kekasih dan kedua orang tua kekasihnya yang sebentar lagi akan melukai hatinya.

"Mohon maaf Bapak dan Ibu, kedatangan saya malam-malam ke sini mengganggu waktu istirahat Bapak dan Ibu. Ada pun niat baik saya datang ke sini untuk melamar salah satu putri Bapak dan Ibu yang bernama Novita untuk menjadi menantu saya." Ucap Karma, yang biasa dipanggil Appa.

Deg!

Apa? Kenapa Appa sebut Kak Novita? Aku gak salah dengarkan ini? Batin Amara.

Amara benar-benar terkejut dengan nama Novita yang disebut oleh Appa. Matanya membulat sempurna. Reaksi keterkejutan Amara terbaca oleh kedua orang tua Erdi yang merasa sedih dan bersalah pada gadis cantik dihadapannya.

Ambu, ibunda Erdi memilih menundukkan pandangannya sembari memainkan jemarinya demi menahan kesedihan yang ia rasakan. Sebagai seorang wanita, ia dapat memahami bagaimana perasaan Amara.

Sementara Amara yang sengaja memperlama keberadaannya di sana, masih berfikir ia sedang salah mendengar Appa menyebutkan nama. Namun sayangnya ternyata tidak, ketika Erdi dengan lantang dan tegas menjelaskan tentang hubungan cinta diantara mereka berdua.

Amara tak lagi menundukkan pandangannya saat meletakkan segelas teh hangat terakhir yang diperuntukan untuk sang kekasih yang berhasil menancapkan pisau belati tepat di hatinya.

Hancur, sakit. Benar-benar hancur dan sakit hati Amara saat itu. Andai saja kedua orang tuanya tahu Erdi adalah kekasihnya. Mungkin lamaran Erdi tak akan diterima oleh kedua orang tuanya. Namun sayangnya, kedua orang tua Amara tidak mengetahui hubungan antara Amara dan Erdi. Amara pun takut untuk mengakuinya. Karena ia tahu, ia sudah ingkar dari aturan yang dibuat oleh sang ayah.

Amara dan Erdi selama ini menjalani hubungan backstreet. Amara yang masih duduk di sekolah menengah atas, sama sekali tidak berani untuk menjalin kasih terang-terangan di depan kedua orang tuanya. Ia takut tak mendapatkan izin apalagi restu. Karena ia tahu, sang ayah sangat mementingkan pendidikan hingga membuat aturan tidak boleh berpacaran selama masih menempuh pendidikan.

Adapun alasan mengapa Novita bisa mengenal Erdi, itu karena Amara meminta bantuan pada Novita untuk memperlancar dirinya mendapatkan izin dan restu dari kedua orang tuanya untuk berpacaran. Ingin rasanya Amara mendapatkan pengecualian dari aturan yang telah dibuat oleh sang Ayah.

Namun siapa sangka mengenalkan Novita pada Erdi. Membuat Novita menikung dirinya. Di sini Novita tak bisa sepenuhnya disalahkan, karena dari Erdi-nya sendiri yang terlebih dahulu menaruh hati pada Novita. Wanita yang lebih segalanya dari Amara saat itu. Ya, saat itu tidak dengan saat ini.

Dan kini meski sudah menikah, Novita enggan untuk meninggalkan kediaman orang tuanya. Padahal suaminya yang berprofesi sebagai seorang abdi negara cukup mapan dan mampu untuk membeli sebuah rumah, meskipun hanya sekedar rumah sederhana.

Dari rasa keenggannya itu, Novita kerap kali merasa cemburu pada Amara. Karena ia sering mendapati sang suami memberikan perhatian lebih pada Amara, yang merupakan mantan kekasih suaminya ini.

Erdi kerap kali pula kedapatan mengagumi dan memandangi Amara yang kini hari demi hari makin terlihat cantik dan bersinar. Begitu pula dengan karir dan masa depannya.

Disakiti dan dicampakkan tak membuat hidup Amara terpuruk. Berkat rasa sakit hati yang ia rasakan. Amara malah menjadi sosok seorang wanita yang penuh dengan prestasi.

Bagaimana tidak ia melupakan rasa cintanya pada Erdi dengan kegiatan positif yang lebih menonjol dari kegiatan negatif yang ia jalani.

Kecurigaan demi kecurigaan terus tumbuh menjamur dari dalam diri Novita pada sang suami dan juga Amara, sang adik yang sudh tak memperdulikan mereka. Ia selalu berpikir Erdi kembali menjalin kasih dengan sang adik di belakangnya.

Hal inilah yang membuat Novita ingin sekali Amara keluar dari rumah orang tuanya, agar adiknya ini tak menjadi duri di dalam rumah tangganya.

"Sebenarnya yang jadi benalu itu gue apa dia? Gue kuliah biaya sendiri, bukan dari duit Ayah apalagi suaminya. Ya salam... Mana mungkin gue yang belum nikah keluar dari rumah. Ada juga dia tuh yang udah nikah, wajib keluar dari rumah. Lagi gak mungkin gue nusuk Kak Novi dari belakang, lagi Kak Novi juga 'kan udah pada tahu, kalau gue udah pacaran sama Rendra. Kenapa dia setakut itu sih sama gue? Lagian salah dia sendiri kenapa nikah sama Erdi, udah tahu dia pacar gue." Celoteh Amara sembari menitikan air mata.

Amara mengingat betul, bagaimana Erdi memutuskan hubungan dengannya, setelah lamaran pria brengs(e)k itu diterima oleh kedua orang tuanya, pria brengs(e)k ini memutuskan hubungannya dengan Amara hanya dengan sebuah pesan singkat.

Ade maafin Aa, seperti yang Ade lihat Aa sudah melamar Novi. Aa mohon Ade tidak merusak kebahagiaan Aa dan Novi, dengan mengatakan sejujurnya tentang hubungan kita pada kedua orang tua Ade. Aa mohon dengan sangat tolong mengerti perasaan Aa dan Novi.

Amara terus menggelengkan kepalanya di atas motor yang melaju membelah jalanan Ibu Kota, saat mengingat isi pesan Erdi yang memutuskan hubungan dengannya saat itu. Jika dilihat orang sekitarnya, gerakan kepala Amara ini seperti orang sedang triping di atas motornya.

Padahal, jika saja bukan karena kedua orang tua Amara terlanjut senang, mendapatkan calon menantunya yang bekerja sebagai seorang aparatur negara yang berpangkat cukup tinggi. Mungkin dia tak akan perduli dengan perasaan Erdi dan Novita, yang sudah menghancur leburkan hati dan jiwanya berkeping-keping saat itu.

Dasar manusia egois, gue harus mengerti perasaan mereka. Mereka ngerti perasaan gue juga nggak. Cocok banget nih gue kalau nyanyi lagu mendiang Olga sampai kampus. Cerocos Amara yang kemudian tertawa terbahak-bahak menertawakan dirinya sendiri dan menyanyi dengan nada sumbang lagu mendiang Olga yang berjudul hancur hatiku.

Hancur-hancur hatiku, hancur-hancur hatiku, hati ku HANCUR...!!!

Hari ini seperti hari biasanya, di mana Amara akan menghabiskan waktunya seharian di luar rumah dan akan kembali tepat jam tujuh malam atau bisa lebih dari jam tujuh malam. Jika jalanan ibu kota tidak padat merayap.

Usai jam kuliahnya selesai, Amara kembali melanjukan scooter matic tuanya ini menuju sebuah ruko yang dijadikan kantor oleh seorang motivator bisnis cukup ternama dikalangannya.

Ya, Amara bekerja sebagai sales telemarketing di perusahaan yang bergerak di bidang jasa ini. Sudah hampir 4 tahun ia bekerja di perusahaan ini. Dari bekerja di perusahaan inilah Amara dapat membiayai kuliahnya sendiri, hingga hampir rampung seperti saat ini.

"Siang Mba Trie," sapa Amara yang terkenal dengan sikap ramah dan sopannya.

Ia menyapa salah satu staff telemarketing senior yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda. Mba Trie ini sudah berusia 35 tahun, namun masih terlihat awet. Ia selalu menolak di panggil dengan sebutan Ibu ataupun Tante, yang menurutnya sangat tak cocok untuk dirinya.

"Siang, Ara. Bawa pesanan gue 'kan?" Tanya Mba Tri dari balik meja kerjanya tanpa memandang lawan bicaranya.

Pasalnya saat ini ia tengah sibuk chatting dengan om bule ganteng koleksinya. Mba Tri ini adalah single mom yag energik dan berjiwa muda.

Sering dikecewakan dengan produk lokal, membuatnya ingin mencoba peruntungan dengan produk luar negeri, yaitu dengan Om-om bule yang kerap kali membelikan ia tiket untuk berlibur ke negara-negara yang tak membutuhkan Visa. Dan pulau Dewata adalah pulau yang sering ia kunjungi hanya sekedar hangout bersama Om bule yang sedang dekat dengannya diakhir pekan.

"Bawa dong Mba, yang dikaretin dua. Punya Mba Tri, super pedes nampol pol pol." Jawab Amara sembari mengeluarkan sebuah kantong kresek ketoprak yang terkenal enak di kampusnya itu, dengan bibir yang ia majukan dari batas wajar.

"Wehhh... bagus anak pintar, luar biasa." Sahut Mba Tri yang kemudian menghampiri Amara sembari mengelus perutnya yang lapar.

...🍭🍭🍭🍭🍭🍭...

Jangan kamu rusak kebahagiaan orang lain, hanya karena kamu tidak bisa menemukan kebahagiaan dalam dirimu sendiri.

Pertemuan pertama dengan mu

...Pertemuan dan perpisahan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pertemuan menjadi awal cerita kehidupan baru, dengan beragam alasan berbeda yang muncul. Sedang perpisahan terkadang datang bersama dengan sebuah luka dan tangis yang menyiksa hingga terkadang menimbulkan trauma mendalam pada jiwa anak cucu Adam....

...🍭🍭🍭🍭🍭🍭🍭...

Usai menghabiskan makanannya. Tiba-tiba saja Mba Tri bicara yang cukup mengagetkan Amara.

"Ara, ini hari terakhir gue loh kerja di sini." Ungkap Mba Tri yang seketika membuat Amara tersedak ketoprak yang sedang ia kunyah. Saking ia merasa terkejut dengan apa yang diungkapan Mba Tri padanya saat ini.

Uhughh... Uhughh!

Melihat Amara tersedak hingga wajahnya memerah seperti tomat dan manik matanya berlinang air mata, merasakan betapa pedihnya bumbu ketoprak yang menyangkut di kerongkongan lawan bicaranya ini, Mba Tri segera saja memberikan minum untuk Amara.

"Minum say!"

Amara segera menerima sebotol air mineral milik Mba Tri dan langsung menengguknya.

Glek... Glek... Glek!

Amara menghabiskan sebotol air mineral milik Mba Tri hingga tandas.

"Haduh Ara-Ara. Gak usah kaget kaya gini juga sih. Sampai keselek ketoprak gini. Kayanya lo gak mau banget berpisah sama gue. Terlanjur nyaman ya? Dasar bocil." Ucap Mba Tri sembari terus memijat tengkuk Amara.

Amara yang sudah terlihat membaik, segera saja membalikkan tubuhnya dan menghentikan pergerakan tangan Mba Tri yang terus memijat tengkuknya.

"Udah cukup Mbak! Makasih udah mau nolong dan mijitin Ara." Ucap Amara dengan seulas senyum lesung pipitnya yang menjadi ciri khas gadis cantik ini.

Kini Amara terus saja menatap sedih wajah Mba Tri yang terlihat sebaliknya. Mba Tri tersenyum senang akan meninggalkan perusahaan yang sudah bertahun-tahun menjadi tempat ia mencari rezeki, dan tempat kerja yang memberikannya cuti sesuka hatinya, saat dimana ia berkencan dengan Om Bulenya pelisiran keluar negri.

Rupanya tatapan sedih Amara ini sedikit mengusik kebahagiaan hati yang kini Mba Tri rasakan. Terlanjur sayang dengan rekan kerjanya yang masih sangat muda ini, menjadi alasan mengapa seorang Mba Tri yang terkebal cuek, perduli dengan Amara.

"Kok tampang lo sedih gitu sih Ra?"

"Keliatan banget ya, Mba?"

"Keliatanlah 'kan gue punya mata Ara. Lagi pula gue ini cukup tua, jadi bisa membedakan orang lagi sedih atau lagi senang." Jawab Mba Tri ketus seperti biasanya, sembari menghela nafas panjang.

Amara tersenyum getir mendengar ucapan ketus Mba Tri. Ia lalu berdiri dan memeluk tubuh Mba Tri dari belakang. Wajar saja jika ia merasa teramat sedih mengetahui Mba Tri akan keluar dari tempat kerja mereka ini.

Jujur, meski Mba Tri dengan sikap dan sifatnya yang banyak minusnya, Amara tetap nyaman dengan Mba Tri. Karena dekat dengan Mba Tri, ia merasa memiliki seorang kakak yang menyayanginya.

Mba Tri mengurai pelukan Amara, ia membalikkan tubuhnya, kemudian bicara sembari memperhatikan wajah sendu Amara.

"Lo jangan takut kehilangan gue. Gue bakal boyong lo ke tempat baru, tapi tunggu gue sebulan dulu kerja di sana ya. Soalnya 'kan lo masih kuliah, dan gue juga belum tanya-tanya mendetail sama si Jhon, bisa gaknya lo kerja part time di sana kaya di sini."

Jhon adalah teman Mba Tri yang Amara juga kenali. Mba Tri yang merasa iba dengan kesedihan Amara karenanya, langsung saja menarik tubuh mungil Amara masuk ke dalam pelukannya.

Ia memeluk erat tubuh mungil Amara. Rasa sayang Mba Tri terhadap Amara begitu tulus. Seperti rasa sayang seorang Kakak yang menyayangi adik kandungnya sendiri. Apalagi Mba Tri sudah tahu jelas bagaimana kisah perjalanan hidup Amara yang malang.

"Serius Ara diajak Mba?" Tanya Amara di dalam pelukan Mba Tri.

"Iya, tentu saja." Jawab Mba Tri singkat.

Satu bulan pun berlalu. Mba Tri menepati janjinya untuk memboyong Amara ke perusahaan baru di mana ia bekerja saat ini.

Setelah melewati seleksi yang cukup ketat dan sulit. Kini Amara hanya tinggal menunggu keputusan dari sang pemilik perusahaan, yang memang terbiasa melibatkan dirinya secara langsung dalam menerima karyawan.

Hati Amara begitu dag dig dug tak menentu di dalam sebuah ruangan meeting yang di jadikan pertemuan pertamanya dengan sosok pria matang, berwajah tampan oriental, dan bertubuh tegap proposional.

Detak jantungnya makin bergemuruh tak menentu, ketika jarum jam terus berdetak mendekati waktu yang ditentukan salah satu staff HRD akan kedatangan sang Bos yang dimundurkan tanpa alasan yang jelas.

Ceklek! (Suara pintu terbuka).

Sosok Oppa-oppa korea mirip Jeamin muncul dari balik pintu. Amara terkesiap, ia tak menyangka setampan inikah pemilik perusahaan yang bergerak di bidang jasa event organizer tempatnya melamar pekerjaan.

Ganteng banget... Bening banget Astaga, batin Amara memuji.

Jujur, hampir saja mulut Amara terbuka dengan lebar serta mengeluarkan liurnya, saking terpananya ia dengan ketampanan calon bos barunya. Untungnya hal itu tidak sampai terjadi karena Amara dapat mengendalikan dirinya. Jika sampai terjadi, entah bagaimana penilaian calon bos barunya ini pada dirinya.

"Maaf, saya sudah membuatmu menunggu lama." Ucap pemilik perusahaan itu sembari berjalan ke sebuah kursi dengan diikuti oleh seorang sekertaris cantik di belakangnya.

Setelah ia mendaratkan bokongnya, tangan kanannya langsung menengadah ke arah sang sekertaris. Ia meminta curriculum vitae milik Amara pada sekertaris yang masih setia berdiri di belakangnya.

"Siapa namamu?" Tanya pemilik perusahaan dengan nada bicara yang begitu berwibawa.

"Amara Ayudia, Pak." Jawab Amara dengan cepat, ia terlihat terlalu bersemangat namun masih terlihat sopan.

Pemilik perusahaan tersenyum tipis mendengar cara Amara menjawab yang terlalu bersemangat.

"Hemmm, Amara Ayudia nama yang bagus, saya Daniel Prayoga, pemilik perusahaan Angkasa Jaya. Kamu sudah tahu perusahaan saya bergerak di bidang apa, bukan?"

Tanya Daniel yang nampak seperti kembaran Jaemin ini, sembari melirik wajah Amara yang kini terlihat begitu tegang mendapatkan pertanyaan pertama dari dirinya.

"Sudah Pak." Jawab Amara yang sudah mengetahui dari Mba Tri, jika perusahaan Angkasa Jaya adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa event organizer.

"Ternyata kamu cukup pintar ya, pantas kamu saat ini berhasil untuk berada di hadapan saya. Selamat bergabung di perusahaan saya. Saya harap kamu bisa bekerja dengan baik dan dapat ikut memajukan perusahaan saya ini." Ucap Daniel setelah puas membolak-balik curriculum vitae dan hasil test Amara, kemudian melemparnya pelan ke sisi meja lainnya.

"Jadi saya diterima Pak?" Tanya Amara tak percaya.

Ia menatap serius wajah datar dan dingin pemilik perusahaan yang tengah duduk memandangi dirinya.

"Ya, kamu diterima, tapi gajimu akan ada penyesuaian. Karena kamu hanya bisa bekerja part time di sini. Saya akan kasih kamu waktu untuk masa percobaan kamu bekerja di sini selama enam bulan. Jika kinerja kamu buruk. Kamu bisa get out dari perusahaan saya. Tapi jika cara kerja kamu bagus, kita akan bicarakan kontrak kamu kerja di sini. " Jawab Daniel dengan sedikit memberikan kecaman pada Amara.

"Terima kasih Pak, sudah mau menerima saya bekerja di sini. Saya usahakan kinerja saya tidak akan mengecewakan Bapak." Ucap Amara tersenyum bahagia.

"Jawaban klise," batin Daniel.

Pemilik perusahaan ini hanya mengangguk kepala sembari menatap dalam manik mata Amara yang membuat hatinya seketika merasa teduh dan tenang.

Padahal beberapa menit yang lalu ia baru saja selesai bertengkar hebat dengan kekasihnya, Hera di ruang kerjanya. Sebenarnya mood Daniel saat ini sedang benar-benar anjlok dan tak dapat tertolong lagi. Ia hampir saja membatalkan pertemuannya dengan Amara, jika saja Mba Tri tidak memohon pada Daniel di ruang kerjanya yang sudah berantakan seperti kapal pecah.

Kenapa menatap dalam manik mata gadis ini hatiku merasa teduh dan tenang? Tak biasanya aku seperti ini. Auranya benar-benar menenangkan jiwaku. Batin Daniel yang tak ingin melepaskan tatapannya pada manik mata Amara.

Sejenak mereka terdiam, Amara menunggu ucapan ataupun perintah Daniel selanjutnya. Namun Daniel malah asyik memandangi wajah Amara dan tenggelam dalam lamunannya.

Sekertaris yang bermana Siska, yang duduk manis di sampingnya pun bereaksi. Ia memberanikan diri untuk menegur atasannya yang tengah hanyut dalam lamunannya itu.

"Pak, maaf kita ada meeting dengan tim kreatif setelah ini." Tegur Siska dengan lembut dan sopan pada Daniel.

Teguran Siska berhasil menyadarkan Daniel dari lamunannya. Ia tersentak dan kembali memasang wajah datar dan dinginnya.

"Mulai senin depan, kamu sudah bisa bekerja di perusahaan saya. Tolong bawa serta jadwal kuliah kamu dan berikan pada Siska. Saya ingin lihat." Ucap Daniel sebelum ia meminta Amara meninggal ruangan meeting karyawan yang ada di lantai dasar.

Di gedung perusahaan ini ada dua ruang meeting. Satu ruang meeting di lantai dasar, yang biasa digunakan para karyawan untuk meeting bersama tanpa Daniel dan satu ruang meeting yang cukup luas dan besar yang ada di lantai 7, di mana ruangan meeting itu berada satu lantai dengan ruang kerjanya bersama sekertaris dan juga staff keuangan perusahaannya.

"Baik Pak," jawab Amara dengan senyum sumringahnya.

Amara beranjak dari kursi yang ia duduki, ia menghampiri Daniel dan mengulurkan tangannya. Ia dengan beraninya mengajak pria dingin yang terkenal sombong dan narsis ini berjabat tangan.

Baik Daniel dan Siska terkejut dengan apa yang dilakukan Amara. Siska, sekertaris Daniel dibuat takjub dengan apa yang ia lihat saat ini. Daniel menerima uluran tangan Amara yang mengajaknya berjabat tangan. Bahkan tangan keduanya berjabat tangan lebih lama dari sewajarnya.

Deg!

Detak jantung keduanya sama-sama bereaksi dengan sangat hebat, hanya karena tangan keduanya bersentuhan. Sentuh pertama mereka yang mendebarkan seluruh jiwa raga keduanya.

Ya Tuhan, ada apa dengan jantung gue? Masih sehatkan? Cuma nervous parah aja 'kan ini, bukan mau koit? Batin Amara.

Meski merasakan sesuatu yang tak beres dengan detak jantungnya, Amara terus saja menebarkan senyum manis terbaiknya dengan sepasang lesung pipi sebagai pelengkapnya kepada Daniel yang juga merasakan hal yang sama, Bahkan Daniel enggan untuk melepas tangan Amara yang berada dalam genggaman tangannya.

Siapa dirimu? Kenapa aku merasa jantungku begitu bergemuruh saat sedekat ini dengan mu? Hanya dengan menjabat tanganmu saja rasanya aku ingin menarik mu ke dalam pelukanku. Batin Daniel yang terus menatap dalam manik mata Amara yang coba ia selami.

Melihat keduanya berjabat tangan terlalu lama, Siksa pun berdeham. Ekhmm...!

Daniel tersadarkan kembali karena teguran sekertarisnya itu. Ia segera melepaskan tangannya, tanpa melepaskan tatapan matanya pada gadis muda yang sudah berhasil mencuri ke ingin tahuannya ini.

Sadar terus ditatap Daniel dengan tatapan yang tak tergambar, Amara memilih untuk menundukkan pandangannya sejenak. Lalu Ia berpamitan dengan membungkukkan tubuhnya ke arah Daniel, kemudian membalikkan tubuhnya pergi meninggalkan ruang meeting.

Meski Amara telah melangkah pergi, Daniel terus menatap punggung Amara yang perlahan menjauh dan menghilang dari balik pintu.

Hari itu setelah melakukan interview. Amara mengendarai kendaraannya dengan riang ke salah satu cafe di dekat rumahnya. Ia sudah membuat janji bertemu dengan Rendra, kekasihnya.

"Hai, sayang!" Sapa Amara pada Rendra yang sedang menyesap sebatang rokok sembari menunggu kedatangannya.

Tanpa menjawab Rendra menggeser sebuah kursi di dekatnya untuk Amara duduk.

"Kok lama? Kantor kamu dari sini tuh cuma lima belas menit loh, aku nunggu hampir satu jam. Sudah tiga batang rokok habis aku hisap, kamu belum datang juga." Ungkap Rendra kesal dan memasang wajah tak suka dengan keterlambatan Amara.

"Sayang, maaf. Aku kejebak macet jadi lama." Amara mencoba menjelaskan dengan rasa bersalah.

"Macet? Macet dari mana? Kamu jangan belajar bohong ya, Ara. Aku paling gak suka kalau dibohongin." Ucap Rendra seraya melirik tajam Amara dengan rasa tak percayanya.

Rendra bisa bicara demikian, pasalnya Rendra paham betul kondisi jalan kantor Amara, maka dari itu ia tak percaya, jika Amara hanya memberikan alasan ia terjebak macet.

Amara sedikit menghela nafasnya, berbicara dengan Rendra yang pemarah dan posesif memang sangat butuh kesabaran ekstra.

"Sayang, denger dulu ya. Tolong jangan sela aku bicara dan marah kaya gini." Pinta Amara sembari berusaha menggenggam tangan Rendra. Namun sayang tangannya ditepis Rendra dengan kasar.

"Hemm... Gak usah pegang-pegang deh. Kamu mau bohong apa lagi? Cepat deh, aku persilahkan kamu untuk berbohong sama aku." Sahut Rendra sembari menyesap rokok keempatnya, dengan tak sopannya Rendra menghempaskan asap tebal di mulutnya ke wajah lelah Amara.

Uhuk...uhukk (Amara terbatuk karena menghirup asap rokok Rendra)

"Kamu jangan gitu dong, aku jadi batuk nih." Protes Amara sembari menggibas-gibaskan tangannya. Menyingkirkan kepulan asap rokok yang cukup tebal. Seperti orang yang sedang menabun sampah.

"Biar! Itu hukuman buat kamu. Karena kamu nyebelin, buat aku nunggu lama di sini seperti orang bodoh." Balas Rendra tanpa rasa bersalah, dengan sikapnya yang begitu kekanak-kanakan.

"Ya, maaf sayang. Aku gak maksud. Serius deh Ay. Aku gak maksud."

"Udahlah jangan minta maaf terus, malas dengarnya tahu nggak. Cepat cerita, jangan buang waktu aku lebih lama lagi!" Perintah Rendra ketus.

Tak hanya nada bicara Rendra, tapi juga dengan ekpresi wajah Rendra yang sangat membuat Amara tak merasa nyaman saat ini.

Andai saja hubungan pacaran mereka tidak terlampau jauh, mungkin Amara memilih menyerah dan pergi saja dari hidup Rendra. Kesalahan fatal Amara yang terbawa pergaulan bebas, membuatnya menyesal dan terikat oleh Rendra.

Namun penyesalan hanya sebuah penyesalan. Demi meminta pertanggung jawaban atas perbuatan Rendra pada dirinya, ia pun harus bertahan dengan sikap Rendra yang seperti ini.

Hidup tak semanis coklat

...Tolong jangan bandingkan aku dengan orang lain. Karena setiap orang memiliki passion-nya sendiri. Seperti matahari dan bulan, mereka sama-sama bersinar, namun dengan waktu bersinar yang berbeda. Amara....

...🍭🍭🍭🍭🍭🍭...

"Apa? Kamu pindah kerja?" Tanya Rendra yang terlihat terkejut dan tak suka.

Berbading terbalik dengan Amara yang terlihat bahagia saat menceritakan hal ini pada kekasihnya, Rendra justru terlihat terkejut dengan raut wajah tak suka yang ia tunjukkan.

Padahal dengan pekerjaan baru ini Amara sangat bersyukur, karena ia tak lagi bekerja sebagai telemarketing yang dituntut dengan sebuah target.

"Iya, aku jadi Account Eksekutif di perusahaan Angkasa Jaya, sayang. Kamu tahu gak sih? Aku tuh seneng banget. Setidaknya ada peningkatan di jenjang karir aku." Balas Amara dengan senyum riang yang terpancar di wajah cantiknya.

Dengan senyumnya ini, Amara ingin sekali menunjukkan betapa bahagianya dia saat ini, dan ia juga ingin sekali berbagi kebahagiaannya dengan sang kekasih, Rendra. Namun sayangnya Rendra tak ikut larut dalam kebahagiaan yang sedang Amara rasakan.

"Iya kamu memang senang Ara, aku bisa lihat itu. Tapi sayang sekali, jika kamu harap aku bisa ikut senang dengan pencapaian mu itu. Sepertinya itu tidak mungkin. Karena jujur aku nggak sama sekali ikut senang dengan pekerjaan baru yang kamu dapatkan. Menurut aku posisi yang kamu dapatkan itu B aja bagi aku." Ucap Rendra yang berhasil memudarkan senyum Amara.

Amara terdiam menatap tak percaya dengan apa yang diucapkan Rendra barusan. Raut kebahagiaan Amara sirna sudah. Bibirnya bergetar, manik matanya pun berkaca-kaca. Dengan menahan tangisnya ia pun mulai bertanya pada sang kekasih.

"Kok kamu ngomongnya gitu sih, sayang? Kenapa sih kamu tega banget ngomong kaya gitu sama aku? Kenapa kamu ngerendahin posisi kerja aku yang baru ini? Sekali pun memang rendah di mata kamu, seharusnya kamu bisa jaga perasaan aku dan gak ngomong blak-blakan kaya gini."

Amara menatap dalam wajah Rendra yang nampak begitu tak suka dengan pertanyaan Amara yang seakan memprotes dirinya.

Hendra yang terus di tatap oleh Amara dengan wajah tatapan kesedihan mendalam akhirnya jengah. Ia sejenak memalingkan pandangannya kesembarang arah. Kemudian menghela nafas panjang, sebelum ia mulai bicara dengan kekasihnya yang mulai menitikan air mata sakit hati dan kecewa.

"Kamu pikir jabatan itu bagus hemm? Lebih baik dari jabatan kamu sebelumnya, dari sisi mana bagusnya? Kamu tahu sendirikan jabatan apa yang bagus menurut aku?" Cecar Rendra dengan membulatkan matanya pada Amara. Rendra sama sekali tak perduli dengan air mata Amara yang sudah jatuh membasahi lesung pipi kekasihnya itu.

Amara menunduk sedih, ia tahu Rendra sangat menginginkan Amara menjadi seorang sekertaris seperti kekasih salah satu teman satu club mogenya bernama Aji.

Namun Amara tak mungkin mengabulkan keinginan Rendra, karena menjadi sekertaris tidaklah mudah. Mana ada posisi sekertaris yang bisa dikerjakan part time seperti posisinya saat ini.

Lagi pula setelah ia lulus kuliah nanti, ia akan menjadi seorang guru di sekolah dasar. Karena jurusan kuliah yang ia ambil adalah pendidikan guru sekolah dasar, bukan jurusan sekertaris.

Ia mengambil jurusan ini, bukan karena keinginannya. Namun karena keinginan besar sang Ayah, Tomo pada dirinya. Sang Ayah ingin melihat salah satu anaknya menjadi seorang staff pengajar seperti dirinya.

Hingga saat ini ayah Tomo bekerja menjadi seorang Dosen di salah satu universitas swasta di kota Jakarta. Dahulunya ia sangat menaruh harapan pada Novita, untuk mengikuti jejaknya sebagai seorang dosen. Namun setelah menikah Novita tak lagi meneruskan kuliahnya dan malah memilih untuk berhenti ditengah jalan.

"Maafkan aku, sampai kapan pun, aku tak akan bisa mendapatkan posisi impian mu, Mas. Jika kamu merasa aku tak layak dan tak pantas mendampingi mu dengan posisi pekerjaan yang tak pernah bisa lebih baik. Aku minta maaf atas keterbatasan ku." Ucap Amara lirih dan Rendra mendengus kecewa.

"Selalu minta maaf, tapi gak bisa jadi apa yang aku mau, terserahlah. Untung aku cinta sama kamu, kalau enggak mungkin aku tinggalin kamu." Ungkap Rendra dengan kalimatnya yang selalu menyesakan dada.

Meski Rendra tak menyetujui dan menyukai pekerjaan Amara saat ini. Rendra tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menerima keputusan Amara untuk pindah bekerja. Kata masih cibta menjadi alasan terkuatnya membiarkan Amara bekerja di tempat Daniel.

Tiga bulan berlalu begitu cepat. Amara yang memiliki kemampuan otak yang cukup cerdas, ia dapat menyesuaikan dirinya dengan baik di perusahaan baru tempatnya bekerja. Meskipun saat ini ia belum mendapatkan kesempatan untuk dilibatkan dalam sebuah event yang tengah digarap oleh perusahaan tempatnya bekerja.

Seperti biasanya, usai menyelesaikan jam kuliahnya, ia kembali membelikan ketoprak untuk Mba Tri. Jarak antara kampus Amara dengan perusahaan saat ini tidaklah sejauh seperti perusahaan lamanya. Hingga ia bisa datang ke perusahaan tidak kebut-kebutan seperti Valentino Rossi idolanya.

"Siang Mba Tri," sapa Amara sembari mengunjukkan kantong kresek ditangannya.

"Waw ketoprak." Ucap Mba Tri sumringah dengan mata beerbinar.

Ia tak sama sekali merasa bosan, jika dibawakan ketoprak oleh Amara. Usai menghabiskan makanannya. Mba Tri mengeluarkan sebuah kardus dan paper bag berisi oleh-oleh dari negara tetangga khusus untuk Amara.

"Nih, buat Ara yang baik hati. Weekend kamarin si Patrik ngajakin ketemu di Singapura. Gue jadi inget lo yang suka banget sama coklat. Jadi gue beliin oleh-oleh coklat buat stok lo sebulan. Ini cukup 'kan buat mempertahankan lesung pipi lo yang ngegemesin ini?" Ucap Mba Tri saat menyodorkan paper bag pada Amara, sembari mencubit lesung pipi Amara.

Amara yang sedang mengunyah ketoprak langsung manggut-manggut dengan senyum bahagainya. Ia membulatkan matanya dengan binar kebahagiaan ketika Mba Tri juga menunjukkan kerdus cukup besar yang juga berisi coklat untuk Amara.

"Mmmm... Makasih banyak Mba Tri. Makin lope lope nih Ara sama Mba Tri. Ara kaya mau jualan ciklat aja ini, ya ampun..." Ungkap Amara bahagia sembari memeluk erat tubuh Mba Tri.

"Sama-sama calon bu guru. Cepat selesaikan kuliah tepat waktu ya. Gue pasti bakal datang ke acara wisuda lo. Gue akan jadi tim hore lo di sana. Semangat berjuang Ara!! Taklukan cita-cita Ayahmu!"

"Huum ..Makasi banyak Mba. Ara selalu semangat kok. Ini Ara lagi nunggu jadwal sidang aja, doain ya Mba."

"Pasti Mba doain."

Setelah jam makan siang selesai. Semua tim Account Eksekutif mengadakan sebuah meeting yang di pimpin oleh Dias, sebagai kepala bagian Account Eksekutif. Meeting ini berisikan pembagian tugas untuk pembuatan proposal, yang akan diajukan pada calon Client baru.

Meeting ini dilakukan,setelah sebelumnya Dias sudah melakukan meeting bersama dengan bagian tim kreatif dan juga Daniel yang selalu terjun langsung dalam seluruh proyek event perusahaannya.

"Kamu gak masalah kalau lembur 'kan Amara?" Tanya Dias pada Amara.

"Gak masalah kok Mba, saya bisa lembur. Jadwal kuliah saya sudah cukup longgar." Jawab Amara yang menyanggupi untuk lembur.

Mulai dari hari itu, di mana Amara menyanggupi tawaran Dias untuk lembur. Amara kerap kali pulang tengah malam. Ia hanya pulang untuk sekedar tidur dua sampai tiga jam, dan pada pagi harinya, ia kembali berangkat beraktivitas seperti biasanya. Ia hampir tak pernah bercengkrama dengan orang-orang rumah.

Bahkan drama di pagi hari tak lagi ia dapati, karena ia berangkat saat matahari belum muncul batang hidungnya, itu karena ia harus menghindari kemacetan jalan ibukota di pagi hari.

Sedangkan waktu Sabtu-Minggu miliknya, kerap kali ia pergunakan untuk tidur dan menonton drakor di dalam kamar pribadinya seharian suntuk. Hal ini ia lakukan jika Rendra tak mengajaknya pergi keluar ataupun mendatanginya di rumah.

Mengurung diri di dalam kamar, kerap kali ia lakukan. Demi menjaga kewarasan hatinya yang enggan tersakiti oleh ulah kakaknya Novita dan Chandra yang selalu menganggap dirinya selalu salah dan tak pernah ada benarnya.

Ya. Chandra, kakak sulung Amara. Ia sudah menikah dengan seorang wanita karir yang super sibuk. Saking sibuknya sampai tak bisa mengurus dirinya dan sang putri semata wayangnya yang kerap kali ditelantarkan ketika sakit.

"Mau kemana kamu? Sudah merasa hebat sekarang?" Tanya Chandra yang kebetulan bertandang ke kediaman orang tuanya hari ini.

"Beli makan, laper." Jawab Amara jujur, sambil berlalu pergi.

Ia sengaja tak ingin berlama-lama dengan Chandra, karena ia sudah dapat melihat rona wajah tak suka sang kakak pada dirinya.

"Dengar Ara! Kalau kamu suka pulang menjelang pagi sebaiknya kamu tidak tinggal di rumah ini. Ingat kita ini tinggal di perkampungan, bukan di apartemen ataupun kompleks perumahan elit. Kamu tidak bisa abaikan pandangan para tetangga dengan tingkah mu itu. Tolong jaga perasaan ayah dan ibu. Karena kamu, mereka dicibir oleh omongan tajam para tetangga. Pekerjaan kamu sangat tidak cocok dengan status kita sebagai anak seorang Dosen." Pekik Chandra dengan suara yang sangat tinggi, menandakan jika dirinya sangat marah terhadap kebiasaan baru Amara yang ia ketahui dari Novita.

Hemm, status Kak Chandra bilang. Memangnya kenapa jika kita ini anak Dosen, apa tidak boleh pulang malam kalau jadi anak Dosen. Cara berpikir macam apa ini?Apa maksud dan tujuan dia ngomong kaya gini juga menginginkan gue pergi dari rumah ini. Pasti Kak Novi sudah mengadu yang tidak-tidak. Membumbui dan memprovokasi Kak Chandra sampai kebakaran jenggot kaya gini. Batin Amara, ia menghela nafasnya sebelum membalas amarah sang Kakak.

"Kak Chandra, juga ingin aku pergi dari rumah ini seperti keinginan kak Novi, katakan saja pada ayah dan ibu untuk menendang ku dari rumah ini. Aku akan dengan senang hati meninggalkan rumah ini, jika mereka juga menghendakinya." Jawab Amara seakan menantang Chandra yang terkenal dengan sikapnya yang tempramental setelah ia menikah.

"Lancang! Berani sekali kamu bicara seperti itu pada kakak mu, Ara," ucap Chandra yang berjalan cepat menghampiri Amara.

Amara yang tak menyadari Chandra menghampirinya pun tetap berjalan santai melenggang pergi menuju pintu keluar rumah.

Sayang, saat ingin membuka handle pintu. Sebuah tangan kekar menjambak kasarr rambut panjangnya, hingga ia terbanting dan terduduk di atas lantai dengan kepala mendongak ke atas.

Brukkk...!

"Aaaa... Sakit Kak, lepas!" Pekik Amara sembari meronta dan mencakar pergelangan tangan Chandra yang menjambak kuat rambut panjang yang ia kuncir kuda.

Rupanya suara pekikan Chandra dan Amara yang cukup keras, membuat seisi rumah menghampiri keberadaan Amara dan Chandra.

"CHANDRA APA YANG KAMU LAKUKAN? LEPASKAN ADIKMU!!" pekik Tomo pada putra sulungnya yang tengah menyakiti putri bungsunya.

"Tidak Ayah. Putri Ayah yang satu ini harus diberi pelajaran, untuk tidak bersikap pembangkang dan merasa hebat seperti ini. Baru bisa membiayai kuliahnya sendiri saja ia sudah tinggi hati. Tidak sadar diri, kebiasaannya pulang tengah malam seperti wanita malam." Tolak Chandra yang makin menguatkan tarikan tangannya pada rambut Amara yang mulai berjatuhan karena rontok.

Dapat dibayangkan betapa sakitnya yang Amara rasakan disetiap helaian rambut Amara yang tercabut paksa dari akar rambutnya, karena ulah Chandra. Hanya meringis dan menangis kesakitan yang dapat ia lakukan saat ini.

Menyesal telah melawan Chandra? Tentu tidak. Amara sama sekali tidak menyesal menentang sang Kakak. Ia seakan ingin menunjukkan pada Novita. Jika ia memiliki keberanian untuk selalu melawan Chandra yang selalu berhasil ia provokatori.

Dalam kesakitannya, Amara menatap satu persatu wajah anggota keluarganya yang tengah menyaksikan kesakitan yang ia rasakan.

Amara lebih lama memandang wajah Erdi, pria pertama di dunia ini yang mengukir rasa sakit di hatinya. Semenjak Erdi masuk menjadi anggota keluarganya. Ia menjadi pelengkap dari penderita demi penderita Amara yang datang silih berganti dari lingkungan keluarga terdekatnya sendiri.

Tangan Chandra yang dahulunya biasa membelai manja rambut panjang adik bungsunya, sejak ia menikah dan di karuniai anak memang jadi terbiasa melakukan kekerasan pada Amara.

Amara selalu dijadikan pelampiasan emosi oleh Chandra, yang tak bisa meluapkan emosinya pada sang istri yang jauh lebih dominan dari dirinya.

Amara sendiri kini pun telah berubah, lelah terus tertindas, membuatnya menjadi seorang pembangkan. Apapun yang ia lakukan di dalam keluarganya selalu dianggap sebuah kesalahan. Hingga Amara menganggap dirinya bernafas di keluarga ini pun adalah sebuah kesalahan.

Jadi pantaslah jika setiap hari Amara kerap kali menantang maut di jalan raya. Ia sudah sangat enggan untuk meneruskan hidupnya yang pahit di dunia ini. Apalagi ia selalu merasa tak lagi memiliki tempat yang nyaman untuk berlindung apalagi bersandar.

Erdi yang berdiri diantara Novita dan ibu mertuanya, menatap sedih dan bersalah pada Amara yang kesakitan. Ia ingin sekali menarik Amara dan memeluknya. Meminta maaf dan menyesali keegoisannya. Erdi menyadari betul segala penderitaan yang Amara alami di rumah ini juga bersumber pada dirinya.

Maafkan Aa, Ara. Aa minta maaf. Aa tidak menyangka hidupmu akan menderita seperti ini. Batin Erdi yang merasa pedih melihat kesakitan dan penderitaan mantan kekasihnya yang tengah dianiaya kakak iparnya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!