Langit sepertinya tahu betul bahwa hatiku saat ini sedang bermuram durja karena rasa sakit akibat merindu pada sosok yang tak bisa di jangkau.
"Hujan, Mbak." ujar seseorang di sebelahku.
"Iya, aku tahu." jawabku sekenanya. Jelas aku saat ini sedang berdiri di depan parkiran kantor sambil memandang ke arah langit yang bukan lagi meneteskan air hujan, namun juga di hiasi awan mendung yang gelap, suram.
"Mbaknya bawa apa? Mobil atau motor?"
Aku menghela nafas panjang. Kondisi hati yang suram membuatku benar-benar ingin sendirian. Biarlah aku seperti beruang yang menjilati lukanya sendiri. Saat ini, saat hatiku sedang merindu namun aku tahu betul bahwa rindu ini tidak akan pernah bisa di lampiaskan dengan bertemu sosok yang di rindukan, aku benci. Benci pada suara apapun. Biarlah keheningan membuat hatiku membaik.
Aku tahu, manusia yang kini berdiri di sampingku ini tidak salah apapun. Bahkan dia tetap ramah meskipun orang yang di sampingnya ini bermuka masam.
"Bawa mobil." akhirnya aku memilih untuk menjawab pertanyaannya.
"Saya bawa payung, Mbak. Ini.. Bisa saya antar ke mobilnya mbak."
Narendra, nama pria yang sejak tadi bertahan di sisiku. Pria ramah yang menjadi salah satu rekan satu kantorku.
"Ren... Kalau kamu bawa payung, ya sudah. Sana di pakai kamu aja. Aku nanti aja deh."
"Nggak baik, Mbak. Berdiri di sini, mending kalau mau pulang nanti atau menikmati hujan dari dalam kantor aja deh."
Aku memandang Narendra kesal. Serius, ini anak bikin geregetan. Ngapain coba kasih nasehat yang berasa kaya ke anak kecil.
"Nggak baik juga lo, Mbak. Kalau ada mahasiswanya mbak lihat."
"Pak Narendra, tolong yaa. Justru kalau Bapak di sini sambil bawa payung itu konyol. Narik perhatian. Tuuh, lihat tuh. Mahasiswi penggemar bapak jadi melihat ke arah sini." Bisikku pelan. Kesal sih, cuma enggak sopan aja kalau ada yang lihat aku marah marah.
"Makanya, mbak mau masuk ke dalam atau mau pakai payung saya? Nggak gentleman dong, kalau ada perempuan berdiri nungguin hujan reda eh akunya ke mobil pakai payung. Membiarkan dosen kesayangan mahasiswa mahasiswi di sini berdiri sendirian."
"Sini patungnya. Terima kasih." sahutku saat teringat di rumah Almeera menunggu.
"Hati hati di jalan yaaa, Hujan sama Rindu memang bukan kombinasi yang bagus." bisik Narendra sambil tersenyum jahil.
Ya Tuhan, ini enggak lucu sama sekali.
Sambil menahan nafas untuk mengurangi rasa kesal, aku melangkah menuju tempat mobilku di parkiran sambil memakai payung yang Narendra kasih.
Masa bodoh, pria itu akan kembali masuk ke dalam kantor atau menuju mobilnya sambil hujan hujanan atau apa. Yang jelas, aku tidak akan menawarkan berbagi payung dengannya.
Hujan dan rindu memiliki bukan kombinasi yang bagus, karena semakin membuat hati jadi semakin merana tersiksa. Siapa yang bisa kuat jika harus merindu kepada orang yang sudah pergi jauh, meninggalkan kenangan yang justru semakin membuat hati menjadi remuk.
Meski terkadang kenangan itu membuat diriku menjadi lebih semangat dalam bertahan hidup, namun tetap saja. Ada hari di mana semua menjadi sangat menyedihkan.
"Mama sudah pulang? Kehujanan enggak, Ma?" Teriak perempuan kesayanganku dari dalam rumah setelah menjawab salam yang ku ucapkan.
"Mama pakai payung."
Wajah yang berseri, mata yang memandangku penuh binar kebahagiaan. Senyum yang manis sekaligus meluluhkan perasaan. Ah, sayangku... Buah hatiku, kamu memang banyak sekali mewarisi Bapakmu.
"Almeera buatin teh hangat ya, Mama ke kamar dulu aja, biar nanti Almeera ke kamar mama."
Aku memeluk tubuh putriku erat. Nyeri di ulu hati memancing air mataku keluar.
"Mama bangga punya Almeera." ucapku sambil memegang pipi Almeera.
"Maa, Almeera sayang mama. Terima kasih sudah menjadi kuat demi Almeera."
Putriku memang baru berusia empat belas tahun, namun terkadang ia menjadi sangat dewasa. Ternyata kondisi lingkungan membuatnya tumbuh dewasa dengan sangat cepat. Kenyataan yang membuatku kembali merasa bersalah.
"Mama ke kamar dulu, Nak."
****
Setelah menghabiskan Teh hangat yang di buat Almeera, aku membuka aplikasi Whatsapp dan kotak masuk Email. Mengecek beberapa pesan yang masuk. Membuka dan Membalas dari pesan yang paling bawah. Lebih adik seperti itu, karena artinya yang terbawah adalah yang paling pertama mengirim pesan.
Narendra Bagaskara,
Aku membuka pesan yang menunjukkan angka tiga. Apa yang dia kirim hingga tidak cukup satu.
[Mbak? Sudah sampai rumah?]
[Mbaak... Salam buat Almeera yaaa. Dari paman Narendra. Payungnya jangan lupa di kembaliin yah]
[Embak?]
Tahan nafas... Hembuskan. Tenang.
Perasaanku bukan berdebar ala anak muda yang merasa nyaman dengan perhatian dari seorang pria. Terlebih, pria ini tidak bisa di bilang kurang tampan. Dia jelas sekali tampan sekaligus manis, bahkan sesekali imut.
Jika bukan karena sudah terbiasa dengan sikap Narendra yang hampir selalu perhatian terhadap siapapun, mungkin aku saat ini sudah mengabaikan pesan pesannya ini.
[Oke.]
Aku rasa membalas tiga pesan Narendra dengan tiga kata itu bukan sesuatu yang kejam. Bakalan jadi aneh jika aku lebih ramah dari yang biasanya.
Tanda centang dua langsung berwarna biru, enggak pakai lama ada pemberitahuan sedang mengetik.
[Kasih emoticon senyum dong, Mbak. Biar aku bahagia dikit.]
Aku mengabaikan pesan Narendra itu. Tidak ada niat untuk membalas.
[Rindu memang menyakitkan, Mbak. Apalagi yang emang udah nggak bisa tersampaikan secara nyata. Be Strong Dira. Jangan lupa tersenyum.]
Aku mengerutkan kening. Mencoba mengabaikan perasaan terganggu karena panggilan nama yang menurutku tidak sopan mengingat aku lebih senior sekaligus usia kami beda tiga tahun.
Meletakkan benda yang sekarang begitu penting bagi sebagain orang itu di atas meja kerja. Jadi kamar tidur dan ruang kerja sekaligus perpustakaan itu bersebelahan, ada dua pintu masuk di ruangan ini. Pintu yang dari luar serta pintu yang dari dalam kamarku.
Aku selalu jatuh cinta dengan buku, dengan tempat yang penuh ketenangan. Bahkan aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membaca.
Selepas kepergian Bapaknya Almeera, aku lebih sering menghabiskan waktu luang di sini. Membaca hingga berjam-jam. Lupa untuk sekedar minum ataupun makan.
Pria yang memenuhi hatiku itu tidak terlalu suka di panggil papa, lebih nyaman di panggil dengan sebutan bapak. Kemudian, setelah Almeera kelas tiga sekolah dasar, gadis kesayanganku itu protes tidak mau memanggilku dengan sebutan ibu. Alasannya karena banyak muridku yang memanggil dengan sebutan itu, jadi sejak itu putriku itu memanggilku Mama. Bapak dan Mama.
Awalnya lucu, kami sering menertawakan dua panggilan yang berbeda itu. Walaupun maknanya sebenarnya sama.
Ah, kenangan itu kembali memukul ku kencang. Sakit, sakit yang tak berdarah.
Aku, Ludira. Janda yang memilih tetap mempertahankan hatinya di miliki oleh pria yang telah pergi jauh.
"Janda kaya emang penuh pesona ya!"
Kalimat yang terdengar oleh telingaku saat aku sedang berbelanja di tukang sayur keliling. Kalimat yang di ucapkan oleh kaum sejenis diriku, perempuan.
"Kita mah bisa apa kalau suami kita melirik ke arah janda kaya itu."
"Iya. Sekaya apapun kalau janda ya tetap janda. Jelek itu ya kelihatannya. Jangan sampai pokoknya, jangan pakai suami kita jadi pelampiasan rasa kesepian janda itu."
Alamak, sedih hati ini. Bukan karena kondisi aku yang di nyinyirin. Cuman, kenapa sih status janda harus selalu dapat image jelek di lingkungan.
"Bu ibu. Kalau suami bu ibu ini emang dasarnya pria baik baik. Mau sekinclong apapun perempuan di luar rumah, tetap saja dia akan berkomitmen setia dengan perempuan yang menjadi istrinya. Jadi, kalau sampai menggoda perempuan lain eh perempuan nya itu bukan perempuan ganjen. Yang perlu di selidiki itu ya suami bu ibu. Jangan jangan emang sudah terbiasa tidak setia." Cibir keras.
"Eh, maaf Bu Ludira. Bukan maksudnya kita ngomongin Bu Ludira loh." ujar salah satu dari perempuan yang tadi membicarakan soal janda itu.
"Saya juga cuma membela status saya kok, Bu. Saya janda lo ini. Jangan kira saya bakalan diem saja terus menahan rasa sakit di hati saya karena hal ini, Bu. Saya juga enggak ada rencana jadi Janda. Jangan sampai Bu Siti Jadi janda muda kaya saya ya. Biar enggak ngerasain berapa jahatnya orang orang di sekitar kita ngomongin soal janda."
Aku meluapkan semua amarahku, masa bodoh jika di anggap galak atau apa. Yang jelas aku enggak mau diam aja. Mereka juga harus bisa lebih bijak lagi.
"Maaf, Bu." Sahut ibu ibu itu bebarengan.
"Jangan sukanya ngomong sembarangan terus habis itu tinggal bilang maaf. Kalimat permohonan maaf tidak terlihat berharga kalau terus di gunakan oleh orang orang tidak bertanggung jawab seperti ini, Bu. perilaku sama tingkah laku baik baik itu bukan cuma milik orang yang berpendidikan saja. Karena perilaku baik, sopan santun itu memang di miliki oleh orang yang berhati baik. Jadi walaupun Ibu Siti, Ibu Mira, Ibu Juni pernah kuliah sampai jadi sarjana tapi hati ibu ibu ini sukanya nyinyir, tetap aja enggak punya sopan santun. Saya janda, Bu. Memang. Tapi jika saya boleh protes sama yang punya nyawa, saya ingin terus bersama suami saya, Bu. Kalian enggak bakalan ngerti deh, gimana sedihnya di tinggal. orang yang kita cintai untuk selama lamanya. Permisi, Bu."
Masa bodoh, cuek dah pokoknya. Sebel gitu sama orang yang suka seenaknya komentar padahal mereka sebenarnya enggak paham kenyataannya bagaimana.
****
"Pagi ini masak apa, Ma?"
Aku menoleh, "Nunggu request dari kesayangan mama nih. Minta di masakin apa pagi ini."
Almeera tersenyum. "Almeera ikut mama aja deh, masakan mama itu selalu yang terbaik."
Aku tertawa kecil. Putriku bukan saja mewarisi gaya senyuman milik almarhum Mas Dodi. Tapi juga mewarisi kebiasaan tidak pilih pilih makan. Asal higenis dan masakan rumahan.
"Mama masak Sup Ayam ya?"
"Boleh, Ma. Sama sambal juga ya. Tempe bacem jangan lupa."
"Siap Bos. Haha."
"Ah mama loo, bikin Almeera malu aja. Almeera bantuin ya?"
"Boleh dong. Sini. Nak? Nanti acara kita apa ya?"
"Ke taman, mah. Rara mau melukis di sana."
"Oke, mau bawa bekal apa?"
"Salad buah sama air putih terus donat isi pelangi, Ma. Hehehe. Kalau mama enggak repot bikinnya."
"Enggak dong. Kan Putri mama juga bantuin lagi ntar."
"Iya, Mah. Ini sayuran udah selesai dipotong, Ma."
"Udah di cuci?"
"Udah dong maaah. Rara siapin yang buat bekal aja yaa. Biar nanti kita enggak keburu-buru gitu."
"Iya. Terima kasih sayang."
"Terima kasih kembali mamah."
Rara, Almeera kini kembali menjelma menjadi putri cantik yang ceria. Berkat semua surat yang di tulis Mas Dodi sebelum kepergiannya. Mas Dodi juga meninggalkan buku diary yang memang saat itu menjadi semangat putri kami satu satunya itu melewati masa masa sulit.
Rara sudah baik baik saja, Mas. Kamu pasti di sana lega kan? Maafkan aku yang masih suka menangisi kepulanganmu kepada Tuhan, Mas. Maaf, maafkan aku yang belum bisa setegar setangguh Putri kita.
"Mah?" Teriak Rara dari meja makan.
"Iyaaaa."
"Ada panggilan masuk dari Narendra Bagaskara, Maa. Ini Rara angkat aja yaa."
"Iyaaa. Bilang mama sibuk ya, Ra."
****
"Apa sih, Ra? Kok lama sekali ngobrol sama om Narendra?" tanyaku begitu Rara kembali ke meja makan.
"Om Narendra ngajakin ngobrol tentang lukisan terus pelukis juga, Ma. Terus kata Om Narendra, nanti mau ikut gabung sama kita. Boleh ya maa."
"Enggak boleh. Mama tuh kurang suka sama Om Narendra. Enggak sopan gitu orangnya."
"Ah, kata mama aja sii. Mama tumben nggak suka sama orang, lagian Om Narendra emang orangnya supel gitu kan, Maa."
"Mama keganggu sama sikapnya Om Narendra, Ra. Bikin badmood. Mama kan nggak suka di ganggu."
"Hahahaha. Mama tuh lucu deh, padahal kata tante Silvia, yang suka sama Om Narendra itu banyak kan?"
"Iya, terus Om Narendra suka biasa biasa gitu. Gimana ya, emm... Tahu di kejar, tahu di sukai sama si perempuan eh masih suka tebar pesona gitu. Masih suka ramah tamah gitu. Di kasih apa aja mau, kan jadi kesannya kurang baik, Ra."
"Tukang PHP gitu maksud mama?"
"Iya."
"Selebritis mah suka kaya gitu, Ma. Om Narendra itu selebgram lo, ma. Banyak banget pengikutnya. Akun sosial media aja sampai centang biru. Keren banget."
Naah, maka dari itu aku semakin enggak nyaman kalau di dekat dia. Ribet, bawaannya waspada kalau ada gosip gitu. Apalagi status janda. Kesorot banget deh.
Narendra itu sebenarnya sopan kok biasanya, dulu dulu juga sopan banget. Cuma enggak tahu kenapa, akhir akhir ini, beberapa bulan belakangan ini sejak ketemu sama Almeera sikapnya berubah banget, entah perasaanku atau gimana... Yang jelas berasa nempel banget sama hidup aku. Kesannya itu jadi berusaha untuk masuk ke kehidupan pribadi aku. Bukan sekedar rekan satu kantor.
"Ra?"
"Iya deh, Ma. Almeera bilang sama Om Narendra kalau enggak boleh ikut."
"Percuma juga si, Ra. Om Narendra itu sudah tahu kita mau ke taman kota. Gimana kalau kita pindah ke Kebun binatang aja? Sekalian kita bisa renang di sana."
"Oke deh, Ma. Mama jangan pusing lagi ya. Almeera nggak suka lihat wajah mama suram giti."
"Oooh.. Perasaan mama jadi meleleh gini."
"Hahaha, ayuk sarapan maa. Rara udah laper banget."
"Habis sarapan berangkat aja ya, buat salad aja."
"Iya iyaa. Takut banget di samperin Om Narendra. Hahaha."
"Iiiih" Bisikku sambil pura-pura mencubit lengan Putriku yang tersenyum jahil itu.
Memang benar juga yang di katakan Rara. Bisa jadi Narendra justru berkunjung ke rumah.
[JAHAT]
[Jahat banget deh, Bu Dosen. Hari ini aku jadi gagal ketemu sama Ara. Hiks hiks hiks.]
[Mbak kan yang bujuk Ara supaya nggak jadi ketemu di taman. Sekarang mbak di mana??? Biar aku ke situ.]
Tapok jidat pokoknya. Lebay banget si ini anak. Lama lama bikin ilfeel beneran deh. Kemana perginya Narendra Bagaskara yang penuh wibawa dan sopan santun? Kenapa jadi gini amat si ini pria. Cowok deh lebih tepatnya kalau gini.
Bikin hati emak emak takut aja. Meskipun Narendra itu orangnya berpendidikan, berwibawa, sopan juga prestasinya tidak kalah cemerlang dari wajahnya yang bersinar itu, tetap aja kan. Aku jadi khawatir gini.
[Pak Dosen, Tolong jangan suka bikin gaduh perasaan ibu tunggal.]
Setelah beberapa kali pertimbangan, akhirnya aku kirim saja kalimat yang sudah aku ketik barusan. Centang dia segera berubah warna, online rupanya.
"Hallo, Assalamu'alaikum." sapaku pelan.
"Waalaikumsalam, Mbak. Mbaaak. Ini beneran?"
"Naren, kenapa sih harus langsung konfirmasi lewat panggilan?"
Heran, setelah pesanku di baca oleh Narendra, langsung ada panggilan masuk dari dia. Begitu nya efek isi pesanku ke dia.
"Biar enggak ada salah paham. Jadi maksudnya mbak gimana?"
"Narendra Bagaskara. Tolong dong jangan bikin perasaan saya campur aduk kaya gini. Jarak usia kamu sama anak saya itu jauuuh banget lo yaa."
Sial, kenapa justru suara ketawa di ujung sana keras banget. Bikin aku ngejauhin android yang aku pegang dari telinga.
"Ren. Serius ini."
"Hahahaha, mbaaaaak. Gemes aku. Lagian, usia Nabi Muhammad dan Sayyidah Aisyah juga jauh kan? Aku cuma pengen nyunah lo mbak. Hehehe."
"Ren? Semulia itukah kamu sampai sampai nyamain diri ke Rasulullah! Sial kamu, Ren. Aku nggak mau kenal sama kamu, Ren. Hubungan kita cuma rekan kerja." Sentakku marah. Setelah selesai menutup panggilan, nomor Narendra langsung aku blokir.
Aku memandang ke arah Almeera yang sedang berenang, nanar. Aku tidak pernah memandang sebelah mata terhadap pasangan yang berbeda usia cukup jauh. Namun bukan berarti aku membiarkan orang dewasa memandang ke arah putriku dengan pandangan yang berbeda. Belum, belum saatnya putri kecilku itu mengenal komitmen percintaan.
"Mah? Mama kenapa pucat gini? Mama sakit?" tanya putriku khawatir. Suaranya aja sudah bergetar. Rasa takut jelas terlihat di sudut matanya.
Aku menggeleng pelan. "Tidak, Ra. Cuma mama syok aja sama om Narendra."
"Ada apa dengan om Narendra, Ma?"
Aku menatap putri kesayanganku itu. Khawatir jelas terpampang nyata di mataku. "Mama takut om Narendra suka sama putri kecil mama."
Sebentar,
Kenapa wajah Almeera tampak begitu geli? Menahan tawa?
"Ra? Kok ketawa?"
"Mama lucu ih, tenang maa. Rara enggak bakalan punya boyfriend sebelum Rara bisa berdiri sendiri, justru Rara pengen enggak pacaran pacaran gitu. Rara sayang sama Bapak, sebisa mungkin Rara jaga sikap perilaku Rara buat bapak. Rara enggak mau jadi sebab Bapak masuk Neraka."
Oh, Tuhaaan. Betapa so sweetnya putriku ini. Mataku terasa begitu panas. Gundah gulana yang di sebabkan Narendra hilang begitu saja. Yang ada rasa nyeri ulu hati serta kebahagiaan juga kekaguman yang menggebu.
"Bapak kamu pasti bahagia banget dengar ini, Ra."
"Mama juga harus percaya sama Rara, soal Om Narendra itu. Beliau bukan suka sama Rara."
"Terus? Ngapain dia jadi kaya mendekati keluarga kita? Bukannya mama narsis atau terlalu gimana. Tapi emang semenjak ketemu sama kamu pas acara family gathering yang di adakan kampus Mama, sikap Om Narendra jadi beda banget. Mama kan takut, Ra. Mama belum siap buat kondisi situasi yang begini."
"Mama, tenang. Mama harus percaya sama Rara. Om Narendra cuma iseng. Memangnya beliau bilang secara terang terangan kalau beliau suka sama Almeera dalam artian tertentu?"
Aku menggelengkan kepala, "Enggak. Baiklah, mama cuka ketakutan yang berlebihan. Rara bisa terusin renangnya."
"Rara sudah selesai kok, Ma. Rara bersih bersih badan dulu ya, Ma. Habis itu kita bisa pulang."
"Iya. Hati hati ya. Lantainya kadang licin."
Almeera, putriku itu tersenyum menenangkan. Senyum yang juga di miliki oleh almarhum Mas Dodi saat aku panik atau gelisah.
Duh, Mas. Aku bingung. Nyatanya lima tahun sendiri, belum membuatku terbiasa tanpamu.
***
"Mah? Itu di depan rumah ada mobilnya siapa ya?" tanya putriku begitu sampai dekat rumah.
Aku mencoba tetap tenang meskipun hati ini, perasaan ini sudah di penuhi oleh Amarah yang menggebu.
Narendraaaa. Kurang ajang banget.
"Om Narendra. Itu mobilnya Om Narendra." jawabku sambil memikirkan sepeda motor di halaman rumah.
"Assalamu'alaikum, Almeera... Bu Dosen."
"Walaikumsalam, Om. Waah, kok om di sini? Udah lama om?"
Aku hanya menjawab salam pelan, selebihnya mencoba menenangkan diri dari keinginan melempar helm yang baru saja aku lepas ke arah pria menyebalkan ini.
"Sayang di lepas dulu helmnya. Perlu mama bantuin."
"Eh iya, Ma. Hehehe."
"Pintunya tolong di buka ya sayang, ini kuncinya."
Setelah menyerahkan kunci pintu kepada Almeera, Aku memandang tajam ke arah pria yang sedari tadi tersenyum tanpa perasaan bersalah sedikitpun di wajahnya.
"Jadi?" sentakku kasar. Setelah memastikan putriku tidak mendengar suaraku.
"Jadi apa si mbak? Aku mau masuk ini ya."
Aku? Aku katanya. Biasanya juga saya.
"Naren... Tolong."
"Tolong apa mbak?"
"Kamu suka sama anak saya?"
"Hahahahaha. Ini yang bikin mbak memblokir terus marah marah sama saya ya?"
Aku diam. Dia cerdas, harusnya enggak perlu di jelasin panjang lebar dia udah paham.
"Mbak setelah jadi janda kok dingin banget kaya gini ya, nggak ada selera humor sedikitpun. Nggak ada ramah ramahnya. Negatif mulu bawaannya."
"Pulang, Ren. Pulaaang!" usirku kasar.
Janda katanya? Kenapa hari ini aku harus tersulit emosi karena pandangan negatif orang lain tentang statusku yang Janda.
"Mbaak."
"Pulang, Ren. Tolong pergi. Tolong."
Aku tidak perduli dengan suara lemah Narendra. Ku tinggalkan pria yang memelas itu, masuk kedalam rumah.
"Om Narendra mana, Ma?" tanya putriku dengan baik berisi minuman.
"Pulang. Maaf, Ra. Bisa kita hari ini jangan ketemu dulu sama Om Narendra?"
"Ah. Iya, Ma. Nggak papa kok. Almeera mengerti kok, Ma. Mama istirahat dulu aja ya. Jangan terlalu di pikirkan. Mama butuh waktu buat sendiri atau perlu Almeera pijat?"
"Pijat, nggak papa. Makasih ya Sayangnya mama bapak."
Terima kasih, Tuhan. Untuk amanah berupa putri cantik yang benar-benar sholehah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!