"Kesimpulannya, design thinking sangat berguna dalam memecahkan masalah. Dengan menggunakan metode design thinking, kita dapat memahami user dalam memberikan solusi terbaik yang dibutuhkan oleh user."
Slide di layar proyektor beralih menampilkan Q&A, menandakan materi selesai di paparkan. "Any question?"
Dosen itu mempersilahkan salah seorang mahasiswa yang mengacungkan tangan.
"Untuk kelompoknya bagaimana?"
"Untuk kelompoknya silahkan buat sendiri, nanti setorkan ke saya lewat Erica." Dosen itu menoleh ke arah gadis berkemeja biru yang duduk kedua dari depan. Gadis yang dipanggil Erica itu mengangguk seraya tersenyum.
"Thanks, sir."
"Oke, sekian pertemuan kita kali ini. See you next week." Dosen menutup kelasnya di mata kuliah Design Thinking. Satu persatu mahasiswa meninggalkan kelas, tinggallah Erica dan dosen itu, Adam.
"Kenapa, Ri?" tanya Adam.
Erica berjalan agar lebih dekat dengan Adam, mengikis jarak yang sudah ia pasang selama berada di dalam kelas. "Ada berapa kelas lagi?" bisiknya.
Adam terkekeh mendengar bisik-bisik Erica. Kesepakatan mereka untuk menutup rapat-rapat hubungan diantara mereka membuat keduanya sedikit aneh. "Tidak ada, cuma saya mau ke ruang prodi dulu. Kamu tunggu di parkiran saja," jawab Adam, sama berbisiknya dengan Erica.
"Kok bapak bisik-bisik juga?"
"Habis kamu juga bisik-bisik." Adam membereskan tasnya. "Bisik-bisikmu itu yang membuat kita tampak aneh, Ri," imbuhnya sebelum melenggang pergi keluar kelas.
Aneh memang, bisik-bisik dengan dosen disaat keadaan kelas sudah kosong. Tapi siapa peduli, Erica tidak mau ambil resiko. Baginya, menikah dengan Adam sudah merupakan resiko terbesar yang pernah diambilnya. Ia tidak mau ada resiko lain yang mengancam ketentraman hidupnya.
Adam Renjanadi, di usianya yang baru tiga puluh dua tahun sudah dua kali menikah. Pernikahan pertamanya kandas karena istrinya lebih memilih menuruti perintah kedua orangtuanya untuk meninggalkannya. Kehidupan Adam yang serba pas-pasan karena harus melanjutkan pendidikan membuat mertuanya tidak merestui anaknya hidup dengannya. Di usia Zhafran yang baru menginjak satu tahun, ia resmi bercerai dengan istrinya.
Tahun-tahun sulit Adam lalui tanpa pendamping hidup. Sampai akhirnya ia diterima menjadi dosen di salah satu universitas yang turut membangun perekonomian hidupnya.
Tepat di tahun ketiga menduda, Adam menemukan Erica. Mahasiswa baru yang menarik perhatiannya. Hanya butuh tiga bulan baginya untuk meyakinkan diri bahwa Erica merupakan orang yang tepat untuk mendampinginya.
Posisinya sebagai dosen cukup memudahkannya untuk mengenal lebih jauh mahasiswa incarannya itu. Walau sedikit terhambat dari calon mertua saat mereka ingin melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius.
Sesampainya Adam di parkiran, Erica sudah duduk selonjoran tak jauh dari mobilnya.
"Kok duduk di bawah, Ri?" Adam yang kini berada di depan Erica, berdiri mengamati tingkah gadis itu. "Nanti bajumu kotor," lanjutnya seraya berkacak pinggang, layaknya seorang ayah yang memarahi anak gadisnya.
Erica bangun dari duduknya. "Habis mau duduk di dalam mobil kuncinya bapak yang pegang," jawabnya, membela diri.
Erica segera masuk ketika Adam membukakan pintu untuknya.
"Kita ke toko mainan dulu ya, Ri."
Kening Erica mengernyit, tapi sesaat kemudian ia mengerti. "Dek Zhafran jadi main ke rumah?"
Adam menoleh sekilas ke arah Erica yang duduk di sampingnya. "Iya, sayang."
Segala sesuatu berubah ketika mereka meninggalkan area kampus. Status mahasiswa dan dosen berubah menjadi suami dan istri.
"Sama siapa, Mas?"
Adam terdiam sesaat sebelum menjawab, "ibunya."
Erica menghela napas berat. Berat, memang berat. Menikah dengan lelaki yang sudah pernah beristri dan memiliki anak tidak segampang yang ia bayangkan. Ia mencintai Adam, pun harus mencintai segala sesuatu pada diri suaminya itu. Zhafran, ia mencintai anak laki-laki berumur empat tahun itu. Anak hasil pernikahan Adam dengan mantan istrinya. Ia mencintai Adam dan anak semata wayangnya, tapi tidak dengan istrinya yang selalu menjadi duri diantara mereka.
"Mas, bagaimana kalau kita jemput Zhafran ke rumahnya?" usul Erica, mencoba menghentikan kebiasaan buruk mantan istri suaminya yang selalu bertandang ke rumah. Semenjak Adam membeli rumah tak jauh dari kampus, mantan istri Adam selalu rajin berkunjung dengan alasan Zhafran ingin bertemu.
Adam menepikan mobilnya, tatapannya beralih ke wajah istrinya itu. Hubungannya dengan mantan istrinya memang sudah selesai, tapi tidak bagi Erica. Ia memaklumi perasaan takut, cemas, dan was-was yang dirasakan Erica. "Kamu yakin?"
Tatapan penuh kasih sayang Adam selalu membuat Erica ingin egois. "Iya, Mas," jawabnya kemudian.
Tapi ia tahu, menjadi egois hanya akan membuatnya kehilangan Adam.
"Baiklah."
Setelah membeli beberapa mainan anak sebagai hadiah untuk anak semata wayangnya, mereka melanjutkan perjalanan ke rumah mantan istri Adam. Erica tidak tahu dimana letak rumah marunya itu, pun tidak pernah ingin tahu. Tapi kali ini ia akan bertamu ke rumahnya.
Erica tidak pernah punya masalah apapun dengan mantan istri suaminya, tapi semenjak dia sering datang menemani Zhafran main ke rumah semuanya menjadi masalah. Perempuan itu selalu membayangi Erica, dan ia takut akan hal itu.
Merupakan hal yang wajar seorang anak ingin bermain ke rumah ayahnya, tapi seorang mantan istri? Tidak ada yang wajar, kecuali ada maksud tertentu.
Erica ingin Adam dan Zhafran dalam pelukannya, tanpa ada mantan istri Adam. Ia tahu ia egois, maka jangan membuatnya lebih egois lagi. Sejujurnya ia benci perasaan-perasaan seperti itu.
"Lho, mas?" Ujar Mona, mantan istri Adam ketika mendapati Adam dan Erica berada didepan pintu rumahnya. "Kok kesini? Kan aku yang akan antar Zhafran ke rumah kalian."
"Kebetulan aku dan istriku baru pulang dari kampus, jadi sekalian lewat."
"Yuk masuk dulu, Zhafran baru selesai makan." Mona mempersilahkan mereka masuk.
Ada keraguan dalam hati Erica, tapi segera ia tepis ketika melihat kehadiran Zhafran. Bocah yang sudah terlihat bibit-bibit tampan sejak kecil itu berlari ke arah Erica, memeluknya dan menghadiahi bertubi tubi kecupan di pipi.
"Dari kemarin dia nanyain kamu terus, Ri," ucap Mona.
Erica mencubit gemas kedua pipi Zhafran, selalu hadir rasa senang mendengar anak kecil ini mencarinya. "Mana yang cali Bubu, mana? Ini yang cali Bubu, ini?" Goda Erica dengan suara menirukan anak kecil.
Zhafran berlarian ketika Erica mulai menggelitiki tubuhnya yang diselimuti lemak itu. Bocah itu berlari kegirangan kesana-kemari dengan dikejar Erica.
"Barang-barangnya sudah disiapkan?" Tanya Adam.
"Sudah," jawab Mona. "Tadinya aku akan mengantarkan Zhafran ke rumahmu, jadi kamu tidak perlu repot-repot kesini."
Pupil mata yang menangkap kedekatan Zhafran dengan Erica membuat sudut-sudut bibir Adam tertarik membentuk sebuah senyuman. Meski hanya begitu, ia bahagia. Bahkan sangat bahagia.
"Erica begitu dekat dengan Zhafran," gumam Mona, membuat Adam melepaskan pandangannya dari anak dan istrinya itu. "Saya senang," imbuhnya, senyum Mona tersimpul, "saya juga senang dengan kedatangan kamu ke rumah ini lagi, Mas."
Rumah itu tidak banyak berubah, sama seperti saat dulu Adam pergi. Ia tersenyum kecut, tak menyahuti ucapan mantan istrinya itu. Baginya, sudah tidak ada yang perlu dibahas lagi. Semuanya sudah selesai. Jika bukan karena Zhafran, ia tidak mau berhubungan lagi dengan Mona.
"Sayang, ayo kita pulang. Mainnya nanti di rumah kita," panggil Adam.
Erica membawa Zhafran dalam gendongannya. Bocah itu meronta-ronta ingin turun dan melanjutkan permainan kejar-kejaran dengan Erica. Tapi rajukannya berhenti ketika Erica menunjukkan sebuah helikopter mainan.
"Bubu, ayo kita ke lumah Papa," ajak Zhafran dengan suaranya yang cadel. Tangan mungilnya menarik-narik ujung baju Erica.
"Mas," panggil Mona ketika Adam hendak keluar menyusul Erica dan Zhafran.
Langkah Adam terhenti.
"Aku nggak mau Zhafran menginap di rumah kamu."
"Aku tidak akan meminta, juga tidak akan melarang," jawab Adam sengit. "Aku harap kamu juga melakukan hal yang sama," pinta Adam sebelum akhirnya pergi menyusul Erica dan anaknya yang sudah berada di dalam mobil.
"Bagaimana?" Mona kembali bertanya, meminta persetujuan Erica.
Niat hati ingin mencegah Mona datang ke rumah, yang ada perempuan itu malah berniat menginap dirumahnya. Erina tak habis pikir dibuatnya.
Haruskah aku menjawab pertanyaan yang sangat tidak perlu jawaban ini? batin Erica.
"Kemasi baju Zhafran, Ri!" perintah Adam. Lelaki itu akhirnya angkat bicara. Darahnya berdesir melihat Mona meminta persetujuan Erica untuk menginap.
Erica membelalak. "Tapi.."
"Zhafran masih belum bisa tidur tanpa ibunya," jelas Adam. Walau sebenarnya bukan itu yang jadi masalah. Masalahnya terletak pada Mona. Meski Mona merupakan ibu dari anaknya, bukan berarti ia boleh menginap di rumahnya. Zhafran boleh menginap, tapi tidak dengan Mona.
"Tapi Mas-"
"Kemas, Ri!" ucap Adam setengah membentak.
Erica menurut, baju yang semula sudah disimpan di lemari kini dikeluarkan lagi lalu di kemas oleh Mona. Setelah mengemasi pakaian Zhafran, Mona beralih ke bocah yang tengah tertidur pulas itu. Digendongnya Zhafran dalam pangkuan Mona. Tanpa belas kasihan, Mona membawa Zhafran pulang menembus dinginnya malam.
Erica terdiam, pun dengan Adam. Hatinya teriris, terluka. Sakit rasanya. Mona benar-benar menjauhkan Zhafran dari Adam, terlebih dari Erica. Tak sedikitpun ia memberikan celah pada Adam untuk menjadi ayah seutuhnya.
"Masuk, Ri," lirih Adam.
Erica hanya terdiam, menatap bayangan Zhafran yang dibawa Mona dalam keadaan tengah malam.
"Kayaknya aku nggak salah-salah amat nggak suka sama mbak Mona." Erica berucap, ada nada kecewa dalam suaranya.
Adam yang sudah memejamkan mata kini kembali terjaga. Ia baru menyadari ternyata Erica belum terlelap. Dalam gelapnya malam, Adam menggeser tubuhnya mendekati istrinya itu. Dipeluknya tubuh Erica.
"Jangan ambil pusing, Ri." Adam berucap lembut di telinga Erica. "Kamu yang terbaik, sayang."
"Mas, kok mas mau sama aku?" tanya Erica tiba-tiba. Insecure, mungkin itu yang sedang Erica rasakan. Pertemuannya dengan Mona selalu memupuk rasa insecure dalam hatinya. Jika dibandingkan... Erica tidak ada apa-apanya dengan Mona. Mona bak model, dan Erica bak tuan putri, begitu kata Adam tempo hari.
"Karena kamu mau sama mas," jawab Adam simple.
"Kalo aku nggak mau sama mas, mas nggak akan ngejar?" Erica ingin tahu, sejauh mana perjuangan Adam untuk mendapatkannya.
"Kenapa mas mesti ngejar orang yang nggak mau sama mas?"
Erica terdiam, kecewa dengan jawaban suaminya itu. Adam benar-benar realistis. Berbanding terbalik dengan apa yang selama ini ia baca di platform novel, dosen yang mengejar cinta mahasiswanya, dosen yang menikahi mahasiswanya karena skandal. Ah, Adam bukan tipe lelaki seperti itu.
Nyatanya, Erica lah yang ingin menikah dengan Adam. Bahkan harus berdebat dengan orang rumah karena memilih lelaki yang seumuran dengan om-nya. Terlebih lagi karena Adam seorang duda anak satu. Erica tidak pernah mempermasalahkan status Adam, tapi bagi kedua orangtuanya merupakan suatu masalah.
"Kalau mbak Mona mau sama Mas, Mas mau juga?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Ada dua alasan. Mau dengar alasan baik atau buruk?"
"Buruk."
"Karena Mas sudah punya kamu, itu merupakan alasan buruk untuk Mona."
"Baiknya?"
"Tidak semua yang mau sama Mas merupakan orang yang Mas mau."
Dibawah gelapnya kamar, bibir Erica merekah. Adam memang bukan lelaki romantis yang pernah ia temui, tapi setiap ucapannya selalu mampu untuk membuat paru-parunya kembang kempis.
"Kenapa? Padahal yang mau sama Mas cantik-cantik, lho." Erica mencoba mengetes sejauh mana tingkat kesetiaan Adam, meski sebenarnya hal itu tidak perlu dilakukan. Jauh dari lubuk hati paling dalam, ia percaya Adam tidak mungkin menduakannya. Adam bukan tipe lelaki mata keranjang, ia percaya itu.
"Emang tahu gitu, siapa aja yang mau sama mas?"
"Mulai dari mahasiswa baru, kakak tingkat, sampai dosen muda, aku tahu, Mas. Status Mas menjadi nilai tambah yang membuat gadis di luaran sana mengagumimu, Mas."
"Emang status Mas apa diluar sana?"
"Duda anak satu."
Adam tergelak. Sejauh ini, ia tidak tahu panggilan yang mereka sematkan pada dirinya.
"Apa yang mesti dikagumi dari seorang duda, sayang?" tanyanya, ingin mengetahui sejauh mana pandangan orang di luar sana terhadapnya.
Erica sedikit berpikir sebelum menjawab, "lebih menggoda."
Adam kembali tergelak, kali ini sedikit geli. Ia tidak paham apa yang di maksud 'menggoda' oleh mereka. Tapi dari suku katanya saja, sudah pasti mengarah ke pikiran liar. Padahal tidak sekalipun ia berpikiran seperti itu, terlintas pun tidak pernah.
"Jadi, kamu juga tergoda sama Mas?"
Pertanyaan Adam berhasil membuat Erica mati kutu. Menyesal ia telah menjawab pertanyaan Adam.
"Sudah malam, Mas, tidur." Erica menarik selimut lebih tinggi, menyembunyikan wajahnya yang tengah bersemu.
Lagi-lagi Adam tergelak dibuatnya.
"Tapi sayang sekarang Mas bukan duda lagi," bisik Adam tepat di telinga Erica sebelum beranjak ke alam mimpi.
Bisikan itu membuat bibir Erica merekah lebih lama. Bisikan yang mampu mengantarkannya pada mimpi indah.
Dan..
Pagi menjelang, aktivitas berjalan seperti biasa. Adam menepikan mobilnya empat ratus meter dari gerbang. Seperti hari-hari sebelumnya, Erica turun di sana dan melanjutkan perjalanan ke kampus dengan berjalan kaki. Entah sampai kapan mereka akan berlagak seperti tidak perduli di area kampus.
Sejujurnya, Adam ingin memperkenalkan Erica kepada dunia bahwa gadis itu istrinya. Ia ingin mengumumkan bahwa sekarang statusnya bukan duda lagi, tapi seorang suami. Setelah percakapan tadi malam, Adam jadi merasa kasihan pada Erica. Gadis itu menahan sakit dan sesak setiap kali ada perempuan lain yang memuji-muji dirinya.
Menikah secara diam-diam ternyata lebih beresiko. Terlebih, katanya Adam seorang idola. Sudah pasti Erica lah yang paling terkena imbasnya.
"Pak Adam?"
Adam terhenyak. "Ya, Bu?"
"Bapak dengar saya bicara kan?" Syahnaz menatap langsung bola mata lawan bicaranya. Ada rasa kesal ketika Adam tidak menanggapi ucapannya.
Adam memijat keningnya, pening rasanya. "Maaf Bu, saya harus masuk kelas." Adam segera berlalu dari ruang prodi, meninggalkan Syahnaz yang mungkin sedang menggerutu sekarang.
Dilain tempat, Erica terduduk dengan wajah kesal. Erica itu dicegat oleh gadis yang bahkan tidak ia kenal, tapi yang pasti gadis itu merupakan kakak tingkatnya. Setelah berhasil menggiring Erica ke kantin, ia didudukkan disana.
"Kamu kayaknya dekat ya sama Pak Adam?" tanya gadis itu, memulai pembicaraan.
Erica memutar bola mata, malas. Bukan kali pertama ia dicegat dan diintrogasi seperti ini. "Pak Adam dosen wali saya," sahutnya. Memang benar, selain suaminya Adam juga merupakan dosen walinya.
Gadis itu mengangguk kecil, bibirnya merekah dan Erica sebal melihatnya.
"Boleh saya minta tolong?"
Dahi Erica mengernyit. Ia benci bagian ini, dimintai tolong oleh orang tidak dikenal yang dengan tidak sopan mencegat dan mengintrogasinya seperti ini.
"Minta tolong apa?"
Gadis itu tampak malu-malu. Entah apa yang diinginkan gadis itu. Tapi entah apapun itu, Erica membencinya.
Tak lama kemudian gadis itu mengeluarkan sebuah kotak makan. Erica terkejut dibuatnya. Baru kali ini ada yang memberi Adam makanan, biasanya berupa barang-barang mahal yang uangnya entah mereka dapatkan darimana untuk membelikan barang untuk pujaan hatinya.
Pujaan hati? Ha ha ngakak! Batin Erica tertawa sarkasme.
"Saya buat nugget pisang, tolong sampaikan ke Pak Adam, ya?" Gadis itu menyerahkan kotak makan berwarna hijau itu ke tangan Erica. "Dan ini buat kamu," imbuhnya seraya memberi sebuah paper bag berwarna cokelat.
Erica membelalak. Baru kali ini ia mendapat imbalan, biasanya hanya ucapan terimakasih. Ia terenyuh dibuatnya, tapi di lain sisi ia juga sebal karena gadis ini telah mengagumi suaminya.
Kotak makan berwarna hijau itu masih dalam genggaman tangan Erica. Kaki gadis itu melangkah mengantarkan nugget pisang buatan salah satu fans Adam untuk idolanya yang dititipkan padanya.
Adam. Siapa yang tidak akan tergoda olehnya. Tampan, muda, dan... duda. Setidaknya mereka mengenal Adam sebagai duda, walau sebenarnya tiga bulan yang lalu ia melepas status duda itu. Bagi sebagian perempuan, katanya duda lebih menggoda daripada perjaka. Dari segi asmara, finansial, dan kehidupan tentu duda lebih berpengalaman. Tapi tidak sedikit pula yang menganggap duda sebagai lelaki yang cacat karena telah gagal membina rumah tangga. Padahal, dalam gagalnya sebuah rumah tangga tidak bisa sepenuhnya kesalahan terletak pada sosok kepala rumah tangga.
Adam memiliki tubuh yang tegap dan dada yang bidang. Dengan tinggi seratus tujuh puluh delapan sentimeter, ia dapat dikategorikan tinggi. Untuk ketampanan, sebenarnya tampan itu relatif. Tidak ada patokan yang dapat dijadikan standar untuk mengukur ketampanan seseorang. Semua orang tampan, menurut versinya masing-masing. Dan Adam tampan menurut perempuan yang mengaguminya.
Rahang tegas, sopan dan santun, serta kharisma yang dimiliki Adam lah yang membuat lelaki itu tampak lebih tampan. Belum lagi pekerjaannya sebagai dosen turut menggiringnya menjadi lelaki yang melek akan perubahan. Kasarnya, tidak monoton.
Diusianya yang sudah menginjak kepala tiga, Adam dapat dikatakan jauh lebih segar dari usianya. Rambut cepak rapih, kemeja hitam andalan dengan tangan digulung di siku, kacamata, dan jam tangan Rolex yang selalu menggenggam lengan Adam, mungkin itulah yang membuatnya lebih menggoda.
Seperti saat ini, Adam terlihat mencolok dibandingkan mahasiswa laki-laki. Cool, mungkin itulah yang tepat untuk menggambarkan seorang Adam.
"Ada titipan." Erica menaruh kotak makan itu di depan Adam.
"Dari siapa?" tanya Adam dingin, seolah menerima hadiah sudah menjadi bagian dari hidupnya, biasa saja.
Erica mengedikkan bahu. "Yang pasti dari fans bapak."
"Duduk dulu," pinta Adam.
"Tapi pak-"
"Duduk dulu," pinta Adam lembut.
Dengan berat Erica mendudukkan dirinya. Takut-takut ada yang melihat kedekatan mereka. Walau sebenarnya bukan masalah besar Erica lebih dekat dengan Adam, toh Adam merupakan dosen walinya.
"Makan?"
Erica menggeleng pelan.
"Mau makan apa?"
"Nggak usah pak,"
"Mau makan apa?" tanya Adam tegas.
Mata Erica melotot seraya menggeleng pelan, memberi isyarat ia tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Adam.
Tak memperdulikan isyarat Erica, Adam memesankan nasi goreng untuknya. Mata Erica hampir loncat ketika pesanan tersebut datang.
"Temani saya makan, ya?" pinta Adam, "saya yang traktir."
Erica tertunduk, jarinya sibuk mengetikan kalimat yang ia kirimkan ke Adam.
Mas, aku mau ke kelas.
"Kelas kamu dimulai habis Dzuhur kan?" tanya Adam setelah membaca isi pesan dari Erica.
"I-iya, pak," jawab Erica kikuk. Kesal, tentu saja. Bukannya membalas pesan WhatsApp nya, ini malah membicarakannya secara langsung.
"Bagus," gumam Adam.
Erica memandangi nasi goreng di depannya. Ia tahu, nasi goreng ini hanya akal-akalan Adam untuk mengikat Erica agar tidak beranjak pergi. Keduanya sudah sarapan sebelum berangkat ke kampus.
Adam membuka kotak makan berwarna hijau itu. Nugget pisang dengan berbagai topping yang dapat menggagalkan rencana dietnya. Sebuah greeting card terselip disana. Hanya sekilas Adam melihatnya, seolah tidak tertarik sama sekali. Entah dibaca entah tidak.
Diam-diam mata Erica menelisik wajah Adam, nampak berbeda. Tidak bergairah, seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Kamu mau?" tawar Adam.
"Saya sudah dapat bagian." Erica menunjukkan paper bag berisi nugget pisang yang menjadi bagiannya.
"Tumben."
Erica mengedikkan bahu. "Mungkin dia kelebihan bikinnya."
Keduanya larut dalam aktivitas masing-masing. Erica dengan suapan nasi goreng yang katanya nggak usah tapi nyatanya dilahap juga, sedangkan Adam larut dalam alunan musik yang berjudul I love you 3000 milik Stephanie Poetri yang diputar di speaker kantin.
Setelah keadaan kantin cukup sepi, Adam membuka suara. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, membuat Erica terheran-heran.
"Saya sehat," jawab Erica ragu, tak paham arah pembicaraan Adam.
"Besok-besok kamu nggak usah terima hadiah dari orang lain untuk saya." Adam menoleh kotak makan itu sekilas. "Saya tidak akan menerimanya lagi," lanjutnya.
Erica tak mengerti, kenapa tiba-tiba Adam menolak pemberian fansnya. Biasanya, Adam akan selalu menerima meskipun hadiah tersebut tidak disukainya.
"Kenapa pak?"
Adam beralih menatap Erica. Ia tidak habis pikir, kenapa masih saja menerima hadiah dari perempuan yang ditujukan untuk suaminya. "Seharusnya saya yang bertanya begitu," jawab Adam, semakin membuat Erica tak mengerti. "Kenapa kamu mau menyampaikan hadiah dari perempuan lain untuk saya?"
Matanya mengerjap beberapa kali. Erica terkejut dilontari pertanyaan seperti itu oleh Adam. "Bapak kenapa bertanya seperti itu? Saya hanya menyampaikan apa yang seharusnya saya sampaikan."
Adam menghela napas. Kepalanya terasa berat. "Ri," panggil Adam, lirih. Pandangannya tak beralih sedikitpun dari wajah Erica. "Saya tidak ingin menyakiti perasaanmu." Tatapannya tajam, menusuk pupil mata Erica hingga membuat gadis itu terpaku dan berkaca-kaca.
Tangan Adam bergerak menggenggam tangan Erica. "Saya menyayangimu, Ri. Hadiah-hadiah itu menyakiti hatimu, dan saya juga sakit melihatmu sakit."
Air mata semakin menggenang di pelupuk mata Erica, mendesak untuk segera terjun bebas pipi mulus Gadis itu.
"Kamu ingat bukan, kesepakatan kita? Kita merahasiakan hubungan ini untuk melindungimu, bukan malah sebaliknya." Genggaman tangan Adam semakin kuat, seolah mengalirkan betapa kuatnya cintanya untuk Erica.
"Berhenti, oke?"
Erica mengangguk pelan. Kepalanya menunduk, tak sanggup menatap wajah Adam. Tak terasa, air mata jatuh membasahi kedua pipinya, membuat Adam beralih duduk di samping Erica.
Adam tak berbuat apa-apa selain memandangi Erica yang tengah terisak-isak. Tangannya gatal ingin merengkuh gadis itu, tapi ia tahu Erica tidak akan setuju. Hanya elusan lembut di kedua bahu gadis itu yang bisa Adam lakukan.
"I love you 3000, Erica Namiza," bisik Adam tepat di telinga Erica.
***Dear future husband,
Selamat menikmati nugget pisang spesial buatan saya.
Hope you like it
with love,
Your future wife***
Kertas kecil itu jatuh, terbuang. Sama seperti Adam yang tak menghiraukan perasaan pengirim nugget pisang itu. Adam menolaknya, bahkan sebelum gadis itu menyatakan perasaannya. Baru tunas sudah kandas, duh.
***
"Apa katanya?"
Erica menghela napas panjang. Gadis yang tadi pagi menitipkan nugget pisang itu kini kembali mencegatnya.
"Pak Adam nggak bilang apa-apa," jawab Erica apa adanya. Adam tidak berterima kasih atau pun berkomentar tentang masakan itu. Jangankan berkomentar, mencicipi pun tidak.
"Masa sih?" tanya gadis itu tak percaya.
Erica hanya mengangguk.
Ekspresi wajah gadis itu berubah menjadi lesu. Sorot mata yang tadinya begitu berbinar-binar saat melihat kedatangan Erica, kini nampak muram. Barangkali gadis itu kecewa atas jawaban yang didapatnya dari Erica dan Erica paham itu. Sejujurnya Erica kasihan. Tapi apa daya, memang itu kenyataannya.
"Pak Adam hanya bilang enak," ucap Erica, berbohong. Adam memang tidak mencicipi nugget pisang itu, tapi menurut indra pengecap Erica nugget pisang itu lumayan enak. Untuk masalah lidah, Adam dan Erica memiliki selera yang sama. Apa yang Adam sukai, pasti disukai Erica juga. Pun sebaliknya .
Erica mencoba membuat gadis itu tidak kecewa dan ternyata berhasil. Mata gadis itu kembali berbinar, bibirnya merekah menampilkan sebuah senyum kebahagiaan. Kebahagiaan yang menimbulkan harapan. Harapan baru.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!