Mempunyai pekerjaan impian memanglah suatu anugrah yang tak bisa dielakkan. Apalagi jika pekerjaan itu berawal dari sebuah hobi, tentu pasti akan dinikmati dengan sesuka hati. Bahkan tak jarang di antara mereka yang rela sekolah tinggi dan membayar cukup mahal demi mempunyai pekerjaan impian.
Namun, semua itu sama sekali tak terjadi pada Alana. Perempuan itu tak pernah sedikitpun berpikir jika mimpinya akan terwujud dalam waktu singkat. Hanya butuh dua bulan dari kelulusannya di tingkat sekolah kejuruan, dirinya berhasil meraih pekerjaan impiannya.
Pemilik nama lengkap Alana Mentari, perempuan berusia dua puluh empat tahun itu kini bekerja sebagai fashion designer di salah satu perusahaan ternama. Sirius Entertainment yang merupakan salah satu perusahaan rekaman inilah yang menjadi tempat Alana mengembangkan kemampuannya. Perusahaan yang kini tengah naik daun akibat salah satu penyanyi yang dinaunginya berhasil memiliki popularitas fans yang cukup besar di Indonesia. Maka dari itu, Sirius Entertainment tergolong menjadi perusahaan yang banyak diminati oleh semua orang.
Sementara, suasana di salah satu ruangan cukup besar tampak begitu hening. Setiap orang yang ada di dalamnya tampak fokus dengan layar komputer dan juga kertas-kertas di tangan. Begitupun dengan Alana, sudah lebih dari tiga puluh menit perempuan berkacamata itu sibuk dengan alat-alat gambar digital miliknya.
Alana melihat layar komputer dengan saksama, merasa ada yang kurang dalam desain kostum yang tengah dibuatnya. Alana lantas membuang napas kasar, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi yang dirasa sudah tak empuk lagi. Alana perlu secepatnya mendapatkan ide, mengingat pekerjaannya yang satu ini sudah dikejar deadline. Alana tak mau jika dirinya telat memberikan tugas ini pada atasannya. Jika begitu bisa-bisa Alana diusir paksa dari perusahaan tersebut.
Perempuan itu pun berdiri sejenak, kemudian menatap sekitar. Warna putih tulang yang menjadi dominan di tempat dirinya berada. Kedua netranya lantas beralih menatap lemari di sudut tenggara yang berisikan kumpulan map warna-warni. Tak menemukan inspirasi apapun, Alana memilih untuk kembali duduk. Memejamkan kedua mata sembari berpikir ekstra. Siapa tahu saja ide bisa muncul begitu saja di benaknya.
"Sudah selesai, Alana?" tanya seseorang. Laki-laki itu mendekat dan menatap sejenak layar komputer di depan Alana.
Sontak Alana terkejut dan membuatnya membuka mata cepat. "Ngagetin aja nih Pak Leader yang satu ini."
Ya, seperti apa kata Alana. Laki-laki yang baru saja bertanya tersebut merupakan pemimpin di divisi tempat Alana bekerja. Selain itu, ia juga merupakan anak semata wayang dari direktur utama Sirius Entertainment.
"Gimana?" tanyanya lagi. Kali ini ia sedikit menambahkan senyuman manis di akhir ucapannya.
"Desain kedua bentar lagi beres, Kei, lagi nambahin detail," jawabnya. Alana mendongak pada sosok yang kini lengannya tergeletak di kepalanya.
Tak ada bahasa formal jika bicara dengan laki-laki bernama lengkap Kei Pramudya itu. Memang status Kei di perusahaan tergolong tinggi, Alana pun menyadari. Hanya saja Kei yang juga berperan sebagai sahabat Alana tak mau dipanggilnya memakai embel-embel 'pak' yang diucap sebelum namanya. Apalagi Alana dan Kei ini seumuran. Yang Kei inginkan justru menciptakan suasana kerja yang tak kaku dan monoton melainkan penuh canda tawa tanpa rasa canggung. Selain Alana, di divisi tersebut pun banyak yang memanggil Kei hanya dengan nama.
Dengan lengan yang masih di atas kepala Alana, Kei menunjuk layar komputer kerja milik perempuan itu. "Coba deh, di sini tambahin detail yang lo suka, Na. Nggak usah mikir berat-berat kayak tadi. Kasian otak lo, ntar overheat."
"Ih, nih tangan kebiasaan deh. Kepala gue bukan senderan buat tangan lo ya!" Alana menepis lengan kekar Kei kencang-kencang. Walau sudah mengeluarkan semua tenaga, nyatanya lengan Kei hanya terjatuh sedikit dan justru bersarang di pundaknya. "Lagian ya, selera gue kan biasa aja, Kei. Mana bisa dipakein ke desain kostum yang mau dipake sama artis-artis kita."
Kei justru mengacak-acak rambut Alana. Sebenarnya sih tujuannya ingin mengelus, namun terlalu kencang. "Siapa tau aja kan?"
"Ih diem ah, rambut gue jadi berantakan nih!" omel Alana tak terima. Setiap perempuan di muka bumi ini pasti akan marah jika rambutnya diperlakukan seperti itu.
Kei terkekeh renyah. Wajah tampan itu tampak berseri. "Iya-iya maaf."
Tak lama, bel istirahat makan siang pun berbunyi. Bukannya buru-buru keluar seperti yang lain, Kei justru menarik kursi milik salah satu pegawai dan duduk tepat di sebelah Alana.
"Emang lagi dibutuhin banget ya desainnya sampe-sampe lo nanya gue udah beres apa belum lebih dari lima kali?" celetuk Alana. Kali ini ia kembali memegang pen digitalnya dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
"Iya nih, jam satu harus udah disetorin. Sorry banget ya dadakan. Dari atasan perintahnya emang baru tadi pagi soalnya," balas laki-laki itu.
Alana melirik tajam pada Kei yang kini tengah menopang dagu sembari melihat wajah Alana dalam satu pandangan lurus. Tampak bola mata berwarna coklat serta bulu mata yang lentik milik lelaki itu terlihat jelas. Tak mau tertangkap basah salah tingkah, buru-buru Alana melempar pandangan. Siapapun pasti akan meleleh jika sudah ditatap seperti ini.
Karena salah tingkahnya, Alana justru menjitak kepala Kei. Entah apa yang dipikirkannya, Alana tak sadar.
Kei merintih kesakitan sembari mengusap kepalanya. "Ih kok gue dijitak sih, Na?"
"Emm..." Alana bertingkah kikuk. Ia kemudian menarik dan membuang napas cepat. "Perintah dari atasan tadi pagi dan lo baru kasih tau ke gue sejam yang lalu? Gimana sih?" omelnya. Bagaimana bisa Alana hanya diberi waktu singkat untuk menyelesaikan dua desain sekaligus. Walau pekerjaan tersebut memang keahliannya, namun Alana pun perlu berpikir untuk menyajikan desain bagaimana yang pantas.
"Tadi orang yang mau pake kostumnya konsultasi dulu ke gue, Na, dia pengen pake kostum kayak apa," balas Kei cepat sembari mengingat kejadian yang sebenarnya.
"Terus tanggapan lo?" Alana menaikkan sebelah alisnya.
"Ya gue kasih liat dong satu-satu stok desain yang udah ada, tapi sayangnya nggak ada satupun yang dia suka. Jadinya gue minta tolong lo buat bikin desain baru," jelas Kei. Jujur, hal yang paling ditakuti salah satunya adalah amarah Alana. Perempuan itu menyeramkan jika emosinya sudah meledak.
Namun di sisi lain, Alana adalah sosok yang sangat penting bagi Kei. Ia sudah menganggap Alana seperti saudaranya sendiri. Alana juga selalu menjadi orang nomor satu yang paling peduli padanya. Saat jatuh atau senang, sosok Alana yang selalu ada di sampingnya. Tapi akibat hubungan kedekatan di antara keduanya, tak jarang yang beranggapan jika mereka berpacaran.
"Abiyasa lagi kan?" tebak Alana.
"Kok tau?" Kei pura-pura kaget.
"Siapa lagi emang artis di perusahaan kita yang suka bikin nambah kerjaan selain penyanyi yang lagi terkenal itu?" Alana membuang napas kasar. "Emang ya dia hobi banget bikin orang lain sengsara. Hidup gue tuh sempurna banget deh kayaknya kalo nggak ada dia di perusahaan ini."
"Jangan gitu lah, Na. Gimana pun juga karena dia kita sering lembur dan jadi dapet cuan mayan gede tiap bulan," sanggah Kei lembut.
"Iya sih, tapi ya nggak kayak gini juga. Masa hampir tiap hari," cicitnya.
Alana menyandarkan tubuhnya di kursi. Memejamkan mata sejenak sembari mengambil napas perlahan. Sabar, sabar, dan sabar. Jika bukan karena latar pendidikannya yang hanya lulusan sekolah kejuruan, Alana sudah dipastikan mengajukan resign dari sejak lama. Namun Alana sadar, di luaran sana pasti akan jarang ada perusahaan yang menerima pegawai selain lulusan sarjana walau sudah ada pengalaman. Apalagi minat dan bakatnya ini dalam bidang fashion design yang biasanya tak melirik orang secara asal-asalan.
"Yaudah, mending sekarang makan dulu. Kasian tuh perut lo bunyi dari tadi, minta diisi," ujar Kei. Menarik tangan Alana untuk pergi hengkang dari posisinya.
...***...
...Bersambung!...
...Jangan lupa dong, bab ini like dulu sama komen yang banyak😁...
...Subscribe-nya jangan lupa!...
...Update diusahain tiap hari, tapi waktunya acak. Hehe...
...See you on next part!❤️...
Sebuah mobil fortuner hitam melaju dengan kecepatan maksimal membelah jalanan ibukota. Sembari fokus menatap jalanan, pengemudi laki-laki mobil tersebut turut menggerakkan bibirnya bersamaan dengan lirik lagu yang mengalun keras di telinga. Sesekali ia melirik kanan dan kiri mengamati jalanan sekitar, takut jika tempat tujuannya terlewati.
Ah, wilayah ini asing sekali untuknya. Satu-satunya petunjuk yakni membaca satu per satu nama bangunan yang dilewatinya sembari sesekali melirik peta. Hanya saja benda di depan netranya ini membuat tulisan-tulisan yang terpasang di depan bangunan tak bisa dibaca dengan mudah. Tak pikir panjang, Damian pun memilih untuk membuka kaca mata hitamnya. Tampaklah sepasang netra indah berbentuk kacang almond berwarna coklat pekat.
Mata yang begitu menyejukkan, sangat cocok dimiliki oleh seorang Damian Abiyasa Abraham yang merupakan seorang idola. Wajahnya semakin menarik tatkala dipadukan dengan hidungnya yang mancung, pipinya yang tegas, serta bibir tipis kemerahan. Apalagi tubuhnya ini dipenuhi dengan otot-otot yang kekar. Visual yang sangat sempurna hingga membuatnya disukai oleh banyak orang di semua kalangan. Damian sendiri pun tak mengelak, ia sangat mencintai dirinya.
Damian menepikan sedikit kendaran roda empatnya. Melirik ponsel yang ia letakkan di kursi sebelah, tampak ada sebuah panggilan masuk dari kontak emoticon love berwarna merah. Damian memasang earphone bluetooth di kedua telinganya dan buru-buru menggeser ikon berwarna hijau di layar ponselnya.
"Halo Sayangku, selamat malam," sapa Damian tatkala telepon tersambung.
Di seberang sana, Devanie justru mengusap telinga kanannya. Suara dari teleponnya terdengar begitu keras hingga membuat telinganya sakit. "Berisik banget sih di sana, Bee. Bisa dikurangi nggak volume musiknya?"
Damian memang tengah memutar lagu baru miliknya dengan full sound. Bahkan ini sudah ke tujuh kalinya lagu tersebut diputar ulang. Damian dengarkan sejak dirinya berangkat hingga tiba di lokasinya sekarang. Bukannya fanatik akan karyanya sendiri, hanya saja kali ini Damian merasa jatuh cinta pada lagu single ke sebelasnya yang satu ini. Perasaan senang dan bahagia berbaur bersamaan tatkala Damian mendengarkannya. Apalagi lagu barunya ini sangat slowly serta memiliki nuansa berbeda dibandingkan dengan lagu-lagunya yang lain yang biasanya memiliki power energik. Lirik dan musik pun sangat enak didengarkan, bahkan menurut Damian penyanyi lain tak ada yang memiliki lagu secantik lagu miliknya ini.
"Ah iya kenapa, Sayang?" tanya Damian sedikit berteriak.
Devanie mengelus dada pelan sembari meneguk saliva. Tak lama kemudian, ia membuang napas secara perlahan. "Kecilin volumenya!"
"Apa sih nggak kedengeran?!" ucap Damian sekali lagi. Bukannya sadar akan kelakuannya, laki-laki itu justru berbicara semakin keras.
"KECILIN VOLUMENYA...!!!" Tampak dadanya naik-turun. Tenggorokannya pun sedikit sakit karena bicara terlalu keras. Namun jika tidak begitu, semua ucapannya tak akan pernah terdengar jelas oleh kekasihnya itu.
Dan benar saja, kali ini suara Devanie berhasil didengar jelas oleh Damian. Laki-laki itu pun memutar tombol volume di dashboard mobilnya ke arah kiri.
Damian tertawa tawar sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Aduh Sayang, maafin aku."
Devanie yang tengah duduk di pinggir ranjang dalam apartemennya, lantas berdiri dan menghampiri jendela. Ditatapnya langit malam. Tak ada satupun bintang maupun cahaya rembulan. Di sana hanya ada barisan awan hitam yang mungkin tak lama lagi akan menitikkan airnya. Devanie pun bisa merasakan jika udara di luar sana terasa begitu dingin.
"Kamu mau kemana sih? Bisa-bisanya keluar padahal cuaca lagi jelek?" tanya Devanie penasaran. Seingatnya, Damian ini selalu menghindari cuaca ekstrim karena mudah terserang flu.
Damian menjalankan mobilnya perlahan. "Aku disuruh jemput nenek." Membuang napas kasar. "Tapi nenek cuma kasih alamatnya dan nggak kasih tau dimana titik lebih jelasnya."
"Emang itu alamat tempat apa?" ucap Devanie.
"Aku masih belum tau juga sih. Tapi kalo diliat dari alamatnya, kayaknya ini rumah seseorang deh, Bee." Damian kembali melirik ke kanan dan kiri. Petunjuk peta di layar dashboard mobilnya sih tertera bahwa alamat tersebut tak jauh dari posisinya sekarang. "Sekarang aku udah setengah jalan nih. Tapi, daerah sini banyak lahan kosong dan sepi banget. Aku nggak bisa numpang nanya jadinya."
"Hah?" Devanie terkejut. "Kok bisa ya nenek ada di daerah sana? Tumben banget."
Damian sendiri bingung. Baru pertama kali dirinya ke sana. Sebelumnya neneknya pun belum pernah menyinggung alamat tersebut. Di sisi lain Damian frustasi karena tak bisa menemukan tempat pastinya walau sudah berputar-putar. Alhasil Damian menggaruk acak kepalanya yang tak gatal itu karena saking kesalnya.
Akibat aksinya, earphone yang menancap di telinga kirinya terjatuh entah kemana karena tersenggol jari.
"Bentar, Sayang, earphone-nya jatuh. Jangan ngomong dulu," titahnya. Damian tak bisa jika memakai earphone hanya sebelah. Telinganya justru akan lebih fokus mendengar pada suara sekitar, dibanding pada suara yang muncul dari balik earphone.
Sembari tetap melirik pada jalanan, Damian berusaha mencari sebelah earphone yang mungkin jatuh di dekat kakinya.
"Dimana sih?" Damian putus asa karena tak ketemu juga.
Tiba-tiba saja suara keras berbunyi. Sontak Damian menginjak rem dan langsung melihat ke arah depan. Seketika bola matanya membesar dengan ekspresi wajah yang sangat terkejut.
"Astaga!" lontar Damian panik.
"Ada apa, Bee?" Samar-samar suara panik Devanie yang nyaring terdengar.
"Nanti lagi ya, Sayang. Kayaknya aku nabrak orang," ucap Damian langsung mematikan sambungan telepon.
Dengan jantung yang berdetak di atas kecepatan rata-rata, Damian keluar mobil. Memeriksa dengan penuh hati-hati apakah benar yang ditabraknya ini manusia atau bukan.
"Aduh motor listrik gue!" pekik perempuan berambut panjang dan baju berwarna putih yang kini duduk di jalanan, membuat detak jantung Damian semakin berdegup kencang.
Perempuan itu terlihat sangat syok melihat motor listrik warna hijau tosca miliknya terbaring tak berdaya, setengah badan tergeletak di kolong mobil Damian.
Damian mendekat secara perlahan. Dipanggilnya perempuan itu dengan suara pelan, "Mbak?"
Alana lantas menoleh tajam pada Damian yang masih ketakutan. Alana mengepalkan kedua tangannya keras sembari menghampiri Damian yang berusaha bersembunyi di balik mobilnya. Alana sangat kesal karena motor listriknya rusak parah, padahal benda itu dibelinya dengan tabungan selama satu tahun.
"Oh, si tukang tambah kerjaan ternyata," ujarnya setelah melihat jelas wajah si pelaku. Sungguh Alana muak melihat wajah itu. Tak cukup di kantor saja dirinya emosi, kini justru Alana harus bertemu dengan si penyanyi banyak maunya itu. Bahkan di tempat seperti ini.
Alana kemudian memukul kap mobil hitam tersebut dengan keras. "Sini lo!"
Damian celingak-celinguk ke kanan dan kiri sembari mendekat pada Alana. Saat tiba satu meter di depannya, Damian menjulurkan tangan dan mencolek pundak Alana sebanyak tiga kali.
Tak lama, laki-laki itu membuang napas lega. "Bukan setan ternyata."
Alana yang tingginya hanya sebatas dagu Damian lantas mendongak. Rahangnya mengeras hingga terdengar suara gemeretak giginya yang beradu. Alana tak terima jika dirinya disamakan dengan setan. Enak saja!
Alana kembali memukul kap mobil Damian yang ada di samping kanannya. "Heh!"
"No no no!" Damian menepis tangan Alana dari atas mobilnya dengan wajah kesal. "Bisa-bisanya ya kamu dua kali timpuk mobil saya."
Alana berjalan dan mendekatkan lagi tubuhnya pada Damian. Kini jarak keduanya hanya satu genggam. Perempuan itu kembali mendongak tinggi dan membuat netra Alana dan Damian bersatu padu dalam satu titik temu. Bahkan keduanya bisa merasakan napas satu sama lain menepis kulit wajah mereka. Aksi Alana tersebut sontak membuat Damian terkejut hingga memundurkan kepalanya beberapa sentimeter.
"Terus kenapa?" ucap Alana menantang dengan kedua netra yang melotot. "Kayak gitu doang, nggak sepadan kali sama motor listrik gue yang geprek dan nggak bisa dipake lagi."
Mendengar itu, Damian langsung menoleh pada arah yang ditunjuk Alana. Seketika netranya membulat sempurna. Bukan motor listrik perempuan itu yang menjadi perhatiannya, melainkan bodi mobil bagian depan yang ternyata rusak berat. Damian pun berjongkok dan mengusap lembut area mobilnya yang penyok.
"Oh tidak, mobil saya," rengek Damian. Napasnya seketika memburu. Emosinya menaik. Damian lantas kembali berdiri dan menatap Alana tajam. "Kamu tahu nggak mobil saya ini seminggu yang lalu baru pulang dari bengkel?"
"Terus... hubungannya sama gue apa?" tanya Alana jutek sembari membetulkan posisi kacamatanya yang miring.
Alana lantas membuang napas kasar bersamaan dengan menjatuhkan tangannya cepat. Tanpa sadar tangannya itu terkena kap mobil Damian hingga menimbulkan suara sedikit keras. Hal itu tentu membuat atensi sang pemilik mobil teralihkan seketika.
Melihat reaksi Damian yang semakin marah, Alana langsung berkata, "Maaf... nggak sengaja."
"Pokoknya kamu harus ganti rugi. Saya nggak mau tau!" tuntut Damian sembari menunjuk wajah Alana. Tatapannya pada perempuan itu tampak semakin tajam.
"Lo juga bikin motor gue rusak. Adil dong," balas Alana dengan tatapan yang tak kalah tajam.
Damian menyeringai geli sembari memutar bola mata malas. "Nggak lah. Harga baru motor kayak gitu bahkan jauh lebih murah dibanding biaya servis mobil saya."
"Nggak."
"Iya lah."
"Nggak!"
"Iya!"
"NGGAK...!!!" Alana tetap teguh pada keyakinannya.
Setelahnya, Alana langsung melirik pada lengan yang dirasa ganjil sejak tadi. Alana merasa seperti ada sesuatu yang merayap menuju pergelangan tangannya. Betapa terkejutnya Alana tatkala mengetahui bahwa ternyata siku kanannya itu terluka dan mengeluarkan darah yang cukup banyak. Dirinya yang tak tahan akan darah seketika sekujur tubuhnya lemas dan tak mampu lagi mempertahankan posisi tubuhnya.
Melihat Alana yang sempoyongan, Damian buru-buru menangkap tubuh mungil perempuan itu.
"Hey... kamu kenapa?" tanya Damian panik. Namun, tak ada reaksi dari Alana. Yang bisa dilihat Damian hanya tubuh kaku dengan mata kosong yang sedikit terbuka.
"Aduh... jangan-jangan ada arwah gentayangan masuk ke badan dia lagi," gerutu Damian. Saking takutnya, bulu-bulu kecil di lengannya pun seketika berdiri. "Ini saya harus gimana coba?"
...***...
...Bersambung!...
...Parah sih Damian. Badan aja kekar, tapi kok takut setan🙄...
^^^Like-nya dong hehe, komen juga dong yang banyak🤗^^^
...1500+ kata nih khusus bab ini🥲...
Damian membuang napas kasar, tak tahu lagi harus bertindak bagaimana. Pasalnya, hingga detik ini masih juga tak ada sahutan dari perempuan di sampingnya.
Tak ada sedikitpun reaksi dari perempuan itu, padahal Damian sudah mengorbankan harga dirinya untuk menggendong Alana. Rela menahan tubuh Alana yang berat hingga sukses memasukannya ke mobil bagian belakang. Damian bahkan sudah membersihkan dan mengobati luka Alana yang kini sudah tertutup rapat oleh kain kasa. Namun setelah semua apa yang semua Damian lakukan, perempuan itu tetap saja diam.
Seketika Damian terkejut mendengar suara yang tanpa aba-aba merasuki pendengarannya. Namun satu detik kemudian, laki-laki itu terkekeh tatkala mengetahui suara tersebut berasal dari perutnya. Damian lantas melirik arloji bermerk yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Pantas saja Damian merasa lapar, sudah lebih dari dua belas jam sejak terakhir kali dirinya makan.
Damian menyapu pandang ke arah sekitar. Derasnya hujan yang menari selama dua jam lamanya disertai petir menggelegar, masih terjadi dengan angkuhnya. Suasana semakin mencekam tatkala wilayah sekitar gelap gulita. Tak ada satu pun lampu jalan di sana. Mana mungkin Damian mencari makan dalam kondisi seperti sekarang.
Di sisi lain, perasaan Damian pun tak tenang, terlebih saat ini tepat pukul jam dua belas malam. Lebih buruk lagi di saat benaknya ini tak ada henti menampilkan sosok-sosok wajah menakutkan. Ingin segera pergi dari sana, namun Damian tak mau membuat mobilnya semakin rusak. Apalagi ada benda yang menyangkut di bawah sana.
Tiap detiknya, rasa takut semakin besar. Damian akhirnya memilih untuk menutup matanya rapat, lalu mendekatkan diri pada perempuan yang tak dikenalnya itu. Kedua telapak tangan Damian gunakan untuk menutup seluruh bagian telinga, guna menghindari suara-suara yang tak ingin didengar.
Tak lama kemudian, Damian menyadari ada sedikit pergerakan dari Alana. Sontak dengan cepat membuka mata. Detik itu juga, Damian merasa lebih tenang karena Alana sudah sadar. Rasa takutnya pun sedikit berkurang.
"Ini dimana?" tanya Alana. Matanya masih buram, belum bisa menatap dengan sempurna.
"Di mobil saya," balas Damian sedikit semangat.
Alana mengerjapkan mata. Mengolah makna dari tiga kata yang keluar dari mulut Damian sembari menelisik pandang area sekitar. Setelah tersadar, Alana seketika menjauhkan tubuhnya sembari menyilangkan lengan di depan dada.
Damian yang juga menyadari, langsung bergeser menepi ke ujung kursi. Wajahnya tampak panik bukan main.
Seketika suasana menjadi hening. Hanya ada suara detak jantung dari dua manusia yang saling bertatapan.
"Pikir positif aja deh. Nggak mungkin orang kayak saya apa-apain kamu," celetuk Damian akhirnya, memecah suasana.
Damian sama sekali tak terima atas reaksi Alana yang ketakutan. Apalagi dunia tahu jika Damian ini merupakan seseorang yang memiliki nama besar. Damian juga bukanlah laki-laki bejat yang kapan saja bisa tergoda saat dekat perempuan. Niatnya di sini hanyalah menolong, walaupun Damian tak mengelak jika melakukannya dengan terpaksa.
Tak ada jawaban dari Alana, perempuan itu bungkam. Benar juga apa kata Damian. Namun Alana tetap berpikir, laki-laki itu yang salah. Seharusnya jika tak ingin orang lain salah paham, jagalah sikap dan kelakuan. Jangan diam terlalu dekat, apalagi kondisi sekarang ini sangat memungkinkan terjadinya pelecehan.
Di sisi lain, Alana bingung pada tingkah Damian sekarang. Sang idola itu tampak sibuk mencubit sesuatu yang gaib di udara tepat di atas telinganya. Dan itu dilakukan secara berulang.
"Kenapa sih lo?" tanya Alana. Tingkah Damian tersebut sangat mengganggunya.
Damian tampak panik. Napasnya memburu bersamaan dengan dadanya yang naik-turun. "Saya ini mau lepas kacamata, tapi anehnya jari saya ini nggak berhasil pegang gagang kacamata."
Mendengar jawaban Damian yang polos, seketika membuat Alana tertawa kencang, hingga membuatnya menyentuh perut karena terasa sakit. "Sejak kapan lo pake kacamata coba?"
"Saya kan emang pake kacamata," tutur Damian tetap teguh pada keyakinan.
Alana masih tertawa. "Enggak tuh, lo nggak pake kacamata."
Ah, Damian baru ingat. Dirinya membuka kacamata beberapa saat lalu ketika membaca nama bangunan. Ilusi warna kecoklatan yang Damian pikir adalah penglihatannya yang tertutup kaca mata, ternyata itu cahaya lampu temaram dari lampu yang menyala di mobilnya. Rasa takut membuatnya melupakan hal-hal yang dianggapnya tak penting. Rasanya Damian ingin menghilang sekarang juga. Damian Malu.
"Be-berarti dari tadi kamu tahu siapa saya?" tanya Damian untuk memastikan.
Alana menghentikan tawanya, kemudian menghapus ujung netra yang sedikit mengeluarkan berair. Berusaha menetralkan kembali napas. Akhirnya menjawab, "Ya iya lah, lo pikir gue buta apa ya?"
"Dan reaksi kamu kayak gini ketemu sama saya?"
Sungguh Damian syok berat. Di saat kebanyakan orang berlomba-lomba berburu tiket untuk bertemu langsung dengannya, perempuan yang satu ini justru bersikap biasa saja. Bahkan perempuan itu merespon Damian dengan ketus dan bersikap kasar. Rasanya sungguh tak percaya.
"Lo pikir gue bakal teriak kegirangan gitu kayak cewek-cewek lain?" Alana tersenyum meremehkan. "Oh maaf, gue bukan bagian dari mereka. Gue bukan Abivers… atau Abifirst…? Pokoknya ya, gue bukan salah satu fans lo. Justru gue gedek banget ketemu lo di sini."
Bola mata Damian sontak terbuka lebar dengan sempurna. Lagi-lagi dirinya syok mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Alana.
"Lo nggak suka gue?" tebak Damian, melihat dari gerak-gerik Alana.
"Yap, betul," balas Alana dengan santai. Tak lupa untuknya menambahkan sedikit senyuman puas.
Bagai ribuan anak panah menusuk jantungnya. Walau Damian sudah menduga jawaban Alana, tetap saja itu menyakitinya. Bahkan untuk menarik napas pun terasa sangat berat dan susah. Damian pun membuang napas kasar. Ternyata di dunia ini ada orang setega Alana. Damian sangat tak menyangka. Bahkan lihat, perempuan itu kini dengan polosnya memakan cemilan yang ada di mobil Damian.
"Ko-kok bisa?" Walaupun menyakitkan, Damian tetap penasaran alasan perempuan itu tak suka padanya.
Mulut perempuan itu masih sibuk mengunyah makanan di mulutnya yang banyak, hingga kedua pipinya terlihat mengembang sempurna. Damian tetap menunggu jawaban Alana. Walaupun memerlukan bertahun-tahun waktu sekalipun, Damian rela.
Setelah makanan tertelan, Alana menjawab, "Bisa dong."
Alana mengecewakannya. Damian menyesal telah menunggu jawaban.
"Cepetan kasih tahu, apa alesannya kamu nggak suka saya!" ucap Damian dengan suara lantang.
Lagi-lagi Alana tak langsung menjawab pertanyaan Damian. Alana merasa tenggorokannya kering, sehingga perlu minum terlebih dulu. Barulah Alana membuka suara.
"Kepo lo!"
Damian lantas mengeraskan rahangnya. Kemudian mengepalkan erat kedua telapak tangan. Awas aja, nanti saya bales. Saya bakal bikin hidup kamu sengsara. Tunggu aja!
...Bersambung!...
...Hayo loh si Damian mau apa?😭...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!